Sidang. Sebuah
kata yang sangat sakral bagi mahasiswa tingkat akhir. Kata tersebut (sidang)
merupakan puncak dari kegiatan akademik mahasiswa sebelum dinyatakan lulus oleh
pihak universitas dan layak untuk menyandang gelar akademisnya serta berhak menuliskan
gelar tersebut di belakang nama lengkap. Namun, pernahkah terbersit di benak
kita, apa perbedanya dan persamaanya antara sidang di ruang sidang yang sedang dihadapi
oleh mahasiswa yang mempertanggunjawabkan karya tulisnya secara ilmiah di depan
dosen penguji dengan sidang yang dihadapi oleh seorang terdakwa tindak
pidana/perdata di depan hakim di suatu pengadilan?
Baiklah, kita
akan mulai melihat dari persamaanya terlebih dahulu. Menurut ku, persamaan
sidang yang dilakukan oleh mahasiswa yang sedang mempertanggungjawabkan karya
tulisnya secara ilmiah di depan dosen penguji dengan sidang yang dihadapi oleh
seorang terdakwa tindak pidana/perdata di depan hakim ialah, baik mahasiswa
maupun terdakwa akan sama-sama duduk dalam kursi pesakitan. Kursi pesakitan
karena dimaknai bahwa semua sidang bersifat zero
sum (kalah atau menang). Dan baik mahasiswa ataupun terdakwa akan dicecar
dengan pertanyaan-pertanyaan oleh dosen penguji maupun hakim Terdakwa akan
mendapatkan tuntutan-tuntutan dari jaksa penuntut umum sedangkan mahasiswa akan
mendapatkan kritikan-kritikan atau tuntutan-tuntutan dari dosen-dosen pengujinya.
Persamaan lainnya ialah, baik mahasiswa dan terdakwa yang sedang menghadapi
sidang akan sama-sama diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan dan mendapatkan
pembelaan. Pembelaan ini bisa berasal dari mahasiswa dan terdakwa itu sendiri
yang menguraikan argumentasinya ataupun pembelaan tersebut bisa datang dari
pengacara untuk terdakwa dan dosen pembimbing untuk mahasiswa.
Sedangkan
perbedaan diantara keduanya ialah sidang yang dihadapi oleh mahasiswa cenderung
bermakna positif sedangkan sidang yang dihadapi oleh terdakwa cenderung
bermakna negatif. Bermakna positif, karena mahasiswa yang sedang menghadapi
sidang tidak berada dalam posisi salah atau benar. Sidang yang dilakukan oleh
mahasiswa sebenarnya bagian dari proses belajar itu sendiri. Sedangkan sidang
yang sedang dihadapi oleh terdakwa bersifat zero
sum (pembuktian benar atau salah). Jika tidak terbukti bersalah maka
terdakwa tersebut akan diganjar dengan kebebasan, sedangkan jika terbukti
bersalah maka hukuman pun harus siap untuk dijalani.
Aku merupakan
salah satu orang yang beruntung yang pernah melakukan sidang untuk
mempertanggungjawabkan karya tulis ilmiah yang pernah ku buat. Pengalaman pada
saat itu (sidang) bagi ku merupakan sebuah pengalaman yang sangat berkesan dan
bisa jadi sekali seumur hidup. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini aku pun
tidak akan pernah tahu apakah Tuhan di atas sana masih memberikan rezeki dan
kesempatan untuk ku agar dapat menununtut ilmu dijenjang yang lebih tinggi lagi
atau justru aku harus bekerja demi menafkahkan diriku serta istri dan anak ku.
Sebelum melaksanakan
sidang seluruh mahasiswa pada umumnya diharuskan untuk mendaftar terlebih
dahulu. Dan bagi ku menyiapkan ritual sidang sebenarnya juga merupakan sebuah
proses yang cukup melelahkan dan menguras dompet. Hal ini disebabkan kita
sebagai calon peserta sidang diharuskan untuk melengkapi berkas-berkas yang
diperlukan untuk kelengkapan administrasi. Kelengkapan-kelengkapan tersebut
diantaranya, foto, photo copy ijazah
SD hingga SMA, surat keterangan bimbingan, lembar pengesahan yang telah ditanda
tangani oleh dosen pembimbing satu dan dua serta ditanda tangani oleh dosen
pembimbing akademik, surat keterangan peneletian, skripsi yang siap diujikan
dan berkas-berkas lainnya. Ketika berkas-berkas tersebut dinilai telah lengkap
oleh petugas administrasi, maka petugas administrasi akan mengetikkan form yang mana di dalamnya tertera
tanggal dan waktu dilaksanakan ritual (sidang) tersebut. Di form tersebut juga tertera siapa saja
dosen-dosen yang akan menguji karya tulis kita. Proses menunggu keluarnya nama-nama
dosen penguji yang akan menguji karya tulis ku mampu membuat jantung ini
berdegup kencang, hati bergejolak tak
menentu dan bibir ini tak mampu untuk
berhenti menguntaikan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa agar mempermudah segala
urusanku kedepannya.
Tidak perlu menunggu waktu lama, siang itu
setelah berkas-berkasku selesai diproses, namaku dipanggil oleh petugas
administrasi dijurusanku, “Mas form ini segera diurus dibagian
akademik” perintahnya. “Oh ya, enggih
Mbak,” jawabku dalam bahasa kromo nginggil sebagai bentuk rasa
hormat terhadap orang yang lebih tua. Aku masih mengingatnya, hari itu ialah hari
Jum’at. Rajanya hari dalam satu minggu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama
yang aku anut. Orang pertama yang aku kabari bahwa aku akan melaksanakan sidang
pada tanggal 19 Juli tak lain dan tak bukan ialah kedua malaikat tak bersayap
yang tinggal di kabupaten penghasil beras, Karawang. “Bu InsyaAllah Kesit sidang tanggal 19 Juli,” “Oh ya Le, Ibu sama Bapak mendoakan dari sini,”
sahut ibuku yang sangat antusias mendapat kabar gembira ini.
