Sabtu, 28 April 2012

Pelajaran Berharga Dari Hotel Bintang Tiga


Diskusi merupakan salah satu sebuah proses pembelajaran yang cukup menyenangkan. Melalui diskusi kita akan dipermudah. Mengapa? Karena dengan berdiskusi kita dapat mengumpulkan berbagai macam isi kepala (pendapat). Bayangkan jika anda membaca sebuah buku, tentu yang ada ialah proses belajar secara monolog, di mana anda tidak akan dapat bertanya kepada buku tersebut ketika mengalami kesulitan dalam memahami isi buku tersebut. Namun tidak dengan diskusi, di mana di dalamnya terdapat proses dialog. Dari sekian banyak aku berdiskusi,aku pun kebanyakan hanya bisa berdiskusi di sebuah tempat yang sederhana, yaitu warung kopi. Akhirnya aku pun dapat merasakan berdiskusi dengan orang-orang hebat di tempat yang menurut ku juga cukup mewah untuk ukuran mahasiswa seperti ku.
Hari itu merupakan salah satu hari yang memberikan ku banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Di mana pada hari itu, aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi peserta diskusi sehari dengan tema “Masa Depan Arsitektur Regional Asia Pasifik: Perspektif dan Kepentingan Indonesia” yang diselenggarakan di salah satu ballroom hotel berbintang tiga. Aku pun sebenarnya kurang mengetahui bagaimana mekanismenya sehingga aku bisa terpilih sebagai salah satu peserta diskusi tersebut dan mewakili teman-teman ku angkatan 2008.
Pemilihan peserta diskusi yang menurut ku mungkin bisa dikatakan kurang transparan, tentu dapat melukai beberapa hati mahasiswa lainnya, yang merasa dirinya kurang beruntung karena tidak terpilih menjadi peserta. Aku pun sebenarnya menyadari bahwa penyelenggaraan acara tersebut juga tidak mungkin melibatkan seluruh mahasiswa Hubungan Internasional (HI) seluruh angkatan. Pada hari Rabu ketika aku mengambil undangan di ruang jurusan, aku melihat beberapa nama mahasiswa yang dipampang oleh pihak jurusan. Nama-nama mahasiswa yang tertera diselembar kertas tersebut ialah beberapa nama mahasiswa HI dari angkatan 2008 hingga 2011 yang berhak untuk menjadi peserta diskusi sehari yang diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) dan bekerja sama dengan Universitas Jember. Sekilas aku pun sempat membacanya, dan aku pun dengan segera dapat menyimpulkan bahwa nama-nama tersebut ialah mahasiswa-mahasiswa yang aktif di kelas ketika perkuliahan atau bisa juga mahasiswa yang dekat dengan dosen-dosen. Sungguh penilaian yang subjektif dan elitis. Namun apa boleh buat, itu semua merupakan hak preogratif dosen.
“Mas tanda tangan dahulu,” ujar seorang dosen ketika aku ingin mengambil undangan. Setelah undangan berada di tanganku, aku amati dengan lekat surat undangan tersebut sebelum membukanya. Amplop berwarna putih dengan logo Garuda dan logo universitas yang terletak di pojok kiri dan kanan menghiasi amplop tersebut. Aku pun membaca undangan tersebut lalu segera ku masukkan ke dalam tas ku. Tak lama kemudian aku pun berjalan beriringan dengan teman ku menuju kantin. Dalam langkah-langkah kecil ku menuju kantin, aku berpikir untuk tidak mengecewakan teman-temanku yang telah ku wakili dan aku harus belajar dan mempersiapkan diri untuk acara tersebut.
Tak terasa tibalah hari yang mungkin ditunggu-tunggu oleh mahasiswa yang menjadi peserta diskusi sehari. Dari mana aku bisa mengetahuinya? Mudah saja, saat ini merupakan eranya jejaring sosial di mana setiap orang difasilitasi untuk menuliskan apa yang sedang mereka rasakan dan uniknya hal itu terpublikasikan dan dapat diketahui orang banyak. Banyak dari teman-teman ku maupun adik-adik kelas ku yang menulis status mereka di jejaring sosial mengenai acara diskusi sehari tersebut. Namun tak bisa ku pungkiri bahwa aku pun menunggu-nunggu kedatangan hari tersebut. Bahkan pada malam harinya mata ku sulit untuk terpejam dan mata ku pun telah terjaga di pukul tiga pagi. Dari pada memaksakan untuk terus melanjutkan tidur namun mata tak kunjung terpejam, aku memutuskan untuk langsung turun ke bawah menyaksikan pertandingan tim favoritku Real Madrid yang berlaga menjamu tim kuat lainnya di Liga Spanyol, Valencia. Walaupun skor berakhir dengan skor kaca mata tapi aku sangat puas karena pertandingan berjalan seru dan sangat menghibur.
