Minggu, 20 Februari 2011

Pertumbuhan Suatu Negara Bangsa (Analisis Terbentuknya Bangsa Mongol)



Zoon politicon atau lebih dikenal dengan manusia ialah hewan yang berpolitik. Sejak zaman dahulu hingga saat ini kebutuhan hidup manusia tidak pernah mencapai tingkat kepuasan. Kondisi seperti ini diperparah dengan sumber daya (alat pemuas kebutuhan) yang terbatas. Hal ini menjadikan manusia antara satu dengan yang lainnya berupaya untuk menguasai alat pemuas kebutuhan tersebut. Bahkan terkadang antar indvidu melakukan kerja sama untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan rasa tidak aman antara satu dengan yang lainnya. Karena antar individu, bahkan antar komunitas tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya tersebut.
Untuk menganalisis argumen di atas kita bisa melihat sejarah yang terjadi di dataran Mongol pada abad ke 12. Pada saat itu di Mongol, manusia hidup secara berkelompok atau bersuku-suku. Mereka berburu sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan makanannya. Pada saat itu mereka hidup secara nomaden. Kehidupan di Mongol pada saat itu bersifat konfliktual, yang artinya antar suku saling menundukkan demi memenuhi kebutuhannya. Suku yang kecil hanya akan menjadi mangsa bagi suku yang kuat.
Di Mongol lah lahir pemimpin agung yang konon memiliki luas kekaisaran hingga 4 kali luas kekaisaranya Alexander Agung. Pemimpin tersebut kita kenal dengan nama Genghis Khan. Genghis Khan memiliki nama asli Temujin, lahir dari pasangan suami istri yang tergabung dalam kesukuan. Pada saat berusia 9 thun ayah Temujinn tewas karena diracuni oleh musuhnya. Mulai saat itu tertanam kuat dalam hati Temujin bahwa suku yang telah membunuh ayah Temujin akan menjadi musuh selamanya. Temujin dewasa menyadari bahwa suku yang dipimpinnya tidak akan bisa survive tanpa membina hubungan dengan suku yang lainnya. Maka untuk mengatasi hal ini Temujin menikahi gadis dari suku lainnya untuk menjalin hubungan antar suku. Cara seperti ini masih dapat kita temukan, sebagai contoh di Indonesia. Dalam kehidupan pondok pesantren terdapat juga pernikahan antar pemilik pondok. Hal ini digunakan untuk mempererat hubungan antar pondok pesantren.
Suku yang dipimpin Temujin, pernah diserang hingga mengakibatkan istri Temujin yang bernama Borte diambil dari tangan Temujin, bahkan Temujin melarikan diri untuk menyusun strategi baru demi mengambil kembali istrinya dari suku Merkit. Temujin pun teringat dengan saudara sedarahnya yang bernama Jamuka d akhirnya Temujin meminta bantuan Jamuka untuk mendapatkan kembali istrinya. Setelah Jamuka dan Temujin menyusun strategi dan menghimpun kekuatan, mereka menyerang suku Merkit dan akhirnya mampu memenangkan pertempuran.
Seiring berjalannya waktu mulai timbul ketidakcocokan antara Temujin dan Jamuka ketegangan diantara keduanya semakin meningkat dengan adanya perbedaan pandangan antara keduanya perihal bagaimana menilai seseorang dan pemberian pangkat tertinggi berdasarkan garis keturunan (suatu tradisi di Mongol pada saat itu). Hal inilah yang mengakibatkan Temujin dan Jamuka berperang satu dengan yang lainnya. Suku yang dipimpin Temujin pernah kalah oleh Jamuka, namun Temujin dan istrinya selamat. Temujin dan pasukannya yang tersisa menyusun strategi baru dan menghimpun kekuatan untuk membalas dendam. Temujin menggunakan caramemotivasi pasukannya “jika kita bersama, kita tidak mudah dikalahkan.” Pada tahun 1204 Temujin berperang dengan Jamuka, pasukan Jamuka pun dapat dikalahkan dan Jamuka menginginkan dirinya dihukum mati.
