Sabtu, 21 Juli 2012

Bidan Perkasa Dari Pulau Dewata


“Mereka pikir Tuhan tidak tahu perbuatan mereka, mereka pikir Tuhan bodoh

Itulah kalimat yang meluncur dari bibir Robin Lim. Betapa marah dan kecewanya Robin Lim ketika mengetahui ternyata banyak bidan yang hanya berorientasi pada materi. Wajar jika beliau marah ketika mendengar masih banyak bidan-bidan yang memungut bayaran dari pasiennya walaupun pemerintah telah memberlakukan program Jaminan Persalinan (Jampersal). “Apa agama dari bidan tersebut?” tanya Robin Lim kepada  bulek ku. “Islam Bu,” jawab bulek ku singkat sambil tersipu malu. “Saya tidak percaya kalau dalam ajaran agama Islam mengajarkan hal-hal seperti itu,” terang Robin Lim. “Ini bukan masalah ajaran agamanya Bu,” sanggah salah satu asistennya. “Saya sudah sering kali bilang sama Ibu, bahwa bukan ajaran agamanya yang bermasalah, tapi penganutnya yang juga masih tetap tidak taat terhadap ajaran agamanya,” terang asisten tersebut kepada kami. “Saya sering berdebat dengan Ibu mengenai hal tersebut, tetapi Ibu tetap bersikukuh dengan dengan pendapatnya.”
Sore itu saya sangat beruntung karena bisa bertemu, bersalaman dan berdiskusi dengan Top 10 CNN heroes Robin Lim. Robin Lim merupakan salah satu bidan sekaligus inspirator yang memiliki gaya hidup sederhana yang pernah saya kenal. Dedikasinya untuk masyarakat di sekitarnya tak perlu diragukan lagi. Yayasan Bumi Sehat yang didirikannya pada tahun 1995 dan terletak di daerah Nyuh Kuning, Ubud telah dikenal oleh banyak orang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya cinderamata yang diberikan kepadanya, entah sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya ataupun sekedar bentuk ucapan terimakasih sederhana dari mahasiswi-mahasiswi Akbid yang telah bertukar ilmu dengannya. Hampir setiap hari Robin Lim mengayuh sepedanya yang berwarna merah jambu menuju klinik Bumi Sehat. Memberikan pertolongan tanpa memandang kasta dan kelas serta diiringi dengan senyuman tulus. Selain itu, Robin Lim juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai daerah bahkan diberbagai negara.
“Kalau Ibu-ibu ingin mengundang Ibu Robin menjadi pembicara di Banyuwangi, mohon maaf untuk tahun ini (2012), Ibu tidak bisa, karena kegiatannya yang sangat padat.” “Tidak lama lagi Ibu akan bertolak ke Italia dan beberapa negara, karena Ibu memang telah lama diundang oleh negara-negara tersebut,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. Kami semua pada akhirnya mafhum dengan kegiatan beliau (Robin Lim) yang memang sangat padat sekali. “Mungkin Ibu-ibu bisa menyusun proposal acara kegiatannya dan nanti pelaksanaannya bisa pada tahun depan,” ujar asisten tersebut seraya menghibur kami. “Oh ya Mbak, biar nanti Kami susun proposalnya, kalau sudah siap, nanti Kami kirimkan,” ujar bulek  ku singkat.
Tak ingin kehilangan moment bertemu dengan Robin Lim aku pun langsung mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan memang Robin Lim sekeluarga telah lama menetap di pulau dewata dan telah fasih berbahasa Indonesia. “Ibu, mengapa Ibu sangat menyarankan kepada semua orang bahkan tenaga-tenaga medis untuk menggunakan obat-obat tradisional?” “Ketika Saya masih kecil, Saya pernah sakit parah dan di rawat di salah satu rumah sakit di Filipina.” “Dokter-dokter di sana, menyarankan Saya untuk dioperasi agar bisa sembuh, namun nenek Saya menolaknya dan membawa Saya pulang dari rumah sakit tanpa sepengetahuan orang tua Saya.” Kemudian Saya di rawat oleh nenek Saya dan diobati dengan obat-obatan tradisional yang ada di sekitar.” “Hanya dalam waktu beberapa hari, penyakit Saya langsung sembuh tanpa melalui operasi,” papar Robin Lim.