Setelah
menghubungi ibuku, aku pun bergegas menuju ruang akademik. Kaki-kaki kecil ini dengan
riang menuruni anak tangga satu per satu menuju ruang akademik yang terletak di
bawah. Sambil berjalan aku pun menyempatkan untuk membaca nama-nama dosen penguji
yang akan menguji karya tulis ku. Karya tulis yang telah aku buat selama berbulan-bulan
dan banyak pengorbanan di dalam prosesnya. Dikertas yang kubawa tersebut
tertera nama-nama sebagai berikut, Bapak Alfan Djamil selaku ketua penguji,
Bapak Supriadi selaku sekretaris satu sekaligus dosen pembimbing pertama ku,
Bapak Pra Adi selaku sekretaris dua sekaligus berperan sebagai dosen pembimbing
dua ku, Ibu Adhining dan Ibu Indri selaku anggota. Kelima orang tersebutlah
yang kelak akan turut ambil bagian dalam salah satu episode kehidupanku.
Ketika sedang asyik
berjalan menyusuri lorong kelas, salah satu temanku Yeni menyapaku dari
belakang, aku pun menghentikan langkahku untuk menunggunya dan kemudian kami
berjalan beriringan, “Sar siapa saja dosen pengujinya?” tanyanya dengan suaranya
yang khas. Aku tidak menjawab pertanyaannya, yang ku lakukan hanyalah menyodorkan
form tersebut agar dibacanya. “Ih dosen pengujinya enak Sar.” Aku pun
hanya berkata, “Alhamdulillah Yen.”
Tapi hati kecil ini mengatakan “Sar jangan pernah meremehkan, siapapun dosen
penguji Mu, di ruang sidang itu bersifat unpredictable.”
Satu hal yang kusadari ialah dalam ruang sidang tidak ada yang bisa
memprediksikannya. Bisa jadi ada mahasiswa yang diuji oleh dosen yang
diklasifikasikan dosen killer namun
dia dinyatakan lulus bahkan dengan nilai yang memuaskan. Bagi ku mahasiswa
tersebut dikatakan layak lulus karena memang dia telah menyiapkannya
sebaik-baiknya. Namun ada juga kisah-kisah tragis dimana mahasiswa kandas dalam
sidang karena dia meremehkan dosen yang mengujinya, sehingga dia tidak
mempersiapkannya dengan baik. Tak
terasa jam di tanganku menunjukkan pukul 11.00, aku pun bergegas pulang ke kosan
untuk membersihkan telinga, memotong kuku ku dan memakai wewangian dan
bersegera menjawab panggilan kemenangan (adzan).
Keesokan
harinya, telepon genggam ku berdering, di displaynya
tertera nama Ibuku yang menelepon ku. “Le,
gimana persiapannya?” tanya ibu ku di ujung sana. “Ya Bu, nanti Kesit akan
menyiapkannya dengan baik,” jawab ku menenangkan ibu ku. “Oh ya Le, Bapak kemarin sudah cari tiket
kereta api, InsyaAllah nanti waktu Kamu
sidang biar ditemani Bapak.” Aku pun langsung tersentak kaget mendengar berita
ini. “Bapak nanti mau mampir Solo dulu nengok adikmu, terus Selasa sore dari stasiun
Solo Balapan naik kereta Sancaka Sore terus dilanjutkan naik kereta Mutiara
Timur dari stasiun Gubeng,” papar ibu ku. “Oh ya Bu, nanti biar tak jemputnya kalau sudah sampai
Jember.” Tidak kusangka orang tua ku yang sehari-hari berprofesi sebagai
seorang guru dengan seabrek kegiatannya ternyata berusaha untuk meluangkan
waktu demi menemani anaknya yang hingga kini masih miskin prestasi ini agar
dapat tenang pada saat melaksanakan sidang. Namun disisi lain, kehadiran ayah ku
ini juga bisa membuat aku semakin nerveous
dalam menghadapi sidang. Dan hari itu perasaanku campur aduk antara senang dan
takut. Senang, karena kedua orang tua ku sangat mempedulikanku. Takut, karena
takut mengecewakan orang tuaku yang telah jauh-jauh datang kemari untuk
menemani anaknya.
Hari Senin aku
bergegas ke kampus untuk mengurusi berkas-berkas yang kemarin sempat tertunda. Misiku
hari ini ialah mendapatkan tanda tangan Pak Bayu selaku Pembantu Dekan satu
(PD1). Karena berkas pendaftaran sidangku harus diketahuinya selaku PD1 yang
mengurusi bagian akademik. Kebetulan pada hari ini, salah seorang senior ku
juga akan menghadapi sidang. Sambil menunggu berkas-berkasku di tanda tangani
oleh Pak Bayu, aku pun berbincang-bincang dengan Mbak Tutus. “Kapan Dek ujiannya?”
tanya Mbak Tutus. “InsyaAllah hari Kamis besok Mbak,” jawabku. Tidak lama petugas
administrasi dijurusanku datang sambil membawa kunci ruang sidang. Dan petaka
itu kemudian datang menghampiriku.
“Gangsar, Kamu gak bisa ujian hari Kamis, jadwal Mu
Saya undur,” jelasnya sambil terburu-buru. Aku pun tidak tinggal diam, aku segera
bangkit dari posisi dudukku dan segera mengejarnya ke ruang jurusan. “Mbak kenapa ujiannya ditunda?” tanya ku
meminta penjelasan. “Lho Kamu gak bisa ngurus berkas-berkas itu dalam
satu hari,” terangnya. “Tapi Mbak, kemarin itu hari Jum’at, selain itu Pak
Budi juga jadi panitia penerimaan mahasiswa baru jalur lokal, bahkan untuk
mendapatkan parafnya saja, Saya harus menunggu kedatangannya hingga jam tiga
sore,” jelasku tak mau kalah. “Terus Kamu kapan bisa mendistribusikan skripsi
ke dosen pengujinya, dosen penguji harus segera menerima skripsi itu, kalau
begini kan dosen-dosen penguji mu belum membaca skripsinya.” “Ya Mbak ini Saya sedang berusaha mengurusi
berkas-berkasnya dan kurang tanda tangan dari Pak Bayu.” “Tidak bisa ujian mu
tetap saya tunda.” “Tapi Mbak Ayah
saya sudah pesan tiket dan berencana untuk menemani saya ujian.” “Ya terserah,
tapi ujianmu tetap Saya tunda.”
