Selasa, 15 Mei 2012

Hadiah Dari Desa



KKN merupakan salah satu kado terindah ketika saya menjadi mahasiswa. Dan kado tersebut tidak bermakna tanpa kalian. Ketika saya menuliskan pengalaman ini, selalu terkenang masa-masa pada saat kita di balai desa. Terima kasih Danang atas kebijaksanaan mu ketika menjadi kordes. Terima kasih Rohman atas kesabaran mu ketika menengahi saya dan Thania yang berbeda pendapat. Terima kasih Thania dan Bunga atas masakan-masakan yang engkau persembahkan kepada kami. Terima kasih Hana, Shafrina dan Wahyu yang selalu kompak dalam masalah cuci piring.
(Gangsar Parikesit)

Mendengar kata Kuliah Kerja Nyata (KKN), mungkin yang terbersit di benak seluruh  mahasiswa yang akan menjalaninya ialah suatu kegiatan di mana mahasiswa akan menghabiskan waktu selama satu bulan setengah (namun itu juga tergantung kebijakan di masing-masing kampus) bersama teman-teman lintas jurusan , bekerjsa sama, bahu-membahu untuk memberdayakan masyarakat desa.  Terasa mudah bagi mereka (mahasiswa)  yang memang terlahir dengan kemampuan bersosialisasi cukup baik. Namun sebaliknya, kegiatan ini (KKN) menjadi seperti sebuah penyiksaan ketika dihadapkan dengan mereka yang sulit bergaul, apa lagi bagi mereka yang mengidap xenophobia.
Namun demi mendapatkan selembar kertas ijazah yang ditandatangani oleh rektor, maka mahasiswa suka tidak suka dan  mau tidak mau akan tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Entah nanti dalam pelaksanaan kegiatan tersebut menemukan sebuah potongan kebahagiaan hidup ataupun sepotong kegetiran hidup. Ya sepotong kebahagiaan hidup. Karena selama 45 hari, mereka akan  menemukan sepercik rasa. Rasa cinta. Bagaimana mungkin kegiatan KKN yang berlangsung selama 45 hari dapat dikatakan terasa begitu cepat kalau tidak ada perasaan cinta di dalamnya? Energi cinta memang sungguh luar biasa, mampu merubah semangat hidup seseorang. Mampu merubah rasa masakan yang awalnya hanya berlaukkan tahu dan tempe , menjadi seperti makan dengan berlaukkan daging asap. Yang awalnya mengalami rasa kesunyian karena sangat jauh dari keramaian, mendadak berubah menjadi keceriaan, canda dan tawa.
Sedangkan bagi mereka yang sulit untuk bergaul, sang roda waktu terasa enggan untuk bergerak. Apa lagi ketika mendapatkan kelompok yang anggotanya memiliki sifat yang berbeda-beda dan kurang mengerti akan pentingnya toleransi. Sungguh, hari demi hari akan diisi dengan keluhan demi keluhan. Apa lagi bagi sebagian mahasiswa yang memang terlahir dari latar belakang keluarga yang sangat mapan dan terbiasa hidup layaknya kaum borjuis serta tidak terbiasa hidup dalam keterbatasan, tentu beban penderitaan akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena selama pelaksanaan KKN, kita akan dihadapkan dengan kondisi apa adanya atau biasa juga disebut dengan keterbatasan.
Sebelum menjalani kegiatan KKN, bisa kita temukan adanya perbenturan antara harapan dan ketakutan. Ya, saya menyebutnya harapan ketika banyak yang berdoa agar  mendapatkan desa yang sangat dekat jaraknya dengan kota. Hal ini sangat wajar, karena daerah yang dekat dengan kota tentu peradabannya lebih modern dibandingkan daerah yang jauh dengan perkotaan. Sedangkan semakin jauh dari kota maka peradabannya akan semakin jauh tertinggal. Selain itu semakin dekat dengan kota, semakin banyak masyarakatnya yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun semakin jauh dengan perkotaan semakin sedikit masyarakatnya yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Paling tidak kalau semakin jauh dengan perkotaan yang bisa menggunakan bahasa Indonesia paling hanya perangkat desa, bidan, babinsa atau guru-guru yang kebetulan tinggal di desa. Selain itu jarak desa yang dekat dengan kota memungkinkan kita untuk dapat sering pulang untuk mengerjakan tugas kampus, mengerjakan penelitian atau sekedar menjenguk kekasih hati.
Dalam hal menjenguk kekasih hati jangan dianggap remeh, justru menjenguk kekasih hati yang ditinggalkan selama KKN menjadi lebih penting dan lebih sulit dibandingkan dengan mengerjakan tugas kampus dan penelitian. Alasan kita sedang melaksanakan KKN mungkin terasa cukup logis ketika kita telat mengumpulkan tugas-tugas kuliah. Dosen pun mungkin akan memakluminya. Namun sangat sulit menjelaskan kondisi selama KKN kepada kekasih hati. Hal ini disebabkan bagi mereka yang melaksanakan KKN dan telah memiliki kekasih hati sering kali mengalami miss comunication. Kesibukan selama pelaksanaan program-program KKN, sinyal telepon seluler yang terbatas, hingga kerekatan sesama anggota kelompok tentu mampu mematik api cemburu yang dapat berujung pada PHK (Pemutusan Hubungan Kekasih).
Namun bagaimana dengan nasib mereka yang kurang beruntung dan mendapatkan desa yang sangat terpencil? Hal ini dapat melemahkan semangat pelaksanaan KKN. Bagiamana mau bersemangat kalau di desa yang terpencil tersebut belum mendapatkan aliran listrik, sarana Mandi Cuci dan Kakus (MCK) yang tidak memenuhi standar kesehatan serta masyarakatnya yang masih bersikap konservatif. Selain itu, semakin jauh letak desa dengan perkotaan semakin berkurang juga frekuensi kita untuk dapat bertemu dengan kekasih hati.
