Tak terasa satu tahun sudah aku meninggalkan bangku akademik. Aku masih
ingat betapa gegap gempitanya prosesi wisuda yang pernah aku jalani. Bahagia,
mungkin itu salah satu kata yang dapat mewakili perasaanku saat itu. Betapa bahagianya
hati ini, ketika melihat senyum kedua orang tuaku yang datang pada acara
wisudaku. Betapa bahagianya hati ini, ketika menggunakan toga, menyandang gelar
sarjana serta telah membayar lunas amanah kedua orang tuaku untuk menyelesaikan
studiku. Aku dan teman-teman seangkatan yang diwisuda pada saat itu juga tidak
lupa untuk foto bersama dan menikmati setiap detiknya penuh canda dan tawa.
Namun diantara seluruh canda dan tawa seluruh wisudawan hari itu, aku sangat
yakin bahwa ada sebuah masalah yang akan segera kami hadapi. Masalah yang juga
menjadi sorotan bagi Negera ini. Pengangguran.
Setelah prosesi wisuda, aku pun segera kembali ke Pare untuk
menyelesaikan kursus Bahasa Inggrisku. Walaupun aku berkuliah di jurusan
Hubungan Internasional, namun aku termasuk mahasiswa hubungan internasional
yang tak pandai berbahasa Inggris. Bahkan selama kuliah, untuk mensiasati
kelemahanku ini, aku akan selalu berusaha untuk mencari literatur dalam Bahasa
Indonesia. Kelemahanku ini sangat aku sadari. Oleh sebab itu, aku berupaya
untuk memperbaikinya. Selain itu, ketika melamar pekerjaan, percaya atau tidak
Bahasa Inggris menjadi salah satu komponen penilaian dalam perekrutan. Banyak
perusahaan dan instansi lainnya yang meminta dan menanyakan kemampuan Bahasa
Inggris kita. Dan salah satu standar yang digunakan ialah TOEFL. Setiap
perusahaan memiliki standar TOEFL yang berbeda-beda bagi calon karyawannya. Ada
perusahaan yang meminta nilai TOEFL 450, 500 hingga 550. Dari berbagai tes
TOEFL yang aku lakukan selama di Pare, nilai TOEFLku tidak pernah lebih dari
500 dan itupun masih tes TOEFL yang bersifat prediksi.
Di Pare aku tidak hanya belajar Bahasa Inggris. Mencari
pekerjaan itu merupakan salah satu tanggungjawabku yang lain. Melalui situs
pencari kerja Job Street, aku terus mencari pekerjaan yang sesuai dengan
bidangku. Hampir seluruh posisi pekerjaan meminta jurusan yang sesuai. Aku
menyadari bahwa lulusan Hubungan Internasional seringkali kalah dengan jurusan
lainnya. Ambil saja contoh, perusahaan rokok ternama pasti mencari lulusan manajemen
dengan konsentrasi manajemen pemasaran untuk posisi supervisor penjualan. Perusahaan media sebagian besar mencari
lulusan komunikasi untuk posisi reporter. Aku seringkali berpikir, apa
keunggulan ilmu hubungan internasional yang aku pelajari selama empat tahun
ini. Cukup lama aku mencari jawaban tersebut dan akhirnya aku menemukannya.
Salah satu keunggulannya ialah ketika aku mampu mengintegrasikan semua mata
kuliah yang pernah aku pelajari. Mengapa aku dapat berkata demikian? Hal ini
tidak lepas dari banyaknya dan beragamnya mata kuliah yang pernah aku pelajari.
Ambil contoh, aku pernah mempelajari ilmu ekonomi. Pengantar ilmu ekonomi, ekonomi
internasional hingga pemikiran-pemikiran ekonom seperti Karl Marx, Adam Smith
hingga Joseph Stiglitz. Namun jika dibandingkan dengan mereka yang alumnus
fakultas ekonomi jurusan ilmu studi ekonomi pembangunan, maka ilmu yang aku
pelajari belum mampu untuk menandingininya. Sama halnya ketika kita bertanding
dengan mereka yang pernah berkuliah di jurusan ilmu komunikasi. Ilmuku tentu
akan kalah, karena selama duduk di bangku kuliah yang aku pelajari hanya
komunikasi internasional dan diplomasi. Apa lagi ketika kita disandingkan
dengan mereka yang alumnus sastra. Perusahaan-perusahaan yang membutuhkan
tenaga penerjemah mayoritas akan mencari mereka yang telah lama bergelut dengan
studi bahasa asing. Oleh sebab itu, jika aku mampu mensinergikan berbagai ilmu
yang telah aku pelajari maka itu akan menjadi salah satu keunggulanku. Hal itu
juga yang melatar belakangiku untuk hanya melamar pekerjaan yang mengajukan
syarat menerima jurusan apa pun.