Seketika itupun
, lututku terasa lemas seperti tidak kuat menopang badan ini apalagi menopang
petaka itu. Dengan langkah gontai aku pun keluar ruang jurusan dan menelepon
Ibu ku. “Bu maaf ujian Kesit ditunda.” “Lho kenapa Le?” tanya ibuku penasaran. “Kesit gak bisa mengurus berkas-berkas
itu dalam satu hari dan petugas administrasi di jurusan tidak mau tahu.” “Oalah
Le,” suara parau ibuku terdengar jelas
ditelinga ku. “Bu, tiket kereta yang sudah di pesan Bapak ada baiknya
dibatalkan saja, karena Kesit juga gak
tau kapan bisa sidang.” “Ya sudah Le
yang sabar, nanti biar Bapak, Ibu yang ngabari.”
Saat itu, perasaanku
bagaikan teriris sembilu kemudian bekas irisan tersebut digarami. Perih sekali
rasanya. Sangat perih. Lagi-lagi aku mengecewakan kedua orang tua ku. Angan ini
kemudian melayang, bagaimana ayahku yang sibuk itu, berusaha meluangkan
waktunya, meminta cuti pada atasanya, menarik uang lebih dari tabungannya, dan
siap berlelah-lelah melakukan perjalanan ratusan kilometer demi menemani anaknya
sidang. Tapi sekali lagi petugas adminstrasi itu, bak robot yang tidak memiliki perasaan. Perasaanku pun membuncah
dan ingin rasanya bulir-bulir air mata ini keluar dari tempatnya. Tidak lama,
dosen pembimbing dua ku datang dan aku menceritakan semuanya. “Ya gak apa-apa Gangsar, semoga uang
tiketnya tidak hangus dan ini mungkin ini yang digariskan oleh Yang Maha
Kuasa.” “Ya Pak,” sahutku lirih. Aku pun kemudian menemui, dosen penguji ku
yang lainnya yaitu Ibu Indri. “Maaf Bu tadi pagi saya yang sms, niat saya hari
ini mau mendistribusikan skripsi Bu, tapi ujiannya ditunda oleh Mbak Sri.” “Lha kenapa Sar?” “Kata Mbak Sri kasihan
dosen pengujinya Bu, waktunya untuk membaca skripsi Saya hanya sebentar.”
“Padahal Ayah saya sudah punya rencana untuk menemani Saya pada saat Saya
sidang.” “Gangsar, jujur saja ya,
kalau saya biasanya ketika mau menguji skripsi biasanya baru membaca skripsi
yang akan diujikan itu H-1.” “Karena kalau jauh-jauh hari justru saya takut
lupa.” “Wah berarti Ibu gak masalah dengan keterlambatan saya mendistribusikan
skripsi ini Bu?” tanyaku meyakinkan beliau. “Sama sekali tidak.”
Siang harinya,
aku menunggu kedatangan petugas administrasi jurusanku. Beliau meminta aku
untuk menemuinya siang hari setelah jam istirahat. Tidak lama menunggu beliau datang.
Aku pun segera menanyakan kapan jadwal ku untuk bisa sidang. “Mbak kapan Saya bisa ujian?” tanyaku. Beliau
terlihat sibuk memeriksa kalender dan melihat layar monitor komputernya.
“Begini Mbak tadi Saya sudah menemui
beberapa dosen penguji Saya dan sebenarnya mereka tidak keberatan kalau Saya
telat mendistribusikan skripsi, karena mereka biasanya baru membacanya H-1,”
terangku. “Oh ya sudah kalau gitu,
jadwal sidang mu gak jadi saya undur,
tapi dengan satu syarat kamu harus berhasil mendistribusikan skripsi ini dalam
satu hari,” perintahnya. Bak mendapatkan berita aku menang togel, aku pun
senang bukan kepalang dan segera pamit kepada petugas administrasi membawa
skripsiku dan tidak lupa membawa buku distribusi skripsi. Walaupun dalam hati,
aku merasa seperti dipermainkannya.
Sampai di
parkiran sepeda motor masalah berikutnya datang. Aku yang sudah empat tahun
kuliah di sini ternyata tidak tahu dimana alamat rumah dosen-dosen pengujiku
tersebut. Tidak lama aku pun segera menelepon salah seorang temanku, Regi.
Seingatku Regi ialah salah satu temanku yang membeli buku agenda dan di dalam
buku agenda tersebut terdapat alamat dosen-dosenku. “Ayo Ndhuk temenin Aku distribusikan skripsi-skripsi ini, kalau Ku gak
bisa mendistribusikannya dalam satu hari nanti ujian Ku bisa ditunda lagi,”
pintaku pada Regi. “Ya udah, ayo tak temenin,” kata Regi menenangkan ku. “Thanks Ndhuk,” sahutku gembira. Siang
itu tidak bisa ku lupakan, aku yang ditemani oleh Regi mulai berkeliling
mencari rumah-rumah dosen-dosen penguji ku. Di bawah teriknya matahari, aku pun
meyakinkan diriku bahwa harus bisa menyelesaikan pendistribusian skripsi ini. Akhirya
sore hari sekitar pukul 17.00 aku telah rampung
menyelesaikan tugas dari petugas administrasiku dan dia (petugas adminisrasi)
tidak berhak untuk menunda ujianku lagi.