Selain berfokus pada program persalinan, Yayasan Bumi Sehat yang dipimpin oleh Robin Lim juga memiliki kegiatan lainnya yang bertujuan pada pemberdayaan masyarakat. Beberapa program tersebut diantara lain ialah, program sampah daur ulang dan pendidikan kesehatan. “Saya dulu hampir setiap hari makan nasi, namun setelah dinasehati oleh Ibu bahwa gizi yang dikandung nasi kurang mencukupi, akhirnya Saya mengikuti saran Ibu yaitu makan nasi dengan campuran umbi-umbian,” papar salah satu asisten Robin Lim. “Jujur saja, Saya sekarang sangat khawatir dengan makan-makanan yang ada saat ini, karena banyak mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan.” “Contohnya ialah mie instan.” Mendengar kata mie instan yang tidak baik bagi kesehatan, aku pun langsung membela diri. Maklum naluri mahasiswa ku dengan isi dompet yang pas-pasan dan sering kali makan mie instan tiba-tiba saja muncul. “Ibu, tapi mie instan sangat cocok, karena murah dan praktis,” candaku. Namun Ibu Robin menunjukkan ekspresi kekecewaannya dengan gaya hidupku yang sangat akrab dengan mie instan. “Ya memang mie instan murah dan praktis, tapi dikemudian hari bisa menimbulkan masalah dengan kesehatan Mu,” terang Robin Lim. Nasehat tersebut rasanya sangat sederhana dan terasa sangat klasik karena semua orang awam pun mengetahuinya. Namun ketika beliau yang menyampaikan rasanya sangat berbeda. Jujur saja kharismanya yang membuatku diam seribu bahasa dan tidak bisa membantah nasehat tersebut.
Untuk masalah yang satu ini (kharisma) aku pun tidak bisa berkata-kata. Kejadian bayi yang menangis dan tidak kunjung diam walaupun telah berada dalam pelukan ayah maupun ibunya dapat diatasi dengan mudah oleh beliau. Bayi yang menangis tersebut langsung diam dan lama-kelamaan tidur pulas dalam pelukannya (pelukan Robin Lim). Selain itu, ada salah satu pemandangan yang cukup mengharukan yang ada dalam klinik kecil tersebut. Pemandangan indah tersebut tak lain ialah, kehadiran beberapa volunteer asing yang bahu-membahu dengan tenaga kerja lokal dalam menolong dan melayani pasien-pasien yang datang ke klinik tersebut. “Tidak semua bule itu kaya.” “Kita seringkali kedatangan pasien-pasien bule tapi terkadang Mereka mengatakan bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini sedang tidak bagus.” “Dan Mereka berjanji akan langsung memenuhi kewajiban (membayar) Mereka setelah perekonomian Mereka pulih kembali,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. “Kalau di sini yang Kami perioritaskan ialah pertolongan terlebih dahulu kepada pasien yang membutuhkan.” “Perkara Mereka mampu membayar atau tidak itu urusan belakang.” Penjelasan tersebut sungguh memberikan saya sebuah inspirasi. Mungkin Robin Lim merupakan salah satu tenaga medis yang benar-benar melaksanakan kode etik tenaga medis secara tulus. Karena saat ini banyak sekali kita temui rumah sakit-rumah sakit yang mensyaratkan seorang pasien untuk mengurus administrasi terlebih dahulu baru mendapatkan pertolongan. Miris memang jika melihat kondisi tersebut. Namun tenaga-tenaga medis di rumah sakit – rumah sakit yang memiliki regulasi tersebut (menyelesaikan administrasi terlebih dahulu) juga tidak bisa bertindak apa-apa. Mereka (tenaga medis) ibarat memakan buah simalakama. Bimbang apakah harus memilih menolong pasien tersebut demi menjalankan kode etiknya namun bisa berdapampak pada teguran atau mungkin pemecatan pada dirinya. Atau hanya berdiam diri menunggu instruksi dan terpaksa melanggar kode etiknya dan melihat semakin memburuknya kondisi pasien yang membutuhkan pertolongan. Entahlah, namun faktanya memang saat ini banyak terjadi fenomena tersebut.
