“Mereka pikir Tuhan tidak tahu
perbuatan mereka, mereka pikir Tuhan bodoh”
Itulah
kalimat yang meluncur dari bibir Robin Lim. Betapa marah dan kecewanya Robin
Lim ketika mengetahui ternyata banyak bidan yang hanya berorientasi pada
materi. Wajar jika beliau marah ketika mendengar masih banyak bidan-bidan yang
memungut bayaran dari pasiennya walaupun pemerintah telah memberlakukan program
Jaminan Persalinan (Jampersal). “Apa agama dari bidan tersebut?” tanya Robin
Lim kepada bulek ku. “Islam Bu,” jawab bulek
ku singkat sambil tersipu malu. “Saya tidak percaya kalau dalam ajaran
agama Islam mengajarkan hal-hal seperti itu,” terang Robin Lim. “Ini bukan
masalah ajaran agamanya Bu,” sanggah salah satu asistennya. “Saya sudah sering
kali bilang sama Ibu, bahwa bukan ajaran agamanya yang bermasalah, tapi
penganutnya yang juga masih tetap tidak taat terhadap ajaran agamanya,” terang
asisten tersebut kepada kami. “Saya sering berdebat dengan Ibu mengenai hal
tersebut, tetapi Ibu tetap bersikukuh dengan dengan pendapatnya.”
Sore
itu saya sangat beruntung karena bisa bertemu, bersalaman dan berdiskusi dengan
Top 10 CNN heroes Robin Lim. Robin
Lim merupakan salah satu bidan sekaligus inspirator yang memiliki gaya hidup
sederhana yang pernah saya kenal. Dedikasinya untuk masyarakat di sekitarnya
tak perlu diragukan lagi. Yayasan Bumi Sehat yang didirikannya pada tahun 1995
dan terletak di daerah Nyuh Kuning, Ubud telah dikenal oleh banyak orang. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya cinderamata yang diberikan
kepadanya, entah sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya ataupun sekedar
bentuk ucapan terimakasih sederhana dari mahasiswi-mahasiswi Akbid yang telah bertukar
ilmu dengannya. Hampir setiap hari Robin Lim mengayuh sepedanya yang berwarna
merah jambu menuju klinik Bumi Sehat. Memberikan pertolongan tanpa memandang
kasta dan kelas serta diiringi dengan senyuman tulus. Selain itu, Robin Lim juga
sering diundang menjadi pembicara di berbagai daerah bahkan diberbagai negara.
“Kalau
Ibu-ibu ingin mengundang Ibu Robin menjadi pembicara di Banyuwangi, mohon maaf
untuk tahun ini (2012), Ibu tidak bisa, karena kegiatannya yang sangat padat.”
“Tidak lama lagi Ibu akan bertolak ke Italia dan beberapa negara, karena Ibu
memang telah lama diundang oleh negara-negara tersebut,” terang salah satu
asisten Robin Lim kepada kami. Kami semua pada akhirnya mafhum dengan kegiatan beliau (Robin Lim) yang memang sangat padat
sekali. “Mungkin Ibu-ibu bisa menyusun proposal acara kegiatannya dan nanti
pelaksanaannya bisa pada tahun depan,” ujar asisten tersebut seraya menghibur
kami. “Oh ya Mbak, biar nanti Kami
susun proposalnya, kalau sudah siap, nanti Kami kirimkan,” ujar bulek ku singkat.
Tak
ingin kehilangan moment bertemu
dengan Robin Lim aku pun langsung mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia.
Hal ini disebabkan memang Robin Lim sekeluarga telah lama menetap di pulau
dewata dan telah fasih berbahasa Indonesia. “Ibu, mengapa Ibu sangat
menyarankan kepada semua orang bahkan tenaga-tenaga medis untuk menggunakan
obat-obat tradisional?” “Ketika Saya masih kecil, Saya pernah sakit parah dan
di rawat di salah satu rumah sakit di Filipina.” “Dokter-dokter di sana,
menyarankan Saya untuk dioperasi agar bisa sembuh, namun nenek Saya menolaknya
dan membawa Saya pulang dari rumah sakit tanpa sepengetahuan orang tua Saya.”
Kemudian Saya di rawat oleh nenek Saya dan diobati dengan obat-obatan
tradisional yang ada di sekitar.” “Hanya dalam waktu beberapa hari, penyakit
Saya langsung sembuh tanpa melalui operasi,” papar Robin Lim.
Selain
berfokus pada program persalinan, Yayasan Bumi Sehat yang dipimpin oleh Robin
Lim juga memiliki kegiatan lainnya yang bertujuan pada pemberdayaan masyarakat.