Pagi harinya sebelum berangkat ke tempat diskusi, aku menyempatkan diri ke kosan salah satu temanku untuk menitipkan surat izin untuk tidak mengikuti perkuliahan hari ini. “Ki Aku titip surat undangan ini, tar tolong Kamu kasihkan ke Pak Abdul Muis ya.” “OK emang mau ke mana sih Sar?” “Ini ikut acara diskusi sehari.” Setelah surat itu dipegang oleh teman ku, aku segara berpamitan. Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, dari pada aku harus menunggu di sana, lebih baik aku menyempatkan diri untuk mampir sejenak ke kantin FISIP. Di sana aku memesan segelas kopi dan berbincang-bincang sejenak dengan kawan ku. Jujur saja, hal ini aku lakukan untuk sekedar menghilangkan nervous sebelum mengikuti acara diskusi. Selain itu aku pun juga ingin bersikap santai di kantin sebelum tersandera dengan formalitas pada saat acara diskusi nanti.
Jam tangan ku menunjukkan pukul 08.30, aku pun segera menuju sepeda motor ku yang terparkir di halaman belakang kampus FISIP. Tiba-tiba aku teringat sebuah kalimat yang tertera diundangan, bahwa peserta diskusi dimohon kehadirannya 15 menit lebih awal sebelum acara dimulai. Kalimat itulah yang menjadikan aku untuk sedikit bersikap ugal-ugalan di jalan raya. Tak membutuhkan waktu yang lama akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Aku segera memarkir sepeda motor ku di basement. Kemudian aku mulai menaiki anak tangga satu per satu menuju ruang diskusi. Tiba di depan ruang ballroom aku dihadang oleh meja absen yang dijaga oleh dua orang penyambut tamu. Salah satu darinya aku sangat mengenalnya, beliau adalah petugas administrasi di jurusan ku. Sebelum absen aku sempat bingung dengan cara mengisi absen, namun ajaib petugas administrasi di ruang jurusan ku yang sehari-harinya sering bersikap sensitif ketika melayani berbagai urusan administrasi mahasiswa, di pagi hari itu bersikap sangat ramah bahkan beliau mengobral senyumnya kepada para peserta yang akan menandatangani daftar hadir.
Aku pun segera menandatangani beberapa lembar absen, kemudian aku mendapat seperangkat perlengkapan diskusi yang terdiri dari note book, hang out materi dan pulpen yang dibungkus oleh sebuah tas map berwarna transparan dengan pinggiran berwarna merah. Dosen-dosen ku juga berjajar rapi di dekat pintu masuk layaknya pager ayu dan pager bagus, aku pun menyalami mereka satu persatu sambil tersenyum simpul lalu masuk ke dalam ruangan. Ruangan yang digunakan untuk diskusi telah di tata sangat rapi. Meja-meja dan kursi-kursi di susun dengan bentuk persegi. Di depan meja juga telah disediakan segelas air putih yang masih tersegel dan sebuah note book serta sebuah pulpen yang bertuliskan Hotel Panorama. Di tengah-tengah meja yang disusun persegi terdapat dua pot tanaman yang cukup besar. Dua layar putih juga telah terurai dan siap menjadi tempat jatuhnya proyeksi materi-materi dari dua buah viewer. Sebuah podium juga berdiri gagah di depan. Aku pun duduk di samping teman ku yang telah datang terlebih dahulu. Sambil menunggu acara dimulai aku mengamati keadaan  di sekeliling ku, selain mahasiswa dan dosen-dosen yang sudah ku kenal ternyata banyak wajah-wajah yang kurang familiar yang juga menghadiri acara tersebut. Ternyata acara diskusi tersebut juga mengundang beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wartawan surat kabar harian Kompas.
Ketika sedang asyik-asyiknya mengamati keadaan di sekitar, tiba-tiba teman di sampingku berkata, “Pak awakmu ngerti sing ndi sing jeneng’e Anak Agung Banyu Perwita?” “Gak ngerti Aku Le,” timpal ku.Kuwi lho Pak, sing lungguh ndek samping’i Pak Eby.” “Oh kuwi ta.” Jujur saja aku telah banyak membaca karya-karyanya Pak Banyu, bahkan agar terlihat seperti mahasiswa HI lainnya aku pun mengirim permintaan menjadi teman di account face book-nya. Teman ku pernah berkata, “Pak Agung ki kerep neng luar negeri Le.” Dan baru pada pagi hari itu aku berkesempatan untuk bertemunya secara langsung dan akan mendengarkan pemaparan materi darinya. Beliau memang cukup terkenal di dunia akademik hubungan internasional, bayangkan gelarnya saja profesor. Bahkan beliau sering kali ikut diundang oleh pemerintah Indonesia dalam acara-acara Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT). Tak jarang universitas-universitas di luar negerti juga mengundanng beliau sebagai seorang dosen tamu. Karena itulah beliau sering sekali berada di luar negeri.
