KKN merupakan salah satu kado terindah ketika saya menjadi mahasiswa. Dan
kado tersebut tidak bermakna tanpa kalian. Ketika saya menuliskan pengalaman
ini, selalu terkenang masa-masa pada saat kita di balai desa. Terima kasih
Danang atas kebijaksanaan mu ketika menjadi kordes. Terima kasih Rohman atas
kesabaran mu ketika menengahi saya dan Thania yang berbeda pendapat. Terima
kasih Thania dan Bunga atas masakan-masakan yang engkau persembahkan kepada
kami. Terima kasih Hana, Shafrina dan Wahyu yang selalu kompak dalam masalah
cuci piring.
(Gangsar Parikesit)
Mendengar kata Kuliah Kerja Nyata (KKN), mungkin yang terbersit di benak
seluruh mahasiswa yang akan menjalaninya
ialah suatu kegiatan di mana mahasiswa akan menghabiskan waktu selama satu
bulan setengah (namun itu juga tergantung
kebijakan di masing-masing kampus) bersama teman-teman lintas jurusan , bekerjsa sama, bahu-membahu untuk memberdayakan
masyarakat desa. Terasa mudah bagi mereka (mahasiswa) yang memang terlahir dengan kemampuan bersosialisasi
cukup baik. Namun sebaliknya, kegiatan ini
(KKN) menjadi seperti sebuah penyiksaan ketika dihadapkan dengan mereka yang
sulit bergaul, apa lagi bagi mereka yang mengidap xenophobia.
Namun demi mendapatkan selembar kertas ijazah yang
ditandatangani oleh rektor, maka mahasiswa suka tidak suka dan mau tidak mau akan tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Entah nanti dalam
pelaksanaan kegiatan tersebut menemukan sebuah potongan kebahagiaan hidup
ataupun sepotong kegetiran hidup. Ya sepotong kebahagiaan hidup. Karena selama
45 hari, mereka akan menemukan sepercik rasa. Rasa cinta. Bagaimana
mungkin kegiatan KKN yang berlangsung selama 45 hari dapat dikatakan terasa
begitu cepat kalau tidak ada perasaan cinta di dalamnya? Energi cinta memang
sungguh luar biasa, mampu merubah semangat hidup seseorang. Mampu merubah rasa
masakan yang awalnya hanya berlaukkan tahu
dan tempe , menjadi seperti makan dengan berlaukkan daging asap. Yang awalnya mengalami rasa
kesunyian karena sangat jauh dari keramaian, mendadak berubah menjadi keceriaan, canda dan tawa.
Sedangkan bagi mereka yang sulit untuk bergaul, sang roda waktu terasa
enggan untuk bergerak. Apa lagi ketika mendapatkan kelompok yang anggotanya
memiliki sifat yang berbeda-beda dan kurang mengerti akan pentingnya
toleransi. Sungguh, hari demi hari akan
diisi dengan keluhan demi keluhan. Apa lagi bagi sebagian mahasiswa yang memang
terlahir dari latar belakang keluarga yang sangat mapan dan
terbiasa hidup layaknya kaum borjuis serta tidak terbiasa hidup dalam
keterbatasan, tentu beban penderitaan
akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena
selama pelaksanaan KKN, kita akan dihadapkan dengan
kondisi apa adanya atau biasa juga disebut dengan keterbatasan.
Sebelum menjalani kegiatan KKN, bisa kita temukan adanya perbenturan
antara harapan dan ketakutan. Ya, saya menyebutnya harapan ketika banyak yang berdoa agar mendapatkan
desa yang sangat dekat jaraknya dengan kota. Hal ini sangat wajar, karena daerah yang dekat dengan kota tentu peradabannya lebih modern dibandingkan daerah
yang jauh dengan perkotaan. Sedangkan semakin jauh dari kota maka peradabannya akan
semakin jauh tertinggal. Selain itu semakin dekat dengan kota, semakin banyak
masyarakatnya yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun semakin
jauh dengan perkotaan semakin sedikit masyarakatnya yang mampu berkomunikasi
dengan bahasa Indonesia. Paling tidak kalau semakin jauh
dengan perkotaan yang bisa menggunakan bahasa Indonesia paling hanya perangkat
desa, bidan, babinsa atau guru-guru yang kebetulan tinggal di desa. Selain itu jarak desa yang dekat dengan kota
memungkinkan kita untuk dapat sering pulang untuk mengerjakan tugas kampus,
mengerjakan penelitian atau sekedar menjenguk kekasih hati.
Dalam hal menjenguk kekasih hati jangan dianggap remeh, justru menjenguk kekasih hati yang
ditinggalkan selama KKN menjadi lebih penting dan lebih
sulit dibandingkan dengan mengerjakan tugas kampus dan penelitian. Alasan kita sedang melaksanakan KKN
mungkin terasa cukup logis ketika
kita telat mengumpulkan tugas-tugas kuliah. Dosen
pun mungkin akan memakluminya. Namun sangat sulit menjelaskan kondisi selama
KKN kepada kekasih hati. Hal ini disebabkan bagi
mereka yang melaksanakan KKN dan telah memiliki kekasih hati sering kali
mengalami miss comunication. Kesibukan selama pelaksanaan
program-program KKN, sinyal telepon
seluler yang terbatas, hingga kerekatan sesama anggota
kelompok tentu mampu mematik api cemburu yang
dapat berujung pada PHK (Pemutusan Hubungan Kekasih).