Debu-debu
jalanan yang menemaniku siang tadi langsung ku bersihkan dan tidak lama adzan Maghrib berkumandang dari Masji
Al-Muhajirin. Setelah berpakaian bersih dan memakai wewangian seadanya aku pun
berjalan memenuhi panggilan-Nya. Dalam perjalanan pulang, Aku tertawa. Aku
mentertawai kebodohanku sendiri. Aku pun malu dengan perilaku siang tadi yang
menjadi orang pesimis dan tidak bersyukur hanya karena ada ujian kecil (ujianku
diancam ditunda). Malam itu Aku bersyukur. Bersyukur karena walaupun ujianku
hampir dibatalkan, namun skripsi ku telah selesai dan siap diujikan, sedangkan
masih banyak dari teman-temanku yang berusaha menyelesaikan skripsinya atau
berusaha dalam proses pengajuan proposal. Malam itu keyakinanku terhadap
ayat-Nya semakin bertambah. Nikmat manakah yang kamu dustakan?
Esok harinya aku
menelepon ibu ku. “Bu, ujiannya gak jadi ditunda.” “InsyaAllah Kesit tetap ujian hari Kamis.” “Kalau Bapak tiket
keretanya sudah terlanjur dibatalkan, ya gak apa-apa, Kesit Cuma minta doa Ibu
sama Bapak saja dari sana,” terangku. “Oh ya Le, gak usah khawatir,
Ibu sama Bapak pasti mendoakan.” “Lha
gimana buat konsumsi dosen-dosennya?” tanya ibuku. “Gak usah khawatir, temen ku
Triono yang akan menyiapkannya,” jawab ku. Hari ini, aku niatkan untuk ke
kampus, menghilangkan stres dengan bercanda dengan teman-teman agar besok
kepala menjadi lebih segar. Selain itu, berdiam diri di kamar saja justru akan
membuat ku semakin paranoid.
Tapi ternyata
masalahku masih belum berakhir. Setelah ketemu teman-teman di kampus bahkan
kita bercanda hingga sore hari (karena pada saat itu hujan) aku pulang ke kosan
dengan kondisi kehilangan kunci kamar. Aku pun langsung membongkar tasku,
bahkan aku nekat menerjang gerimis menelusuri kembali jalanan yang ku lalui
tadi demi menemukan kunci kamarku dan alhasil upaya itu sia-sia. Dengan berat
hati aku harus merelakan jendela dan teralis yang dibongkar oleh teman-teman ku agar aku
bisa masuk. Ya mungkin ini sudah jalan takdir ku, pikir ku dalam hati. Kalau
jendela kamar tidak dibongkar, bagaimana besok aku mau melaksanakan sidang,
sedangkan pakaian, materi skripsi, dan keperluan-keperluan lainnya ada semua di
dalam kamar?
Malam harinya
aku membuka kembali skripsiku yang telah ku cetak. Ya walaupun skripsi ini
buatan ku sendiri dan aku hapal betul seluk-beluknya, namun tetap saja aku
harus mempelajarinya. Satu hal yang kutangkap ialah, aku mempelajari kembali
skripsi ini ialah dengan menuliskan kembali gagasan-gagasan umum dari
argumentasi-argumentasi khusus yang telah ku tuliskan. Aku tidak ingin terjebak
oleh detail kecilnya ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen penguji
dan melupakan hal yang paling penting yakni gagasan-gagasan utamanya. Metode
belajar ini aku namakan dengan sebutan rekonstruksi. Rekonstruksi, aku kembali
membangun gagasan-gagasan utama dari kalimat-kalimat khusus yang telah ku buat.
Karena pada faktanya ketika aku menuliskan skripsi tersebut aku
mendekonstruksikannya. Dari hipotesis, kerangka teori aku dekonstruksi menjadi
gagasan-gagasan sederhana yang ditambahi data yang kredibel. Halaman demi
halaman skripsi mulai aku coret-coret. Di beberapa kalimat di bab empat, ku
tuliskan teori mu bekerja, rumusan masalah mu terjawab dan sebagainya. Pada
intinya yang ku lakukan ialah menandai agar esok hari ketika ditanyakan oleh
dosen penguji aku bisa bereaksi cepat dan tidak membuat dosen penguji menunggu.
Slide presentasi yang aku buat
berjumlah 14 slide. Pada awalnya
banyak yang menyarankan bahwa kalau bisa slide
presentasi cukup berjumlah sekitar 10 hingga 12 saja, hal ini disebabkan waktu
yang diberikan untuk mempresentasikan karya tulis hanyalah sekitar 10 hingga 13
menit. Tapi bagiku yang menjadi masalah bukanlah waktu dan jumlah slide, melainkan bagaimana kita sebagai
presentator mampu menarik perhatian dari dosen-dosen penguji walaupun slide yang kita tampilkan cukup banyak.
Bagiku jumlah slide yang sedikit dan
kita yang bisa menghemat waktu presentasi yang telah disediakan oleh dosen
penguji bukan berarti menjadikan dosen-dosen penguji tertarik dengan apa yang
kita tuliskan. Walaupun waktu presentasi kita lebih dari waktu yang telah
disediakan, tapi kalau dosen penguji tertarik maka mereka akan lupa dengan
waktu dengan sendirinya. Aku hampir terjebak membuat slide yang meriah namun tidak terbaca. Alhamdulillah, kemarin-kemarin Pak Pra Adi telah memeriksa slide ku dan memberikan beberap
masukkan.
Sambil belajar,
aku mencoba mengingat pesan yang pernah disampaikan oleh dosen pembimbing dua ku.
“Gangsar kalau besok Kamu sidang, Kamu itu akan bertindak seperti seorang sales.” “Seorang sales Pak?” tanya ku keheranan karena tidak mengerti arah
pembicaraannya. “Iya, seorang sales
akan memainkan peran dan fungsinya sebagai penjual yang berusaha meyakinkan
konsumen dengan barang dagangannya.” “Salesnya
itu dirimu sendiri, barang dagangannya ialah skripsi Kamu, sedangkan konsumennya
ialah dosen penguji Kamu.” “Kalau dua orang pembimbing Mu yang akan bertindak
sebagai dosen penguji besok, tidak usah kamu khawatirkan, karena jelas Mereka
sudah tahu barang dagangan Mu bahkan Mereka kenal Kamu dibandingkan dengan
ketiga pembeli lainnya,” papar Pak Pra Adi. Sejenak aku mencoba memikirkan kata-kata
yang disampaikan oleh dosen pembimbingku.
