Kamis, 04 Oktober 2012

SIDANG ≠ UJIAN


Sidang. Sebuah kata yang sangat sakral bagi mahasiswa tingkat akhir. Kata tersebut (sidang) merupakan puncak dari kegiatan akademik mahasiswa sebelum dinyatakan lulus oleh pihak universitas dan layak untuk menyandang gelar akademisnya serta berhak menuliskan gelar tersebut di belakang nama lengkap. Namun, pernahkah terbersit di benak kita, apa perbedanya dan persamaanya antara sidang di ruang sidang yang sedang dihadapi oleh mahasiswa yang mempertanggunjawabkan karya tulisnya secara ilmiah di depan dosen penguji dengan sidang yang dihadapi oleh seorang terdakwa tindak pidana/perdata di depan hakim di suatu pengadilan?
Baiklah, kita akan mulai melihat dari persamaanya terlebih dahulu. Menurut ku, persamaan sidang yang dilakukan oleh mahasiswa yang sedang mempertanggungjawabkan karya tulisnya secara ilmiah di depan dosen penguji dengan sidang yang dihadapi oleh seorang terdakwa tindak pidana/perdata di depan hakim ialah, baik mahasiswa maupun terdakwa akan sama-sama duduk dalam kursi pesakitan. Kursi pesakitan karena dimaknai bahwa semua sidang bersifat zero sum (kalah atau menang). Dan baik mahasiswa ataupun terdakwa akan dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan oleh dosen penguji maupun hakim Terdakwa akan mendapatkan tuntutan-tuntutan dari jaksa penuntut umum sedangkan mahasiswa akan mendapatkan kritikan-kritikan atau tuntutan-tuntutan dari dosen-dosen pengujinya. Persamaan lainnya ialah, baik mahasiswa dan terdakwa yang sedang menghadapi sidang akan sama-sama diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan dan mendapatkan pembelaan. Pembelaan ini bisa berasal dari mahasiswa dan terdakwa itu sendiri yang menguraikan argumentasinya ataupun pembelaan tersebut bisa datang dari pengacara untuk terdakwa dan dosen pembimbing untuk mahasiswa.
Sedangkan perbedaan diantara keduanya ialah sidang yang dihadapi oleh mahasiswa cenderung bermakna positif sedangkan sidang yang dihadapi oleh terdakwa cenderung bermakna negatif. Bermakna positif, karena mahasiswa yang sedang menghadapi sidang tidak berada dalam posisi salah atau benar. Sidang yang dilakukan oleh mahasiswa sebenarnya bagian dari proses belajar itu sendiri. Sedangkan sidang yang sedang dihadapi oleh terdakwa bersifat zero sum (pembuktian benar atau salah). Jika tidak terbukti bersalah maka terdakwa tersebut akan diganjar dengan kebebasan, sedangkan jika terbukti bersalah maka hukuman pun harus siap untuk dijalani.
Aku merupakan salah satu orang yang beruntung yang pernah melakukan sidang untuk mempertanggungjawabkan karya tulis ilmiah yang pernah ku buat. Pengalaman pada saat itu (sidang) bagi ku merupakan sebuah pengalaman yang sangat berkesan dan bisa jadi sekali seumur hidup. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini aku pun tidak akan pernah tahu apakah Tuhan di atas sana masih memberikan rezeki dan kesempatan untuk ku agar dapat menununtut ilmu dijenjang yang lebih tinggi lagi atau justru aku harus bekerja demi menafkahkan diriku serta istri dan anak ku.
Sebelum melaksanakan sidang seluruh mahasiswa pada umumnya diharuskan untuk mendaftar terlebih dahulu. Dan bagi ku menyiapkan ritual sidang sebenarnya juga merupakan sebuah proses yang cukup melelahkan dan menguras dompet. Hal ini disebabkan kita sebagai calon peserta sidang diharuskan untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan untuk kelengkapan administrasi. Kelengkapan-kelengkapan tersebut diantaranya, foto, photo copy ijazah SD hingga SMA, surat keterangan bimbingan, lembar pengesahan yang telah ditanda tangani oleh dosen pembimbing satu dan dua serta ditanda tangani oleh dosen pembimbing akademik, surat keterangan peneletian, skripsi yang siap diujikan dan berkas-berkas lainnya. Ketika berkas-berkas tersebut dinilai telah lengkap oleh petugas administrasi, maka petugas administrasi akan mengetikkan form yang mana di dalamnya tertera tanggal dan waktu dilaksanakan ritual (sidang) tersebut. Di form tersebut juga tertera siapa saja dosen-dosen yang akan menguji karya tulis kita. Proses menunggu keluarnya nama-nama dosen penguji yang akan menguji karya tulis ku mampu membuat jantung ini berdegup kencang, hati bergejolak tak menentu dan bibir ini tak mampu untuk berhenti menguntaikan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa agar mempermudah segala urusanku kedepannya.
 Tidak perlu menunggu waktu lama, siang itu setelah berkas-berkasku selesai diproses, namaku dipanggil oleh petugas administrasi dijurusanku, “Mas form ini segera diurus dibagian akademik” perintahnya. “Oh ya, enggih Mbak,” jawabku dalam bahasa kromo nginggil sebagai bentuk rasa hormat terhadap orang yang lebih tua. Aku masih mengingatnya, hari itu ialah hari Jum’at. Rajanya hari dalam satu minggu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama yang aku anut. Orang pertama yang aku kabari bahwa aku akan melaksanakan sidang pada tanggal 19 Juli tak lain dan tak bukan ialah kedua malaikat tak bersayap yang tinggal di kabupaten penghasil beras, Karawang. “Bu InsyaAllah Kesit sidang tanggal 19 Juli,” “Oh ya Le, Ibu sama Bapak mendoakan dari sini,” sahut ibuku yang sangat antusias mendapat kabar gembira ini.