Tak lama acara di mulai. Salah satu dosen ku didaulat untuk menjadi seorang master of ceremony. Dengan suaranya yang empuk dan logat Jawanya yang cukup kental, beliau mulai membacakan susunan acara diskusi, mulai dari pembukaan, sambutan dari Rektor Universitas Jember hingga penutup. Acara pun di mulai dan hari ini juga baru pertama kalinya aku bisa bertatapan langsung dengan rektor ku yang baru. Pak Hasan memberikan sambutan hanya sekitar sepuluh menit saja. Kemudian menginjak acara berikutnya ialah presentasi dan pemaparan yang akan disampaikan oleh Drs Sanusi yang menjabat di Direktorat Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Prof. Anak Agung Banyu Perwita, kemudian dosen favorit nomor dua ku Abu Bakar Eby Hara Ph.D dan Mr. Santos Winarno perwakilan dari Setwapres.
Dari pemateri-pemateri tersebut, aku dapat menyimpulkan, bahwa pemateri-pemateri yang hadir dapat diklasifikasikan dari perwakilan rezim yang berkuasa yakni dari Kemenlu dan Setwapres serta dua orang yang berasal dari akademisi dan pemerhati HI. Moderator pun segera membacakan Curriculum Vitae (CV) dari keempat pemateri. Dari CVnya saja aku bisa mengetahui, bahwa mereka berempat memang merupakan orang-orang yang telah banyak makan asam garam dalam dunia HI. Setelah moderator membacakan CV dari keempat pemateri, acara presentasi dan pemaparan pun dimulai. Pak Sanusi mendapat giliran pertama untuk memaparkan materinya. Sebagai perwakilan dari elite yang berkuasa, Pak Sanusi memaparkan keoptimisannya bahwa Indonesia mampu hadir sebagai negara yang cukup berpengaruh di kawasan Asia-Pasifik. Walaupun saat ini kawasan Asia-Pasifik. Menjadi playing field dari negara-negara yang memiliki power yang cukup kuat seperti Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RTT), Rusia, India dan Australia yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan berebut untuk menjadi negara yang paling berpengaruh di kawasan Asia Pasifik, namun Pak Sanusi sangat optimis bahwa Indonesia yang diwadahi oleh ASEAN akan mampu mengatasi ketidak pastian dari kondisi tersebut.
Keoptimisan Pak Sanusi didasarkan pada kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan Asia Pasifik yang dianggapnya telah sesuai dengan amanah UUD 45, pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif dan ikut serta dalam pemeliharaan dan penciptaan perdamaian dunia. Kebijakan yang dicetuskan oleh Kemenlu seperti, thousand friends and zero enemy serta memelihara dynamic equilibrium diantara pusat-pusat kekuatan global dianggap telah bekerja dengan baik.Selain itu politik luar negeri indonesia juga telah mengupayakan berbagai cara seperti keanggotaan Indonesia dalam ASEAN untuk mencapai kepentingan-kepentingan Indonesia di kawasan Asia-Pasifik. Untuk menjadi negara yang berpengaruh di kawasan Asia Pasifik, Indonesia juga berusaha mengoptimalkan modal yang ada dalam dirinya, baik melalui pendekatan hard power seperti, kerja sama dalam bidang pertahanan maupun soft power seperti, kerja sama penanggulangan bencana alam dan bantuan kemanusiaan.
Pemaparan dari Pak Sanusi berakhir. Kemudian tibalah giliran pemateri kedua memaparkan materinya. Pemateri kedua ialah Pak Banyu. “Aku boleh memaparkan materi sambil berdiri di podium?” izin pak Banyu kepada seluruh peserta diskusi dan moderator. Serentak seluruh peserta diskusi mengizinkannya. Dengan langkah tegapnya beliau berjalan menuju podium. Sangat berbeda sekali dengan pemaparan pertama dari Pak Sanusi, Pak Banyu terlihat sangat berapi-api bahkan terkesan memprovokasi para peserta diskusi dalam memaparkan materinya. Dengan suara yang lantang dipadu dengan body language semakin menambah semarak acara diskusi. Berbeda 180 derajat dengan Pak Sanusi, dengan tema presentasi “Changing Regional Architecture of Asia Pacific: Who’s Leading Who”  Pak Banyu justru sangat skeptis dan pesimis memandang peluang Indonesia dalam kawasan Asia-Pasifik dewasa ini. “Aku galau memandang masa depan arsitektur kawasan Asia-Pasifik.” “Begitu banyak masalah di kawasan Asia Pasifik seperti yang terjadi antara Korea Selatan-Korea Utara, konflik Laut Cina Selatan, serta masalah perbatasan antar beberapa negara di kawasan Asia Pasifik.” Kemudian Pak Banyu mulai menjelaskan fakta-fakta kontemporer yang terjadi di kawasan Asia Pasifik. Dari fakta-fakta tersebutlah yang mendasari kegalauan Pak Banyu. “Ada APEC, ada Shanghai Cooperation Organization, South Asian Association For Regional Cooperation dan beberapa lembaga kerja sama sejenis, namun hasilnya belum nampak.” “Terus buat apa membuat kerja sama yang sejenis? Apa ingin menyingkirkan Cina?”