Satu pengalaman berharga lainnya ialah ketika aku, bulek ku serta tante Ina berdiskusi dengan salah satu volunteer dari negeri paman Sam. Volunteer tersebut memiliki spesialisasi dalam bidang yoga. Yoga yang diajarkan kepada ibu-ibu hamil yang datang ke yayasan Bumi Sehat. “Wanita-wanita yang Saya lihat di sini, sebenarnya lebih kuat dan lebih siap untuk melahirkan.” “Hal ini disebabkan karena Mereka sering beraktivitas.” “Hal ini sangat berbeda dengan wanita-wanita di Amerika.” “Di sana ketika mereka hamil, mereka rata-rata hampir tidak bekerja, hanya bersantai dan menonton televisi di rumah,” paparnya. Kami pun sedikit tertawa karena volunteer tersebut bercerita sambil memberikan sebuah demonstrasi. Keterangan dari volunteer tersebut tiba-tiba mengingatkan ku pada pendapat guru olah raga ku sewaktu SMA. “Kalau saat ini banyak Cewe yang tidak kuat lari keliling lapangan sebanyak 10 putaran itu sebenarnya nini-nini (nenek-nenek) yang di make-up’i saja.” “Karena persalinan merupakan sebuah proses yang melelahkan dan mempertaruhkan nyawa.” Mungkin pendapat tersebut ada benarnya karena saat ini karena kemajuan teknologi banyak wanita-wanita yang hamil mengandalkan persalinan dengan sesar bukan persalinan secara normal.
Keunikan yayasan Bumi Sehat juga terlihat dari pekerja-pekerja dan volunteer yang berseragam t-shirt. T-shirt yang mereka (pekerja dan volunteer) gunakan bukan t-shirt sembarangan. T-shirt tersebut merupakan t-shirt  yang diproduksi oleh yayasan Bumi Sehat sendiri. Sebuah t-shirt dengan berbagai macam warna dan logo yang khas dari yayasan Bumi Sehat tercetak besar di bagian depan. “Bulek t-shirtnya bagus ya,” ujar ku. “Kira-kira mereka masih punya lagi gak ya.” “Kalau ada Aku mau beli.” Bulek ku pun segera menanyakan kepada salah satu pekerja di sana. “Mbak t-shirt nya masih ada?” tanya bulek ku. “Ada Bu di dalam sana,” ujar pekerja itu sambil menunjuk sebuah ruangan. Kami pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah etalase tempat pernak-pernik khas dari yayasan Bumi Sehat. Kami semua, langsung melihat-lihat pernak-pernik apa saja yang dijual di sana. Ternyata pernak-pernik tersebut ialah t-shirt, sticker, tas kecil dan berbagai macam aksesoris dengan logonya yayasan Bumi Sehat.
“Berapa harga t-shirtnya Mbak?” tanyaku kepada salah satu pekerja. “T-shirtnya harganya seratus ribu.” Aku pun langsung berpendapat bahwa t-shirt dengan bahan yang biasa saja dan dijual dengan harga seratus ribu tentu sangat mahal. Sebenarnya, aku sangat tertarik dengan t-shirt tersebut, namun apa daya, sepertinya dompet ku lebih berkuasa untuk menolaknya. Alhasil aku pun tidak jadi membelinya. Bulek ku membeli tas jinjing dan beberapa sticker dan alangkah kagetnya aku waktu bulek ku membayar tas tersebut uangnya langsung dimasukkan ke dalam kotak donasi yang dibuat dari bahan kaca dan terdapat logo yayasan Bumi Sehat ditengahnya. Ternyata yayasan ini (Bumi Sehat) berupaya untuk mandiri. Selain menerima sumbangan dari berbagai pihak, yayasan ini juga berupaya untuk mandiri dengan melakukan sebagian pembiayaan operasionalnya dengan cara berjualan souvenir dan uang hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk memproduksi souvenir kembali dan kelebihannya digunakan untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Tak terasa kunjungan kami di yayasan ini pun harus berakhir. Kami semua saling bersalaman dan mengucapkan kata perpisahan. Robin Lim bahkan memeluk dan mencium pipi bulek ku dan Tante Ina. Hari ini aku pun banyak belajar dari seorang wanita yang perkasa namun memiliki hati yang tulus. Belajar dari ketulusan seorang wanita untuk menolong sesamanya. Belajar bagaimana seorang wanita tersebut mendedikasin hidupnya untuk menolong terhadap sesamanya. Seorang wanita yang berasal dari luar negeri dan menolong tanpa  mengenal perbedaan warna kulit, agama dan kelas. Seorang bidan perkasa yang selalu mengulurkan tangannya kepada yang membutuhkan walaupun terkadang bidan perkasa tersebut berada dalam keterbatasan. 