Setelah menghubungi ibuku, aku pun bergegas menuju ruang akademik. Kaki-kaki kecil ini dengan riang menuruni anak tangga satu per satu menuju ruang akademik yang terletak di bawah. Sambil berjalan aku pun menyempatkan untuk membaca nama-nama dosen penguji yang akan menguji karya tulis ku. Karya tulis yang telah aku buat selama berbulan-bulan dan banyak pengorbanan di dalam prosesnya. Dikertas yang kubawa tersebut tertera nama-nama sebagai berikut, Bapak Alfan Djamil selaku ketua penguji, Bapak Supriadi selaku sekretaris satu sekaligus dosen pembimbing pertama ku, Bapak Pra Adi selaku sekretaris dua sekaligus berperan sebagai dosen pembimbing dua ku, Ibu Adhining dan Ibu Indri selaku anggota. Kelima orang tersebutlah yang kelak akan turut ambil bagian dalam salah satu episode kehidupanku.
Ketika sedang asyik berjalan menyusuri lorong kelas, salah satu temanku Yeni menyapaku dari belakang, aku pun menghentikan langkahku untuk menunggunya dan kemudian kami berjalan beriringan, “Sar siapa saja dosen pengujinya?” tanyanya dengan suaranya yang khas. Aku tidak menjawab pertanyaannya, yang ku lakukan hanyalah menyodorkan form tersebut agar dibacanya. “Ih dosen pengujinya enak Sar.” Aku pun hanya berkata, “Alhamdulillah Yen.” Tapi hati kecil ini mengatakan “Sar jangan pernah meremehkan, siapapun dosen penguji Mu, di ruang sidang itu bersifat unpredictable.” Satu hal yang kusadari ialah dalam ruang sidang tidak ada yang bisa memprediksikannya. Bisa jadi ada mahasiswa yang diuji oleh dosen yang diklasifikasikan dosen killer namun dia dinyatakan lulus bahkan dengan nilai yang memuaskan. Bagi ku mahasiswa tersebut dikatakan layak lulus karena memang dia telah menyiapkannya sebaik-baiknya. Namun ada juga kisah-kisah tragis dimana mahasiswa kandas dalam sidang karena dia meremehkan dosen yang mengujinya, sehingga dia tidak mempersiapkannya dengan baik. Tak terasa jam di tanganku menunjukkan pukul 11.00, aku pun bergegas pulang ke kosan untuk membersihkan telinga, memotong kuku ku dan memakai wewangian dan bersegera menjawab panggilan kemenangan (adzan).
Keesokan harinya, telepon genggam ku berdering, di displaynya tertera nama Ibuku yang menelepon ku. “Le, gimana persiapannya?” tanya ibu ku di ujung sana. “Ya Bu, nanti Kesit akan menyiapkannya dengan baik,” jawab ku menenangkan ibu ku. “Oh ya Le, Bapak kemarin sudah cari tiket kereta api, InsyaAllah nanti waktu Kamu sidang biar ditemani Bapak.” Aku pun langsung tersentak kaget mendengar berita ini. “Bapak nanti mau mampir Solo dulu nengok adikmu, terus Selasa sore dari stasiun Solo Balapan naik kereta Sancaka Sore terus dilanjutkan naik kereta Mutiara Timur dari stasiun Gubeng,” papar ibu ku. “Oh ya Bu, nanti biar tak jemputnya kalau sudah sampai Jember.” Tidak kusangka orang tua ku yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang guru dengan seabrek kegiatannya ternyata berusaha untuk meluangkan waktu demi menemani anaknya yang hingga kini masih miskin prestasi ini agar dapat tenang pada saat melaksanakan sidang. Namun disisi lain, kehadiran ayah ku ini juga bisa membuat aku semakin nerveous dalam menghadapi sidang. Dan hari itu perasaanku campur aduk antara senang dan takut. Senang, karena kedua orang tua ku sangat mempedulikanku. Takut, karena takut mengecewakan orang tuaku yang telah jauh-jauh datang kemari untuk menemani anaknya.
Hari Senin aku bergegas ke kampus untuk mengurusi berkas-berkas yang kemarin sempat tertunda. Misiku hari ini ialah mendapatkan tanda tangan Pak Bayu selaku Pembantu Dekan satu (PD1). Karena berkas pendaftaran sidangku harus diketahuinya selaku PD1 yang mengurusi bagian akademik. Kebetulan pada hari ini, salah seorang senior ku juga akan menghadapi sidang. Sambil menunggu berkas-berkasku di tanda tangani oleh Pak Bayu, aku pun berbincang-bincang dengan Mbak Tutus. “Kapan Dek ujiannya?” tanya Mbak Tutus. “InsyaAllah hari Kamis besok Mbak,” jawabku. Tidak lama petugas administrasi dijurusanku datang sambil membawa kunci ruang sidang. Dan petaka itu kemudian datang menghampiriku.
“Gangsar, Kamu gak bisa ujian hari Kamis, jadwal Mu Saya undur,” jelasnya sambil terburu-buru. Aku pun tidak tinggal diam, aku segera bangkit dari posisi dudukku dan segera mengejarnya ke ruang jurusan. “Mbak kenapa ujiannya ditunda?” tanya ku meminta penjelasan. “Lho Kamu gak bisa ngurus berkas-berkas itu dalam satu hari,” terangnya. “Tapi Mbak, kemarin itu hari Jum’at, selain itu Pak Budi juga jadi panitia penerimaan mahasiswa baru jalur lokal, bahkan untuk mendapatkan parafnya saja, Saya harus menunggu kedatangannya hingga jam tiga sore,” jelasku tak mau kalah. “Terus Kamu kapan bisa mendistribusikan skripsi ke dosen pengujinya, dosen penguji harus segera menerima skripsi itu, kalau begini kan dosen-dosen penguji mu belum membaca skripsinya.” “Ya Mbak ini Saya sedang berusaha mengurusi berkas-berkasnya dan kurang tanda tangan dari Pak Bayu.” “Tidak bisa ujian mu tetap saya tunda.” “Tapi Mbak Ayah saya sudah pesan tiket dan berencana untuk menemani saya ujian.” “Ya terserah, tapi ujianmu tetap Saya tunda.”