Setelah peperangan melawan Jamuka, Temujin diangkat menjadi raja semua suku di Mongol dan dianugerahi gelar raja semesta dan disapa dengan sebutan Genghis Khan. Pada saat itu sebenarnya Genghis Khan sudah mampu membentuk sebuah bangsa. Bangsa Mongol yang dibentuk dengan cara menaklukkan seluruh suku yang terdapat di Mongol. Namun Genghis Khan masih belum puas dengan kekuasannya yang telah diraihnya. Genghis Khan masih melakukan ekspansi ke Beijing. Beijing memiliki peradaban yang lebih maju dibandingkan Mongol, di mana didalamnya terdapat banyak komoditas yang menguntungkan seperti sutera dan rempah-rempah.
Genghis Khan dan prajuritnya mempersiapkan penyerangan ke Beijing secara matang. Mereka belajar teknologi militer, seperti membuat ketapel, baju perang berbahan sutera hingga alat pendobrak pintu. Setelah menguasai teknologi tersebut secara mumpuni dan mengisolasi Beijing, Genghis Khan memulai penyerangan dan akhirnya Beijing pun jatuh ke tangan Genghis Khan. Setelah Beijing dibumi hanguskan, Genghis Khan memulai kehidupan yang baru, mereka tidak lagi hidup secara nomaden, namun mereka membangun ibu kota di Karakorum Mongolia Tengah. Karakorum menjadi pusat budaya, perdagangan dan pendidikan.
Genghis Khan menyadari bahwa suku-suku yang pernah ditaklukannya bisa saja memberontak dan menggerogoti kekaisarannya. Karena itulah Genghis Khan berupaya membuat suku-suku yang ditaklukannya sejahtera, sehingga mereka merasa aman dari penyerangan suku lainnya serta yang tidak kalah pentingnya mereka tidak memberotak. Genghis Khan pun mulai membuat peraturan-peraturan yang diterapkan kepada  seluruh pengikutnya. Untuk membangun perekonomian bangsanya Genghis Khan melakukan perdagangan dengan Persia.
Namun suatu saat duta besar utusan Genghis Khan untuk Persia dibunuh oleh Persia. Tragedi ini merupakan penghinaan kepada Genghis Khan. Dan semenjak saat itu Genghis Khan menyerang Persia. Seluruh orang Persia yang melawan kepada Genghis Khan dibunuh. Tak sampai di situ, Genghis Khan bahkan mulai menginvansi Eropa. Lambat laun usia Genghis Khan semakin tua, tubuhnya kian renta dan pada akhirnya Genghis Khan meninggal dunia. Suksesi kekaisaran Mongol jatuh kepada Ogodei, putra Genghis Khan. Di bawah kepimpinan Ogodei, Mongol kembali menginvansi Eropa, Mongol telah mencapai Rusi, Polandia dan Hungaria. Tahun 1242 Ogodei wafat dan semua ketua Mongol kembali pulang untuk memilih pemimpin yang baru. Seabad kemudian kekaisaran Mongol mulai pecah.
Dari kekaisaran Genghis Khan, kita dapat mengerti bahwa syarat terbentuknya sebuah bangsa / negara ialah memiliki teroterial, memiliki penduduk, terdapat sistem pemerintahan dan mendapatkan pengakuan dari bangsa / negara lainnya. Namun terbentuknya suatu bangsa / negara juga tidak dapat dilepaskan dari identitas penduduknya. Kesamaan ini bisa dilihat dari atribut penduduk yang menyertainya seperti ras, agama, bahasa dan budaya. Penaklukan yang dilakukan oleh Genghis Khan terhadap suku yang lain, juga berujung pada terbentukya bangsa Mongol, terlepas dari perbedaan suku-suku yang telah ditaklukannya.
Sosok Genghis Khan yang memiliki kharisma, mampu menyatukan perbedaan-perbedaan antar suku yang ditaklukannya. Hal inilah yang menyebabkan raja / kaisar selain dianggap sebagai simbol pemersatu juga mampu menjadi obat mujarab bagi kegelisahany penduduknya. Sehingga bukan tidak mungkin apabila raja yang memiliki kharisma tersebut meninggal dan digantikan oleh anaknya yang tidak cakap, akan tercipta konfik dan dapat berujung munculnya negara baru.