Namun bagaimana dengan nasib mereka yang kurang
beruntung dan mendapatkan desa yang sangat terpencil? Hal ini dapat melemahkan
semangat pelaksanaan KKN. Bagiamana mau bersemangat kalau di desa yang
terpencil tersebut belum mendapatkan aliran listrik, sarana Mandi Cuci dan Kakus (MCK)
yang tidak memenuhi standar kesehatan serta masyarakatnya yang masih bersikap
konservatif. Selain itu, semakin jauh letak desa dengan perkotaan semakin
berkurang juga frekuensi kita untuk dapat bertemu dengan kekasih hati.
Tidak hanya itu, jauh dari kota berarti kondisi
jalan menuju desa tersebut biasanya juga sangat jelek dan
jika matahari mulai terbenam jalanan menuju desa menjadi tempat mencari
nafkah bagi sebagian pelaku kriminal. Hal yang tidak kalah ditakuti ialah
masalah bahasa, sudah menjadi rahasia umum bahwa Jember merupakan daerah
pendalungan. Dimana masyarakat Jember merupakan masyarakat pendatang (tidak ada suku asli Jember) yang di dominasi oleh
pendatang dari suku Madura dan Jawa. Masyarakat Jawa lebih banyak bermukim di daerah Jember bagian selatan, sedangkan masyarakat Madura
lebih banyak bermukim di daerah Jember bagian utara. Semakin jauh letak desa dan
berada di daerah Jember Utara maka sudah dapat dipastikan hanya sedikit dari
masyarakatnya yang bisa berbahasa Indonesia, begitu pun sebaliknya semakin jauh letak desa dan berada di
daerah Jember Selatan maka sudah dipastikan mayoritas penduduknya akan
berbicara dalam bahasa Jawa. Namun ada juga beberapa daerah di Jember Selatan
yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura.
Oleh sebab itu, ketika mahasiswa mengisi formulir untuk mengikuti program KKN, terdapat satu pertanyaan.
Pertanyaan tersebut ialah, “Bahasa daerah mana yang Anda kuasai?” Pertanyaan tersebut menjadi penting
bagi pihak universitas untuk mengetahui seberapa banyak mahasiswa yang bisa
berbahasa Madura dan Jawa. Selain
itu bisa kita amati teman-teman yang menjadi Koordinator Desa (Kordes) ialah
mereka yang mampu berbahasa Madura namun tidak menutup kemungkinan yang menjadi Kordes ialah
mereka yang bisa berbahasa Jawa atau mungkin mahasiswa angkatan atas karena
dianggap sebagai senior.
Setelah proses pendaftaran yang melelahkan selesai, tiba saatnya seluruh
calon peserta KKN mengikuti acara pembekalan. Acara pembekalan ini bersifat
wajib, sekali saja membolos untuk salah satu materi pembakalan, maka kita akan dipersilakan
untuk mengikti KKN gelombang berikutnya. Pelaksanaan pembekalan
dilaksanakan di sebuah gedung yang cukup tua, dengan tanaman-tanaman berakar
tunggang dan berdaun lebat yang terdapat ditengah gedung tersebut menjadikan gedung tersebut tampak semakin
berumur. Ya gedung itu bernama gedung Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Karena jumlah peserta KKN yang cukup banyak dan berbanding
terbalik dengan kapasitas gedung yang tersedia, maka pembekalan
KKN pun dibagi menjadi tiga hari.
Ada yang aneh menurut saya, seharusnya esensi
dari pembekalan ialah belajar. Belajar bagaimana ketika nanti kita diterjunkan ke desa, kita tidak kaget dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat desa serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga tidak mengalami shock culture. Namun yang saya amati, justru pembekalan dijadikan sebagai ajang perkenalan yang diharapkan
berujung pada mendapatkan kekasih baru. Hal ini dapat dilihat dari percakapan-percakapan para peserta pembekalan yang menjurus kepada kegiatan mencari jodoh. “Eh coba liat cewe yang baru datang
tersebut, cantik yo.”
Terus pernyataan kedua ialah, “Kira-kira
Dia kuliah di jurusan apa ya?”. Dan pernyataan terakhir ialah
berupa untaian doa yang indah, “Mudah-mudahan Tuhan menginzinkan Saya dapat satu kelompok dengannya.” Percakapan ini tidak
hanya terjadi pada kaum adam, namun juga kaum hawa, yang juga masih berstatus single ataupun kadang telah memiliki kekasih namun mencari
‘selingan’ karena mengalami kejenuhan dalam suatu hubungan. Oleh sebab itu sangat wajar, di hari banyak berbaurnya lawan
jenis yang berbeda-beda jurusan, aroma deodorant dan parfum pun sangat menusuk
hidung. Para peserta pembekalan berusaha
tampil all out, untuk dapat menarik
perhatian lawan jenisnya.
Pada saat pembekalan juga banyak mahasiswa yang masih duduk berkelompok dengan teman-teman satu jurusannya. Hal ini wajar karena manusia
merasa lebih nyaman berada dalam komunitasnya dibandingkan harus menyesuaikan
dengan komunitas yang baru. Ya walaupun demikian, masih banyak dari mereka yang
mencuri-curi kesempatan untuk berkenalan atau
bahkan bertukar-tukaran nomor HP. Modusnya klasik, pertanyaan pertama ialah, “Mbak/Mas
dari jurusan apa?” kemudian kalau yang tanya kebetulan punya teman yang satu
jurusan, si penanya akan langsung melemparkan
pertanyaan berikutnya, “Mbak/Mas kenal tidak dengan teman Saya yang bernama .....” Ketika anda telah menemukan topik bersama
maka obrolan-obrolan berikutnya akan mengalir dengan sendirinya. Mulai dari menanyakan
domisili, alamat kos, hobi dan juga saling bertukar informasi mengenai
tempat-tempat kuliner di Jember. Obrolan semakin disyukuri dan tidak terasa sia-sia ketika yang ditanyai tersebut belum mempunyai
tambatan hati.