Pak Banyu pun kemudian mengkritik habis-habisan politik luar negeri Indonesia. “Kita harus memikirkan bener gak sih politik luar negeri Indonesia thousand friends and zero enemy?” “Bagaimana reaksi RRT ketika Indonesia mengakui Taiwan sebagai sebuah negara?” Kalimat pertanyaan itu membuat otak ku berpikir, memang sepengetahuan ku Indonesia menganut one China policy, yakni RRT bukan Taiwan, tetapi saat ini banyak juga TKI yang bekerja di Taiwan. “Lihat bagaimana neraca perdagangan Kita yang defisit dalam ACFTA?” Memang benar, semenjak Indonesia menandatangani perjanjian ACFTA, Indonesia menunjukkan neraca perdagangan yang negatif. Bahkan sudah mulai banyak produsen dalam negeri yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk-produk Cina yang terkenal sangat murah. Sering kalinya Pak Banyu mengatakan kata galau, menjadikan kata galau menjadi magic word pada diskusi kali ini. Atau mungkin memang akhir-akhir ini kata galau sangat akrab sekali ditelinga orang Indonesia? Satu hal yang bisa aku petik dari materi yang disampaikan Pak Banyu, ternyata semakin tinggi gelar akademik seseorang maka akan semakin mudah dalam memberikan penjelasan. Ya mempermudah istilah-istilah yang sulit dalam kajian HI tanpa mengubah substansi memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak semua orang memiliki kemampuan tersebut.
Ketika para pemateri asyik memaparkan materinya, peserta diskusi sempat terganggu oleh hal kecil. Ternyata petugas pramusaji hotel yang mengantarkan snack dan minuman mampu menyedot perhatian sebagian besar para peserta diskusi. Mungkin bagi para peserta diskusi yang telah terbiasa dengan seminar-seminar nasional maupun internasional dan sudah terbiasa dilayani seperti itu, tidak akan mengalami keheranan. Tapi bagi ku dan sebagian teman ku kehadiran para pramusaji ini jelas menyedot perhatian. Dengan seragam berwarna merah dan motif batik di bagian kerah dan tengah seragam menjadikan para pramusaji itu tampak elegan. Apa lagi ketika sebagian pramusaji yang mengantarkan snack  dan minuman tersebut usianya tampak sebaya dengan kami, menambah point tersendiri.”Mau minum apa Mas teh atau kopi?” tiba-tiba teman ku berujar, “Opo wae Sar, sing sekirone gak nggawe Mbak’e repot?” Dan segera aku pun menyampaikan perkataan teman ku, “Apa saja Mbak yang penting tidak merepotkan.” Petugas pramusaji itu tersenyum sambil melanjutkan kerjanya. Tak lama kemudian sebuah resoles dan kue cum-cum tergeletak di hadapan ku. Tanpa harus menunggu disuruh untuk memakannya, aku sudah mulai menggigit resoles dan tak lama berselang kue cum-cum pun habis tak bersisa. Mungkin perutku memang sudah terasa lapar, karena tadi pagi setelah menonton pertandingan sepak bola aku dan kawan kos ku langsung sarapan rawon semanggi.
Sejak Pak Sanusi memulai pemaparannya, aku mengamati ternyata banyak peserta diskusi yang mencatat materi-materi diskusi. Bahkan ada yang sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum sesi tanya jawab dibuka. Tapi satu yang pasti, sepertinya aku merupakan salah satu peserta yang paling tidak bisa diam. Ini disebabkan oleh seringnya aku keluar-masuk ruangan pada saat acara berlangsung. Bukannya ingin menarik perhatian dari para peserta lainnya, hanya saja aku tidak terbiasa dengan suhu ruangan yang terlalu dingin. Suhu di ruangan diskusi mungkin diatur dengan temperatur yang paling rendah dan ini berdampak pada kantung kemih ku. Jelas suhu ruangan yang terlalu dingin mengakibatkan kantung kemih ku tak bisa terlalu lama menahan urine di dalamnya. Sehingga mau tidak mau aku harus mondar-mandir ke kamar mandi. Aku pun jadi berpikir berulang kali, ketika memiliki cita-cita untuk dapat melanjutkan studi ke negara-negara yang memiliki iklim sub tropis atau menjadi seorang backpacker yang bertualang ke berbagai penjuru dunia. Sepertinya untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut aku harus mampu mengatasi masalah beser ini terlebih dahulu.
Pak Banyu telah selesai presentasi dan kini tibalah gilirannya dosen favorit nomor dua ku untuk memaparkan materi yang telah dipersiapkannya. Sama seperti Pak Banyu Pak Eby memilih untuk memaparkan materi sambil berdiri di podium. Dari keempat pemateri Pak Eby ialah ialah satu-satunya pemateri yang mengenakan kemeja lengan panjang dengan dasi keunguan yang menjuntai di tengahnya. Namun satu hal yang menarik dari cara berbusana Pak Eby, beliau tidak mengenak jas. Untuk menutupi kemeja lengan panjangnya, beliau mengenakan jaket berwarana hitam dan hanya menutupnya hingga bagian dada, sehingga dari jauh akan tampak seperti setelan jas dan kemeja. Cara berbusana yang sama pada saat beliau menjadi presentator di acara seminar internasional masalah penanggulangan bencana yang bekerja sama dengan BNPB pada tahun lalu.