Kamis, 17 Februari 2011

Permasalahan yang Membelit Demokratisasi


Semenjak runtuhnya Uni Soviet, yang diawali oleh gerakan glasnot (keterbukaan) dan perestorika (restrukturisasi) oleh Michael Gorbachev. Banyak terjadi gelombang demokratisasi di negara-negara di kawasan Eropa Timur. Peristiwa runtuhnya tembok Berlin dan bersatunya negara Jerman Barat dan Jerman Timur, revolusi yang terjadi di Rumania pada tahun 1989, mampu menjatuhkan Presiden Nicolae Ceausescu hingga masyarakat mengeksekusi mati Presiden Nicolae Ceausescu. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang menganut ideologi komunisme telah dirasa gagal mewujudkan cita-cita mereka, yakni masyarakat tanpa kelas.
Mengapa komunisme gagal mewujudkan masyarakat tanpa kelas? Menurut penulis hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
· Elite negara dalam melaksanakan pemerintahan bertindak secara otoriter dan menjurus kepada totaliter dalam hal melaksanakan pemerintahan kepada seluruh masyarakat dan tidak memberi masyarakat kebebasan, secara ekonomi, sosial, politik, budaya dan psikologi.
· Tindakan represif negara terhadap warganya.
· Bencana kemiskinan yang mengakibatkan pada kelaparan hingga berujung pada kematian. Pada era pemerintahan Stalin warga Uni Soviet yang tewas karena kelaparan hingga mencapai angka sekitar 6 juta jiwa.
· Kebangkitan masyarakat sipil yang bergerak menjadi kekuatan oposisi penentang rezim otoritarian.
· Munculnya kelompok-kelompok pembaharu liberal.
Menurut Human Development Report (2002) mencatat perkembangan yang luar biasa antara tahun 1985 hingga tahun 2000. Pada tahun 1985, hanya 8% negara-negara yang memiliki demorasi secara matang, 38% negara-negara yang hampir demokratis dan 45% negara-negara otoriter. Lima belas tahun kemudian angka otoritarianisme turun menjadi 30%, negara-negara yang hampir demokratis meningkat pesat menjadi 57% dan yang berstatus demokratis secara matang meningkat menjadi 11%.
Walaupun saat ini gelombang demokratisasi mengalami perkembangannya, namun banyak permasalahan yang harus dihadapi. Hal ini terkait dengan setelah tumbangnya rezim otoritarian ke arah manakah pemerintahan negara tersebut akan berjalan? Karena biasanya setelah tumbangnya rezim otoritarian demokrasi yang terbangun ialah demokrasi yang rentan terhadap permasalahan pembusukan politik dan pergolakan politik internal. Hal ini menjadi wajar, karena birokrat-birokrat dalam pemerintahan telah terbiasa bekerja dengan manajemen top down dan belum terbiasa transparan serta bertanggungjawab terhadap masyarakat. Sehingga dalam 4 tahapan suatu negara otoritarian menuju negara demokratis (liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi) tahap transisi dan konsolidasilah yang sangat krusial.
Karena dalam tahap transisi negara demokratis yang baru lahir belum mempunyai perangkat hukum yang kuat dan masih seringkali diliputi perebutan konflik internal mengenai siapa yang harus berkuasa. Sedangkan dalam tahap konsolidasi negara demokrasi yang baru ini harus mampu melembagakan, memperkuat serta memperdalam demokrasi yang telah diraih melalui proses panjang dari transisi dan instalasi.
Selain itu sepanjang perjalanan gelombang demokratisasi negara demokrasi yang baru terbentur dengan permasalahan dalam mencari bentuk demokrasi yang sesuai untuk diterapkan di negaranya. Hal ini dikarenakan bagi negara demokrasi yang baru dihadapkan dengan keraguan apakah demokrasi mampu memberikan kesejahteraan kepada wargannya? Mengingat biaya yang sangat besar untuk menyelenggarakan suatu sistem pemerintahan demokratis. Seperti penyelenggaraan Pemilhan Umum (Pemilu). Sedangkan negara demokratis yang baru lahir melalui revolusi ini memerlukan dana yang cukup untuk mengembalikan stabilitas perekonomian negara yang sempat lumpuh selama revolusi dan untuk membangun.