Beberapa program tersebut diantara lain ialah, program sampah daur ulang dan
pendidikan kesehatan. “Saya dulu hampir setiap hari makan nasi, namun setelah
dinasehati oleh Ibu bahwa gizi yang dikandung nasi kurang mencukupi, akhirnya
Saya mengikuti saran Ibu yaitu makan nasi dengan campuran umbi-umbian,” papar
salah satu asisten Robin Lim. “Jujur saja, Saya sekarang sangat khawatir dengan
makan-makanan yang ada saat ini, karena banyak mengandung zat-zat kimia yang
berbahaya bagi kesehatan.” “Contohnya ialah mie instan.” Mendengar kata mie
instan yang tidak baik bagi kesehatan, aku pun langsung membela diri. Maklum
naluri mahasiswa ku dengan isi dompet yang pas-pasan dan sering kali makan mie
instan tiba-tiba saja muncul. “Ibu, tapi mie instan sangat cocok, karena murah
dan praktis,” candaku. Namun Ibu Robin menunjukkan ekspresi kekecewaannya
dengan gaya hidupku yang sangat akrab dengan mie instan. “Ya memang mie instan
murah dan praktis, tapi dikemudian hari bisa menimbulkan masalah dengan
kesehatan Mu,” terang Robin Lim. Nasehat tersebut rasanya sangat sederhana dan
terasa sangat klasik karena semua orang awam pun mengetahuinya. Namun ketika
beliau yang menyampaikan rasanya sangat berbeda. Jujur saja kharismanya yang
membuatku diam seribu bahasa dan tidak bisa membantah nasehat tersebut.
Untuk
masalah yang satu ini (kharisma) aku pun tidak bisa berkata-kata. Kejadian bayi
yang menangis dan tidak kunjung diam walaupun telah berada dalam pelukan ayah
maupun ibunya dapat diatasi dengan mudah oleh beliau. Bayi yang menangis
tersebut langsung diam dan lama-kelamaan tidur pulas dalam pelukannya (pelukan
Robin Lim). Selain itu, ada salah satu pemandangan yang cukup mengharukan yang
ada dalam klinik kecil tersebut. Pemandangan indah tersebut tak lain ialah,
kehadiran beberapa volunteer asing
yang bahu-membahu dengan tenaga kerja lokal dalam menolong dan melayani
pasien-pasien yang datang ke klinik tersebut. “Tidak semua bule itu kaya.” “Kita seringkali kedatangan pasien-pasien bule tapi terkadang Mereka mengatakan
bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini sedang tidak bagus.” “Dan Mereka berjanji
akan langsung memenuhi kewajiban (membayar) Mereka setelah perekonomian Mereka
pulih kembali,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. “Kalau di sini
yang Kami perioritaskan ialah pertolongan terlebih dahulu kepada pasien yang
membutuhkan.” “Perkara Mereka mampu membayar atau tidak itu urusan belakang.” Penjelasan
tersebut sungguh memberikan saya sebuah inspirasi. Mungkin Robin Lim merupakan
salah satu tenaga medis yang benar-benar melaksanakan kode etik tenaga medis
secara tulus. Karena saat ini banyak sekali kita temui rumah sakit-rumah sakit
yang mensyaratkan seorang pasien untuk mengurus administrasi terlebih dahulu
baru mendapatkan pertolongan. Miris memang jika melihat kondisi tersebut. Namun
tenaga-tenaga medis di rumah sakit – rumah sakit yang memiliki regulasi
tersebut (menyelesaikan administrasi terlebih dahulu) juga tidak bisa bertindak
apa-apa. Mereka (tenaga medis) ibarat memakan buah simalakama. Bimbang apakah
harus memilih menolong pasien tersebut demi menjalankan kode etiknya namun bisa
berdapampak pada teguran atau mungkin pemecatan pada dirinya. Atau hanya
berdiam diri menunggu instruksi dan terpaksa melanggar kode etiknya dan melihat
semakin memburuknya kondisi pasien yang membutuhkan pertolongan. Entahlah,
namun faktanya memang saat ini banyak terjadi fenomena tersebut.