Tidak hanya itu, jauh dari kota berarti kondisi jalan menuju desa tersebut biasanya juga sangat jelek dan jika matahari mulai terbenam jalanan menuju desa menjadi tempat mencari nafkah bagi sebagian pelaku kriminal. Hal yang tidak kalah ditakuti ialah masalah bahasa, sudah menjadi rahasia umum bahwa Jember merupakan daerah pendalungan. Dimana masyarakat Jember merupakan masyarakat pendatang (tidak ada suku asli Jember) yang di dominasi oleh pendatang dari suku Madura dan Jawa. Masyarakat Jawa lebih banyak bermukim di daerah Jember bagian selatan, sedangkan masyarakat Madura lebih banyak bermukim di daerah Jember bagian utara. Semakin jauh letak desa dan berada di daerah Jember Utara maka sudah dapat dipastikan hanya sedikit dari masyarakatnya yang bisa berbahasa Indonesia, begitu pun sebaliknya semakin jauh letak desa dan berada di daerah Jember Selatan maka sudah dipastikan mayoritas penduduknya akan berbicara dalam bahasa Jawa. Namun ada juga beberapa daerah di Jember Selatan yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura.
Oleh sebab itu, ketika mahasiswa mengisi formulir untuk mengikuti program KKN, terdapat satu pertanyaan. Pertanyaan tersebut ialah, “Bahasa daerah mana yang Anda kuasai?” Pertanyaan tersebut menjadi penting bagi pihak universitas untuk mengetahui seberapa banyak mahasiswa yang bisa berbahasa Madura dan Jawa. Selain itu bisa kita amati teman-teman yang menjadi Koordinator Desa (Kordes) ialah mereka yang mampu berbahasa Madura namun tidak menutup kemungkinan yang menjadi Kordes ialah mereka yang bisa berbahasa Jawa atau mungkin mahasiswa angkatan atas karena dianggap sebagai senior.
Setelah proses pendaftaran yang melelahkan selesai, tiba saatnya seluruh calon peserta KKN mengikuti acara pembekalan. Acara pembekalan ini bersifat wajib, sekali saja membolos untuk salah satu materi pembakalan, maka kita akan dipersilakan untuk mengikti KKN gelombang berikutnya. Pelaksanaan pembekalan dilaksanakan di sebuah gedung yang cukup tua, dengan tanaman-tanaman berakar tunggang dan berdaun lebat yang terdapat ditengah gedung tersebut menjadikan gedung tersebut tampak semakin berumur. Ya gedung itu bernama gedung Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Karena jumlah peserta KKN yang cukup banyak dan berbanding terbalik dengan kapasitas gedung yang tersedia, maka pembekalan KKN pun dibagi menjadi tiga hari.
Ada yang aneh menurut saya, seharusnya esensi dari pembekalan ialah belajar. Belajar bagaimana ketika nanti kita diterjunkan ke desa, kita tidak kaget dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat desa serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga tidak mengalami shock culture.  Namun yang saya amati, justru pembekalan dijadikan sebagai ajang perkenalan yang diharapkan berujung pada mendapatkan kekasih baru. Hal ini dapat dilihat dari percakapan-percakapan para peserta pembekalan yang menjurus kepada kegiatan mencari jodoh. “Eh coba liat cewe yang baru datang tersebut, cantik yo.” Terus pernyataan kedua ialah,Kira-kira Dia kuliah di jurusan apa ya?”. Dan pernyataan terakhir ialah berupa untaian doa yang indah, Mudah-mudahan Tuhan menginzinkan Saya dapat satu kelompok dengannya.” Percakapan ini tidak hanya terjadi pada kaum adam, namun juga kaum hawa, yang juga masih berstatus single ataupun kadang telah memiliki kekasih namun mencari ‘selingan’ karena mengalami kejenuhan dalam suatu hubungan. Oleh sebab itu sangat wajar, di hari banyak berbaurnya lawan jenis yang  berbeda-beda jurusan, aroma deodorant dan parfum pun sangat menusuk hidung.  Para peserta pembekalan berusaha tampil all out, untuk dapat menarik perhatian lawan jenisnya.
Pada saat pembekalan juga banyak mahasiswa yang masih duduk berkelompok dengan teman-teman satu jurusannya. Hal ini wajar karena manusia merasa lebih nyaman berada dalam komunitasnya dibandingkan harus menyesuaikan dengan komunitas yang baru. Ya walaupun demikian, masih banyak dari mereka yang mencuri-curi kesempatan untuk berkenalan atau bahkan bertukar-tukaran nomor  HP. Modusnya klasik, pertanyaan pertama ialah, “Mbak/Mas dari jurusan apa?” kemudian kalau yang tanya kebetulan punya teman yang satu jurusan, si penanya akan langsung melemparkan pertanyaan berikutnya,Mbak/Mas kenal tidak dengan teman Saya yang bernama .....” Ketika anda telah menemukan topik bersama maka obrolan-obrolan berikutnya akan mengalir dengan sendirinya. Mulai dari menanyakan domisili, alamat kos, hobi dan juga saling bertukar informasi mengenai tempat-tempat kuliner di Jember. Obrolan semakin disyukuri  dan tidak terasa sia-sia ketika yang ditanyai tersebut belum mempunyai tambatan hati.
Jujur saja banyak kaum adam dan kaum hawa yang belum memiliki tambatan hati akan berusaha untuk mencari pasangan melalui kegiatan KKN. Banyak orang yang bilang sih cinta lokasi. Bagaimana Cupid tidak melepaskan panah cinta dari busurnya kalau hidup satu atap namun beda kamar, makan bersama, tertawa bersama, melaksanakan program bersama. Ya dari perhatian-perhatian yang kecil dan rutin itulah dapat menimbulkan perasaan peduli yang akan meningkat menjadi perasaan cinta. Peribahasa Jawa mengatakan ‘Witing tresno jalaran soko kulino’. Kalau saya sendiri lebih senang memberikan kepanjangan dari KKN ialah ‘Kuliah Kerja Nyinta’ kalau kondisinya memang seperti itu. Tapi paling tidak KKN mampu memberikan secercah harapan bagi mahasiswa yang belum memiliki pasangan.