Aku mulai menangkap
point-nya. Point-nya tak lain dan tak bukan ialah, aku harus benar-benar mampu
meyakinkan ketiga orang dosen penguji ku, karena mereka memang belum mengenal
skripsiku dan bahkan tidak mengenal keseharianku dan proses bagaimana aku
menyelesaikan skripsi ini. Sedangkan dosen pembimbing tak lain dan tak bukan
ialah mitra ku dalam menyelesaikan skripsi ini bahkan terkadang aku
menceritakan tentang keluargaku, teman-temaku dan keseharianku kepada mereka
setelah proses konsultasi. Oleh sebab itu, wajar jika dosen penguji akan
melihat skripsi kita dari sudut pandang, ada yang kurang dan ada yang harus
ditambahkan dalam skripsi ini (sudut pandang pengkritik). Sedangkan dosen
pembimbing akan melihat bahwa mahasiswa bimbingannya yang melaksanakan sidang
ialah mitra mereka dan relasi kami (aku dan dosen pembimbing) ialah relasi
saling melengkapi. Lagi pula aku pun menganggapnya bahwa proses pembuatan
skripsi, mempertanggungjawabkannya secara ilmiah hingga revisiannya ialah
merupakan satu kesatuan dari proses belajar itu sendiri.
Jadi aku mulai
bersikap positive thingking bahwa
ketika ada kritikan dari dosen-dosen penguji ku yang spesialis dibidang yang ku
angkat dalam skripsi ku tak lain dan tak bukan ialah demi perbaikan karya tulis
ku semata. Bukankah pendapatan dan kritikan dari para ahli tersebut sangat kita
perlukan dan sangat bermanfaat untuk memperkaya skripsi yang telah kita buat?
Malam harinya
kamar ku terasa sangat dingin. Wajar saja karena pada malam tersebut selain
sore harinya hujan turun dengan derasnya, kamar ku juga saat itu tidak
berjendela. Di malam tersebut, aku mulai mencetak sumber-sumber yang kujadikan
dasar argumen yang ku tuliskan dalam skripsi ku. Kalau ku cetak semua situs
internet yang ku gunakan tentu tidak mungkin. Oleh sebab itu, aku hanya
mencetak data-data yang ku dapat baik dari surat kabar, jurnal, maupun
institusi-institusi pemerintah Argentina beberapa bagian saja dan itu pun data
yang ku anggap penting. Mesin printer ku
mulai melahap kertas sisa dari pembuatan skripsi ku. Begitu kertas-kertas itu
keluar dari printer, aku mulai
mengklasifikasikannya dan ku tulis dengan ballpoint
ku data apa, untuk memperkuat argumenku yang mana dan terletak di bab
berapa.
Sebenarnya aku
tak perlu mencetak sumber-sumber tersebut, toh aku telah menyimpannya dalam hard disk ku. Tapi aku berpikiran bahwa
aku tidak mau membuat dosen penguji ku ill
feel dengan ku hanya karena masalah teknis, yakni modem ku mengalami
gangguan ketika aku ditanyakan, “coba tunjukkan datanya!” Tidak masalah bagi ku
untuk mengeluarkan kertas beberapa lembar lagi dan beberapa mili tinta. Satu
hal yang ingin ku tunjukkan pada saat sidang ialah 3 P, prepare, perfect performance.
Tak terasa hari
yang kutunggu-tunggu datang. Inilah hari penentuan ku. Tapi alangkah lucunya,
untuk pakaian yang harus digunakan pada saat sidang pun aku masih mencari
pinjaman sana-sini. Karena tidak punya celana kain, aku pun harus meminjamnya
dari adik kos ku yang berkuliah dijurusan keperawatan. Pagi itu setelah aku
melaksanakan sholat Duha, aku mulai membersihkan sepatu pantofel ku
satu-satunya yang dibelikan oleh ibu ku waktu kami lewat kota Magetan. Dasi hitam
dengan logo universitas mulai ku ikatkan di leherku. Kadang aku tertawa, semenjak
dibeli dasi ini hanya aku gunakan pada saat awal masuk kuliah dan akhir ketka
aku ingin meninggalkan kampus ini.
Sebelum
berangkat aku memeriksa kembali barang bawaan ku. “Spidol, pulpen, tipe-x,
pensil, stabilo, buku-buku materi dan buku catatan selama bimbingan” ujarku
dalam hati mengabsen benda-benda tersebut. Sambil memanasi sepeda motor ku, aku
mulai berpamitan pada teman-teman kos ku, “Rek
dungakne yo, cek sukses” pinta ku
kepada teman-teman ku. “Oyi Sar, sepurane yo gak iso ngancani, iki Aku yo enek kuliah,” jawab teman-teman ku. Aku pun berangkat menuju
kampus dan dalam perjalanan, tak lupa aku bersedekah semampuku. Oh ya, tentang
sedekah ini, walaupun akan mengurangi harta kita secara matematika dunia,
tetapi sebenarnya sangat banyak manfaatnya. Satu hal yang kuyakini hingga saat
ini, bahwa sedekah mampu menolak bala. Kalau kita bersedekah pada pagi hari
makan satu hari itu pun Yang Maha Kuasa akan menggaransi (menyelamatkan) hidup
kita. Yang Maha Kuasa pun akan menyingkirkan bala yang sebenarnya bisa menimpa
kita kapan pun. Oleh sebab itu mulai dibiasakanlah bersedekah sebelum mengawali
kegiatan kita sehari-hari.
Sesampainya di
kampus, aku langsung bertemu dengan dosen pembimbingku dan aku pun segera
menghubungi pelayanan kelas untuk menyiapkan viewer yang aku butuhkan. Triono pun telah tiba di kampus
membawakan jajanan yang aku titipkan padanya. “Suwun yo Kep,” ujarku. “Oyi,”
jawab Triono singkat. Aku pun mulai menata botol air mineral untuk ke lima
dosen penguji ku. Menyiapkan buku-buku yang ku bawa, sumber-sumber yang telah
ku cetak dikertas bekas dan alat-alat tulis.