Jujur saja banyak kaum adam dan kaum hawa yang belum memiliki tambatan
hati akan berusaha untuk mencari pasangan melalui kegiatan KKN. Banyak orang
yang bilang sih cinta lokasi. Bagaimana Cupid tidak melepaskan panah cinta dari
busurnya kalau hidup satu atap namun beda kamar, makan bersama, tertawa
bersama, melaksanakan program bersama. Ya dari perhatian-perhatian yang kecil
dan rutin itulah dapat menimbulkan perasaan peduli yang akan meningkat menjadi perasaan cinta. Peribahasa Jawa mengatakan ‘Witing tresno jalaran soko kulino’. Kalau saya sendiri lebih senang memberikan
kepanjangan dari KKN ialah ‘Kuliah Kerja Nyinta’
kalau kondisinya memang seperti itu. Tapi paling tidak KKN mampu memberikan secercah
harapan bagi mahasiswa yang belum memiliki pasangan.
Bel berbunyi, kami semua dikumpulkan di sebuah
ruang yang cukup besar, di dalamnya berjejer kursi-kursi yang tertata rapi. Di
depan terdapat viewer dan layar putih polos. Pemateri pun datang silih berganti.
Seperti biasa suasana pagi mampu mendorong untuk tetap fokus menyimak apa yang disampaikan pemateri. Namun lambat laun, konsentrasi mulai
menurun. Dan materi-materi yang
disampaikan oleh pemateri mulai dianggap sebagai angin lalu. Suasana di dalam kelas juga kurang kondusif, karena jumlah
peserta yang terlalu banyak. Namun walaupun membosankan seluruh mahasiswa
berusaha sabar untuk mengikutinya.
Walaupun hari pelaksanaan pembekalan memang cukup panjang, karena banyak
materi yang harus disampaikan kepada mahasiswa. Namun menurut saya ada hal yang tertinggal. Materi-materi pembekalan seperti,
penyuluhan Keluarga Berencana (KB), koperasi, teknologi tepat guna serta
kewirausahaan memang bagus dan memang sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang ada di desa,
seperti memiliki banyak anak, pernikahan usia dini, rendahnya tingkat
pendidikan matinya koperasi, pengolahan ladang yang sangat bersifat tradisional
serta hasil ladang yang tidak melimpah dan masih banyaknya masyarakat desa yang
belum berani untuk berwiraswasta. Materi-materi
tersebut memang didesain dengan permasalahan klasik di atas yang dapat ditemukan hampir di
seluruh desa di Indonesia. Banyak dari kita yang
menganggap bahwa masalah-masalah di atas ialah sebuah problem yang harus dipecahkan. Sehingga ketika seluruh problem tersebut dapat dipecahkan masyarakat desa akan mampu tumbuh mandiri. Banyak dari kita juga yang berpikir bahwa sifat ketradisionalan mereka (masyarakat desa) harus diubah untuk menuju masyrakat modern.
Namun sebenarnya sifat ketradisionalan masyarakat desa
tidak sepenuhnya salah. Karena hakikatnya dalam suatu masyarakat tentu memiliki
nilai-nilai yang dianut dan sudah mendarah daging. Di mana nilai-nilai tersebut telah disesuaikan dengan kondisi
geografis mereka tinggal. Kearifan lokal. Dua kata yang sebenarnya bersifat
relatif. Hal ini yang justru kurang ditekankan pada saat pembekalan. Saya
menganggap untuk melakukan sebuah transformasi sosial juga tidak seharusnya
meninggalkan budaya-budaya yang telah melekat kuat dalam
masyarakat. Karena sudah sepantasnyalah kita menjadikan masyarakat desa sebagai sebuah subjek dalam melaksanakan pembangunan,
bukan dijadikan sebuah objek atau hanya menjadikannya percobaan dengan sistem trial and error.
Jadwal pembekalan pun berakhir, tahap berikutnya yang harus kami lalui ialah ujian pembekalan. Seperti biasa karena
prasarana yang terbatas kami harus melaksanakan ujian secara
bergantian. Kami diwajibkan membawa pensil 2B, karena pihak LPM menggunakan
Lembar Jawab Komputer (LJK). Jumlah soalnya cukup banyak dengan waktu yang
cukup sempit. Namun saya
bersyukur karena soal tersebut merupakan pilihan ganda bukan essay. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa ujian pembekalan ini
hanyalah sebuah formalitas belaka. Namun rumor seperti itu kebenarannya juga patut dipertanyakan,
karena regulasi dari LPM mengatakan apabila nilainya kurang baik, maka diharapkan
ikut KKN gelombang berikutnya. Dan ternyata faktanya ada juga sebagian mahasiswa yang tidak lulus ujian
pembekalan dan terpaksa mengikuti remidial.
Sungguh perbuatan yang sia-sia jika kandas dalam tahap ini.
Ujian berakhir, dan tahap berikutnya ialah
pengumuman anggota kelompok dan di mana kita harus mengabdikan diri pada
masyarakat. Menurut saya tahap ini merupakan
tahap yang paling mendebarkan. Hampir bisa dipastikan seluruh perasaan
bercampur aduk. Ada yang asik dengan imajinasinya
sendiri dengan dapat berkelompok dengan yang
ganteng atau dengan yang cantik, namun ada juga yang takut dengan hal
sebaliknya. Namun tidak bisa dipungkiri ialah ketakutan untuk ditempatkan di desa
terpencil.