Demokrasi liberal yang kokoh di negara-negara Barat umumnya ditopang oleh perekonomian kapitalisme yang kuat, tingkat pendidikan masyrakatnya yang tinggi dan masyarakat sipil yang kuat. Alurnya ialah sebagai berikut :
Pembangunan sosio ekonomi       rakyat menjadi sejahtera        tingkat pendidikan yang meningkat        kesadaran politik yang meningkat        pembangunan mass media yang digunakan sebagai control terhadap rezim yang berkuasa. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris selama tahun 1950-1990, rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan perkapita 1.500US$, (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) US$ tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat pnghasilan perkapita 1.500US$ hingga 3.000US$, demokrasi hanya mampu bertahan rat-rata 18 tahun. Pada penghasilan perkapita di atas 6.000US$, daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500. Namun demokrasi juga mampu bertahan di negara-negara miskin sekalipun apabila memiliki kemampuan untuk membangkitkan proses pembangunan, mengurangi kesenjangan, iklim internasional yang kondusif dan memiliki lembaga keterwakilan.
Selain itu demokratisasi juga menghadapi permasalahan-permasalahan seperti, hubungan demokrasi dengan pembangunan. Dalam permasalahan ini (demokrasi dengan pembangunan) terdapat 2 kubu yang bertentangan yakni, kubu yang pro meyakini bahwa demokrasi akan mampu meningkatkan pembangunan di suatu negara. Mereka (kubu yang pro) meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung lebih pesat jika didukung dengan sistem politik demokratis. Mereka melihat bahwa negara-negara di Eropa Barat mampu menekan inflasi, menjaga laju pertumbuhan ekonomi tetap stabil namun diiringi dengan pemerintahan yang demokratis. Namun disisi lain terdapat juga yang menilai bahwa sistem pemerintahan demokratis, cenderung menghambat pembangunan. Hal ini didukung dengan penelitian terhadap 98 negara antara tahun 1955-1970 menyimpulkan bahwa kompetisi politik atau demokrasi mempunyai pengaruh yang signifikan pada tingkat pertumbuhan. Negara-negara dengan rezim otoriter justru mampu meningkatkan pembangunan di negaranya. Ini bisa kita lihat di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah rezim pemerintahan Soeharto mampu mencapai swasembada pangan pada tahun 1980an. Tingkat pertumbuhan ekonomi pun mampu dipertahankan pada kisaran 6%-7%. Selain itu pada tahun 1970-an buku-buku sekolah disediakan pemerintah. Puskesmas dan sekolah negeri dibangun, pedesaan dan petani mendapat perhatian besar dengan aneka subsidi dan dukungan pemerintah. Hal ini lah yang membuat nama Indonesia cukup terpandang di kawasan Asia. Malaysia di bawah pemerintahan perdana menteri Mahatir Muhammad dengan disokong partai UMNO nya juga memerintah dengan soft authoritarian, namun masyarakat Malaysia pada saat mayoritas dapat hidup berkecukupan.
Selama 22 tahun pemerintahannya, Mahathir telah memberikan kemajuan signifikan di bidang ekonomi. Hal ini terlihat dari PDB per kapita Malaysia USD14.400, yang menunjukkan tingginya kesejahteraan di Negeri Jiran. Laju pertumbuhan ekonomi di Malaysia juga tidak terlalu mengecewakan. Negeri yang berbatasan langsung dengan Indonesia ini mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada 2007, dengan tingkat kemiskinan 5,1 persen. Sementara angka pengangguran mampu ditekan menjadi 3,1 persen pada 2007 dari 10,91 juta penduduk usia kerja.