Satu
pengalaman berharga lainnya ialah ketika aku, bulek ku serta tante Ina berdiskusi dengan salah satu volunteer dari negeri paman Sam. Volunteer tersebut memiliki spesialisasi
dalam bidang yoga. Yoga yang diajarkan kepada ibu-ibu hamil yang datang ke
yayasan Bumi Sehat. “Wanita-wanita yang Saya lihat di sini, sebenarnya lebih
kuat dan lebih siap untuk melahirkan.” “Hal ini disebabkan karena Mereka sering
beraktivitas.” “Hal ini sangat berbeda dengan wanita-wanita di Amerika.” “Di
sana ketika mereka hamil, mereka rata-rata hampir tidak bekerja, hanya bersantai
dan menonton televisi di rumah,” paparnya. Kami pun sedikit tertawa karena volunteer tersebut bercerita sambil
memberikan sebuah demonstrasi. Keterangan dari volunteer tersebut tiba-tiba mengingatkan ku pada pendapat guru
olah raga ku sewaktu SMA. “Kalau saat ini banyak Cewe yang tidak kuat lari keliling lapangan sebanyak 10 putaran itu
sebenarnya nini-nini (nenek-nenek)
yang di make-up’i saja.” “Karena persalinan merupakan sebuah proses yang
melelahkan dan mempertaruhkan nyawa.” Mungkin pendapat tersebut ada benarnya
karena saat ini karena kemajuan teknologi banyak wanita-wanita yang hamil
mengandalkan persalinan dengan sesar bukan persalinan secara normal.
Keunikan
yayasan Bumi Sehat juga terlihat dari pekerja-pekerja dan volunteer yang berseragam t-shirt.
T-shirt yang mereka (pekerja dan volunteer) gunakan bukan t-shirt sembarangan. T-shirt tersebut merupakan t-shirt yang diproduksi oleh yayasan Bumi Sehat sendiri.
Sebuah t-shirt dengan berbagai macam
warna dan logo yang khas dari yayasan Bumi Sehat tercetak besar di bagian
depan. “Bulek t-shirtnya bagus ya,” ujar ku. “Kira-kira mereka masih
punya lagi gak ya.” “Kalau ada Aku
mau beli.” Bulek ku pun segera
menanyakan kepada salah satu pekerja di sana. “Mbak t-shirt nya masih
ada?” tanya bulek ku. “Ada Bu di dalam sana,” ujar pekerja itu
sambil menunjuk sebuah ruangan. Kami pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Di
dalam ruangan tersebut terdapat sebuah etalase tempat pernak-pernik khas dari
yayasan Bumi Sehat. Kami semua, langsung melihat-lihat pernak-pernik apa saja
yang dijual di sana. Ternyata pernak-pernik tersebut ialah t-shirt, sticker, tas
kecil dan berbagai macam aksesoris dengan logonya yayasan Bumi Sehat.
“Berapa
harga t-shirtnya Mbak?” tanyaku
kepada salah satu pekerja. “T-shirtnya
harganya seratus ribu.” Aku pun langsung berpendapat bahwa t-shirt dengan bahan yang biasa saja dan dijual dengan harga
seratus ribu tentu sangat mahal. Sebenarnya, aku sangat tertarik dengan t-shirt tersebut, namun apa daya,
sepertinya dompet ku lebih berkuasa untuk menolaknya. Alhasil aku pun tidak
jadi membelinya. Bulek ku membeli tas
jinjing dan beberapa sticker dan
alangkah kagetnya aku waktu bulek ku
membayar tas tersebut uangnya
langsung dimasukkan ke dalam kotak donasi yang dibuat dari bahan kaca dan
terdapat logo yayasan Bumi Sehat ditengahnya. Ternyata yayasan ini (Bumi Sehat)
berupaya untuk mandiri. Selain menerima sumbangan dari berbagai pihak, yayasan
ini juga berupaya untuk mandiri dengan melakukan sebagian pembiayaan
operasionalnya dengan cara berjualan souvenir
dan uang hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk memproduksi souvenir kembali dan kelebihannya
digunakan untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Tak
terasa kunjungan kami di yayasan ini pun harus berakhir. Kami semua saling
bersalaman dan mengucapkan kata perpisahan. Robin Lim bahkan memeluk dan
mencium pipi bulek ku dan Tante Ina.
Hari ini aku pun banyak belajar dari seorang wanita yang perkasa namun memiliki
hati yang tulus. Belajar dari ketulusan seorang wanita untuk menolong
sesamanya. Belajar bagaimana seorang wanita tersebut mendedikasin hidupnya
untuk menolong terhadap sesamanya. Seorang wanita yang berasal dari luar negeri
dan menolong tanpa mengenal perbedaan
warna kulit, agama dan kelas. Seorang bidan perkasa yang selalu mengulurkan tangannya
kepada yang membutuhkan walaupun terkadang bidan perkasa tersebut berada dalam
keterbatasan.