Bel berbunyi, kami semua dikumpulkan di sebuah ruang yang cukup besar, di dalamnya berjejer kursi-kursi yang tertata rapi. Di depan terdapat viewer dan layar putih polos. Pemateri pun datang silih berganti. Seperti biasa suasana pagi mampu mendorong untuk tetap fokus menyimak apa yang disampaikan pemateri. Namun lambat laun, konsentrasi mulai menurun.  Dan materi-materi yang disampaikan oleh pemateri mulai dianggap sebagai angin lalu. Suasana di dalam kelas juga kurang kondusif, karena jumlah peserta yang terlalu banyak. Namun walaupun membosankan seluruh mahasiswa berusaha sabar untuk mengikutinya.
Walaupun hari pelaksanaan pembekalan memang cukup panjang, karena banyak materi yang harus disampaikan kepada mahasiswa. Namun menurut saya ada hal yang tertinggal. Materi-materi pembekalan seperti, penyuluhan Keluarga Berencana (KB), koperasi, teknologi tepat guna serta kewirausahaan memang bagus dan memang sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang ada di desa, seperti memiliki banyak anak, pernikahan usia dini, rendahnya tingkat pendidikan matinya koperasi, pengolahan ladang yang sangat bersifat tradisional serta hasil ladang yang tidak melimpah dan masih banyaknya masyarakat desa yang belum berani untuk berwiraswasta.  Materi-materi tersebut memang didesain dengan permasalahan klasik di atas yang dapat ditemukan hampir di seluruh desa di Indonesia. Banyak dari kita yang menganggap bahwa masalah-masalah di atas ialah sebuah problem yang harus dipecahkan. Sehingga ketika seluruh problem tersebut dapat dipecahkan masyarakat desa akan mampu tumbuh mandiri. Banyak dari kita juga yang berpikir bahwa sifat ketradisionalan mereka (masyarakat desa) harus diubah untuk menuju masyrakat modern.
Namun sebenarnya sifat ketradisionalan masyarakat desa tidak sepenuhnya salah. Karena hakikatnya dalam suatu masyarakat tentu memiliki nilai-nilai yang dianut dan sudah mendarah daging. Di mana nilai-nilai tersebut telah disesuaikan dengan kondisi geografis mereka tinggal. Kearifan lokal. Dua kata yang sebenarnya bersifat relatif. Hal ini yang justru kurang ditekankan pada saat pembekalan. Saya menganggap untuk melakukan sebuah transformasi sosial juga tidak seharusnya meninggalkan budaya-budaya yang telah melekat kuat dalam masyarakat. Karena sudah sepantasnyalah  kita menjadikan masyarakat desa sebagai sebuah subjek dalam melaksanakan pembangunan, bukan dijadikan sebuah objek atau hanya menjadikannya percobaan dengan sistem trial and error.
Jadwal pembekalan pun berakhir, tahap berikutnya yang harus kami lalui ialah ujian pembekalan. Seperti biasa karena prasarana yang terbatas kami harus melaksanakan ujian secara bergantian. Kami diwajibkan membawa pensil 2B, karena pihak LPM menggunakan Lembar Jawab Komputer (LJK). Jumlah soalnya cukup banyak dengan waktu yang cukup sempit. Namun saya bersyukur karena soal tersebut merupakan pilihan ganda bukan essay. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa ujian pembekalan ini hanyalah sebuah formalitas belaka. Namun rumor seperti itu kebenarannya juga patut dipertanyakan, karena regulasi dari LPM mengatakan apabila nilainya kurang baik, maka diharapkan ikut KKN gelombang berikutnya. Dan ternyata faktanya ada juga sebagian mahasiswa yang tidak lulus ujian pembekalan dan terpaksa mengikuti remidial. Sungguh perbuatan yang sia-sia jika kandas dalam tahap ini.
Ujian berakhir, dan tahap berikutnya ialah pengumuman anggota kelompok dan di mana kita harus mengabdikan diri pada masyarakat. Menurut saya tahap ini merupakan tahap yang paling mendebarkan. Hampir bisa dipastikan seluruh perasaan bercampur aduk. Ada yang asik dengan imajinasinya sendiri dengan dapat berkelompok dengan yang ganteng atau dengan yang cantik, namun ada juga yang takut dengan hal sebaliknya. Namun  tidak bisa dipungkiri ialah ketakutan untuk ditempatkan di desa terpencil.
Setelah pembagian kelompok diumumkan, langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh mahasiswa yang mau KKN ialah mencari anggota kelompoknya. Hal ini biasanya dilakukan dengan saling bertukar informasi dengan kawan-kawan satu kos yang berbeda-beda jurusan. Komposisi anggota kelompok KKN biasanya terdiri dari anak kedokteran, pertanian, teknik dan ekonomi. Jurusan lainnya bisa menyesuaikan, hal ini disebabkan untuk terjun di masyarakat desa, memang yang sering dibutuhkan ialah di bidang kesehatan, teknologi, pertanian dan kesejahteraan. Namun kompisisi tersebut juga bisa berubah sesuai dengan jumlah dan proporsi mahasiswa yang mendaftar KKN.
Penerjunan pun dimulai, langkah awal mahasiswa KKN ketika berada di desa ialah berkenalan dengan perangkat desa, bidan, pak kampung (istilah untuk kepala dusun dalam bahasa Madura), babinsa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, seperti tokoh-tokoh keagamaan dan guru-guru. Selama kegiatan KKN, saya dan teman-teman  memutuskan untuk tinggal di balai desa dan menjadikan balai desa sebagai posko. Keputusan teman-teman satu kelompok (kami) untuk tinggal di balai desa dibandingkan tinggal di rumah warga karena balai desa merupakan tempat yang strategis untuk mengumpulkan masyarakat desa. Selain itu, sungkan juga jika kami harus tinggal di rumah warga desa. Balai desa yang kami tinggali tidak terlalu besar. Seperti bangunan balai desa pada umumnya bangunan balai desa terdiri dari ruang PKK, perpustakaan, kamar mandi, ruang kepala desa dan ruang administrasi. Kami memutuskan bahwa para pria tidur di ruangan perpustakaan sedangkan para wanita tidur di ruangan PKK. Ruangan PKK jauh lebih besar dibandingkan dengan ruangan perpusktakaan. Oleh sebab itu, ruangan PKK selain kami sulap  menjadi ruangan untuk tidur para wanita juga kami sulap menjadi dapur dan juga garasi. Sedangkan ruang perpustakaan kami ubah menjadi ruang kerja. Di mana printer dan alat-alat tulis, kami letakkan di dalamnya.