Berbeda dengan Pak Banyu yang pesimis dalam memandang kondisi kawasan Asia-Pasifik saat ini, Pak Eby justru memandang optimis mengenai kondisi di kawasan Asia-Pasifik saat ini. Tidak seperti Pak Sanusi yang terlampau optimis karena beliau merupakan salah satu dari perwakilan pemerintah, Pak Eby bersikap optimis karena saat ini telah terjadi pergeseran makna tatanan dunia dan tatanan regional di kawasan Asia-Pasifik. “Saat ini di kawasan Asia-Pasifik yang terjadi bukanlah sebuah permusuhan, namun rivalitas.” “Di mana rivalitas berbeda dengan permusuhan, kalau permusuhan bertujuan untuk saling menghancurkan, rivalitas tidak,” papar Pak Eby. Pak Eby mencoba menganalisis kondisi kawasan Asia-Pasifik saat ini dengan paradigma konstruktivisnya Alexander Wendt.
Alexander Wendt menyebutkan ada tiga budaya anarki dalam evolusi tatanan internasional. Ketiga budaya anarki tersebut ialah Hobessian culture, Lockean culture dan Kantian culture. Dan menurut Pak Eby saat ini kawasan Asia-Pasifik mencapai tahap Lockean culture, di mana hanya ada persaingan atau rivalitas namun tidak berujung pada perang. “Cotohnya apa yang dilakukan oleh RRT, mereka tidak mau dianggap lagi sebagai ancaman militer bagi negara lain di kawasan Asia-Pasifik, oleh karena itu, RRT aktif dalam banyak dialog.”
Pak Eby juga memaparkan bahwa fakta-fakta saat ini yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik seperti, peningkatan kekuatan militer Cina dan Jepang, penempatan 2500 pasukan AS di Darwin serta masih adanya kecurigaan terhadap ancaman Cina oleh negara-negara di kawasan Asia-Pasifik saat ini, itu semua hanya dipandang sebagai rivalitas dan bukan pada level musuh yang harus dimusnahkan.
Ketika Pak Eby memaparkan materinya, aku sempat ke kamar mandi. Setelah selesai buang air kecil, aku pun segera kembali ke dalam ruangan. Namun karena di depan tempat duduk aku terdapat meja dan jarak antara tempat duduk yang satu dengan yang lainnya terlalu dekat menjadikan aku merasa tidak enak hati kalau harus sering mengganggu kenikmatan peserta lainnya. Untuk menghindari hal tersebut terjadi, aku memutuskan untuk duduk di belakang di dekat pintu masuk ruangan. Ternyata di sebelah ku duduk salah satu pegawai dari Setwapres. “Pak dari instansi mana?” ujar ku untuk memulai percakapan. “Dari Setwapres,” jawab bapak itu singkat. Karena penasaran dengan penyelenggaraan diskusi ini, aku pun memberanikan diri untuk menanyakannya. “Pak, Setwapres ini masih satu badan dengan Kemenlu ya?” tanya ku dengan rasa penuh ingin tahu. “Oh bukan Dek, Setwapres ini merupakan Kesekretariatan Wakil Presiden dan bukan bagian dari Kemenlu.” “Oh tertnyata berbeda ya Pak, Aku kira masih bagian dari Kemenlu.”
Tidak ingin percakapan ini segera berakhir, aku pun kembali bertanya, “Memang acara seperti ini sering diselenggarakan oleh Setwapres ya Pak?” “Ya lumayan sering Dek,” timpalnya. “Terus kok bisa Setwapres menyelenggarakan acara diskusi ini di Jember?” “Ya Kita mencoba untuk menyelenggarakan acara ini di kampus-kampus yang letaknya agak jauh.” “Apa acara ini bisa dikatakan sebagai proses hearing Pak?” tanya ku lagi. “Ya boleh dikatakan demikian, karena melalui acara ini Setwapres, khususnya bidang politik jadi mengerti pendapat dari akademisi dan masyarakat akar rumpur.” Pegawai Setwapres tersebut terus melanjutkan kalimatnya, “Kan Adek bisa lihat kalau selain mengundang akademisi, Kami juga mengundang beberapa perwakilan dari masyarakat dan LSM.” “Oh berarti nanti laporan pertanggungjawabannya berbeda dengan laporan pertanggungjawabannya Kemenlu ya Pak?” “Jelas berbeda Dek, nanti Kita buat laporannya ke bagian bidang politik, kemudian kalau bidang politik merasa hasil dari acara ini perlu disampaikan kepada Wakil Presiden maka akan disampaikan.” “Nah kalau Kemenlu nanti laporannya ya buat instansinya sendiri,” terangnya. “Oh gitu ya Pak, Aku justru dari awal berpikir kalau acara ini sebenarnya Kemenlu yang menyelenggarakan.” “Oh bukan Dek justru Kami yang melibatkan Kemenlu.”