Tidak lama
kemudian, dosen-dosen penguji masuk ke dalam ruangan sidang. Banyak yang bilang
ruangan itu sangat angker, karena di ruangan tersebut bisa mencetak sarjana
baru. Sarjana baru yang sebenarnya akan menjadi tanggungan negara karena
mungkin tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Namun bisa jadi jadi ruangan
tersebut akan mencetak the loser.
Tapi bagi ku tidak ada pola zero sum dalam
ruangan tersebut karena hakikatnya ruangan itu ialah ruangan ujian. Aku lebih
senang menyebut ujian dibandingkan sidang, karena dengan ujian akan menaikkan
derajat seseorang tetapi dengan ujian juga seseorang akan diuji dengan hal
lainnya seperti kesabaran dan keteguhan untuk diuji kembali di ruang tersebut.
“Assalamualaikum
Waruhmatullahi Wabarakatuh” suara Pak Alfan Djamil membuka ritual sidang pagi
itu. “Pagi hari ini, Kita akan menguji skripsi dari saudara Gangsar Parikesit.”
“Mungkin bagi saudara Gangsar Parikesit sendiri apakah sudah siap melaksanakan
ujian ini?” tanya Pak Alfan kepadaku. “InsyaAllah
siap lahir batin Pak,” jawabku mantap. “Apakah ada yang ingin direvisi sebelum
Kita memulai sidang ini?” “Hmmm, ini Pak, Saya kemarin belum tahu siapa saja
dosen penguji Saya, ini lembar pengesahannya,” ujarku seraya memberikan beberapa
lembar pengesahan yang baru ku cetak tadi malam. “Lembar pengesahannya nanti
saja,” ujar Bu Indri memecah kesunyian di ruangan itu.
“Baiklah Gangsar
Parikesit, Kamu diberikan waktu 10 sampai 15 menit untuk memaparkan skripsi
milikmu.” “Selanjutnya setelah pemaparan skripsi, Kita memasuki sesi tanya
jawab,” ujar Pak Alfan yang memberitahukan kepada ku aturan mainnya. Aku pun
tak menyia-nyiakan waktu. Ku buka pemaparan ku dengan slide pembukaan ku,
kemudian aku mulai menguliti bab 1 ku seluruhnya. Aku pun berusaha untuk
menekankan kepada dosen-dosen penguji, bahwa skripsi ku dengan judul kemenangan
Cristina Fernandez De Kirchner pada pemilu presiden Argentina pada tahun 2011,
memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan tema-tema serupa yang telah
diangkat oleh senior-senior ku.
“Walaupun tema
ini pernah diangkat oleh pendahulu Saya, namun dalam skripsi Saya ini terdapat
anomali.” “Dalam pemilu sela faksi partai yang dipimpin oleh Cristina Fernandez
mengalami kekalahan, namun pada saat pemilu presiden di Argentina, Cristina
Fernandez mampu memenangi pemilu hanya satu putaran saja.” “Hanya dalam waktu
dua tahun saja, paska pemilu sela, Cristina Fernandez mampu mengembalikan
kepercayaan publik pada dirinya,” tegas ku mantap.
Di slide-slide yang berikutnya, yang ku
lakukan hanya mengelaborasi saja kalimat-kalimat yang telah ku tuliskan di slide. Alhamdulillah, tadi malam ku
sempat belajar presentasi ditemani dengan stop
watch dan berlatih merangkaikan kalimat-kalimat yang efektif. Tak terasa 14
slide telah habis ku paparkan di
depan dosen penguji. Besar harapan ku pada saat itu seluruh dosen penguji tertarik
dengan gaya presentasiku terutama tentang isi skripsi ku.
“Baiklah, itu
tadi pemaparan mengenai skripsi yang di buat oleh Saudara Gangsar.” “Memasuki
sesi berikutnya ialah sesi tanya jawab.” “Di persilakan untuk yang pertama oleh
Bu Adhining,” ujar Pak Alfan seraya mempersilahkan Bu Adhining untuk bertanya. “Gangsar,
tadi Gangsar menceritakan bahwa, untuk menganalisis permasalahan tersebut,
Gangsar menggunakan teori rational choice,
nah seberapa yakinkah kalau pilihan dari masyarakat Argentina merupakan pilihan
yang rasional?” Sebelum menjawab, aku tersenyum. Entah pada hari ini aku
terlalu senang atau bagaimana, tapi satu hal yang jelas aku banyak memasang
senyum. Selain mampu menenangkan diri ku sendiri, senyum juga merupakan sebuah
tanda persahabatan. “Baik Bu, terima kasih atas pertanyaannya.” “Saya sangat
yakin, karena masyarakat Argentina memilih Cristina Fernandez berdasarkan atas
program-program kerjanya yang dinilai lebih rasional untuk direalisasikan
dibandingkan dengan program-program kerja kandidat yang lainnya.” “Adanya
momentum, seperti pertumbuhan ekonomi, statusnya Cristina Fernandez sebagai
petahanan dan terfragmentasinya kandidat oposisi, semakin menguatkan pilihan
masyarakat terhadap Cristina Fernandez.” Aku kemudian tak sungkan untuk meminta
izin kepada dosen-dosen penguji untuk menggunakan white board yang telah disediakan. Spidol hitam yang ku bawa mulai
menari-nari membentuk diagram Tidak memakan waktu yang lama, diagram yang ku
gambarkan telah tersaji. Diagram sederhana tentang perbedaan pilihan yang
dilakukan oleh masyarakat rasional dan masyarakat tradisional. Dengan diagram
ini aku berharap mampu menyimpulkan teori yang ku gunakan dalam menganalisis
permasalahan yang ku ajukan dalam rumusan masalah ku.