Senin, 09 Juli 2012

Raja Kecil Di Kota Ku


Apa yang ada di dalam benak kalian ketika kalian diberikan kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan orang nomor satu di daerah kalian? Tentu sebagian besar dari kita semua akan dirundung perasaan senang bercampur penasaran. Perasaan senang muncul karena kita telah diberi kesempatan untuk dapat bertemu langsung dengan orang nomor satu dan rasa penasaran muncul karena ingin tahu sosok sebenarnya orang nomor satu secara langsung. Perasaan seperti itu (senang dan penasaran) juga meliputi diriku. Rasa itu muncul ketika menerima pesan singkat dari salah seorang temanku. Isi pesan singkat tersebut ialah sebagai berikut, “Teman-teman, besok diharapkan kehadirannya untuk diskusi dengan bapak bupati di pemkab dalam acara Kamisan jam setengah delapan.” Setelah membaca pesan singkat tersebut, anganku melayang. Membayangkan bagaimana asyiknya hari esok. Membayangkan bagaimana aku selaku mahasiswa dapat berdialog dan menyampaikan aspirasi secara langsung kepada bapak bupati.
Tak terasa sang mentari telah terbit di ufuk timur. Walaupun tadi malam aku hanya tidur dua setengah jam karena nonton bareng piala eropa, namun pagi ini aku harus melawan rasa kantuk. Untuk melawan rasa kantuk aku pun segera bergegas menuju kamar mandi. Tidak enak rasanya jika terlambat ketika bertemu dengan bapak bupati pikirku dalam hati. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh. Aku segera mengenakan pakaian batik berwarna coklat yang kumiliki. Sebelum berangkat aku pun menyempatkan diri untuk mematut diri di depan cermin. Ku pandangi wajahku dengan lekat, ternyata kantung mataku sedikit membengkak. Kantung mata membengkak ini mungkin disebabkan kurang tidur. Beberapa hari ke belakang aku memang kerap nonton bareng piala eropa dan hal tersebut berdampak pada terganggunya jadwal tidurku.
Untuk menuju pemkab dari kosanku tidak perlu memakan waktu yang lama karena jaraknya yang hanya sekitar 1,5 kilometer. Perlahan-lahan sepeda motorku mulai memasuki pelataran parkir pemkab. Di pelataran parkir, ku dapati banyak PNS mengenakan pakaian batik. Satuan polisi pamong praja juga terlihat siaga berjaga di lingkungan sekitar. Sebagian petugas DLLAJR juga terlihat bekerja sama dengan polisi lalu lintas mengatur kendaraan yang lalu lalang. Aku pun segara memarkirkan sepeda motorku. Aku mulai menyusuri lorong menuju ruang diskusi. Ruang diskusi ternyata diselenggarakan di lantai dua. Namun sebelum aku duduk dan menunggu kehadiran Bu Ciciek, Pak Supo dan Mbak Ema, aku diminta oleh salah seorang petugas untuk mengisi daftar tamu.
Di bagian resepsionis seorang pegawai telah menungguku. Ku lihat sejenak daftar tamu tersebut. Di dalamnya terdapat kolom-kolom yang terdiri dari nama, alamat, organisasi, permasalahan dan tanda tangan. Aku sempat bingung ketika menulis data di daftar tamu. Kolom permasalahan merupakan titik pusat kebingunganku. Aku pun mencoba meraba-raba permasalahan kami yang sedang kami hadapi dan akan kami sampaikan kepada Pak Bupati. Mungkin kehadiran kami di sini ialah untuk dapat berdiskusi dengan bapak bupati. Berdiskusi membahas acara festival egrang ketiga yang akan kami selenggarakan pada tanggal 7 Juli 2012. Ternyata aku mendapatkan urutan kedua yang akan ditemui oleh bapak bupati. Di jadwal, acara Kamisan akan dimulai pada pukul 07.30. Namun, waktu di jam tanganku telah menunjukkan pukul 07.40 dan tanda-tanda diskusi akan dimulai juga tak kunjung nampak.