Tak terasa ketika perbincangan kami berlangsung ternyata pemateri di depan juga telah berganti. Dan saat ini yang melakukan presentasi ialah Bapak Santos. Beliau merupakan salah satu petugas Satwapres. Pak Santos memaparkan materi mengenai bagaimana saat ini India dan Rusia mampu menjadi negara yang mengalami perkembangan cukup pesat, di mana mereka (Rusia dan India) juga memiliki kepentingan di kawasan Asia-Pasifik. Sama seperti kedua pemateri sebelumnya, Pak Santos memilih berdiri dalam menyampaikan materi yang telah dipersiapkannya. “Kalau Pak Banyu merupakan penggemar realis bipolarnya John Marsheimer kemudian Pak Eby merupakan penggemar konstruktivisnya Alexander Wendt, Aku mencoba mengambil jalan tengah” paparnya dalam membuka materi.
Agar diskusi menjadi menarik Pak Santos melemparkan pertanyaan kepada mahasiswa, “Siapa diantara Adik-adik yang tertarik mengangkat negara India dan Rusia menjadi sebuah skripsi?” Kemudian aku melihat beberapa adik kelas aku mengacungkan tangannya. Pak Santos kemudian bertanya, “Menurut Adik-Adik apa yang menjadikan Rusia dapat berkembang dengan pesatnya setelah runtuhnya Uni Soviet?” Adik-adik kelas ku pun berusaha untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Santos dengan sebaik-baiknya. Setelah selesai mendengarkan jawaban yang dikemukakan oleh adik-adik kelas ku Pak Santos kembali melanjutkan materinya.
“Rusia memiliki beberapa kepentingan di kawasan Asia Pasifik” tutur Pak Santos. “Kepentingan-kepentingan tersebut ialah, mengembalikan supremasi, superioritas dan dominasi Rusia.” Aku berpikir apakah ini terkait dengan kekalahan Uni Soviet dalam perang dingin ketika berseteru dengan Amerika? Aku memiliki pemikiran demikian didasari pada hal yang sederhana, bahwa pihak yang bermusuhan cukup lama, walaupun telah berdamai, pasti masih menyimpan kekecewaan antara satu dengan lainnya. Belum sempat aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut Pak Santos melanjutkan kalimatnya “Alasan lainnya ialah Rusia ingin keluar dari kepungan musuh tradisional.” Aku pun mencoba mengingat-ingat materi kuliah politik pemerintahan Rusia. Memang benar yang dikatakan Pak Santos, secara geopolitik Rusia memang negara yang terisolasi, salah satunya dapat dilihat dari pelabuhan Vladivostok yang hanya bisa berfungsi ketika musim panas.
“Rusia memiliki beberapa strategi dan modalitas yang mampu menjadikan Rusia sepert saat ini. “ “Modalitas Rusia tersebut diantaranya, kepemilikkan energi, kapabilitas militer serta perkembangan Iptek,” papar Pak Santos. Setelah memaparkan mengenai kapabilitas Rusia, Pak Santos mengalihkan topik ke perkembangan India. “India di bawah pemerintahan Narashima Rao memiliki kebijakan India Look East” tutur Pak Santos. Kebetulan sebelum menghadiri acara diskusi ini aku sempat browsing di internet dan ternyata memang semenjak kebijakan India Look East digulirkan, India banyak menjalin kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Kerja sama India dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik juga hampir meliputi berbagai bidang.
Perubahan kebijakan India ini tentunya bukan tanpa alasan. Karena India juga memang memiliki kepentingan di kawasan Asia Pasifik. Kepentingan India antara lain, memperkuat supremasi dominasi dan hegemoni di Asia Selatan, mengunci musuh geopolitik tradisional mereka yakni Pakistan, mengubah pendekatan dalam menghadapi RRT serta ingin bermain lebih jauh di Asia Pasifik. Aku pun mencoba untuk mencerna pemaparan dari Pak Santos, memang benar adanya saat ini India telah tumbuh menjadi salah satu negara yang cukup berpengaruh di dunia. Perkembangan ekonomi dan modernisasi militer yang cukup pesat menjadikan India semakin disegani dalam kawasan Asia-Pasifik. Bahkan belum lama ini India menguji coba rudal jarak jauh mereka yang diberi nama Agni V. Di mana rudal tersebut dapat menjangkau Jakarta, Teheran dan Beijing.
Pak Santos juga memaparkan apa yang disebut dengan Chindia. “Chindia merupakan kerja sama antara China dan India.” “Di mana China dan India membentuk integrasi ekonomi dan budaya bersama” tutur Pak Santos. Menurutku ada yang berbeda antara pemaparan yang disampaikan oleh Pak Santos dengan Pak Sanusi. Jika Pak Sanusi selalu merasa optimis dengan perkembangan Indonesia di kawasan Asia Pasifik, Pak Santos justur sebaliknya. Walaupun Pak Santos merupakan bagian dari teknokrat pemerintah yang berkuasa, namun Pak Santos tidak segan-segan untuk mengkritik politik luar negeri Indonesia. Aku pun sempat sedikit heran mengapa Pak Santos berani melakukannya. Untuk memuaskan rasa keingintahuan ku, aku pun memberanikan diri untuk menanyakannya ke salah satu petugas Setwapres, “Pak apakah nanti Pak Santos tidak dikenai sanksi karena ikut mengkritik kebijakan pemerintah?” “Gak usah khawatir Dek, Beliau orangnya memang begitu.” jelas petugas Setwapres. Mendengar jawaban dari salah satu petugas Setwapres aku jadi berpikir mungkin ini cara yang dilakukan oleh Pak Santos agar diskusi dapat berjalan menarik.