Permasalahan berikutnya yang membelit gelombang demokratisasi ialah hubungan antara demokrasi dengan konflik internal di dalam suatu negara. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man, menyatakan bahwa dengan berakhirnya komunisme maka ide-ide liberal dan ekonomi pasar telah berhasil menyingkirkan rival berat mereka selama ini, dan ini sekaligus pertanda berakhirnya sejarah. Hal ini juga ditunjang dengan proses demokratisasi yang terjadi di sebagian kawasan Eropa Timur seperti Republik Ceko, Hongaria, Latvia, Estonia dan Polandia yang berjalan dengan tertib tanpa adanya pertumpahan darah. Namun di sisi lain negara-negara yang mulai membangun sistem demokrasi justru terlibat dengan benturan-benturan kepentingan baik itu antar etnis, suku, maupun agama. Hal ini (benturan kepentingan antar etnis, suku dan agama) semakin diperparah dengan belum terciptanya lembaga-lembaga penyokong bangunan demokrasi pada saat masa transisi.
Sebagai contoh apa yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orba. Setelah runtuhnya rezim Orba Indonesia mulai memasuki masa transisi dalam menciptakan sistem demokratis, namun pada awal masuk masa transisi Indonesia dihadapkan dengan konflik horizontal. Kita tentu masih ingat konflik Sampit (pertikaian antara suku Dayak dan suku Madura), konflik Poso (pertikaian antara umat Nasrani dan umat Muslim). Belum lagi terdapat ketimpangan atau distribusi pembangunan yang tidak merata. Hal ini juga menimbulkan tumbuhnya gerakan-gerakan separatis. Di Indonesia sendiri masih terdapat beberapa gerakan separatis yang terus bergrilya menuntut kemerdekaannya sendiri, seperti Operasi Papua Merdeka (OPM) dan Repbulik Maluku Selatan (RMS).
Gerakan-gerakan separatis juga banyak dihadapi oleh negara-negara lainnya yang sedang membangun demokrasi. Di Srilanka terdapat gerakan separatis Harimau Tamil, di negara-negara kawasan timur tengah terdapat etnis kurdi yang berusaha untuk membangun negara Kurdistan dan masih banyak lagi gerakan-gerakan separatis yang berusaha untuk memerdekakan diri. Pertikaian seperti ini lah yang terkadang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang tidak bertanggungjawab untuk memperoleh dukungan dari masyarakat. Mereka (kelompok kepentingan) menghembuskan isu-isu yang berbau sentimen antar suku, etnis dan agama. Hal di atas dapat terjadi karena demokrasi berlangsung tanggung: partisipasi politik massa meningkat, kebebasan berpendapat luas dan pers nyaris bebas lepas. Sementara lembaga yang mengatur kehidupan sipil belum cukup mapan dan elit politik masih merasa terancam dengan gelombang demokratisasi.
Hubungan antara demokrasi dan fenomena korupsi juga harus mendapatkan perhatian. Karena banyak ditemukan kasus di negara-negara yang mulai demokratis, tindak kriminalitas korupsi juga makin subur. Moran memilah beberapa negara yang dikategorikan menuju transisi demokrasi tetapi juga sekaligus menuju masifitas korupsi. Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut, pertama, transisi yang berlangsung dari pemerintahan otoritarian, misalnya Indonesia, Filipina dan Korea Selatan. Kedua, transisi dari negara bekas komunis, seperti negara-negara di kawasan Eropa Timur. Ketiga negara-negara bekas dekolonisasi, misalnya negara-negara di kawasan Kepulauan Karibia. Dan yang terakhir di negara yang baru, seperti Timor-Timur.
Korupsi sendiri telah mencederai substansi dari demokrasi itu sendiri. Penulis mengambil contoh di Indonesia, pada saat menjelang Pemilu banyak kandidat yang melakukan serangan fajar (menyuap pemilih di pagi hari, sebelum mereka melakukan pemilihan). Kasus suap terhadap jaksa, hakim dan aparat kepolisian. Kasus seperti penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani telah mencederai harapan masyarat Indonesia terhadap terwujudnya sistem demokrasi dengan disokong oleh law inforcement. Selain itu demokrasi juga menganut asas akan sistem Otonomi daerah (Otoda). Namun yang terjadi di Indonesia Otoda hanya dijadikan ajang untuk menciptakan “raja-raja kecil”. Selain itu kita juga bisa melihat bahwa sebagian besar pejabat daerah seperti bupati dan gubernur terjerat kasus korupsi. Memang dalam membangun demokrasi masa transisi ialah masa yang paling mentukan berhasil atau tidaknya demokrasi di suatu negara. Karena pada masa transisi ini negara masih dalam keadaan lemah (weak states). Dan banyak sekali kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan kesempatan seperti ini untuk mencari keuntungan semata dan mengorbankan kepentingan banyak orang.