Gambar 1. Pengenalan Diri Kepada Warga Desa

Perlu diketahui bahwa kami telah musyawarah mufakat. Selama di desa, teman-teman wanita akan memasak. Jujur saja peran wanita dalam KKN tidak dapat dianggap remeh. Karena teman-teman wanita merupakan tulang punggung kegiatan KKN. Bolehlah teman-teman pria membanggakan diri dalam kecekatannya mengurusi kegiatan surat-menyurat, membina hubungan dengan masyarakat desa serta kesiapsiagaan ketika ada masalah-masalah di desa. Tapi itu semua tidak akan dapat berjalan ketika perut kelaparan. Oleh sebab itu menurut saya sebenarnya pada saat KKN wanita memiliki bargaining position yang lebih tinggi dibandingkan pria.
Gambar 2. Makan Pagi Bersama

Di kelompok kami juga telah disepakati bahwa para pria yang akan berurusan dengan lingkungan eksternal sedangkan para wanita mengurusi masalah-masalah domestik. Namun itu tidak bersifat kaku, karena dalam pelaksanaan KKN semua harus bersifat fleksibel agar dapat berjalan dengan lancar. Ada hal yang unik dalam dinamika kelompok kami. Bagi temen-temen wanita yang belum bisa memasak biasanya akan menempati hierarki ke dua setelah tukang masak, yakni menjadi asisten tukang masak yang bertugas untuk memotong-motong bahan makanan atau menjadi tukang cuci piring. Sedangkan para pria hanyalah menjadi tukang air, tukang parkir dan seksi sibuk yang kerjaannya mondar-mandir mengurusi keperluan KKN lainnya.
Untuk profesi sebagai tukang air sebenarnya merupakan profesi tambahan karena kondisi air di balai desa yang sangat memprihatinkan. Sumber mata air satu-satunya di balai desa kami hanyalah sebuah sumur tua dengan kedalaman hanya berkisar 7 meter dengan air yang telah terkontaminasi dengan tanah. Itu pun semakin diperparah karena sumur tua tersebut juga dijadikan sandaran hidup oleh sebuah keluarga dan dijadikan sumber mata air untuk keperluan kamar mandi sekolah yang letaknya di sebelah balai desa kami.  Jadi suka tidak suka kami harus berbagi air dan kamar mandi. Oleh sebab itu, untuk keperluan memasak sehari-hari para pria harus mengambil air dari kamar mandi umum yang berjarak sekitar 700 meter dari balai desa. Bahkan sering kali air sumur yang sangat kotor tidak bisa digunakan untuk mandi dan akhirnya kami harus mandi di kamar mandi umum.
Ketika siang berganti malam kondisi di balai desa kami sungguh sunyi senyap yang terdengar hanyalah suara jangkrik yang memecah keheningan malam. Kami kurang beruntung karena di balai desa kami tidak tersedia televisi. Suasana senyap semakin terasa karena pemandangan di depan balai desa hanyalah tanaman tebu yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa. Sehingga untuk memecah keheningan malam biasanya kami bermain kartu, ngobrol-ngobrol atau hanya menonton film. Pernah juga Kami iseng-iseng memutuskan untuk pergi ke pasar malam karena merasa suntuk berada di balai desa. Kondisi yang sunyi juga menjadikan beberapa teman wanita tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian. Sehingga setiap ke kamar mandi mereka akan pergi bersama-sama.
Gambar 3. Pasar Malam Kecamatan

Setelah beberapa hari di desa dan kami juga telah kenal dengan beberapa masyarakat desa saya dan teman-teman mulai melakukan observasi untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terdapat di desa. Hal yang paling mudah ialah dengan menanyakan kepada perangkat desa dan masyarakat. Sungguh ironi ketika saya dan kawan-kawan memiliki semangat yang membara untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa, justru saya dan kawan-kawan tidak mampu memberikan apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan ketika ditanyai mengenai apa saja yang bisa kami bantu, rata-rata masyarakat desa membutuhkan bantuan dana yang bisa mereka gunakan untuk membangun usaha atau banyak juga masyarakat desa yang menginginkan adanya pembangunan infrastruktur desa seperti perbaikan jalan, pembangunan sumur, kamar mandi umum, perbaikan mushola dan sebagainya.
Masyarakat desa beranggapan bahwa KKN identik dengan pembangunan infrasturktur. Apa lagi ketika mereka membandingkannya dengan pelaksanaan KKN yang pernah dilakukan oleh mahasiswa dari universitas lain, di mana mereka mampu membangun sebuah kamar mandi umum atau membuatkan warga desa sumur. Sedangkan kami, sepeser pun tidak ada dana dari kampus untuk pembangunan infrastruktur. Untuk melakukan KKN saja kami harus mengeluarkan dana ekstra.
Selain itu amanat dari pihak kampus kita tidak diperkenankan untuk membantu mereka dengan cara seperti itu. Pihak kampus ingin memberikan kail dan pancing bukan ikannya. Saya sangat sependapat dengan pemikiran tersebut. Karena yang masyarakat desa butuhkan ialah ilmu mengenai bagaimana cara mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di desa. Dengan pemberian ilmu akan mampu menciptakan masyarakat yang mandiri yang tidak bergantung pada pihak lain.