Seketika itupun , lututku terasa lemas seperti tidak kuat menopang badan ini apalagi menopang petaka itu. Dengan langkah gontai aku pun keluar ruang jurusan dan menelepon Ibu ku. “Bu maaf ujian Kesit ditunda.” “Lho kenapa Le?” tanya ibuku penasaran. “Kesit gak bisa mengurus berkas-berkas itu dalam satu hari dan petugas administrasi di jurusan tidak mau tahu.” “Oalah Le,” suara parau ibuku terdengar jelas ditelinga ku. “Bu, tiket kereta yang sudah di pesan Bapak ada baiknya dibatalkan saja, karena Kesit juga gak tau kapan bisa sidang.” “Ya sudah Le yang sabar, nanti biar Bapak, Ibu yang ngabari.”
Saat itu, perasaanku bagaikan teriris sembilu kemudian bekas irisan tersebut digarami. Perih sekali rasanya. Sangat perih. Lagi-lagi aku mengecewakan kedua orang tua ku. Angan ini kemudian melayang, bagaimana ayahku yang sibuk itu, berusaha meluangkan waktunya, meminta cuti pada atasanya, menarik uang lebih dari tabungannya, dan siap berlelah-lelah melakukan perjalanan ratusan kilometer demi menemani anaknya sidang. Tapi sekali lagi petugas adminstrasi itu, bak robot yang tidak memiliki perasaan. Perasaanku pun membuncah dan ingin rasanya bulir-bulir air mata ini keluar dari tempatnya. Tidak lama, dosen pembimbing dua ku datang dan aku menceritakan semuanya. “Ya gak apa-apa Gangsar, semoga uang tiketnya tidak hangus dan ini mungkin ini yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa.” “Ya Pak,” sahutku lirih. Aku pun kemudian menemui, dosen penguji ku yang lainnya yaitu Ibu Indri. “Maaf Bu tadi pagi saya yang sms, niat saya hari ini mau mendistribusikan skripsi Bu, tapi ujiannya ditunda oleh Mbak Sri.” “Lha kenapa Sar?” “Kata Mbak Sri kasihan dosen pengujinya Bu, waktunya untuk membaca skripsi Saya hanya sebentar.” “Padahal Ayah saya sudah punya rencana untuk menemani Saya pada saat Saya sidang.” “Gangsar, jujur saja ya, kalau saya biasanya ketika mau menguji skripsi biasanya baru membaca skripsi yang akan diujikan itu H-1.” “Karena kalau jauh-jauh hari justru saya takut lupa.” “Wah berarti Ibu gak masalah dengan keterlambatan saya mendistribusikan skripsi ini Bu?” tanyaku meyakinkan beliau. “Sama sekali tidak.”
Siang harinya, aku menunggu kedatangan petugas administrasi jurusanku. Beliau meminta aku untuk menemuinya siang hari setelah jam istirahat. Tidak lama menunggu beliau datang. Aku pun segera menanyakan kapan jadwal ku untuk bisa sidang. “Mbak kapan Saya bisa ujian?” tanyaku. Beliau terlihat sibuk memeriksa kalender dan melihat layar monitor komputernya. “Begini Mbak tadi Saya sudah menemui beberapa dosen penguji Saya dan sebenarnya mereka tidak keberatan kalau Saya telat mendistribusikan skripsi, karena mereka biasanya baru membacanya H-1,” terangku. “Oh ya sudah kalau gitu, jadwal sidang mu gak jadi saya undur, tapi dengan satu syarat kamu harus berhasil mendistribusikan skripsi ini dalam satu hari,” perintahnya. Bak mendapatkan berita aku menang togel, aku pun senang bukan kepalang dan segera pamit kepada petugas administrasi membawa skripsiku dan tidak lupa membawa buku distribusi skripsi. Walaupun dalam hati, aku merasa seperti dipermainkannya.
Sampai di parkiran sepeda motor masalah berikutnya datang. Aku yang sudah empat tahun kuliah di sini ternyata tidak tahu dimana alamat rumah dosen-dosen pengujiku tersebut. Tidak lama aku pun segera menelepon salah seorang temanku, Regi. Seingatku Regi ialah salah satu temanku yang membeli buku agenda dan di dalam buku agenda tersebut terdapat alamat dosen-dosenku. “Ayo Ndhuk temenin Aku distribusikan skripsi-skripsi ini, kalau Ku gak bisa mendistribusikannya dalam satu hari nanti ujian Ku bisa ditunda lagi,” pintaku pada Regi. “Ya udah, ayo tak temenin,” kata Regi menenangkan ku. “Thanks Ndhuk,” sahutku gembira. Siang itu tidak bisa ku lupakan, aku yang ditemani oleh Regi mulai berkeliling mencari rumah-rumah dosen-dosen penguji ku. Di bawah teriknya matahari, aku pun meyakinkan diriku bahwa harus bisa menyelesaikan pendistribusian skripsi ini. Akhirya sore hari sekitar pukul 17.00 aku telah rampung menyelesaikan tugas dari petugas administrasiku dan dia (petugas adminisrasi) tidak berhak untuk menunda ujianku lagi.