Masalah-masalah di atas (korupsi, koflik dan pembangunan) memang mampu menghambat gelombang demokratisasi. Namun pada faktanya memang gelombang demokratisasi pada saat ini sedang mengalami pertumbuhan. Bahkan banyak varian dalam menerapkannya, seperti apa yang terjadi di kawasan Amerika Latin saat ini di mana negara-negara seperti Brazil, Venezuela, Bolivia dan Nikaragua menerapkan demokrasi sosialisme. Dimana dalam demokrasi ini menganut asas demokrasi liberal “ala” Barat namun disokong dengan perekonomian sosialisme. Mengutip apa yang disampaikan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill “demokrasi itu merupakan bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi bentuk lainnya tidak lebih baik dari demokrasi.”

Sumber :
Buku :
Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Suyatno. 2008. Menjelajahi Demokrasi. Bandung: Humaniora Yogyakarta: Resist Book
Woodfin, Rupert dan Oscar Zarate. 2008. Marxisme Untuk Pemula.
http://aurapena.blogspot.com

Sabtu, 12 Februari 2011

Pembangunan "Ala" Brazil


Pembangunan “Ala” Brazil
Brazil merupakan salah satu negara paling luas yang terletak di kawasan Amerika Latin. Negara ini (Brazil) dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah jajahan Portugal. Akibat penjajahan tersebut, mayoritas penduduk Brazil beragama Katolik. Brazil memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Tanah-tanah di Brazil sangat subur untuk dijadikan lahan pertanian seperti, kopi, coklat, jagung dan lain-lain. Kekayaan tambangnya pun seperti kromium, besi, mangan emas dan nikel cukup melimpah. Setelah merdeka dari Portugal pada tanggal 7 September 1882, Brazil mulai membangun negerinya.
Saat ini Brazil tumbuh menjadi kekuatan baru ekonomi dunia bersama dengan Rusia, India dan Cina (BRIC). Ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya, pada tahun 2008 saja Produk Domestik Bruto (PDB) Brazil hampir mencapai 2,9 triliun Real Brazil atau setara dengan 1,3 triliun USD. PDB ini meningkat sebesar 5,1% dibandingkan dengan tahun 2007. Sejak tahun 2004, ekonomi Brazil telah terus meningkat pesat dengan tingkat pertumbuhan tahunan ekonomi 4,62%. Dan saat ini tingkat pertumbuhan ekonomi Brazil sedang mengalami “booming”, dengan peningkatan lebih dari tujuh persen pada tahun ini, mata uang negeri itu, real, telah naik sangat tinggi terhadap dolar AS sehingga sektor vital ekspor negeri tersebut mulai tumbuh. Saat ini gross national income per capita Brazil secara nominal mencapai US$8,040 dengan daya beli US$10,260 dolar. Jauh berbeda dengan kondisi Brasil 30 tahun lalu. Pendapatan per kapita Brasil saat itu hanya sekitar US$1,000 dolar.
Hal ini menjadikan Brazil merupakan salah satu negara di kawasan Amerika Latin yang model pembangunannya di ikuti  oleh negara-negara lainnya yang berada di kawasan Amerika Latin. Untuk dapat menjadi kekuatan ekonomi dunia seperti saat ini tentu tidaklah mudah. Brazil juga mempunyai sejarah panjang dalam membangun negerinya. Mulai dari jatuhnya Brazil ke dalam pemerintahan junta militer, Brazil mengikuti dan mengimplementasikan resep-resep dari Barat untuk menjadi negara modern hingga seperti saat ini dimana Brazil berusaha membangun ekonominya sendiri tanpa harus tergantung dengan negara-negara modern (Barat dan Amerika Serikat) terutama mengikuti resep-resep pembangunan dan neoliberalisme ala Barat.