Tak lama waktu berselang Mbak Ema pun tiba. “Gangsar sudah isi daftar tamu?” tanya Mbak Ema. “Sudah Mbak, Kita dapat nomer urut dua,” timpalku singkat. “Hah nomer urut dua?” “Berarti Aku harus segera mengabari Mas Supo dan Mbak Ciciek,” terang Mbak Ema dengan nada sedikit panik. Tidak lama sedikit demi sedikit tamu-tamu yang ingin berdiskusi dengan bapak bupati mulai berdatangan. Kami semua dikumpulkan di sebuah ruangan. Ruangan tersebut juga telah ditata rapi dengan kursi-kursi dan meja-meja yang cukup mewah bagiku. Di ruangan tersebut juga terdapat enam lukisan besar yang gagah terpaku di tembok. Ada lukisan yang menggambarkan komoditas khas kotaku yaitu tembakau. Ada lukisan yang mengisahkan kesenian tradisional karapan sapi dan beberapa lukisan perjuangan para pahlawan ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Sambil menunggu kedatangan Bu Ciciek dan Pak Supo, aku dan Mbak Ema pun berbincang-bincang. Kami berbincang-bincang masalah seputar Tanoker (komunitas bermain dan belajar). Sambil berbincang-bincang mataku mulai mengamati beberapa pegawai yang terlihat sibuk mondar-mandir membawakan aneka jajanan pasar. Jajanan pasar tersebut beraneka ragam, mulai dari lumpia, kue lapis, naga sari dan lain-lain. Minuman yang disediakan juga bervariasi, mulai dari kopi, teh dan air mineral. Semua jajanan pasar tersebut di tata di meja-meja yang telah tersedia, sedangkan untuk kopi dan teh disediakan di dalam termos besar dengan cup kecil di sampingnya. Karena dari tadi pagi aku belum sarapan, aku pun segera mengambil kue lapis dan nagasari. Tak lupa aku mengambil satu cup kopi panas untuk menemani jajanan pasar yang telah ku ambil. Tak terasa hampir satu jam kami berbincang-bincang dan tamu-tamu yang berdatangan sudah terlihat makin banyak. Namun tanda-tanda bapak bupati ingin menemui kami semua belum terlihat.
Tidak lama Bu Ciciek dan Pak Supo tiba. Aku dan Mbak Ema langsung bersalaman dan mencari tempat duduk. Sambil menunggu bapak bupati kami berempat pun berbincang-bincang kembali. “Gangsar kamu dapat undangan dari Pak Sujud,” kata Pak Supo. “Jangan lupa ya, nanti buatkan piala bergilir untuk Pak Sujud dan Mbak Desi,” tambah Pak Supo. “Apa Pak, piala bergilir?” tanyaku terheran-heran dengan usul yang tidak biasa dari Pak Supo. “Ya sudah Pak, nanti coba saya carikan,” ujarku menenangkan Pak Supo.
Hampir dua jam aku dan sebagian peserta acara Kamisan menunggu di ruangan ini. Menunggu datangnya bapak bupati. Menunggu untuk dilayani, didengarkan atau sekedar melihat sosoknya secara langsung. Namun hingga saat ini, kami yang memilih beliau menjadi pemimpin kami dan kami juga yang harus menunggu beliau. Sungguh berbeda 180 derajat dengan kondisi waktu bapak bupati membutuhkan suara kami. Acara Kamisan ini memiliki tujuan yang mulia. Acara Kamisan bertujuan sebagai proses hearing (mendengarkan keluhan dan aspirasi dari maysarakat). Sehingga besar harapan tercapainya kesepakatan mengenai penyelesaian masalah dari kedua belah pihak. Bagi bapak bupati diharapkan dengan adanya program ini (Kamisan) dapat mengetahui keluhan-keluhan apa saja yang dirasakan oleh masyarakat, mengetahui aspirasi masyarakat dan mengetahui respon dari kebijakan-kebijakannya yang telah diimplementasikan. Bagi masyarakat sendiri dengan adanya program ini diharapkan mereka dapat langsung menyampaikan aspirasinya kepada bapak bupati. Harapan kecil dari masyarakat sebenarnya ialah adanya perasaan tenang. Tenang karena mereka telah bertemu dan dapat menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada bapak bupati. Perkara permasalahan yang mereka hadapi ditindaklanjuti atau tidak, sepertinya mereka tidak terlalu peduli. Namun naas, alih-alih kita bisa bertemu dengan bapak bupati tepat waktu,  justru yang ada ialah hampir dua jam kami ditelantarkan oleh bupati kami. Orang yang beberapa tahun lalu memohon kepada kami agar kami memilihnya sebagai pemimpin kami. “Seharusnya Pak Bupati keluar sebentar dan mengatakan kepada Kita semua bahwa masih ada urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu,” terang Pak Supo. “Kalau kondisinya seperti ini kan, Kita yang ada di sini menjadi resah karena seolah-olah Kita menunggu tanpa kepastian.” Benar juga pikirku. Apa sulitnya bagi seorang bupati untuk keluar sebentar dan mengatakan kepada konstituennya untuk menunggu sebentar karena masih ada urusan yang masih harus diselesaikan. Atau paling tidak bapak bupati bisa memerintahkan stafnya. Namun itu semua tidak dilakukannya.