Debu-debu jalanan yang menemaniku siang tadi langsung ku bersihkan dan tidak lama adzan Maghrib berkumandang dari Masji Al-Muhajirin. Setelah berpakaian bersih dan memakai wewangian seadanya aku pun berjalan memenuhi panggilan-Nya. Dalam perjalanan pulang, Aku tertawa. Aku mentertawai kebodohanku sendiri. Aku pun malu dengan perilaku siang tadi yang menjadi orang pesimis dan tidak bersyukur hanya karena ada ujian kecil (ujianku diancam ditunda). Malam itu Aku bersyukur. Bersyukur karena walaupun ujianku hampir dibatalkan, namun skripsi ku telah selesai dan siap diujikan, sedangkan masih banyak dari teman-temanku yang berusaha menyelesaikan skripsinya atau berusaha dalam proses pengajuan proposal. Malam itu keyakinanku terhadap ayat-Nya semakin bertambah. Nikmat manakah yang kamu dustakan?
Esok harinya aku menelepon ibu ku. “Bu, ujiannya gak jadi ditunda.” “InsyaAllah Kesit tetap ujian hari Kamis.” “Kalau Bapak tiket keretanya sudah terlanjur dibatalkan, ya gak apa-apa, Kesit Cuma minta doa Ibu sama Bapak saja dari sana,” terangku. “Oh ya Le, gak usah khawatir, Ibu sama Bapak pasti mendoakan.” “Lha gimana buat konsumsi dosen-dosennya?” tanya ibuku. “Gak usah khawatir, temen ku Triono yang akan menyiapkannya,” jawab ku. Hari ini, aku niatkan untuk ke kampus, menghilangkan stres dengan bercanda dengan teman-teman agar besok kepala menjadi lebih segar. Selain itu, berdiam diri di kamar saja justru akan membuat ku semakin paranoid.
Tapi ternyata masalahku masih belum berakhir. Setelah ketemu teman-teman di kampus bahkan kita bercanda hingga sore hari (karena pada saat itu hujan) aku pulang ke kosan dengan kondisi kehilangan kunci kamar. Aku pun langsung membongkar tasku, bahkan aku nekat menerjang gerimis menelusuri kembali jalanan yang ku lalui tadi demi menemukan kunci kamarku dan alhasil upaya itu sia-sia. Dengan berat hati aku harus merelakan jendela dan teralis  yang dibongkar oleh teman-teman ku agar aku bisa masuk. Ya mungkin ini sudah jalan takdir ku, pikir ku dalam hati. Kalau jendela kamar tidak dibongkar, bagaimana besok aku mau melaksanakan sidang, sedangkan pakaian, materi skripsi, dan keperluan-keperluan lainnya ada semua di dalam kamar?
Malam harinya aku membuka kembali skripsiku yang telah ku cetak. Ya walaupun skripsi ini buatan ku sendiri dan aku hapal betul seluk-beluknya, namun tetap saja aku harus mempelajarinya. Satu hal yang kutangkap ialah, aku mempelajari kembali skripsi ini ialah dengan menuliskan kembali gagasan-gagasan umum dari argumentasi-argumentasi khusus yang telah ku tuliskan. Aku tidak ingin terjebak oleh detail kecilnya ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen penguji dan melupakan hal yang paling penting yakni gagasan-gagasan utamanya. Metode belajar ini aku namakan dengan sebutan rekonstruksi. Rekonstruksi, aku kembali membangun gagasan-gagasan utama dari kalimat-kalimat khusus yang telah ku buat. Karena pada faktanya ketika aku menuliskan skripsi tersebut aku mendekonstruksikannya. Dari hipotesis, kerangka teori aku dekonstruksi menjadi gagasan-gagasan sederhana yang ditambahi data yang kredibel. Halaman demi halaman skripsi mulai aku coret-coret. Di beberapa kalimat di bab empat, ku tuliskan teori mu bekerja, rumusan masalah mu terjawab dan sebagainya. Pada intinya yang ku lakukan ialah menandai agar esok hari ketika ditanyakan oleh dosen penguji aku bisa bereaksi cepat dan tidak membuat dosen penguji menunggu.
Slide presentasi yang aku buat berjumlah 14 slide. Pada awalnya banyak yang menyarankan bahwa kalau bisa slide presentasi cukup berjumlah sekitar 10 hingga 12 saja, hal ini disebabkan waktu yang diberikan untuk mempresentasikan karya tulis hanyalah sekitar 10 hingga 13 menit. Tapi bagiku yang menjadi masalah bukanlah waktu dan jumlah slide, melainkan bagaimana kita sebagai presentator mampu menarik perhatian dari dosen-dosen penguji walaupun slide yang kita tampilkan cukup banyak. Bagiku jumlah slide yang sedikit dan kita yang bisa menghemat waktu presentasi yang telah disediakan oleh dosen penguji bukan berarti menjadikan dosen-dosen penguji tertarik dengan apa yang kita tuliskan. Walaupun waktu presentasi kita lebih dari waktu yang telah disediakan, tapi kalau dosen penguji tertarik maka mereka akan lupa dengan waktu dengan sendirinya. Aku hampir terjebak membuat slide yang meriah namun tidak terbaca. Alhamdulillah, kemarin-kemarin Pak Pra Adi telah memeriksa slide ku dan memberikan beberap masukkan.
Sambil belajar, aku mencoba mengingat pesan yang pernah disampaikan oleh dosen pembimbing dua ku. “Gangsar kalau besok Kamu sidang, Kamu itu akan bertindak seperti seorang sales.” “Seorang sales Pak?” tanya ku keheranan karena tidak mengerti arah pembicaraannya. “Iya, seorang sales akan memainkan peran dan fungsinya sebagai penjual yang berusaha meyakinkan konsumen dengan barang dagangannya.” “Salesnya itu dirimu sendiri, barang dagangannya ialah skripsi Kamu, sedangkan konsumennya ialah dosen penguji Kamu.” “Kalau dua orang pembimbing Mu yang akan bertindak sebagai dosen penguji besok, tidak usah kamu khawatirkan, karena jelas Mereka sudah tahu barang dagangan Mu bahkan Mereka kenal Kamu dibandingkan dengan ketiga pembeli lainnya,” papar Pak Pra Adi. Sejenak aku mencoba memikirkan kata-kata yang disampaikan oleh dosen pembimbingku.