Di Pare hampir setiap hari setelah selesai kursus Bahasa
Inggris, aku tekun mengirimkan surat lamaran dan daftar riwayat hidupku melalui
surat elektronik. Satu yang ada dalam benakku, bekerja apa saja yang penting
halal dan mencari pengalaman kerja dulu. Masalah gaji dan di tempatkan di mana
itu urusan nanti. Setelah cukup lama menanti, akhirnya usahaku mulai membuahkan
hasil. Mulai banyak panggilan telepon yang datang dari berbagai macam
perusahaan. Aku masih ingat pertama kali aku tes ialah di perusahaan Mi Burung
Dara untuk posisi staf ekspor. Tesnya diselenggarakan pukul sembilan pagi di
Sidoarjo. Karena aku di Pare, maka agar tidak ketinggalan aku berangkat pukul
lima pagi. Aku masih ingat, saat itu mayoritas dari kandidat telah memiliki
pengalaman kerja bahkan aku juga harus bersaing dengan salah satu seniorku
sendiri ketika kuliah. Tapi aku tidak boleh rendah diri. Aku siap bersaing
dengan mereka.
Tes pertama ialah psikotes. Aku yang baru lulus dan baru
mencari kerja tidak pernah membayangkan untuk belajar mengerjakan soal-soal
psikotes. Soal-soal psikotes yang harus dikerjakan cukup beragam, mulai dari
wartegg test, Pauli-Kraeplin, hingga
tes potensi akademik. Aku hanya mengerjakan berdasarkan instruksi dari penguji.
Pada saat itu, aku juga tidak mengetahui bahwa ada trik untuk mengerjakan
soal-soal tersebut. Soal-soal psikotes tersebut berhasil membuat kepalaku
pening. Setelah selesai mengerjakan soal-soal psikotes kini tiba giliran
wawancara. Aku berusaha untuk menjawab seluruh pertanyaan dari pewawancara
dengan sebaik mungkin. Celakanya begitu pewawancara tahu aku sedang belajar
Bahasa Inggris di Pare maka dengan seenaknya mereka mewawancaraiku dengan
Bahasa Inggris. Semua rangkaian tes telah aku jalani, hanya tinggal menunggu
pengumuman saja gumamku dalam hati. Cukup lama aku menunggu panggilan
berikutnya, namun ternyata rezekiku memang bukan di sana. Aku tahu kabar itu
dari seniorku yang mengatakan bahwa dia diundang untuk wawancara berikutnya.
Tidak patah semangat, aku kembali tekun mengirim surat
lamaran dan daftar riwayat hidupku. Tidak hanya melalui surat elektronik, aku
pun mulai mencoba mengirim surat lamaran
dan daftar riwayat hidup melalui kantor pos. Alasanku sederhana, aku tidak
yakin bahwa surat lamaran dan daftar riwayat hidup yang aku kirimkan benar-benar
dibaca oleh tim perekrut. Di Pare, aku punya cita-cita untuk mencari pekerjaan
di Pare saja. Alasanku sederhana, aku ingin terus belajar berbagai macam bahasa
asing namun tidak ingin terus menerus disubsidi oleh orang tua. Banyaknya surat
lamaran dan daftar riwayat hidup yang aku kirim lewat pos ternyata berdampak
pada keuanganku. Salah satu dilema bagi orang yang menyandang status fresh graduate dan job seeker ialah merasa malu ketika harus meminta uang lagi kepada
orang tua.
Tidak lama kemudian akhirnya
ikhtiarku mulai membuahkan hasil. Aku mendapat panggilan tes di Kediri. Hari
yang aku tunggu pun tiba. Setelah berpakaian rapi dan menyiapkan alat tulis,
aku memacu motorku ke Kediri. Setelah empat puluh lima menit berkendara, aku
pun tiba di Kediri. Pada awalnya aku mengira bahwa perusahaan yang akan aku
masuki ialah sebuah perusahaan besar berskala nasional. Hal ini disebabkan
karena mereka mengaku sebagai perusahaan yang bergerak di bidang gas. Ternyata,
perusahaan ini bergerak di bidang penjualan selang dan regulator tabung gas
bukan perusahaan gas (energi) yang aku bayangkan. Pantas saja ketika aku
memasuki kantornya, peserta tes hanya dua orang termasuk aku sendiri.
Berbeda dengan tes sebelumnya, kali ini aku langsung
diwawancara. Aku berupaya dengan baik menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan.
Setelah diwawancarai, kini tiba aku diminta untuk terjun ke lapangan. Aku masih
ingat, hari itu aku berpuasa. Aku ditemani oleh salah satu sales ketika terjun di lapangan. Bersama sales tersebut aku mulai masuk dari rumah ke rumah menawarkan
produk mereka, selang dan regulator gas. Banyak dari pemilik rumah menolak
kami. Kecewa. Itu salah satu kata yang dapat menggambarkan kondisi perasaanku
saat itu. Aku kecewa karena telah tertipu dengan perusahaan itu dan aku kecewa
ketika tidak siap bekerja sebagai seorang sales.