Saat yang ditunggu-tunggu oleh kami dan seluruh peserta diskusi lainnya pun tiba. Akhirnya bapak bupati pun tiba di ruang diskusi. Kedatangannya di temani oleh beberapa staf. Baik bapak bupati dan beberapa stafnya hari ini berpakaian batik. Bapak bupati duduk dikursinya sedangkan staf-stafnya duduk di belakangnya. Persis seperti raja yang ditemani oleh para penasihat kerajaan. Tamu pertama pun dipanggil oleh salah satu staf bapak bupati. Bapak bupati langsung menyalami tamunya, “Ada yang bisa Saya bantu,?” tanya bapak bupati. Tidak lama ku lihat mereka mulai berdiskusi mengenai permasalahan yang sedang dihadapi oleh tamu pertamanya. Para staf terlihat mulai sibuk mencatat.
Diskusi yang dilakukan oleh bapak bupati dengan tamunya yang pertama tidak memakan waktu lama. Setelah itu, salah satu staf memanggil namaku. “Berikutnya, atas nama Gangsar Parikesit, alamat di jalan brantas XXV.” “Ayo Pak, Bu, Kita sudah dipanggil,” ujarku kepada Pak Supo dan Bu Ciciek. Kami berempat langsung bertatap muka dengan bapak bupati, menyalaminya dan langsug duduk dihadapannya. “Ada yang bisa Saya bantu?” tanya bapak bupati kepada kami. “Begini Pak, kami dari Tanoker Ledokombo, mau menyampaikan bahwa Kami minta dukungan dari Bapak.” “Rencananya pada tanggal 7 Juli, Kami mau mengadakan acara festival egarang yang ketiga,” jelas Pak Supo kepada bapak bupati. “Oh ini teman-teman dari Tanoker ya?” “Kok alamatnya di jalan brantas?” tanya bapak bupati terheran-heran. “Begini Pak, tadi yang mendaftar itu Gangsar, Dia salah satu mahasiswa yang ikut berpartisipasi di Tanoker,” papar Pak Supo. “Oh begitu.” “Sebenarnya Saya ingin sekali bisa bertemu dengan teman-teman di Tanoker, tapi memang hingga saat ini, Saya belum sempat,” jelas bapak bupati. “Nah ayo Pak, main-main ke Ledokombo,” tutur Bu Ciciek mengundang bapak bupati. “Begini saja, Saya pingin lihat adik-adik latihan, kapan kira-kira Saya bisa bertemu dengan adik-adik di sana?” pinta bapak bupati. “Kalau waktu terserah Bapak, adik-adik bisa kami kondisikan,” terang Bu Ciciek. “Bagaimana kalau hari Rabu, karena pada tangga 20 Juni Kami mau mengadakan lomba melukis egrang.” “Syukur-syukur Bapak bisa membuka acara tersebut,” pinta Bu Ciciek. Bapak bupati terlihat berpikir, beliau kemudian menolehkan kepalanya ke belakang dan bertanya, “Saya hari Rabu tanggal 20 ada jadwal tidak?” tanyanya kepada salah satu stafnya. “Kalau tidak ada, tolong disusun jadwalnya, biar Saya bisa berkunjung ke Ledokombo, perintah bapak bupati kepada stafnya. Di tengah-tengah kami berdiskusi dengan beliau, beliau mulai mengambil kertas pakpir, mengisinya dengan tembakau dan setelah menatanya beliau mulai memilin kertas tersebut menjadi sebatang rokok. Untuk merekatkan kedua ujung kertas pakpirnya, beliau pun menggunakan perekat alami, yakni air liurnya sendiri. Tak lama, api mulai membakar rokok hasil lintingannya. Aroma tembakau pun mulai menusuk hidung kami. Namun beliau dengan santai tetap melanjutkan pembicaraan dengan kami.