Tak terasa keempat pemateri telah memaparkan seluruh materinya. Kami pun memasuki sesi berikutnya, yakni sesi tanya jawab. Moderator mungkin telah menyadari bahwa dalam sesi tanya jawab ini pasti akan muncul banyak pertanyaan. Oleh sebab itu moderator pun membagi pertanyaan menjadi tiga bagian yang sesuai dengan posisi tempat duduk para peserta diskusi. Begitu moderator mempersilakan para peserta diskusi untuk bertanya, puluhan tangan langsung terangkat dan jika aku menjadi moderator pada saat itu, maka aku akan bingung juga untuk memilih peserta mana yang boleh bertanya. Sepertinya moderator memilih peserta yang ingin bertanya ialah berdasarkan gaya peserta dalam mengangkat tangannya. Peserta diskusi ada yang mengangkat tangannya secara biasa-biasa saja, tapi ada pula yang mengangkat tangan sambil berdiri atau bahkan sampai berjinjit. Karena tiap peserta diskusi tentu menyadari bahwa agar dapat kesempatan untuk bertanya maka mereka harus dapat menarik perhatian moderator.
Tiga orang dosen ku mengajukan beberapa pertanyaan untuk para pemateri. Tapi tanpa disangka-sangka, aku yang duduk di bagian belakang diberikan kesempatan oleh moderator untuk bertanya. Sejak awal memang ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan kepada pemateri di depan. Namun waktu melihat termin pertama dibuka dan yang mengajukan diri untuk bertanya sangat banyak, nyali ku menjadi ciut. Oleh sebab itu waktu dibuka termin kedua, aku pun hanya asal-asalan mengangkat kedua tangan ku dan melambai-lambaikanya seperti orang yang hendak berpisah, namun ternyata moderator menunjuk ku. Mic pun disodorkan ke hadapan ku, aku pun langsung bertanya, agar seperti para penanya lainnya yang bertanya, aku membuka pertanyaan dengan pendapat pribadiku mengenai materi-materi diskusi. Pertanyaan ku kali ini aku titik beratkan pada Pak Sanusi dan Pak Eby. Dalam benak ku berpikir, “Ayo Sar, kapan lagi kamu menyampaikan keluhan mu kepada pemerintah yang berkuasa?” Tanpa menunggu aba-aba aku langsung mengeluarkan kritikan untuk politik luar negeri Indonesia yang menurut ku seperti macan ompong. Selain itu aku berpendapat bahwa politik luar negeri Indonesia telah mengkhianati UUD 45. Contoh yang aku ajukan ialah masalah perdagangan bebas antara Indonesia dan Cina, di mana grafik menunjukkan defisit dipihak Indonesia. Untuk Pak Eby, aku hanya menanyakan mengenai seberapa pentingnya bagi Indonesia untuk memanfaatkan ASEAN untuk mencapai kepentingan Indonesia.
Semua pertanyaan telah dikumpulkan oleh moderator. Para pemateri menjawab seluruh pertanyaan para peserta secara sekaligus. Hal ini disebabkan antara satu pertanyaan  dengan pertanyaan lainnya saling berkaitan. Namun satu hal yang bisa ku tangkap, jawaban dari Pak Sanusi selaku elite yang memerintah sungguh mengecewakan. Beliau tetap saja merasa bahwa politik luar negeri Indonesia telah berjalan dengan baik, namun beliau juga mengakui masih ada beberapa kekurangan. Sebenarnya ada satu kata yang ku harap beliau lontarkan dari bibirnya, yakni kata maaf. Maaf ketika beliau dan elite-elite yang berkuasa lainnya masih belum benar-benar bisa melindungi rakyat Indonesia.
Dalam sesi tanya jawab, memang Pak Sanusi lah pemateri yang paling banyak mendapat kritikan terkait dengan politik luar negeri Indonesia yang kurang greget dalam kancah hubungan internasional di kawasan Asia-Pasifik. Seluruh pertanyaan yang diajukan kepada pemateri berusaha untuk dijawab sebaik-baiknya. Namun tetap saja, bagi peserta diskusi yang belum melontarkan pertanyaan tentu sedikit kecewa karena tentunya mereka sudah mempersiapkan pertanyaan dan mungkin saja pertanyaan yang belum sempat ditanyakan oleh peserta yang lainnya merupakan pertanyaan yang brilian. Menurutku pribadi, sebenarnya esensi dari sebuah diskusi ialah adanya proses dialog di mana seluruh peserta diskusi diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka. Namun seperti biasanya, waktu menjadi kendala klasik dalam diskusi acara diskusi kali ini.