Aku mulai menangkap point-nya. Point-nya tak lain dan tak bukan ialah, aku harus benar-benar mampu meyakinkan ketiga orang dosen penguji ku, karena mereka memang belum mengenal skripsiku dan bahkan tidak mengenal keseharianku dan proses bagaimana aku menyelesaikan skripsi ini. Sedangkan dosen pembimbing tak lain dan tak bukan ialah mitra ku dalam menyelesaikan skripsi ini bahkan terkadang aku menceritakan tentang keluargaku, teman-temaku dan keseharianku kepada mereka setelah proses konsultasi. Oleh sebab itu, wajar jika dosen penguji akan melihat skripsi kita dari sudut pandang, ada yang kurang dan ada yang harus ditambahkan dalam skripsi ini (sudut pandang pengkritik). Sedangkan dosen pembimbing akan melihat bahwa mahasiswa bimbingannya yang melaksanakan sidang ialah mitra mereka dan relasi kami (aku dan dosen pembimbing) ialah relasi saling melengkapi. Lagi pula aku pun menganggapnya bahwa proses pembuatan skripsi, mempertanggungjawabkannya secara ilmiah hingga revisiannya ialah merupakan satu kesatuan dari proses belajar itu sendiri.
Jadi aku mulai bersikap positive thingking bahwa ketika ada kritikan dari dosen-dosen penguji ku yang spesialis dibidang yang ku angkat dalam skripsi ku tak lain dan tak bukan ialah demi perbaikan karya tulis ku semata. Bukankah pendapatan dan kritikan dari para ahli tersebut sangat kita perlukan dan sangat bermanfaat untuk memperkaya skripsi yang telah kita buat?
Malam harinya kamar ku terasa sangat dingin. Wajar saja karena pada malam tersebut selain sore harinya hujan turun dengan derasnya, kamar ku juga saat itu tidak berjendela. Di malam tersebut, aku mulai mencetak sumber-sumber yang kujadikan dasar argumen yang ku tuliskan dalam skripsi ku. Kalau ku cetak semua situs internet yang ku gunakan tentu tidak mungkin. Oleh sebab itu, aku hanya mencetak data-data yang ku dapat baik dari surat kabar, jurnal, maupun institusi-institusi pemerintah Argentina beberapa bagian saja dan itu pun data yang ku anggap penting. Mesin printer ku mulai melahap kertas sisa dari pembuatan skripsi ku. Begitu kertas-kertas itu keluar dari printer, aku mulai mengklasifikasikannya dan ku tulis dengan ballpoint ku data apa, untuk memperkuat argumenku yang mana dan terletak di bab berapa.
Sebenarnya aku tak perlu mencetak sumber-sumber tersebut, toh aku telah menyimpannya dalam hard disk ku. Tapi aku berpikiran bahwa aku tidak mau membuat dosen penguji ku ill feel dengan ku hanya karena masalah teknis, yakni modem ku mengalami gangguan ketika aku ditanyakan, “coba tunjukkan datanya!” Tidak masalah bagi ku untuk mengeluarkan kertas beberapa lembar lagi dan beberapa mili tinta. Satu hal yang ingin ku tunjukkan pada saat sidang ialah 3 P, prepare, perfect performance.
Tak terasa hari yang kutunggu-tunggu datang. Inilah hari penentuan ku. Tapi alangkah lucunya, untuk pakaian yang harus digunakan pada saat sidang pun aku masih mencari pinjaman sana-sini. Karena tidak punya celana kain, aku pun harus meminjamnya dari adik kos ku yang berkuliah dijurusan keperawatan. Pagi itu setelah aku melaksanakan sholat Duha, aku mulai membersihkan sepatu pantofel ku satu-satunya yang dibelikan oleh ibu ku waktu kami lewat kota Magetan. Dasi hitam dengan logo universitas mulai ku ikatkan di leherku. Kadang aku tertawa, semenjak dibeli dasi ini hanya aku gunakan pada saat awal masuk kuliah dan akhir ketka aku ingin meninggalkan kampus ini.
Sebelum berangkat aku memeriksa kembali barang bawaan ku. “Spidol, pulpen, tipe-x, pensil, stabilo, buku-buku materi dan buku catatan selama bimbingan” ujarku dalam hati mengabsen benda-benda tersebut. Sambil memanasi sepeda motor ku, aku mulai berpamitan pada teman-teman kos ku, “Rek dungakne yo, cek sukses” pinta ku kepada teman-teman ku. “Oyi Sar, sepurane yo gak iso ngancani, iki Aku yo enek kuliah,” jawab teman-teman ku. Aku pun berangkat menuju kampus dan dalam perjalanan, tak lupa aku bersedekah semampuku. Oh ya, tentang sedekah ini, walaupun akan mengurangi harta kita secara matematika dunia, tetapi sebenarnya sangat banyak manfaatnya. Satu hal yang kuyakini hingga saat ini, bahwa sedekah mampu menolak bala. Kalau kita bersedekah pada pagi hari makan satu hari itu pun Yang Maha Kuasa akan menggaransi (menyelamatkan) hidup kita. Yang Maha Kuasa pun akan menyingkirkan bala yang sebenarnya bisa menimpa kita kapan pun. Oleh sebab itu mulai dibiasakanlah bersedekah sebelum mengawali kegiatan kita sehari-hari.
Sesampainya di kampus, aku langsung bertemu dengan dosen pembimbingku dan aku pun segera menghubungi pelayanan kelas untuk menyiapkan viewer yang aku butuhkan. Triono pun telah tiba di kampus membawakan jajanan yang aku titipkan padanya. “Suwun yo Kep,” ujarku. “Oyi,” jawab Triono singkat. Aku pun mulai menata botol air mineral untuk ke lima dosen penguji ku. Menyiapkan buku-buku yang ku bawa, sumber-sumber yang telah ku cetak dikertas bekas dan alat-alat tulis.