Setelah pembagian kelompok diumumkan, langkah selanjutnya
yang harus ditempuh oleh mahasiswa yang mau KKN ialah mencari anggota
kelompoknya. Hal ini biasanya dilakukan dengan saling bertukar informasi dengan
kawan-kawan satu kos yang berbeda-beda jurusan. Komposisi anggota kelompok KKN
biasanya terdiri dari anak kedokteran, pertanian, teknik dan ekonomi. Jurusan
lainnya bisa menyesuaikan, hal ini disebabkan untuk terjun di masyarakat desa,
memang yang sering dibutuhkan ialah di bidang kesehatan, teknologi, pertanian
dan kesejahteraan. Namun kompisisi tersebut juga bisa berubah sesuai dengan
jumlah dan proporsi mahasiswa yang mendaftar KKN.
Penerjunan pun dimulai, langkah awal mahasiswa KKN ketika
berada di desa ialah berkenalan dengan perangkat desa, bidan, pak kampung (istilah untuk kepala dusun
dalam bahasa Madura), babinsa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, seperti tokoh-tokoh
keagamaan dan guru-guru. Selama kegiatan KKN, saya dan teman-teman memutuskan untuk tinggal di balai desa dan
menjadikan balai desa sebagai posko. Keputusan teman-teman satu kelompok (kami)
untuk tinggal di balai desa dibandingkan tinggal di rumah warga karena balai
desa merupakan tempat yang strategis untuk mengumpulkan masyarakat desa. Selain
itu, sungkan juga jika kami harus tinggal di rumah warga desa. Balai desa yang
kami tinggali tidak terlalu besar. Seperti bangunan balai desa pada umumnya
bangunan balai desa terdiri dari ruang PKK, perpustakaan, kamar mandi, ruang
kepala desa dan ruang administrasi. Kami memutuskan bahwa para pria tidur di
ruangan perpustakaan sedangkan para wanita tidur di ruangan PKK. Ruangan PKK
jauh lebih besar dibandingkan dengan ruangan perpusktakaan. Oleh sebab itu,
ruangan PKK selain kami sulap menjadi
ruangan untuk tidur para wanita juga kami sulap menjadi dapur dan juga garasi. Sedangkan
ruang perpustakaan kami ubah menjadi ruang kerja. Di mana printer dan alat-alat tulis, kami letakkan di dalamnya.
Gambar 1. Pengenalan Diri Kepada Warga Desa
Perlu diketahui bahwa kami telah musyawarah mufakat. Selama
di desa, teman-teman wanita akan memasak. Jujur saja peran wanita dalam KKN
tidak dapat dianggap remeh. Karena teman-teman wanita merupakan tulang punggung
kegiatan KKN. Bolehlah teman-teman pria membanggakan diri dalam kecekatannya
mengurusi kegiatan surat-menyurat, membina hubungan dengan masyarakat desa
serta kesiapsiagaan ketika ada masalah-masalah di desa. Tapi itu semua tidak
akan dapat berjalan ketika perut kelaparan. Oleh sebab itu menurut saya
sebenarnya pada saat KKN wanita memiliki bargaining
position yang lebih tinggi dibandingkan pria.
Gambar 2. Makan Pagi Bersama
Di kelompok kami juga telah disepakati bahwa para pria yang
akan berurusan dengan lingkungan eksternal sedangkan para wanita mengurusi
masalah-masalah domestik. Namun itu tidak bersifat kaku, karena dalam
pelaksanaan KKN semua harus bersifat fleksibel agar dapat berjalan dengan
lancar. Ada hal yang unik dalam dinamika kelompok kami. Bagi temen-temen wanita
yang belum bisa memasak biasanya akan menempati hierarki ke dua setelah tukang
masak, yakni menjadi asisten tukang masak yang bertugas untuk memotong-motong
bahan makanan atau menjadi tukang cuci piring. Sedangkan para pria hanyalah
menjadi tukang air, tukang parkir dan seksi sibuk yang kerjaannya mondar-mandir
mengurusi keperluan KKN lainnya.
Untuk profesi sebagai tukang air sebenarnya merupakan profesi
tambahan karena kondisi air di balai desa yang sangat memprihatinkan. Sumber
mata air satu-satunya di balai desa kami hanyalah sebuah sumur tua dengan
kedalaman hanya berkisar 7 meter dengan air yang telah terkontaminasi dengan
tanah. Itu pun semakin diperparah karena sumur tua tersebut juga dijadikan
sandaran hidup oleh sebuah keluarga dan dijadikan sumber mata air untuk
keperluan kamar mandi sekolah yang letaknya di sebelah balai desa kami. Jadi suka tidak suka kami harus berbagi air
dan kamar mandi. Oleh sebab itu, untuk keperluan memasak sehari-hari para pria
harus mengambil air dari kamar mandi umum yang berjarak sekitar 700 meter dari
balai desa. Bahkan sering kali air sumur yang sangat kotor tidak bisa digunakan
untuk mandi dan akhirnya kami harus mandi di kamar mandi umum.
Ketika siang berganti malam kondisi di balai desa kami
sungguh sunyi senyap yang terdengar hanyalah suara jangkrik yang memecah
keheningan malam. Kami kurang beruntung karena di balai desa kami tidak
tersedia televisi. Suasana senyap semakin terasa karena pemandangan di depan
balai desa hanyalah tanaman tebu yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa.
Sehingga untuk memecah keheningan malam biasanya kami bermain kartu,
ngobrol-ngobrol atau hanya menonton film. Pernah juga Kami iseng-iseng
memutuskan untuk pergi ke pasar malam karena merasa suntuk berada di balai
desa. Kondisi yang sunyi juga menjadikan beberapa teman wanita tidak berani
pergi ke kamar mandi sendirian. Sehingga setiap ke kamar mandi mereka akan
pergi bersama-sama.
Gambar 3. Pasar Malam Kecamatan
Setelah beberapa hari di desa dan kami juga telah kenal
dengan beberapa masyarakat desa saya dan teman-teman mulai melakukan observasi
untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terdapat di desa. Hal yang
paling mudah ialah dengan menanyakan kepada perangkat desa dan masyarakat.
