Minggu, 13 Maret 2011

Di Balik Isu Terorisme


Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok terorisme dewasa ini frekuensinya semakin meningkat. Selain itu dampak dari aksi teror yang dilakukan sangat dirasakan kerugiannya, baik secara moril maupun materiil. Sebagai contoh korban ledakan bom Bali dua, yang menewaskan ratusan wisatawan mancanegara dan menewaskan sebagian warga di sekitar tempat kejadian. Setelah tragedi tersebut (bom Bali dua) kegiatan pariwisata di Bali mengalami penurunan yang sangat signifikan. Bahkan negara Australia dan negara-negara di Eropa Barat menerapkan kebijakan travel warning kepada warganya yang akan berlibur di Indonesia. Di sisi lain tragedi tersebut juga memberikan dampak psikis bagi warga Bali dan warga Indonesia yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena mereka (masyarakat Indonesia) beranggapan kejadian serupa bisa terjadi dimanapun dan menimpa siapapun. Aksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris tentu mengancam kemanan nasional suatu negara. Sehingga negara akan berupaya untuk memberantas dan mencegah aksi-aksi teror sebagai wujud upaya negara untuk melindungi keselamatan dan kemanan warganya. 
Menurut konvensi United Nation (UN) tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu, kelompok orang atau masyarakat luas. Selain itu terorisme juga bisa dikatakan sebagai upaya dari kelompok minor untuk merebut dominasi dari kelompok mayor. Namun untuk memudahkannya, suatu tindakan dapat dikatakan sebagai aksi terorisme jika memiliki :
·      Tindakannya dilandaskan atas motif-motif tertentu. Bisa bermotifkan politik, ekonomi, hingga didasarkan pada isu etnis, agama hingga perbedaan ideologi.
·      Aksi yang dilakukan ialah dengan cara menebarkan teror, bisa berupa penyanderaan, pembajakan, pembunuhan hingga pengeboman.
·      Sasaran yang dituju biasanya kepada penduduk sipil.
Namun terorisme sendiri kembali menarik perhatian dunia internasional setelah pada tanggal 11 September 2001 tiga pesawat penerbangan komersil Amerika Serikat (AS) dibajak, dua diantaranya ditabrakan ke menara kembar, twin towers dan World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon. Tragedi inilah (meledaknya gedung WTC) yang menjadi titik pangkal bagi AS untuk mendeklarasikan perang global melawan terorisme (global war against terrorism).
Semenjak tragedi 11 September 2001, AS berusaha mengajak negara-negara untuk memberantas aksi terorisme. Bahkan AS berusaha untuk mengkonstruksi pemikiran-pemikiran masyarakat internasional bahwa terorisme adalah musuh bersama dan harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Ini dapat dilihat dari statment mantan Presiden George. W Bush “kalian bersama kami (untuk memberantas terorisme) atau menjadi musuh kami”. Statment ini sering kali diulang-ulang dan disebarkan melalui institusi media massa.
Selain itu AS juga berupaya menjadikan kepentingan nasional nya (yakni memberantas terorisme) menjadi kepentingan global. Hal ini dirasa sukses, karena North Atlantic Treaty Organization (NATO) juga menganggap bahwa terorisme merupakan musuh yang sedang dihadapi. Bahkan NATO memiliki program preemptive strike, yakni NATO dapat melakukan serangan terlebih dahulu kepada negara-negara yang mensponsori terorisme. Hal ini pernah terjadi pada saat invansi AS dan tentara anggota NATO terhadap Irak. Pada awalnya, AS hanya menduga bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal dan Irak dianggap sebagai negara yang mensponsori terorisme. Hal ini tentu dapat mengancam keamanan AS dan keamanan dunia internasional. Untuk meyakinkan kepada masyarakat internasional AS selalu merepetisi dugaannya tersebut. Namun setelah AS menginvansi Irak, ternyata di Irak sama sekali tidak ditemukan senjata pemusnah massal seperti dugaan AS sebelumnya. Namun AS kembali mencari pembenaran dari tindakannya menginvansi Irak yakni dengan dalih untuk membebaskan warga Irak dari kediktaktoran rezim Saddam Husein dan mendemokratisasikan Irak.
Sebenarnya jika kita cukup cermat, AS selalu menuding bahwa tindakan terorisme dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis Islam. Sehingga umat Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya non Muslim sering kali mengalami diskriminasi, bahkan sering kali dikucilkan dari pergaulan karena mereka (warga non muslim) merasa takut akan kehadiran umat Muslim yang bisa saja salah satunya merupakan bagian dari kelompok teroris. Saya melihat bahwa sikap AS terhadap terorisme merupakan salah satu bentuk keyakinan AS akan prediksi Samuel. P Hutington mengenai terjadinya benturan antar peradaban. Dalam bukunya yang berjudul The Clash of Cvilizations and Remaking of World Order, Hutington meramalkan bahwa akan terjadi benturan antar peradaban, yakni peradaban barat, peradaban konfusian dan peradaban Islam. Dalam risetnya, Hutington menemukan fakta-fakta bahwa perkembangan peradaban Islam dewasa ini mengalami perkembangan yang pesat. Sehingga potensi ancaman yang cukup besar bagi peradaban barat (termasuk AS) ialah datang dari peradaban Islam.
Di sisi lain negara-negara Islam banyak terletak di kawasan timur tengah, di mana kawasan ini (timur tengah) memiliki kandungan minyak bumi yang sangat banyak. Seperti kita ketahui bahwa industri-industri di AS sangat tergantung pada suplai minyak dari timur tengah. Sehingga minyak merupakan salah satu national interest yang dijadikan prioritas oleh AS. Pasca invansi AS ke Irak, perusahaan-perusahaan minyak dari AS banyak yang beroperasi di Irak. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain, Halliburton, Bechtel, Fluor, Washington Group International, Perini corporation, Parsons, Lucent dan CH2M Hill.
AS juga menganggap negara-negara Islam di timur tengah sebagai rogue states. Negara-negara tersebut diantaranya, Libya, Iran, Irak, Suriah yang selalu berupaya untuk membentuk tatanan dunia baru dan berupaya untuk melawan dominasi AS dalam percaturan hubungan internasional. Sehingga AS berupaya untuk mencegah usaha rogue states menggoyahkan dominasinya dan salah satu instrumen yang digunakan ialah mengglobalkan isu terorisme.
Dari pemaparan singkat diatas dapat kita ketahui bahwa isu terorisme yang dihembuskan oleh AS, sangat sarat akan national interest AS. Karena sebenarnya bukan tidak mungkin bahwa tindakan invansi AS ke Irak yang memakan banyak korban jiwa tak berdosa itulah yang sebenarnya yang lebih tepat disebut tindakan terorisme. Di sini kita juga dapat melihat sikap AS yang brutal terhadap negara-negara yang dituduh mensponsori atau melindungi teroris. Sehingga sikap AS ini sangat cocok dengan peribahasa maling teriak maling.