Tidak lama kemudian, dosen-dosen penguji masuk ke dalam ruangan sidang. Banyak yang bilang ruangan itu sangat angker, karena di ruangan tersebut bisa mencetak sarjana baru. Sarjana baru yang sebenarnya akan menjadi tanggungan negara karena mungkin tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Namun bisa jadi jadi ruangan tersebut akan mencetak the loser. Tapi bagi ku tidak ada pola zero sum dalam ruangan tersebut karena hakikatnya ruangan itu ialah ruangan ujian. Aku lebih senang menyebut ujian dibandingkan sidang, karena dengan ujian akan menaikkan derajat seseorang tetapi dengan ujian juga seseorang akan diuji dengan hal lainnya seperti kesabaran dan keteguhan untuk diuji kembali di ruang tersebut.
“Assalamualaikum Waruhmatullahi Wabarakatuh” suara Pak Alfan Djamil membuka ritual sidang pagi itu. “Pagi hari ini, Kita akan menguji skripsi dari saudara Gangsar Parikesit.” “Mungkin bagi saudara Gangsar Parikesit sendiri apakah sudah siap melaksanakan ujian ini?” tanya Pak Alfan kepadaku. “InsyaAllah siap lahir batin Pak,” jawabku mantap. “Apakah ada yang ingin direvisi sebelum Kita memulai sidang ini?” “Hmmm, ini Pak, Saya kemarin belum tahu siapa saja dosen penguji Saya, ini lembar pengesahannya,” ujarku seraya memberikan beberapa lembar pengesahan yang baru ku cetak tadi malam. “Lembar pengesahannya nanti saja,” ujar Bu Indri memecah kesunyian di ruangan itu.
“Baiklah Gangsar Parikesit, Kamu diberikan waktu 10 sampai 15 menit untuk memaparkan skripsi milikmu.” “Selanjutnya setelah pemaparan skripsi, Kita memasuki sesi tanya jawab,” ujar Pak Alfan yang memberitahukan kepada ku aturan mainnya. Aku pun tak menyia-nyiakan waktu. Ku buka pemaparan ku dengan slide pembukaan ku, kemudian aku mulai menguliti bab 1 ku seluruhnya. Aku pun berusaha untuk menekankan kepada dosen-dosen penguji, bahwa skripsi ku dengan judul kemenangan Cristina Fernandez De Kirchner pada pemilu presiden Argentina pada tahun 2011, memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan tema-tema serupa yang telah diangkat oleh senior-senior ku.
“Walaupun tema ini pernah diangkat oleh pendahulu Saya, namun dalam skripsi Saya ini terdapat anomali.” “Dalam pemilu sela faksi partai yang dipimpin oleh Cristina Fernandez mengalami kekalahan, namun pada saat pemilu presiden di Argentina, Cristina Fernandez mampu memenangi pemilu hanya satu putaran saja.” “Hanya dalam waktu dua tahun saja, paska pemilu sela, Cristina Fernandez mampu mengembalikan kepercayaan publik pada dirinya,” tegas ku mantap.
Di slide-slide yang berikutnya, yang ku lakukan hanya mengelaborasi saja kalimat-kalimat yang telah ku tuliskan di slide. Alhamdulillah, tadi malam ku sempat belajar presentasi ditemani dengan stop watch dan berlatih merangkaikan kalimat-kalimat yang efektif. Tak terasa 14 slide telah habis ku paparkan di depan dosen penguji. Besar harapan ku pada saat itu seluruh dosen penguji tertarik dengan gaya presentasiku terutama tentang isi skripsi ku.
“Baiklah, itu tadi pemaparan mengenai skripsi yang di buat oleh Saudara Gangsar.” “Memasuki sesi berikutnya ialah sesi tanya jawab.” “Di persilakan untuk yang pertama oleh Bu Adhining,” ujar Pak Alfan seraya mempersilahkan Bu Adhining untuk bertanya. “Gangsar, tadi Gangsar menceritakan bahwa, untuk menganalisis permasalahan tersebut, Gangsar menggunakan teori rational choice, nah seberapa yakinkah kalau pilihan dari masyarakat Argentina merupakan pilihan yang rasional?” Sebelum menjawab, aku tersenyum. Entah pada hari ini aku terlalu senang atau bagaimana, tapi satu hal yang jelas aku banyak memasang senyum. Selain mampu menenangkan diri ku sendiri, senyum juga merupakan sebuah tanda persahabatan. “Baik Bu, terima kasih atas pertanyaannya.” “Saya sangat yakin, karena masyarakat Argentina memilih Cristina Fernandez berdasarkan atas program-program kerjanya yang dinilai lebih rasional untuk direalisasikan dibandingkan dengan program-program kerja kandidat yang lainnya.” “Adanya momentum, seperti pertumbuhan ekonomi, statusnya Cristina Fernandez sebagai petahanan dan terfragmentasinya kandidat oposisi, semakin menguatkan pilihan masyarakat terhadap Cristina Fernandez.” Aku kemudian tak sungkan untuk meminta izin kepada dosen-dosen penguji untuk menggunakan white board yang telah disediakan. Spidol hitam yang ku bawa mulai menari-nari membentuk diagram Tidak memakan waktu yang lama, diagram yang ku gambarkan telah tersaji. Diagram sederhana tentang perbedaan pilihan yang dilakukan oleh masyarakat rasional dan masyarakat tradisional. Dengan diagram ini aku berharap mampu menyimpulkan teori yang ku gunakan dalam menganalisis permasalahan yang ku ajukan dalam rumusan masalah ku.