Alhamdulillah kami pun mampu menjelaskan alasan-alasan tersebut kepada masyarakat desa. Walaupun tidak bisa kamu pungkiri tersirat raut wajah mereka yang kecewa terhadap alasan yang kami kemukakan. Setelah melaksanakan observasi, kami pun bersepakat untuk merancang program-program yang dibutuhkan oleh masyarakat desa dan sesuai dengan bidang ilmu yang sedang kita pelajari di bangku universitas. Teman-teman saya yang berasal dari kedokteran, sastra Inggris, sastra Indonesia dan ekonomi dapat dengan mudahnya mengimplementasikan dan mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dan itu sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa. Namun naas, saya hanyalah seorang  mahasiswa FISIP, jurusan Hubungan Internasional. Ilmu apa yang bisa saya amalkan untuk masyarakat desa? Mengingat amanat dari pihak universitas ialah mahasiswa yang mengikuti kegiatan KKN dilarang mencampuri urusan politik internal desa. Pihak universitas takut terjadi kericuhan di desa kalau mahasiswa KKN memberikan pendidikan politik. Saya sangat bingung ketika mendesain program apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat desa.
Ketika saya tanyakan dengan teman-teman satu jurusan yang juga sedang mengikuti kegiatan KKN dan di tempatkan di desa lain ternyata pikiran kami sama. Mereka juga mengalami kebingungan dengan program apa yang harus mereka lakukan. Sangking bingungnya ada teman saya yang memberikan pelatihan merajut dan juga pelatihan membuat sirup jeruk bahkan ada pula yang memberikan penyuluhan mengenai cara memilah sampah. Sama seperti saya, kami yang kuliah di HI berusaha menghibur diri dan mengaitkan program yang kami laksanakan telah sesuai dengan masalah-masalah global yang ada saat ini.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat desa sebagian besar merupakan masalah-masalah nyata dan  sederhana yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari bukan masalah skala internasional. Masyarakat desa tentunya lebih tertarik dengan masalah kesehatan, seperti diare, ibu hamil dan menyusui. Masalah-masalah pertanian seperti mencari cara agar ladang mereka tidak gagal panen oleh hama, atau masalah-masalah mengenai pengembangan wirausaha. Mereka tidak tertarik dan peduli dengan apa itu revolusi Mesir, meningkatnya ketegangan hubungan antara Cina dan Amerika, gelombang demokratisasi di Timur Tengah dan kejadian-kejadian internasional lainnya yang jelas-jelas tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Dan sayapun malu ketika tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh masyarakat desa seperti pertanyaan “Mas potensi desa kita kaya tapi kita kok tidak sejahtera-sejahtera ya?”
Setelah berpikir cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk memberikan penyuluhan teknologi informasi kepada siswa SD. Saya pun sebenarnya berpikir apa korelasi program tersebut (penyuluhan teknologi informasi) dengan jurusan saya. Hmmm sedikit memaksakan mungkin ketika nanti ditanyakan oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) mengenai program yang saya lakukan dan alasan mengapa memilih program tersebut, saya akan menjelaskan bahwa dunia saat ini telah menjadi global village di mana teknologi informasi memegang peranan penting. Padahal sebenarnya anak-anak SD yang saya beri penyuluhan tidak peduli apa itu globalisasi dan segala macam tetek bengeknya. Mereka hanya tertarik dengan note book dan  net book yang ada di depannya, itu saja. Apa lagi ketika mereka di berikan kesempatan untuk bermain video games, wah mereka senang sekali, mungkin ketika mereka tidur di malam hari, mereka masih memimpikan agar bisa bermain lagi esok harinya. Mereka kebanyakan belum pernah melihat secara langsung note book dan net book. Mereka hanya mengetahuinya lewat layar kaca. Diberikan kesempatan untuk mengoperasionalkan note book dan net book merupakan hal yang mewah bagi mereka. Sehingga mereka sangat antusias dengan program yang saya selenggarakan.
Salah satu pengalaman mahal yang saya dapat ketika berada di desa ialah, bagaimana peran kegiatan keagamaan yang mampu mengalahkan pendidikan formal. Di sini bukan berarti saya meremehkan kegiatan keagamaan, namun kegiatan keagamaan yang mampu mengalahkan pendidikan formal ialah persiapan lomba dan acara kelulusan untuk sekolah agama. Kegiatan tersebut dinamakan imtihan (kelulusan sekolah agama dan perayaan keagamaan yang dijadikan satu). Saya pernah mengalami kegiatan imtihan menjadi kendala pada saat ingin melaksanakan program penyuluhan di SD mengenai pola hidup bersih dan sehat, gemar menabung sejak dini, serta pelatihan pembuatan pusi dan pantun.
Saya dan kawan-kawan sangat kaget karena jumlah murid berkurang drastis. Karena rasa penasaran, kami pun memberanikan diri untuk menanyakannya kepada kepala sekolah. Kepala sekolah menjelaskan bahwa di sini, adalah hal yang wajar ketika akan ada acara kelulusan sekolah agama yang mana di dalamnya juga diadakan acara pawai obor dan lomba tari. Banyak siswa yang lebih tertarik dan memprioritaskan persiapan kegiatan tersebut dibandingkan dengan bersekolah.
Kepala sekolah dan guru-gurupun seperti tidak berkuasa untuk melarang anak-anak untuk tidak membolos sekolah. Bagaimana larangan kepala sekolah dan guru-guru didengar, kalau orang tua mereka justru mendukung anak-anak mereka untuk mempersiapkan acara imtihan dibandingkan melihat anaknya berangkat ke sekolah. Memang kultur budaya masyarakat desa di tempat saya sangat memprioritaskan keagamaan dibandingkan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Gambar 4. Acara Pawai Obor Imtihan

Pengalaman berharga lainnya kami peroleh ketika kami akan melaksanakan program pola hidup bersih dan sehat, gemar menabung, pelatihan pembuatan puisi dan pantun serta pelatihan jurnalistik di sebuah MTS. Bangunan MTS ini masih terlihat baru. Ketika kami memasuki halamannya dan menyusuri ruang-ruang kelas di dalamnya kami sangat terkejut ketika kami melihat sebuah simbol yang menandakan gedung MTS ini dibangun melalui kerja sama antara pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Agama.