Brazil dan negara-negara di kawasan Amerika Latin lainnya pernah jatuh ke dalam keterbelakangan dan tertinggal jauh dari negara-negara Barat. Hal ini terjadi pada tahun 1960an di mana angka buta huruf di Brazil dan negara-negara di kawasan Amerika Latin lainnya masih cukup tinggi. Selain itu pada masa itu penduduk Brazil masih terkonsentrasi pada pertanian di pedesaan. Untuk mengatasi hal itu rezim yang berkuasa mulai melakukan modernisasi seperti anjuran-anjuran dari Barat dan AS, agar Brazil juga dapat menjadi develop country seperti negara-negara Barat dan AS.
Salah satu tokoh yang menginspirasikan dan mencetuskan modernisasi ialah Rostow melalui teori pertumbuhan ekonominya. Rostow menganggap bahwa dahulu negara-negara maju juga mengalami masa ‘keterbelakangan’ dan akhirnya menjadi “modern”. Menurut Rostow penduduk yang masih tradisional merupakan suatu masalah. Development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Rostow memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta  yang menjadi motor proses itu.
Karena ingin menjadi develop country maka pemerintah Brazil mengikuti resep pembangunan yang digagas oleh Rostow. Pemerintah Brazil percaya bahwa masalah utama yang sedang dihadapi Brazil pada saat itu ialah kurangnya modal untuk melakukan modernisasi. Untuk menghadapi masalah itu (kurangnya modal), maka salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Brazil saat itu ialah dengan menarik investor asing  untuk menanamkan investasi di Brazil / Foreign Direct Investment (FDI).
Di Brazil pada tahun 1980an-1990an terkenal dengan masa “Tripple Alliance”. Tripple Alliance di sini dimaknai sebagai tiga aktor yang melakukan aliansi untuk mengeluarkan Brazil dari keterbelakangan. Ke tiga aktor tersebut ialah local capital, local bourgeois/bureaucratic dan international capital. Mereka bertiga bekerja sama karena memiliki interest yang sama, yakni mengeluarkan Brazil dari keterbelakangan. Namun sebenarnya tiap aktor tersebut mempunyai motif ekonomi secara terselubung. Sebagai contoh bagi international capital (MNC’s) dengan Brazil membuka pasarnya dan memberikan kesempatan untuk melakukan investasi, tentu secara tidak langsung akan memberikan keuntungan bagi international capital. Keuntungan yang diperoleh ialah ekspansi produk dari MNC’s tersebut. Sebagaimana kita ketahui Brazil mempunyai penduduk yang banyak dan SDA yang melimpah. Dan hal ini akan mendatangkan keuntungan bagi MNC’s yang beroperasi dan menanamkan investasinya di Brazil.
Dengan adanya FDI, pemerintah Brazil berharap akan adanya trickle down effect di mana tetesan keuntungan dari investasi tersebut akan menetes kepada penduduk Brazil. Trickle down effect ini bisa berupa terbukanya lapangan pekerjaan yang baru, tumbuhnya industri-industri skala kecil yang menyuplai bahan-bahan bagi MNC’s dan pemerintah tentu dapat menetapkan pajak yang akan menambah kas negara.
Namun setelah bertahun-tahun mengikuti dan menempuh resep pembangunan “ala” Barat dan AS. Brazil bukannya tumbuh menjadi develop country, namun justru semakin tertinggal oleh negara-negara Barat dan AS. Dan efek yang terparah ialah ketergantungan Brazil terhadap negara-negara Barat. Hal ini kembali mengingatkan Brazil pada masa imperialisme, di mana negara koloni selalu membutuhkan negara kolonialnya (Brazil membutuhkan Portugal).
Pertumbuhan ekonomi Brazil memang meningkat, hanya saja trickle down effect yang diharapkan menetes kepada masyarakat ternyata hanya sedikit. Hasil dari trickle down effect tersebut tersebar tidak merata dan sebagian besar justru mengalir kepada tiga aktor “Triplle Alliance” tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi tokoh-tokoh yang tergabung dalam Economic Commission Latin America (ECLA) seperti H.Cardoso, Celco Furtado, Raul Prebisch, Ander Gunder Frank dan kawan-kawan mulai mencari jalan keluar dari ketergantungan negara-negara Amerika Latin terhadap negara-negara Barat dan AS.