Bapak bupati yang merokok ketika berdiskusi di depan kami, membuat kami sedikit illfeel. Hal ini disebabkan oleh kurang adanya rasa hormat kepada kami. Mungkin banyak dari peserta diskusi yang seorang perokok. Namun aku rasa, mereka (peserta diskusi yang perokok) masih memiliki rasa hormat dan sungkan. Sungkan ketika berdiskusi dengan bapak bupati sambil merokok. Sambil menaruh rokoknya di asbak, bapak bupati kemudian bertanya, “Terus kenapa pelaksanaan festival egrang harus di Ledokombo, bukankah Kita memiliki alun-alun yang luas dan berada di pusat kota?” tanya bapak bupati. “Memang kami memfokuskan diri untuk memberdayakan masyarakat di Ledokombo terlebih dahulu,” jelas Bu Ciciek. “Terus rencana jangka panjang temen-temen di Tanoker ini apa?” “Mimpi Kami ialah ingin membuat museum permainan tradisional,” papar Bu Ciciek. “Ayo ikut Saya sebentar,” ajak bapak bupati kepada kami. Kami pun kemudian diajak oleh beliau masuk ke dalam ruang kerjanya. Baru pertama kali ini, aku bisa masuk ke dalam ruang kerja bapak bupati. Ruangannya cukup lebar. Di dalamnya terdapat beberapa hiasan, vandel dan beberapa penghargaan. Beberapa harian surat kabar nasional juga tergeletak di mejanya. Bapak bupati pun menggiring kami ke dua buah maket. Satu buah maket tampak seperti ruang terbuka hijau dengan stadion di dalamnya dan satu buah lagi merupakan maket dari stadion itu sendiri. “Rencanya Saya mau membuat ruang terbuka hijau.” “Mungkin nanti Saya bisa memberikan beberapa hektar lahan untuk Anda kelola menjadi sebuah musium permainan tradisional,” jelas bapak Bupati. Setelah mendengarkan beberapa penjelasan mengenai proyek pembangunan ruang terbuka hijau dan stadion, kami pun kembali ke ruang diskusi. Tidak lama pembicaraan diantara kami pun berakhir. Hasil pembicaraan tersebut ialah beliau sangat mendukung acara festival egrang yang akan kami selenggarakan dan beliau juga berjanji akan mengunjungi kami pada tanggal 20.
Melalui acara Kamisan ini saya banyak belajar. Belajar bagaimana seharusnya saya bisa memperlakukan rakyat saya kelak ketika menjadi pemimpin. Belajar untuk bisa lebih dekat lagi dengan rakyat dengan mendatanginya secara langsung dan bukan mereka yang saya panggil ke dalam istana saya. Dan tiba-tiba saya teringat dengan ucapan Pak Supo, “kata Prof Kusnadi, pemimpin dan rakyatnya itu ibarat jari-jari tangan.” “Pemimpin itu disimbolkan dengan jempol dan rakyat disimbolkan dengan keempat jari lainnya.” Saya pun sempat berpikir apa maksud dari kalimat Pak Supo. Namun kita coba bersama-sama. Coba dekatkan keempat jari anda ke jempol anda. Susah bukan? Dan coba anda bandingkan jempol anda yang mendekati keempat jari anda. Mudah bukan? Pemimpin pun seperti itu, lebih mudah bagi pemimpin mendekati rakyatnya dibandingkan dengan rakyat yang harus mendekati pemimpinnya. Namun dalam acara Kamisan ini saya tidak melihat raja kecil tersebut layak dijadikan sebagai seorang pemimpin. Raja kecil tersebut masih belum bisa mengayomi dan bersikap santun ketika menemui rakyatnya di istananya. Semoga kelak terpilih raja kecil yang benar-benar bisa berperan seperti ibu jari yang mengayomi jari-jari yang lainnya.