Namun gedung yang baru itu justru tidak dimanfaatkan secara optimal. Hal ini kami ketahui ketika kepala sekolahnya bercerita tentang bagaimana sulitnya beliau dan rekan guru mencari murid untuk bersekolah di sini. “Begini Dek, yang bersekolah di sini kebanyakan ialah siswa lapis dua.” “Maksudnya siswa lapis dua Pak?” “Iya Dek, kebanyakan yang bersekolah di sini ialah siswa-siswa yang tidak diterima di MTS kecamatan.” “Kebanyakan orang tua di sini kalau anaknya gak diterima di MTS kecamatan maka anak-anak diminta membantu pekerjaan orang tua di sawah.” “Bahkan untuk membujuk orang tua mereka agar anaknya disekolahkan di sini Kami harus pergi dari pintu ke pintu.” “Oleh sebab itu Adik-adik jangan heran ya, kalau mereka sedikit nakal.” Dan ternyata ketika kami memberikan penyuluhan mereka memang sangat hiper aktif. Saya sedikit memakluminya itu mungkin akibat dari paksaan. Paksaan dari pihak sekolah dan orang tua agar anaknya tetap mau bersekolah.
Lewat KKN juga, saya dan teman-teman berkesempatan merasakan enaknya menjadi seorang seleb. Merasakan bagaimana rasanya dari jarak sekitar 100 meter kedatangan kami ke sekolah dielu-elukan oleh siswa-siswa SD. Dari jarak jauh pun kami bisa mendengar suara teriakan mereka yang berteriak-teriak “KKN-KKN” kemudian berlari berhamburan keluar kelas tanpa mempedulikan gurunya yang sedang mengajar dan menyalami kami satu per satu. Benar kata Agama Islam, Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu.
Gambar 5. Penyuluhan di SDN 01 Arjasa

Ketakjuban saya juga datang pada saat saya dan kawan-kawan pria diundang untuk mengikuti pengajian di padukuhan (salah satu penyebutan daerah di desa mungkin setara dengan gabungan beberapa RW). Pengajian tersebut dilaksanakan di rumah salah satu masyarakat. Jalan menuju tempat pengajian sangat gelap sekali karena memang tidak ada penerangan. Ketika tiba di rumah masyarakat kami disambut oleh masyarakat desa yang telah datang terlebih dahulu. Kami bertiga mengucapkan salam, kemudian kami menyalami peserta pengajian yang telah datang lebih dahulu. Setelah itu kami bertiga mencari tempat kosong dan duduk bersila.
Setelah masyarakat berkumpul pengajian pun dimulai. Saya sempat kebingungan ketika pengajian akan dimulai karena tidak ada buku surah Ya’sin yang dibagikan kepada peserta pengajian. Hal ganjil lainnya ialah pengajian dilakukan dengan penerangan yang sangat minimal. Saya sempat berpikir apa ini merupakan salah satu cara agar pengajian lebih khusyuk? Namun saya mencoba sabar dan menunggu bagaimana pengajian tersebut dilaksanakan. Dan ternyata hampir seluruh peserta pengajian hapal surah Ya’sin. Kebanyakan masyarakat desa memang sudah hapal Surah yang berisi 83 ayat dan diturunkan di Mekkah tersebut. Saya merasakan pengetahuan saya mengenai teori realisme, liberalisme, kapitalisme, komunisme, globalisasi, demokratisasi yang telah saya dapatkan selama hampir 3 tahun di kampus sia-sia belaka ketika dihadapkan dengan hapalan surah Ya’sin.
Gambar 6. Pengajian di Padukuhan

Pengajianpun berakhir dan banyak masyarakat desa yang mulai mengeluhkan mengenai kehidupan mereka. Saya mendapat keluhan-keluhan yang sangat mendasar, seperti permasalahan Koperasi Unit Desa (KUD). “KUD di sini aneh” tutur salah satu masyarakat desa. “Aneh kenapa Pak?”, “Begini Cong (panggilan dalam bahasa Madura untuk anak laki-laki) kita masyarakat desa sebagai anggota KUD tidak merasakan manfaat adanya KUD.” “Di KUD kebutuhan-kebutuhan pertanian serba mahal, bahkan lebih mahal jika dibandingkan dengan  toko pertanian yang ada di kecamatan.” “Seharusnya anggota koperasikan mendapat potongan harga dan sisa hasil usaha?” “Namun Kita tidak merasakannya?” Saya langsung berpikir mencari jawaban untuk keluhan tersebut. Ketika ingin mencoba menjawabnya,tiba-tiba  salah seorang pamong tani berujar, “Begini Cong, apa mungkin di dalam KUD terdapat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)?” “Maksud Bapak?” timpal Saya. “Engkih Cong, banyak keganjilan selain itu masalah Kredit Usaha Tani (KUT) juga macet.” “Padahal yang Saya dengar dari pemerintah, pemerintah memberikan bantuan KUT ke desa-desa dengan cara pengajuan yang mudah.” “Tapi di sini Kami susah untuk mendapatkannya.” Saya berpikir apakah bahaya laten KKN juga merambah hingga pedesaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut belum sempat saya jawab, namun salah seorang masyarakat kembali mengungkapkan keluh kesahnya, “Cong, kenapa ya Kita kok gak bisa sejahtera, padahal potensi desa kita bagus, program-program mahasiswa KKN juga bagus untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat desa.”
Saya sempat mengalami dilema. Apakah harus menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat desa namun menabrak peraturan yang telah ditetapkan pihak universitas dengan tidak boleh memberikan pendidikan politik kepada masyarakat desa. Atau saya harus diam saja dan berkata tidak tahu kepada masyarakat desa demi menjalankan peraturan yang diberikan oleh pihak universitas namun itu membohongi hati nurani saya. Akhirnya saya memilih pilihan pertama, tidak apalah saya melanggar peraturan dari universitas, masyarakat desa ini mungkin harus mengetahui hal yang sebenarnya mengenai kemiskinan.