Bu Adhining,
terlihat puas dengan jawaban ku. “Oh ya, Gangsar, ini masih ada yang harus kamu
tambahkan, data di halaman sekian coba di gambarkan dengan hubungan sistem
politik Argentina.” “Ini yang Saya lihat, hanya gambar sistem politik bentuk
negara republik.” “Bu untuk yang satu ini, Saya sudah mencoba mencari datanya,
tapi belum menemukannya.” Kenapa Saya gunakan gambar sistem politik negara
repubik karena Argentina juga merupakan negara republik.” “Jadi menurut Saya
substansinya tetap tersampaikan kepada pembaca,” jawab ku dengan sopan. “Tapi
kalau Ibu menghendaki untuk dituliskan gambar sistem politik Argentina, baiklah
nanti akan Saya tambahkan,” ujar ku menenangkan bu Adhining. “Selain itu,
Gangsar, masak sumber rujukan buku-bukunya cuma ada sedikit, sepengetahuan Saya
buku tentang sistem politik dan pemerintahan negara-negara Amerika Latin itu
banyak.” “Oh ya Bu, untuk buku, sebenarnya sudah saya upayakan, namun yang Saya
dapatkan hanya itu, tapi Saya rasa buku itu sudah cukup sebagai rujukan dari
skripsi Saya,” jawabku atas kritikan Bu Adhining.
“Bu Adhining
apakah, masih ada pertanyaan lagi?” tanya ketua penguji. “Tidak Pak Saya rasa
sudah cukup.” “Silahkan Bu Indri untuk memberikan pertanyaan pada Saudara
Gangsar Parikesit.” Aku sempat berpikir bahwa dosen-dosen penguji ku ini ialah
dosen-dosen yang telah memiliki kemampuan di bidang yang sesuai dengan tema
skripsi yang aku angkat. Bu Adhining merupakan dosen sistem politik dan
pemerintah negara-negara Amerika Latin. Dan sekarang tiba saatnya untuk Bu
Indri yang terbiasa menghadapi metodologi dan teknis penulisan.
“Saya dari
dahulu selalu penasaran dengan Anda, karena Anda memiliki nama yang unik yaitu
Gangsar Parikesit.” “Kalau boleh tahu apa sih artinya?” tak ku duga ternyata Bu
Indri mampu mencairkan suasana di dalam dengan pertanyaan yang tidak ada
hubungannya dengan skripsi ku. “Itu nama wayang Bu, ayah Saya pernah
menjelaskan bahwa Gangsar Parikesit ialah raja di Astina dan cucu dari
Abimanyu.” “Nama Gangsar Parikesit sendiri artinya ialah lancar menjadi raja di
Astina Bu, selain itu nama Gangsar juga bisa berarti lancar,” jawab ku sambil
tersipu malu.
“Oh begitu,
baiklah, Gangsar, ini untuk bab 1 seharusnya menggunakan format penulisan
trapesium terbalik.” “Tema Anda menarik, tapi kalau dengan bentuk tulisan
seperti ini, pembaca tidak digiring kepada hal yang menarik tersebut.” “Kemudian
Gangsar, tiap tabel dan gambar diberi kalimat pengantar, judul tabel atau
gambar, dan penjelasan.” “Ini di skripsi Anda hanya sebagian, belum seluruhnya
yang menuliskan kalimat pengantar, judul tabel atau gambar, dan penjelasan.” “Selain
itu mungkin ada baiknya Kamu memasukkan program-program ketiga kandidat yang
bersaing ke bab tiga.” “Kalau Kamu mencoba membandingkan program-program ketiga
kandidat tersebut, Saya rasa orang yang expert
dibidang itu belum tentu bisa melakukannya,” saran Bu Indri. “Kemudian ini
masalah metodologi, di hipotesismu kamu mengajukan bahwa Cristina menang itu
karena masyarakat Argentina bersikap rasional.” “Tetapi di sisi lain, Kamu juga
menganggap bahwa momentum itu juga menjadi variabel penting.” “Setau Saya,
hipotesis itu diangkat based on kerangka
teori.” “Tolong dijelaskan!”
“Terima kasih
untuk Bu Indri atas masukan-masukkannya.” “Nanti akan Saya perbaiki.” “Untuk
hipotesis, Saya menganggap bahwa kerangka teori rational choice yang Saya gunakan telah sesuai, karena ada
kesusaian antara momentum pertumbuhan ekonomi Argentina, status Cristina
sebagai petahanan dan terfragmentasinya kandidat oposisi.” “Momentum itu
semakin memperkuat rasionalitas pemilih untuk menjatuhkan pilihannya kepada
Cristina Fernandez.” “Teori rational
choice bagi Saya mampu meng-cover
kedua hipotesis yang Saya ajukan.” “Namun sebenarnya Saya juga sempat berpikir
seperti yang Ibu sampaikan.” “Tetapi Saya tidak menemukan momentum itu,
dibungkus menjadi sebuah teori,” terang ku. “Ya sudah gini saja Gangsar, nanti
bisa minta tolong Pak Pri tentang teori momentum tersebut.” “Pak Pri, setau
Saya dulu Saya dan Pak Pri juga pernah menguji skripsi yang ada momentumnya ya.”
“Tapi Saya lupa skripsinya siapa itu,” Bu Indri membuka komunikasi dengan
pembimbing satu ku. “Ya sudah Gangsar, nanti kita lanjutkan di luar saja,” ujar
Pak Pri menenangkan ku.
Jujuar saja, aku
sangat berterima kasih diberikan dosen pembimbing seperti Pak Supri dan Pak Pra
Adi. Hal ini disebabkan karena selama proses pengerjaan skripsi, aku diberikan
kebebasan untuk menulis. Kami bertiga lebih sering diskusi. Banyak dari
teman-teman ku yang ketika bimbingan yang terjadi ialah bukan proses dialog
tetapi monolog, sehingga mahasiswa tidak bisa mengeksplorasi data dan
penulisan. Jadi sebelum aku berangkat ke kampus, aku telah meyakinkan diri ku,
bahwa ketika di ruang sidang aku tidak usah berharap dosen-dosen pembimbingku
mampu membantu ku menjawab pertanyaan dari dosen-dosen penguji, apa lagi aku
terkesan menyalahkan tentang penulisan skripsi ini ketika mendapatkan
kritikan-kritikan. Skripsi ini buatan ku dan pertanggungjawaban ilmiahnya juga murni
milik ku.