Sesi tanya jawab pun berakhir, MC pun menutup acara diskusi pada hari ini. Kemudian seluruh peserta diskusi dipersilakan menuju ruang makan untuk santap siang. Jujur saja, salah satu keuntungan mengikuti acara-acara seperti ini ialah, selain mendapatkan ilmu, memperluas koneksi yang tak kalah berharganya ialah kita dapat memanjakan lidah. Kapan lagi seorang mahasiswa macam diri ku dengan kiriman bulanan yang tak menentu dapat merasakan masakan hotel bintang tiga? Namun sepertinya, aku bukanlah satu-satunya peserta diskusi yang memiliki pemikiran seperti itu, ternyata teman-teman ku yang lainnya pun sama. Aku bisa melihat dari raut mukannya yang sangat berbinar ketika berada di ruang makan.
Setelah menaruh map, aku pun langsung menuju meja makan. Aku dan peserta diskusi lainnya kemudian berbaris mengantri di meja makan. Aneka masakan telah tersaji di meja. Ketika mengambil makanan, perasaan ku sedikit galau. Galau, apakah harus menjaga sikap dengan mengambil makanan secukupnya karena sedang makan bersama orang-orang penting ataukah harus memanfaatkan semaksimal mungkin peluang yang ada dengan mencoba berbagai masakan yang tersedia. Akhirnya aku pun memilih pilihan pertama, bahwa aku harus menjaga sikap dengan mengambil makanan sewajarnya.
Karena jumlah kursi dan meja tidak sebanding dengan jumlah peserta yang hadir, apa boleh buat akhirnya aku keluar ruangan dan duduk dipinggir kolam sambil memandangi ikan-ikan hias yang memang sengaja dipelihara oleh pihak hotel untuk mempercantik penampilan hotel. Baru mengunyah makanan sekitar lima sendok, adik kelas ku menghampiri, “Mas boleh ikut gabung? Kayaknya asyik juga makan sambil ngelihatin ikan” ““Oh silahkan,” jawabku. Kami pun makan bersama, sambil bercerita mengenai pengalaman Kuliah Kerja Terpadu (KKT) ku. Ternyata tidak semua pemateri makan di kursi dan meja yang telah disediakan, bahkan dosen favorit pertama ku dan Pak Santos juga ikut duduk makan di pinggir kolam. Ketika santap siang, aku mulai mengamati keadaan disekitar, ternyata banyak juga mahasiswa, dosen-dosen dan pemateri yang saling memperluas jaringan dengan melakukan lobi-lobi. Aku pun menyadari bahwa pendekatan yang dilakukan ketika beristirahat memang banyak manfaatnya.
Sepiring nasi dengan beraneka lauk pauk pun sudah habis ku santap, namun rasanya masih ada yang kurang. Tak lama kemudian aku baru mengingatnya, aku belum nyoba cocktail  yang ada di sudut meja. Tak perlu menunggu waktu yang lama, ku dengan teman-teman yang lainnya juga ikut mencoba cocktail tersebut. Para peserta diskusi kemudian mulai berkurang satu demi satu. Tak lupa sebelum aku pulang, aku sempatkan untuk berfoto dengan teman-teman seangkatan ku. Pikiran ku hanya satu, yakni kapan lagi aku punya momen-momen seperti ini lagi bersama dengan teman-teman yang sebentar lagi lulus. Setelah kami foto bersama, salah seorang teman ku punya ide agar kita berfoto dengan para pemateri. Aku pun sepakat dengan ide tersebut, akhirnya Pak Eby yang bergegas ingin pulang, kami cegat di tengah jalan. “Pak ayo foto bareng dulu,” ujar salah seorang teman ku. “Oh, boleh-boleh,” jawab Pak Eby. Tak puas hanya berfoto bersama Pak Eby, kami pun memberanikan diri untuk berfoto dengan Pak Banyu. “Pak boleh minta foto bareng?” ucapku sambil menjabat tangannya. “Oh dengan senang hati,” ujar Pak Banyu. Tak lama setelah foto bareng Pak Banyu, salah satu orang teman ku berujar, “Ah ngko rokok ku ganti ah, ganti rokok A-Mild koyok Pak Banyu, ben iso dadi profesor,” aku dan teman-temanku yang lainnya langsung tertawa mendengar hal itu.
Hari ini aku banyak belajar. Belajar dari orang-orang hebat. Belajar bagaimana harus bersikap dalam acara-acara formal, agar suatu hari aku terbiasa dalam acara-acara formal lainnya. Belajar bagaimana orang pandai itu mampu menjelaskan hal yang sulit menjadi mudah bukan sebailknya, mempersulit hal yang mudah. Yang tak kalah pentingnya, aku harus belajar sabar. Sabar ketika suatu saat duduk sebagai bagian dari elite pemerintah dan harus menerima banyak sekali kritikan.