Bu Adhining, terlihat puas dengan jawaban ku. “Oh ya, Gangsar, ini masih ada yang harus kamu tambahkan, data di halaman sekian coba di gambarkan dengan hubungan sistem politik Argentina.” “Ini yang Saya lihat, hanya gambar sistem politik bentuk negara republik.” “Bu untuk yang satu ini, Saya sudah mencoba mencari datanya, tapi belum menemukannya.” Kenapa Saya gunakan gambar sistem politik negara repubik karena Argentina juga merupakan negara republik.” “Jadi menurut Saya substansinya tetap tersampaikan kepada pembaca,” jawab ku dengan sopan. “Tapi kalau Ibu menghendaki untuk dituliskan gambar sistem politik Argentina, baiklah nanti akan Saya tambahkan,” ujar ku menenangkan bu Adhining. “Selain itu, Gangsar, masak sumber rujukan buku-bukunya cuma ada sedikit, sepengetahuan Saya buku tentang sistem politik dan pemerintahan negara-negara Amerika Latin itu banyak.” “Oh ya Bu, untuk buku, sebenarnya sudah saya upayakan, namun yang Saya dapatkan hanya itu, tapi Saya rasa buku itu sudah cukup sebagai rujukan dari skripsi Saya,” jawabku atas kritikan Bu Adhining.
“Bu Adhining apakah, masih ada pertanyaan lagi?” tanya ketua penguji. “Tidak Pak Saya rasa sudah cukup.” “Silahkan Bu Indri untuk memberikan pertanyaan pada Saudara Gangsar Parikesit.” Aku sempat berpikir bahwa dosen-dosen penguji ku ini ialah dosen-dosen yang telah memiliki kemampuan di bidang yang sesuai dengan tema skripsi yang aku angkat. Bu Adhining merupakan dosen sistem politik dan pemerintah negara-negara Amerika Latin. Dan sekarang tiba saatnya untuk Bu Indri yang terbiasa menghadapi metodologi dan teknis penulisan.
“Saya dari dahulu selalu penasaran dengan Anda, karena Anda memiliki nama yang unik yaitu Gangsar Parikesit.” “Kalau boleh tahu apa sih artinya?” tak ku duga ternyata Bu Indri mampu mencairkan suasana di dalam dengan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan skripsi ku. “Itu nama wayang Bu, ayah Saya pernah menjelaskan bahwa Gangsar Parikesit ialah raja di Astina dan cucu dari Abimanyu.” “Nama Gangsar Parikesit sendiri artinya ialah lancar menjadi raja di Astina Bu, selain itu nama Gangsar juga bisa berarti lancar,” jawab ku sambil tersipu malu.
“Oh begitu, baiklah, Gangsar, ini untuk bab 1 seharusnya menggunakan format penulisan trapesium terbalik.” “Tema Anda menarik, tapi kalau dengan bentuk tulisan seperti ini, pembaca tidak digiring kepada hal yang menarik tersebut.” “Kemudian Gangsar, tiap tabel dan gambar diberi kalimat pengantar, judul tabel atau gambar, dan penjelasan.” “Ini di skripsi Anda hanya sebagian, belum seluruhnya yang menuliskan kalimat pengantar, judul tabel atau gambar, dan penjelasan.” “Selain itu mungkin ada baiknya Kamu memasukkan program-program ketiga kandidat yang bersaing ke bab tiga.” “Kalau Kamu mencoba membandingkan program-program ketiga kandidat tersebut, Saya rasa orang yang expert dibidang itu belum tentu bisa melakukannya,” saran Bu Indri. “Kemudian ini masalah metodologi, di hipotesismu kamu mengajukan bahwa Cristina menang itu karena masyarakat Argentina bersikap rasional.” “Tetapi di sisi lain, Kamu juga menganggap bahwa momentum itu juga menjadi variabel penting.” “Setau Saya, hipotesis itu diangkat based on kerangka teori.” “Tolong dijelaskan!”
“Terima kasih untuk Bu Indri atas masukan-masukkannya.” “Nanti akan Saya perbaiki.” “Untuk hipotesis, Saya menganggap bahwa kerangka teori rational choice yang Saya gunakan telah sesuai, karena ada kesusaian antara momentum pertumbuhan ekonomi Argentina, status Cristina sebagai petahanan dan terfragmentasinya kandidat oposisi.” “Momentum itu semakin memperkuat rasionalitas pemilih untuk menjatuhkan pilihannya kepada Cristina Fernandez.” “Teori rational choice bagi Saya mampu meng-cover kedua hipotesis yang Saya ajukan.” “Namun sebenarnya Saya juga sempat berpikir seperti yang Ibu sampaikan.” “Tetapi Saya tidak menemukan momentum itu, dibungkus menjadi sebuah teori,” terang ku. “Ya sudah gini saja Gangsar, nanti bisa minta tolong Pak Pri tentang teori momentum tersebut.” “Pak Pri, setau Saya dulu Saya dan Pak Pri juga pernah menguji skripsi yang ada momentumnya ya.” “Tapi Saya lupa skripsinya siapa itu,” Bu Indri membuka komunikasi dengan pembimbing satu ku. “Ya sudah Gangsar, nanti kita lanjutkan di luar saja,” ujar Pak Pri menenangkan ku.
Jujuar saja, aku sangat berterima kasih diberikan dosen pembimbing seperti Pak Supri dan Pak Pra Adi. Hal ini disebabkan karena selama proses pengerjaan skripsi, aku diberikan kebebasan untuk menulis. Kami bertiga lebih sering diskusi. Banyak dari teman-teman ku yang ketika bimbingan yang terjadi ialah bukan proses dialog tetapi monolog, sehingga mahasiswa tidak bisa mengeksplorasi data dan penulisan. Jadi sebelum aku berangkat ke kampus, aku telah meyakinkan diri ku, bahwa ketika di ruang sidang aku tidak usah berharap dosen-dosen pembimbingku mampu membantu ku menjawab pertanyaan dari dosen-dosen penguji, apa lagi aku terkesan menyalahkan tentang penulisan skripsi ini ketika mendapatkan kritikan-kritikan. Skripsi ini buatan ku dan pertanggungjawaban ilmiahnya juga murni milik ku.