“Pak, ada yang harus Bapak ketahui mengenai kemiskinan.” “Dalam kemiskinan ada yang namanya kemiskinan struktural.” “Di mana dalam kemiskinan struktural memang struktur masyarakatlah yang tidak bisa menjadikan orang miskin bisa menjadi kaya dan orang kaya akan selalu tetap kaya.” “Sebagai contoh ialah pada masyarakat agraris yang masih menerapkan sistem feodalisme.” “Cong apa itu feodalisme?” “Feodalisme itu hubungan antara tuan tanah dan buruh tani Pak.” “Atau bisa juga kita ambil contoh dalam masyarakat nelayan.” “Di mana para nelayan yang sangat bergantung pada pemilik kapal dengan pembagian hasil tangkapan ikan yang sangat tidak adil.” Tak terasa mulut ini berbicara banya hal dan tanpa saya sadari secara tidak langsung saya memberikan pemahaman Marxisme ke masyarakat desa.
Kedua teman saya yang duduk bersila di samping saya hanya bisa menyenggol-nyenggol lutut sayadengan lutut mereka sambil membisikkan “Sar jangan diteruskan, takut nanti terjadi kisruh.” “Tidak apa InsyaAllah tidak ada masalah.” Sambil meneguk kopi cleng (hitam) yang disediakan oleh tuan rumah Saya terus mendengarkan keluhan masyarakat. “Cong, ada hal aneh lainnya, Kami di sini setiap bulan selalu membayar iuran untuk perairan, tapi hingga kini air juga tidak kunjung mengalir ke rumah Kami.”
Saya hanya bisa tertegun mendengarkan keluhan tersebut. Prediksi ku dan teman-teman ternyata keliru. Selama ini kami mengira bahwa kebiasaan MCK masyarakat desa di kali ialah disebabkan dengan tingkat pendidikan mereka (masyarakat desa) yang rendah dan mereka tidak mengetahui mengenai kebersihan. Ternyata persepsi itu salah kaprah, mereka melakukan MCK di kali karena terpaksa, air tidak mengalir ke rumah mereka.
Keluhan masyarakat pun kembali diutarakan kepada kami bertiga, “Cong, sebenarnya Kami telah mengetahui dan merasakan ketidakberesan kepepimpinan pak Tinggi (kepala desa).” “Tapi apa daya, Kami hanyalah masyarakat kecil yang tidak bisa menyampaikan keluhan tersebut kepada pak Tinggi, kalau di temani oleh adik-adik ini Kami jadi berani.”
Teringat jelas diingatanku ketika dengan bangganya Pak Sekretaris Desa (Sekdes) menceritakan keberhasilan kebijakannya perihal pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). “Di sini raskin dibagikan rata kepada seluruh masyarakat desa dek.” “Lho kok  bisa Pak?” “Bukannya raskin itu untuk keluarga miskin dan di desa ini kan tidak semuanya masyarakat miskin Pak.” Saya masih teringat  jelas ketika Pak Sekdes mengutarakan hal yang tidak logis menurut nalarku. “Gini Dek kalau yang dapat raskin hanya keluarga miskin, nanti ketika ada program-program desa seperti kerja bakti, mereka yang tidak mendapat raskin tidak mau hadir.” “Nanti mereka (yang tidak dapat raskin) biasanya bilang Kami kan tidak mendapat raskin.” “Jadi silahkan yang bekerja bakti ialah mereka yang mendapatkan raskin.” Saya langsung bersikap apriori terhadap alasan yang dikemukakan oleh Pak Sekdes. Apa alasan itu hanyalah sebuah kamuflase agar Pak Sekdes dan perangkat desa lainnya juga dapat menikmati raskin.
Melihat raut muka masyarakat desa yang mengeluhkan banyaknya beban hidup yang sedang mereka panggul membuat hati saya sedih. Ingin sekali saya melakukan advokasi terhadap permasalahan mereka. Namun apa daya saya hanyalah seorang mahasiswa yang masih sangat tersandera dengan regulasi-regulasi kampus. Dengan berat hati saya mengatakan, “Bapak-bapak maaf Kami tidak dapat membantu lebih banyak.” “Dari pihak kampus kami diamanatkan untuk tidak mencampuri urusan internal desa, apalagi memberikan pendidikan politik.” Setelah saya meneguk habis kopi cleng yang disediakan oleh tuan rumah, kami pun pamit. Di dalam perjalanan saya berpikir bahwa sungguh berat beban yang harus ditanggung oleh masyarakat desa. Namun terkadang senyum tanpa pamrih mereka selalu mengembang ketika kami berpapasan di jalan.
Tak terasa, kami telah melalui kegiatan KKN hampir satu bulan. Salah satu kenikmatan lainnya ialah kami diberikan kesempatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk melaksanakan ibadah puasa di desa. Hampir di setiap malam sebelum sahur saya dan teman-teman bisa mendengarkan suara anak-anak yang berkeliling desa membangunkan warga agar tidak telat melaksanakan ibadah sahur. Namun terkadang, saya merasa bahwa anak-anak desa terlalu bersemangat ketika membangunkan kami sahur. Bagaimana tidak bersemangat, lha sekitar jam dua mereka membangunkan kami untuk sahur. Walaupun bulan puasa, masih ada beberapa program kelompok kami yang belum selesai, salah satunya ialah pelatihan pembuatan keripik pepaya dan pembuatan shampo dari biji pepaya. Program mandiriku mengenai pelatihan teknologi informasi dan program mandiri kordesku mengenai english club  juga belum selesai semua. Namun perlahan tapi pasti, kami semua telah selesai melaksanakan seluruh program yang kami agendakan untuk memberdayakan masyarakat desa. Selain itu kami juga mulai menyusun laporan kelompok dan individu sebagai bentuk pertanggungjawaban mahasiswa KKN.