Pada akhirnya mereka (ECLA) menggagas teori depedensi. Teori ini pada dasarnya membagi negara menjadi dua belahan, yakni negara pusat (core) dan negara pinggiran (periphery). Dimana terdapat hubungan yang bersifat asimetris antara negara core dan periphery. Hubungan ini lebih terlihat sebagai hubungan eksploitatif, di mana negara-negara core mengeksploitasi negara periphery. Dampaknya ialah negara core akan terus berkembang dan negara periphery akan semakin tertinggal dari negara core.
Ketika negara-negara di kawasan Amerika Latin mengikuti resep-resep pembangunan “ala” Barat dan AS. Mereka (negara-negara di kawasan Amerika Latin) juga percaya dengan teori comparative advantage yang dicetuskan oleh David Ricardo. Dalam teori ini disebutkan bahwa tiap negara seharusnya punya spesialisasi dalam tiap bidang ekonomi. Dari spesialisasi yang terjadi, tentu tiap negara akan saling membutuhkan dan mendatangkan manfaat bersama.
Namun setelah negara-negara di kawasan Amerika Latin mengikuti saran ini. Mereka justru semakin dirugikan. Hal ini pun terjadi juga di Brazil, pada saat itu Brazil yang terkenal dengan kekayaan SDA nya, hanya melakukan ekspor bahan-bahan mentah ke negara-negara Barat dan AS. Dan dampaknya ialah hasil raw material yang diekspor ke negara core, dan oleh negara core raw material tersebut diolah kembali sehingga terdapat nilai lebih. Kemudian barang-barang produksi dari negara core tersebut diekspor ke negara-negara periphery termasuk Brazil. Hal ini lah yang akan selalu merugikan negara Brazil dan menguntungkan negara core.
Cardoso merupakan salah satu tokoh intelektual yang mempunyai gagasan revolusioner. Cardoso berpendapat bahwa untuk menghentikan ketergantungan ini Brazil harus berani mengalihkan konsentrasi ekonomi yang tadinya mengekspor raw material ke negara core menjadi penggunaan hasil SDA yang diolah oleh industri dalam negeri. Cardoso melihat bahwa Brazil memiliki penduduk yang cukup besar, sehingga jika hasil SDA di kelola dalam negeri dan hasil proses produksinya tersebut di konsumsi oleh masyarakat dalam negeri ini akan mendatangkan spill over effect. Spill over effect di sini terlihat dari mulai berkembangnya industri-industri kecil pengolah hasil SDA dan ini juga akan berdampak terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakan Brazil. Selain itu Cardoso juga berani untuk melepaskan diri (Brazil) dari ketergantungannya terhadap negara core.
Salah satu kebijakan Cardoso yang terkenal pada saat itu ialah program reformasi ekonomi nasional yang diberi nama “Real Plan”. Program ini ternyata berhasil dan mampu menstabilkan ekonomi Brazil yang sudah dialanda inflasi yang sangat tinggi, yakni 50% dalam sebulan. Dengan “Real Plan”nya Cardoso mampu mengatasi krisis ekonomi. “Real Plan” mampu menurunkan tingkat inflasi dan menaikkan kemampuan daya beli masyarakat.
Reformasi ekonomi seperti itulah yang membuat Brazil mampu berkembang hingga seperti saat ini. Penerus Cardoso seperti Lula da Silva mempunyai program ekonomi yang bersifat sosial, seperti kredit lunak bagi rakyat kecil, menolak resep neoliberalisme dan lain-lain. Hal inilah juga yang mampu mengangkat 19.000.000 warga Brasil dari jurang kemiskinan, dan hingga saat ini Brasil dipandang sebagai kekuatan baru.

Sumber :

Buku
W.W Rostow. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non Comunist Manifesto. New York: Cambridge  University Press
Situs
http://bataviase.co.id