Sungguh ironi ketika saya dan kawan-kawan memiliki semangat yang membara untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa,
justru saya dan kawan-kawan tidak mampu memberikan apa yang sedang dibutuhkan
oleh masyarakat. Hal ini disebabkan ketika ditanyai mengenai apa saja yang bisa
kami bantu, rata-rata masyarakat desa membutuhkan bantuan dana yang bisa mereka
gunakan untuk membangun usaha atau banyak juga masyarakat desa yang menginginkan
adanya pembangunan infrastruktur desa seperti perbaikan jalan, pembangunan
sumur, kamar mandi umum, perbaikan mushola dan sebagainya.
Masyarakat desa beranggapan bahwa KKN identik dengan
pembangunan infrasturktur. Apa lagi ketika mereka membandingkannya dengan
pelaksanaan KKN yang pernah dilakukan oleh mahasiswa dari universitas lain, di
mana mereka mampu membangun sebuah kamar mandi umum atau membuatkan warga desa
sumur. Sedangkan kami, sepeser pun tidak ada dana dari kampus untuk pembangunan
infrastruktur. Untuk melakukan KKN saja kami harus mengeluarkan dana ekstra.
Selain itu amanat dari pihak kampus kita tidak diperkenankan
untuk membantu mereka dengan cara seperti itu. Pihak kampus ingin memberikan
kail dan pancing bukan ikannya. Saya sangat sependapat dengan pemikiran
tersebut. Karena yang masyarakat desa butuhkan ialah ilmu mengenai bagaimana
cara mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di desa. Dengan
pemberian ilmu akan mampu menciptakan masyarakat yang mandiri yang tidak
bergantung pada pihak lain.
Alhamdulillah kami pun mampu menjelaskan
alasan-alasan tersebut kepada masyarakat desa. Walaupun tidak bisa kamu pungkiri
tersirat raut wajah mereka yang kecewa terhadap alasan yang kami kemukakan. Setelah
melaksanakan observasi, kami pun bersepakat untuk merancang program-program
yang dibutuhkan oleh masyarakat desa dan sesuai dengan bidang ilmu yang sedang
kita pelajari di bangku universitas. Teman-teman saya yang berasal dari
kedokteran, sastra Inggris, sastra Indonesia dan ekonomi dapat dengan mudahnya
mengimplementasikan dan mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dan itu sesuai
dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa. Namun naas, saya
hanyalah seorang mahasiswa FISIP, jurusan
Hubungan Internasional. Ilmu apa yang bisa saya amalkan untuk masyarakat desa? Mengingat
amanat dari pihak universitas ialah mahasiswa yang mengikuti kegiatan KKN dilarang
mencampuri urusan politik internal desa. Pihak universitas takut terjadi
kericuhan di desa kalau mahasiswa KKN memberikan pendidikan politik. Saya sangat
bingung ketika mendesain program apa yang benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat desa.
Ketika saya tanyakan dengan teman-teman satu jurusan yang
juga sedang mengikuti kegiatan KKN dan di tempatkan di desa lain ternyata pikiran
kami sama. Mereka juga mengalami kebingungan dengan program apa yang harus
mereka lakukan. Sangking bingungnya ada teman saya yang memberikan pelatihan
merajut dan juga pelatihan membuat sirup jeruk bahkan ada pula yang memberikan
penyuluhan mengenai cara memilah sampah. Sama seperti saya, kami yang kuliah di
HI berusaha menghibur diri dan mengaitkan program yang kami laksanakan telah
sesuai dengan masalah-masalah global yang ada saat ini.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa masalah-masalah yang
dialami oleh masyarakat desa sebagian besar merupakan masalah-masalah nyata dan
sederhana yang dapat ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari bukan masalah skala internasional. Masyarakat desa tentunya
lebih tertarik dengan masalah kesehatan, seperti diare, ibu hamil dan menyusui.
Masalah-masalah pertanian seperti mencari cara agar ladang mereka tidak gagal
panen oleh hama, atau masalah-masalah mengenai pengembangan wirausaha. Mereka
tidak tertarik dan peduli dengan apa itu revolusi Mesir, meningkatnya
ketegangan hubungan antara Cina dan Amerika, gelombang demokratisasi di Timur
Tengah dan kejadian-kejadian internasional lainnya yang jelas-jelas tidak akan
mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Dan sayapun malu ketika tidak
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh masyarakat
desa seperti pertanyaan “Mas potensi desa kita kaya tapi kita kok tidak
sejahtera-sejahtera ya?”
Setelah berpikir cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk
memberikan penyuluhan teknologi informasi kepada siswa SD. Saya pun sebenarnya
berpikir apa korelasi program tersebut (penyuluhan teknologi informasi) dengan
jurusan saya. Hmmm sedikit memaksakan mungkin ketika nanti ditanyakan oleh Dosen
Pembimbing Lapangan (DPL) mengenai program yang saya lakukan dan alasan mengapa
memilih program tersebut, saya akan menjelaskan bahwa dunia saat ini telah
menjadi global village di mana
teknologi informasi memegang peranan penting. Padahal sebenarnya anak-anak SD
yang saya beri penyuluhan tidak peduli apa itu globalisasi dan segala macam tetek bengeknya. Mereka hanya tertarik
dengan note book dan net book
yang ada di depannya, itu saja. Apa lagi ketika mereka di berikan kesempatan
untuk bermain video games, wah mereka senang sekali, mungkin
ketika mereka tidur di malam hari, mereka masih memimpikan agar bisa bermain
lagi esok harinya. Mereka kebanyakan belum pernah melihat secara langsung note book dan net book. Mereka hanya mengetahuinya lewat layar kaca. Diberikan
kesempatan untuk mengoperasionalkan note
book dan net book merupakan hal
yang mewah bagi mereka. Sehingga mereka sangat antusias dengan program yang
saya selenggarakan.