“Baiklah, Bu Indri, apakah masih ada pertanyaan?” “Saya rasa dari Saya sudah cukup Pak.” “Baiklah sekarang giliran Saya.” Sekarang tiba giliran Pak Alfan dosen yang expert dibidang komunikasi. Kebetulan di skripsi ku sangat banyak menganalisis komunikasi politik yang dilakukan oleh kandidat-kandidat yang bersaing. “Tadi Saudara Gangsar membicarakan masalah terorisme global, terus apa kaitannya terorisme global ini dengan skripsi Mu?” pertanyaan pertama muncul dari mulut Pak Alfan. “Oh begini Pak, Saya menyampaikan terorisme global itu hanya merupakan sebuah pembanding.” “Di Spanyol ada mantan perdana menteri yang menuduh peledakan stasiun kereta api bawah tanah dilakukan oleh kelompok teroris, ternyata mantan perdana menteri itu salah.” “Yang melakukan peledakan stasiun kereta api bawah tanah itu ialah pemberontak ETA.” “Salah tuduh itu mengakibatkan Dia tidak terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.” “Ini hanya masalah perbandingan saja Pak, perbandingan bahwa ternyata hal itu tidak berlaku bagi Cristina Fernandez, karena walaupun kalah dalam pemilu sela, Dia bisa menang dalam pemilu presiden hanya satu putaran.”
“Dari Saya cukup.” “Baiklah Saya berikan kesempatan bagi Pak Pri dan Pak Pra Adi untuk bertanya.” “Saya tidak ada pertanyaan Pak,” ujar Pak Pri. “Kalau Saya hanya nanti masukkan-masukkan yang disampaikan oleh dosen-dosen penguji di tuliskan ya Gangsar.” “Baik Pak.” Aku sangat bersyukur, karena dosen-dosen pembimbing yang sebenarnya juga berperan sebagai dosen penguji tidak bertanya. Padahal di jurusan-jurusan yang lainnya dosen pembimbing sekaligus yang berperan sebagai dosen penguji biasanya juga akan bertanya. Sekarang coba kalian bayangkan apa jadinya seseorang dosen pembimbing yang mengetahui seluk-beluk skripsi kita itu ikut bertanya? Tapi sekali lagi masih banyak mahasiswa yang kecewa dan tidak bersyukur ketika dosen pembimbing skripsi tidak memberikan bantuan kepadanya di ruang sidang.
“Baiklah saudara Gangsar Parikesit, silahkan Anda menunggu di luar.” Aku pun dengan mantap mohon diri untuk keluar. Waktu peserta disidang di suruh keluar sebenarnya merupakan proses konsensus dari kelima dosen penguji. Apakah peserta sidang dinyatakan lulus atau tidak dan mau diberi nilai apa. Seringkali kalau peserta sidang kurang maksimal dalam memaparkan skripsi dan juga tidak begitu maksimal dalam menjawab pertanyaan dari dosen penguji akan membuat dosen-dosen pembimbing melakukan negosiasi ekstra kepada ketiga dosen penguji lainnya. Begitu di luar aku sangat lega karena teman-teman ku sudang menunggu di luar, dan belum selesai aku menjawab pertanyaan gimana tadi sidang mu. Aku terlebih dahulu dipanggil oleh Pak Pra Adi. “Baiklah Gangsar Parikesit, Kami kelima dosen penguji menyatakan Anda lulus dengan nilai A. “Selamat, semoga jodohnya lancar dan rezekinya lancar juga,” doa dari Pak Alfan seraya menjabat tangan ku diiringi dosen-dosen penguji lainnya yang juga menjabat tangan ku sebagai bentuk ucapan selamat.
Sidang yang telah ku lalui pada pagi itu memberikan banyak pelajaran berharga. Ternyata sidang tidak semenakutkan apa yang ada tertancap kuat dibenak mahasiswa-mahasiswa pada umumnya. Kalau skripsi itu buatan kita, kita tidak menjiplak dan kita jujur dalam prosesnya, apa yang harus kita takutkan? Dosen-dosen penguji sebenarnya ialah mitra agar tulisan skripsi kita lebih baik lagi. Maka sanggahlah ketika argumen yang diajukannya tidak sesuai dengan argumen dan isi skripsi kita, tetapi sanggahlah dengan santun dan tidak arogan. Yang paling ku rasakan ialah ternyata pendekatan spritualitas yang saat ini banyak dipertanyakan keberhasilannya oleh manusia-manusia modern itu terbukti manjur. Entah mengapa, aku merasa ruang sidang di dalam terasa adem ayem. Aku merasakan kehadiran Yang Lain yang aku lebih suka menyebutkannya bantuan tangan Yang Maha Kuasa yang membantu kelancaran sidang ku. Aku semakin mantap dengan keyakinan ku bahwa, tidak ada Dzat yang bisa membolak-balikkan hati, selain Dzat yang menguasai hati itu sendiri. Pendekatan spritualitas seperti sedekah, sholat malam, sholat Duha dan doa ke dua bidadari kita di rumah ternyata lebih mustajab, dibandingkan dengan perilaku kita yang seringkali memprioritaskan memohon doa dari teman-teman atau sekedar support dari pacar tapi tidak memprioritaskan doa orang tua. Aku menganggap sidang yang ku lalui bukan lah sidang seperti di pengadilan, aku lebih senang menyebutnya ujian, karena ujian bermakna positif. Ujian akan menaikkan derajat kita yang telah lolos ketika di uji. Dan ketika belum lolos dari ujian tersebut, itu berarti Yang Maha Kuasa sedang menguji kesabaran kita.