Gambar 7. Pelatihan Pembuatan Keripik Pepaya

Ada satu kenyamanan yang saya rasakan ketika menjalani ibadah sahur di desa pada saat KKN. Kalau selama kuliah saya dan teman-teman satu kosan harus bangun sekitar jam dua atau bahkan jam satu untuk berburu makan sahur di sekitar kampus, selama KKN, saya biasanya akan dibangunkan oleh teman-teman wanita. Saya sangat rindu dengan suara Thania dan Bunga yang membangunkan saya sahur. Dengan suara khasnya Thania dan Bunga biasanya berkata,“Geng, bangun, ayo sahur.” Saya juga sangat merindukan suara alarm khas dari HP Rohman agar kami tidak telat sahur atau bahkan saya sering mendengar suara dering HP Rohman yang dibangunkan oleh pacarnya. Yang tak kalah ngangenin ialah suasana bersama Danang di warung kopi di kecamatan Sukowono.
Tidak terasa hampir 45 hari kami di desa. Untuk acara perpisahan dengan warga desa, saya dan teman-teman memiliki acara sederhana saja, yakni berbuka puasa dengan perangkat desa, tokoh masyarakat dan anak-anak yatim piatu. Selain itu mendekati tanggal 17 Agustus, kami anak KKN satu kecamatan diundang oleh petugas kecamatan untuk ikut dalam acara renungan suci. Acara renungan suci dilaksanakan pada tengah malam 17 Agustus di Taman Makam Pahlawan kecamatan.
KKN memberikan saya banyak pelajaran hidup berharga. KKN memberikan saya keluarga baru. Keluarga harmonis. Keluarga yang terkadang terdapat konflik di dalamnya, namun kami segera saling memaafkan dan memahami. Keluarga yang hingga saat ini masih harmonis karena kami selalu berusaha untuk tetap menjalin komunikasi. KKN juga memberikan saya pelajaran agar dapat lebih bijak dalam menjalani hidup. Senyuman tulus warga desa. Sapaan hangat dari anak-anak SD dan MTS. Acara keagamaan yang sederhana namun berkesan. KKN juga memberikan saya pelajaran lainnya, bahwa kelak ketika saya menjadi pemimpin, saya harus bisa mensejahterakan rakyat dan menjadi pelayan bagi rakyat, bukan sebaliknya menjadi pemimpin yang hidup bahagia di atas penderitaan rakyatnya.















Senin, 14 Mei 2012

Pendidikan Yang Membebaskan


Pendidikan dan penindasan, dua kata yang sebenarnya memiliki sebuah keterkaitan yang sangat erat. Keeratan kedua kata tersebut (pendidikan dan penindasan) dapat kita ketahui dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang sarat dengan penindasan ialah proses pendidikan di mana peserta didik hanya dijadikan sebagai objek yang harus dibantu oleh pengajar. Sebagian pengajar mungkin beranggapan bahwa dirinya lah orang yang memiliki pengetahuan dibandingkan dengan peserta didik, sehingga mereka (pengajar) sering kali menganggap bahwa peserta didik yang baik, ialah peserta didik yang mudah diisi (diajarkan) tanpa mengkritis apa yang disampaikannya dan peserta didik yang kritis merupakan peserta didik yang bermasalah dan harus segera ditanggulangi. Penindasan yang dibungkus dengan pendidikan dapat kita ketahui dari proses belajar mengajar yang di dalamnya tidak ada proses dialog antara pengajar dan peserta didik. Selain itu, dalam proses belajar mengajar, sering kali pengajar menghalangi kreativitas para peserta didik. Tentu kita tidak asing lagi dengan sebuah kejadian di mana pengajar memarahi peserta didiknya hanya karena peserta didiknya terlalu kritis.
Oleh sebab itu, saat ini dalam dunia pendidikan mulai marak dengan konsep Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan proses pembelajaran aktif yang berpusat pada penyelidikan dan mencari sebuah solusi dari suatu masalah. Dalam pembelajaran ini, (PBL) peserta didik dituntut untuk lebih aktif, sedangkan pengajar menjadi fasilitator. Dalam praktiknya, pembelajaran ini didesain dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil, di mana peserta didik diberikan beberapa permasalahan yang harus dipecahkan. PBL mulai dikenal pada akhir tahun 1960, di sekolah kedokteran Universitas Mc Master di Kanada.[1] Tidak lama kemudian, Universitas Limburg di Maastricht Belanda menjadi pionir dalam pengembangan sistem pembelajaran PBL di Eropa dan hingga saat ini, Belanda telah mendapat pengakuan internasional sebagai negara yang memiliki terobosan dalam PBL. Dengan sistem pembelajaran ini, peserta didik di Belanda menjadi lebih kreatif karena peserta didik diberikan studi kasus yang harus dipecahkan. Selain itu, diskusi-diskusi di kelas pun akan menjadi lebih hidup karena pengajar memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berdiskusi dan mengemukakan argumen mereka (peserta didik). Keberhasilan sistem pembelajaran PBL di Belanda, menjadikan empat universitas Belanda yaitu, Universitas Utrecht (68),  Universitas Wageningen (75), Universitas Leiden (79) dan Universitas Amsterdam (92) berada dalam jajaran 100 universitas terbaik di dunia versi times higher education.[2]
Gambar 1. Suasana PBL Di Universitas Maastricht Belanda

Apa yang terjadi di Belanda sepertinya masih sangat jauh untuk dapat diterapkan di Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia masih terkungkung dengan sebuah tradisi di mana dalam proses belajar mengajar di ruang kelas, peserta didik masih memposisikan seorang pengajar bukan sebagai teman dialog, tetapi lebih sebagai ‘pencurah pengetahuan’. Apa lagi dengan adanya kebijakan Ujian Nasional (UN) yang menjadikan siswa, keluaraga siswa dan bahkan gurunya sendiri menjadi ketar-ketir dalam menghadapi UN. Karena dengan sistem UN, maka kelulusan siswa sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kemampuan komputer dalam menilai jawaban siswa. Terlalu riskan untuk menggantungkan nasib seorang siswa kepada komputer. Selain itu, standar kelulusan yang diterapkan sama bagi seluruh siswa Indonesia menjadi sangat tidak adil ketika hingga saat ini, masih ada kesenjangan dalam infrastruktur pendidikan. Padahal sejatinya pendidikan bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan bukan untuk melanggengkan penindasan.