Salah satu pengalaman mahal yang saya dapat ketika berada di
desa ialah, bagaimana peran kegiatan keagamaan yang mampu mengalahkan
pendidikan formal. Di sini bukan berarti saya meremehkan kegiatan keagamaan,
namun kegiatan keagamaan yang mampu mengalahkan pendidikan formal ialah
persiapan lomba dan acara kelulusan untuk sekolah agama. Kegiatan tersebut
dinamakan imtihan (kelulusan sekolah
agama dan perayaan keagamaan yang dijadikan satu). Saya pernah mengalami
kegiatan imtihan menjadi kendala pada
saat ingin melaksanakan program penyuluhan di SD mengenai pola hidup bersih dan
sehat, gemar menabung sejak dini, serta pelatihan pembuatan pusi dan pantun.
Saya dan kawan-kawan sangat kaget karena jumlah murid
berkurang drastis. Karena rasa penasaran, kami pun memberanikan diri untuk
menanyakannya kepada kepala sekolah. Kepala sekolah menjelaskan bahwa di sini,
adalah hal yang wajar ketika akan ada acara kelulusan sekolah agama yang mana di
dalamnya juga diadakan acara pawai obor dan lomba tari. Banyak siswa yang lebih
tertarik dan memprioritaskan persiapan kegiatan tersebut dibandingkan dengan
bersekolah.
Kepala sekolah dan guru-gurupun seperti tidak berkuasa untuk
melarang anak-anak untuk tidak membolos sekolah. Bagaimana larangan kepala
sekolah dan guru-guru didengar, kalau orang tua mereka justru mendukung
anak-anak mereka untuk mempersiapkan acara imtihan
dibandingkan melihat anaknya berangkat ke sekolah. Memang kultur budaya
masyarakat desa di tempat saya sangat memprioritaskan keagamaan dibandingkan
hal-hal yang bersifat keduniawian.
Gambar 4. Acara Pawai Obor Imtihan
Pengalaman berharga lainnya kami peroleh ketika kami akan
melaksanakan program pola hidup bersih dan sehat, gemar menabung, pelatihan
pembuatan puisi dan pantun serta pelatihan jurnalistik di sebuah MTS. Bangunan
MTS ini masih terlihat baru. Ketika kami memasuki halamannya dan menyusuri
ruang-ruang kelas di dalamnya kami sangat terkejut ketika kami melihat sebuah
simbol yang menandakan gedung MTS ini dibangun melalui kerja sama antara
pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian
Agama.
Namun gedung yang baru itu justru tidak dimanfaatkan secara
optimal. Hal ini kami ketahui ketika kepala sekolahnya bercerita tentang
bagaimana sulitnya beliau dan rekan guru mencari murid untuk bersekolah di
sini. “Begini Dek, yang bersekolah di sini kebanyakan ialah siswa lapis dua.”
“Maksudnya siswa lapis dua Pak?” “Iya Dek, kebanyakan yang bersekolah di sini
ialah siswa-siswa yang tidak diterima di MTS kecamatan.” “Kebanyakan orang tua
di sini kalau anaknya gak diterima di MTS kecamatan maka anak-anak diminta
membantu pekerjaan orang tua di sawah.” “Bahkan untuk membujuk orang tua mereka
agar anaknya disekolahkan di sini Kami harus pergi dari pintu ke pintu.” “Oleh
sebab itu Adik-adik jangan heran ya, kalau mereka sedikit nakal.” Dan ternyata
ketika kami memberikan penyuluhan mereka memang sangat hiper aktif. Saya sedikit
memakluminya itu mungkin akibat dari paksaan. Paksaan dari pihak sekolah dan
orang tua agar anaknya tetap mau bersekolah.
Lewat KKN juga, saya dan teman-teman berkesempatan merasakan
enaknya menjadi seorang seleb.
Merasakan bagaimana rasanya dari jarak sekitar 100 meter kedatangan kami ke
sekolah dielu-elukan oleh siswa-siswa
SD. Dari jarak jauh pun kami bisa mendengar suara teriakan mereka yang berteriak-teriak
“KKN-KKN” kemudian berlari berhamburan keluar kelas tanpa mempedulikan gurunya yang
sedang mengajar dan menyalami kami satu per satu. Benar kata Agama Islam, Allah
SWT akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu.
Gambar 5. Penyuluhan di SDN 01 Arjasa
Ketakjuban saya juga datang pada saat saya dan kawan-kawan
pria diundang untuk mengikuti pengajian di padukuhan
(salah satu penyebutan daerah di desa mungkin setara dengan gabungan beberapa
RW). Pengajian tersebut dilaksanakan di rumah salah satu masyarakat. Jalan
menuju tempat pengajian sangat gelap sekali karena memang tidak ada penerangan.
Ketika tiba di rumah masyarakat kami disambut oleh masyarakat desa yang telah
datang terlebih dahulu. Kami bertiga mengucapkan salam, kemudian kami menyalami
peserta pengajian yang telah datang lebih dahulu. Setelah itu kami bertiga
mencari tempat kosong dan duduk bersila.
Setelah masyarakat berkumpul pengajian pun dimulai. Saya
sempat kebingungan ketika pengajian akan dimulai karena tidak ada buku surah Ya’sin yang dibagikan kepada peserta
pengajian. Hal ganjil lainnya ialah pengajian dilakukan dengan penerangan yang
sangat minimal. Saya sempat berpikir apa ini merupakan salah satu cara agar
pengajian lebih khusyuk? Namun saya
mencoba sabar dan menunggu bagaimana pengajian tersebut dilaksanakan. Dan
ternyata hampir seluruh peserta pengajian hapal surah Ya’sin. Kebanyakan masyarakat desa memang
sudah hapal Surah yang berisi 83 ayat dan diturunkan di Mekkah tersebut. Saya
merasakan pengetahuan saya mengenai teori realisme, liberalisme, kapitalisme,
komunisme, globalisasi, demokratisasi yang telah saya dapatkan selama hampir 3
tahun di kampus sia-sia belaka ketika dihadapkan dengan hapalan surah Ya’sin.