“Baiklah, Bu
Indri, apakah masih ada pertanyaan?” “Saya rasa dari Saya sudah cukup Pak.” “Baiklah
sekarang giliran Saya.” Sekarang tiba giliran Pak Alfan dosen yang expert dibidang komunikasi. Kebetulan di
skripsi ku sangat banyak menganalisis komunikasi politik yang dilakukan oleh
kandidat-kandidat yang bersaing. “Tadi Saudara Gangsar membicarakan masalah
terorisme global, terus apa kaitannya terorisme global ini dengan skripsi Mu?”
pertanyaan pertama muncul dari mulut Pak Alfan. “Oh begini Pak, Saya
menyampaikan terorisme global itu hanya merupakan sebuah pembanding.” “Di
Spanyol ada mantan perdana menteri yang menuduh peledakan stasiun kereta api
bawah tanah dilakukan oleh kelompok teroris, ternyata mantan perdana menteri
itu salah.” “Yang melakukan peledakan stasiun kereta api bawah tanah itu ialah
pemberontak ETA.” “Salah tuduh itu mengakibatkan Dia tidak terpilih kembali
dalam pemilu berikutnya.” “Ini hanya masalah perbandingan saja Pak,
perbandingan bahwa ternyata hal itu tidak berlaku bagi Cristina Fernandez,
karena walaupun kalah dalam pemilu sela, Dia bisa menang dalam pemilu presiden
hanya satu putaran.”
“Dari Saya
cukup.” “Baiklah Saya berikan kesempatan bagi Pak Pri dan Pak Pra Adi untuk
bertanya.” “Saya tidak ada pertanyaan Pak,” ujar Pak Pri. “Kalau Saya hanya
nanti masukkan-masukkan yang disampaikan oleh dosen-dosen penguji di tuliskan
ya Gangsar.” “Baik Pak.” Aku sangat bersyukur, karena dosen-dosen pembimbing
yang sebenarnya juga berperan sebagai dosen penguji tidak bertanya. Padahal di
jurusan-jurusan yang lainnya dosen pembimbing sekaligus yang berperan sebagai
dosen penguji biasanya juga akan bertanya. Sekarang coba kalian bayangkan apa
jadinya seseorang dosen pembimbing yang mengetahui seluk-beluk skripsi kita itu
ikut bertanya? Tapi sekali lagi masih banyak mahasiswa yang kecewa dan tidak
bersyukur ketika dosen pembimbing skripsi tidak memberikan bantuan kepadanya di
ruang sidang.
“Baiklah saudara
Gangsar Parikesit, silahkan Anda menunggu di luar.” Aku pun dengan mantap mohon
diri untuk keluar. Waktu peserta disidang di suruh keluar sebenarnya merupakan
proses konsensus dari kelima dosen penguji. Apakah peserta sidang dinyatakan
lulus atau tidak dan mau diberi nilai apa. Seringkali kalau peserta sidang
kurang maksimal dalam memaparkan skripsi dan juga tidak begitu maksimal dalam
menjawab pertanyaan dari dosen penguji akan membuat dosen-dosen pembimbing
melakukan negosiasi ekstra kepada ketiga dosen penguji lainnya. Begitu di luar
aku sangat lega karena teman-teman ku sudang menunggu di luar, dan belum
selesai aku menjawab pertanyaan gimana tadi sidang mu. Aku terlebih dahulu
dipanggil oleh Pak Pra Adi. “Baiklah Gangsar Parikesit, Kami kelima dosen
penguji menyatakan Anda lulus dengan nilai A. “Selamat, semoga jodohnya lancar
dan rezekinya lancar juga,” doa dari Pak Alfan seraya menjabat tangan ku
diiringi dosen-dosen penguji lainnya yang juga menjabat tangan ku sebagai
bentuk ucapan selamat.
Sidang yang
telah ku lalui pada pagi itu memberikan banyak pelajaran berharga. Ternyata
sidang tidak semenakutkan apa yang ada tertancap kuat dibenak
mahasiswa-mahasiswa pada umumnya. Kalau skripsi itu buatan kita, kita tidak
menjiplak dan kita jujur dalam prosesnya, apa yang harus kita takutkan?
Dosen-dosen penguji sebenarnya ialah mitra agar tulisan skripsi kita lebih baik
lagi. Maka sanggahlah ketika argumen yang diajukannya tidak sesuai dengan
argumen dan isi skripsi kita, tetapi sanggahlah dengan santun dan tidak arogan.
Yang paling ku rasakan ialah ternyata pendekatan spritualitas yang saat ini
banyak dipertanyakan keberhasilannya oleh manusia-manusia modern itu terbukti
manjur. Entah mengapa, aku merasa ruang sidang di dalam terasa adem ayem. Aku
merasakan kehadiran Yang Lain yang aku lebih suka menyebutkannya bantuan tangan
Yang Maha Kuasa yang membantu kelancaran sidang ku. Aku semakin mantap dengan
keyakinan ku bahwa, tidak ada Dzat yang bisa membolak-balikkan hati, selain Dzat yang menguasai hati itu sendiri.
Pendekatan spritualitas seperti sedekah, sholat malam, sholat Duha dan doa ke
dua bidadari kita di rumah ternyata lebih mustajab, dibandingkan dengan
perilaku kita yang seringkali memprioritaskan memohon doa dari teman-teman atau
sekedar support dari pacar tapi tidak
memprioritaskan doa orang tua. Aku menganggap sidang yang ku lalui bukan lah
sidang seperti di pengadilan, aku lebih senang menyebutnya ujian, karena ujian
bermakna positif. Ujian akan menaikkan derajat kita yang telah lolos ketika di
uji. Dan ketika belum lolos dari ujian tersebut, itu berarti Yang Maha Kuasa
sedang menguji kesabaran kita.