Gambar 6. Pengajian di Padukuhan
Pengajianpun berakhir dan banyak masyarakat desa yang mulai
mengeluhkan mengenai kehidupan mereka. Saya mendapat keluhan-keluhan yang
sangat mendasar, seperti permasalahan Koperasi Unit Desa (KUD). “KUD di sini
aneh” tutur salah satu masyarakat desa. “Aneh kenapa Pak?”, “Begini Cong (panggilan dalam bahasa Madura
untuk anak laki-laki) kita masyarakat desa sebagai anggota KUD tidak merasakan
manfaat adanya KUD.” “Di KUD kebutuhan-kebutuhan pertanian serba mahal, bahkan
lebih mahal jika dibandingkan dengan
toko pertanian yang ada di kecamatan.” “Seharusnya anggota koperasikan
mendapat potongan harga dan sisa hasil usaha?” “Namun Kita tidak merasakannya?”
Saya langsung berpikir mencari jawaban untuk keluhan tersebut. Ketika ingin
mencoba menjawabnya,tiba-tiba salah
seorang pamong tani berujar, “Begini Cong, apa mungkin di dalam KUD terdapat
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)?” “Maksud Bapak?” timpal Saya. “Engkih Cong, banyak keganjilan selain
itu masalah Kredit Usaha Tani (KUT) juga macet.” “Padahal yang Saya dengar dari
pemerintah, pemerintah memberikan bantuan KUT ke desa-desa dengan cara
pengajuan yang mudah.” “Tapi di sini Kami susah untuk mendapatkannya.” Saya
berpikir apakah bahaya laten KKN juga merambah hingga pedesaan? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut belum sempat saya jawab, namun salah seorang masyarakat kembali
mengungkapkan keluh kesahnya, “Cong,
kenapa ya Kita kok gak bisa sejahtera, padahal potensi desa kita bagus,
program-program mahasiswa KKN juga bagus untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat
desa.”
Saya sempat mengalami dilema. Apakah harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan masyarakat desa namun menabrak peraturan yang telah
ditetapkan pihak universitas dengan tidak boleh memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat desa. Atau saya harus diam saja dan berkata tidak tahu kepada
masyarakat desa demi menjalankan peraturan yang diberikan oleh pihak
universitas namun itu membohongi hati nurani saya. Akhirnya saya memilih
pilihan pertama, tidak apalah saya melanggar peraturan dari universitas, masyarakat
desa ini mungkin harus mengetahui hal yang sebenarnya mengenai kemiskinan.
“Pak, ada yang harus Bapak ketahui mengenai kemiskinan.”
“Dalam kemiskinan ada yang namanya kemiskinan struktural.” “Di mana dalam
kemiskinan struktural memang struktur masyarakatlah yang tidak bisa menjadikan
orang miskin bisa menjadi kaya dan orang kaya akan selalu tetap kaya.” “Sebagai
contoh ialah pada masyarakat agraris yang masih menerapkan sistem feodalisme.”
“Cong apa itu feodalisme?”
“Feodalisme itu hubungan antara tuan tanah dan buruh tani Pak.” “Atau bisa juga
kita ambil contoh dalam masyarakat nelayan.” “Di mana para nelayan yang sangat
bergantung pada pemilik kapal dengan pembagian hasil tangkapan ikan yang sangat
tidak adil.” Tak terasa mulut ini berbicara banya hal dan tanpa saya sadari
secara tidak langsung saya memberikan pemahaman Marxisme ke masyarakat desa.
Kedua teman saya yang duduk bersila di samping saya hanya bisa
menyenggol-nyenggol lutut sayadengan lutut mereka sambil membisikkan “Sar
jangan diteruskan, takut nanti terjadi kisruh.” “Tidak apa InsyaAllah tidak ada
masalah.” Sambil meneguk kopi cleng (hitam)
yang disediakan oleh tuan rumah Saya terus mendengarkan keluhan masyarakat. “Cong, ada hal aneh lainnya, Kami di sini
setiap bulan selalu membayar iuran untuk perairan, tapi hingga kini air juga
tidak kunjung mengalir ke rumah Kami.”
Saya hanya bisa tertegun mendengarkan keluhan tersebut.
Prediksi ku dan teman-teman ternyata keliru. Selama ini kami mengira bahwa
kebiasaan MCK masyarakat desa di kali ialah disebabkan dengan tingkat
pendidikan mereka (masyarakat desa) yang rendah dan mereka tidak mengetahui
mengenai kebersihan. Ternyata persepsi itu salah kaprah, mereka melakukan MCK
di kali karena terpaksa, air tidak mengalir ke rumah mereka.
Keluhan masyarakat pun kembali diutarakan kepada kami
bertiga, “Cong, sebenarnya Kami telah
mengetahui dan merasakan ketidakberesan kepepimpinan pak Tinggi (kepala desa).” “Tapi apa daya, Kami hanyalah masyarakat
kecil yang tidak bisa menyampaikan keluhan tersebut kepada pak Tinggi, kalau di temani oleh adik-adik
ini Kami jadi berani.”
Teringat jelas diingatanku ketika dengan bangganya Pak
Sekretaris Desa (Sekdes) menceritakan keberhasilan kebijakannya perihal pembagian
beras untuk rakyat miskin (raskin). “Di sini raskin dibagikan rata kepada
seluruh masyarakat desa dek.” “Lho kok bisa
Pak?” “Bukannya raskin itu untuk keluarga miskin dan di desa ini kan tidak
semuanya masyarakat miskin Pak.” Saya masih teringat jelas ketika Pak Sekdes mengutarakan hal yang
tidak logis menurut nalarku. “Gini Dek kalau yang dapat raskin hanya
keluarga miskin, nanti ketika ada program-program desa seperti kerja bakti,
mereka yang tidak mendapat raskin tidak mau hadir.” “Nanti mereka (yang tidak
dapat raskin) biasanya bilang Kami kan tidak mendapat raskin.” “Jadi silahkan
yang bekerja bakti ialah mereka yang mendapatkan raskin.” Saya langsung
bersikap apriori terhadap alasan yang dikemukakan oleh Pak Sekdes. Apa alasan
itu hanyalah sebuah kamuflase agar Pak Sekdes dan perangkat desa lainnya juga
dapat menikmati raskin.
Melihat raut muka masyarakat desa yang mengeluhkan banyaknya
beban hidup yang sedang mereka panggul membuat hati saya sedih. Ingin sekali saya
melakukan advokasi terhadap permasalahan mereka. Namun apa daya saya hanyalah
seorang mahasiswa yang masih sangat tersandera dengan regulasi-regulasi kampus.
Dengan berat hati saya mengatakan, “Bapak-bapak maaf Kami tidak dapat membantu
lebih banyak.” “Dari pihak kampus kami diamanatkan untuk tidak mencampuri
urusan internal desa, apalagi memberikan pendidikan politik.” Setelah saya
meneguk habis kopi cleng yang
disediakan oleh tuan rumah, kami pun pamit. Di dalam perjalanan saya berpikir
bahwa sungguh berat beban yang harus ditanggung oleh masyarakat desa. Namun
terkadang senyum tanpa pamrih mereka selalu mengembang ketika kami berpapasan
di jalan.
Tak terasa, kami telah melalui kegiatan KKN hampir satu
bulan. Salah satu kenikmatan lainnya ialah kami diberikan kesempatan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa untuk melaksanakan ibadah puasa di desa. Hampir di setiap malam
sebelum sahur saya dan teman-teman
bisa mendengarkan suara anak-anak yang berkeliling desa membangunkan warga agar
tidak telat melaksanakan ibadah sahur.
Namun terkadang, saya merasa bahwa anak-anak desa terlalu bersemangat ketika
membangunkan kami sahur. Bagaimana
tidak bersemangat, lha sekitar jam
dua mereka membangunkan kami untuk sahur. Walaupun bulan puasa, masih ada
beberapa program kelompok kami yang belum selesai, salah satunya ialah
pelatihan pembuatan keripik pepaya dan pembuatan shampo dari biji pepaya. Program mandiriku mengenai pelatihan
teknologi informasi dan program mandiri kordesku mengenai english club juga belum selesai semua. Namun perlahan
tapi pasti, kami semua telah selesai melaksanakan seluruh program yang kami
agendakan untuk memberdayakan masyarakat desa. Selain itu kami juga mulai
menyusun laporan kelompok dan individu sebagai bentuk pertanggungjawaban
mahasiswa KKN.
Gambar 7. Pelatihan Pembuatan Keripik Pepaya
Ada satu kenyamanan yang saya rasakan ketika menjalani ibadah
sahur di desa pada saat KKN. Kalau
selama kuliah saya dan teman-teman satu kosan harus bangun sekitar jam dua atau
bahkan jam satu untuk berburu makan sahur
di sekitar kampus, selama KKN, saya biasanya akan dibangunkan oleh teman-teman
wanita. Saya sangat rindu dengan suara Thania dan Bunga yang membangunkan saya
sahur. Dengan suara khasnya Thania dan Bunga biasanya berkata,“Geng, bangun,
ayo sahur.” Saya juga sangat merindukan suara alarm khas dari HP Rohman agar
kami tidak telat sahur atau bahkan saya sering mendengar suara dering HP Rohman
yang dibangunkan oleh pacarnya. Yang tak kalah ngangenin ialah suasana bersama Danang di warung kopi di kecamatan
Sukowono.
Tidak terasa hampir 45 hari kami di desa. Untuk acara
perpisahan dengan warga desa, saya dan teman-teman memiliki acara sederhana
saja, yakni berbuka puasa dengan perangkat desa, tokoh masyarakat dan anak-anak
yatim piatu. Selain itu mendekati tanggal 17 Agustus, kami anak KKN satu
kecamatan diundang oleh petugas kecamatan untuk ikut dalam acara renungan suci.
Acara renungan suci dilaksanakan pada tengah malam 17 Agustus di Taman Makam
Pahlawan kecamatan.
KKN memberikan saya banyak pelajaran hidup berharga. KKN
memberikan saya keluarga baru. Keluarga harmonis. Keluarga yang terkadang
terdapat konflik di dalamnya, namun kami segera saling memaafkan dan memahami.
Keluarga yang hingga saat ini masih harmonis karena kami selalu berusaha untuk
tetap menjalin komunikasi. KKN juga memberikan saya pelajaran agar dapat lebih
bijak dalam menjalani hidup. Senyuman tulus warga desa. Sapaan hangat dari
anak-anak SD dan MTS. Acara keagamaan yang sederhana namun berkesan. KKN juga
memberikan saya pelajaran lainnya, bahwa kelak ketika saya menjadi pemimpin,
saya harus bisa mensejahterakan rakyat dan menjadi pelayan bagi rakyat, bukan
sebaliknya menjadi pemimpin yang hidup bahagia di atas penderitaan rakyatnya.