Setelah menunaikan sholat dzuhur,
kami segera kembali ke kantor. Sampai di kantor, aku diberikan soal-soal.
Soal-soal tersebut sama dengan yang aku pelajari di lapangan. Setelah
mengerjakan soal-soal tersebut dan jawabannya diteliti oleh penguji, aku
dinyatakan lulus. Namun dengan perasaan tidak enak, aku mengatakan, “Maaf Pak, Aku merasa tidak bisa mengambil
pekerjaan ini.”
Di camp, sebutan
asrama di Pare, aku sempat mengobrol dengan salah seorang temanku yang telah
bekerja di salah satu perusahaan ternama. Dia memberikan saran kepadaku. Selain
itu dia juga mengatakan bahwa posisinya saat ini cukup baik. Perusahaan ternama
dengan kesejahteraan karyawan yang diperhatikan. Aku pun ingin mengalami nasib
yang serupa tapi hati kecilku mengatakan bahwa jalan kesuksesan setiap orang
itu berbeda-beda. Mungkin Yang Maha Kuasa pada saat itu menghendaki agar aku
belajar Bahasa Inggris terlebih dahulu dan aku juga tetap percaya bahwa Yang Maha
Kuasa akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.
Tanpa kusadari waktu terus berjalan. Desember. Genap satu
bulan posisiku sebagai pengangguran terselubung. Mengapa aku mengatakan hal
tersebut. Karena memang hingga saat itu aku masih belum bekerja dan masih
berkutat dalam mempelajari Bahasa Inggris. Cukup lama aku tidak mendapat
panggilan tes. Aku pun menunggu dengan
sabar. Akhirnya panggilan itu datang kembali. Panggilan tes di salah satu bank syariah di Karawang. Setelah menghubungi
orang tuaku. Aku bergegas untuk pulang. Aku bahkan pulang tanpa pamit kepada
seluruh temanku di camp yang sudah ku
anggap seperti saudaraku sendiri.
Perjuanganku kali ini tidak mudah. Karena tesnya akan
diselenggarakan esok hari dan aku tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat
maka aku harus pulang dengan menggunakan sepeda motor. Aku berupaya untuk bisa
sampai rumah nenekku yang terletak di Purwodadi, Jawa Tengah sebelum bis malam
terakhir tujuan Jakarta berangkat. Jarak Purwodadi-Pare kira-kira dua ratus dua
kilometer. Agar tidak ketinggalan bis malam aku memacu motorku dengan kecepatan
tinggi. Selama perjalanan hujan deras mengguyur. Badanku basah kuyup dan
telingaku mendengar suara gemeletuk dari gigiku. Sambil menahan rasa dingin,
aku berupaya untuk tetap berkonsentrasi. Sampai di Sragen tiba-tiba rantai
motorku lepas. Badanku langsung lemas. Aku tak mungkin tiba di Karawang tepat
waktu, gumamku dalam hati. Aku terpaksa mendorong motorku hingga menemukan
bengkel. Setelah mendorong motorku hampir satu kilometer akhirnya aku menemukan
sebuah bengkel. Sang montir dengan cekatan membetulkan motorku. Dan ketika
pekerjaannya hampir selesai aku baru menyadari jika uang di dompetku tidak
lebih dari uang dua ratus lima puluh ribu. Bagaimana kalau ongkosnya besar,
gumamku dalam hati. Ternyata Allah
selalu memberikan kejutan. Setelah selesai memperbaiki motorku, sang montir
hanya meminta ongkos sepuluh ribu. “Mas
lain kali kalau mau melakukan perjalanan jauh kondisi motornya diperiksa dulu,”
ujar sang montir. “Ya Mas, ini terburu-buru karena ada panggilan tes kerja,”
kataku. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali memacu motorku.
Setelah keluar jalan raya Solo-Sragen, motorku mulai menyusuri
jalanan Sragen-Purwodadi. Jalanan Sragen-Purwodadi yang dikenal sangat jelek tak
membuatku mengurangi kecepatan motorku. Jalanan berlubang terus aku lewati, tak
terasa dua jam kemudian aku sampai di terminal bis Purwodadi. Sudah tidak ada
bis pikirku ketika melihat kondisi terminal yang lengang. Salah seorang calo
mengatakan semua bis menuju Jakarta sudah berangkat. Aku hanya terduduk lemas
di terminal. Tidak lama ada bis malam yang berjalan. Aku berupaya untuk
mengejarnya. Bis pun berhenti. Setelah menanyakan tujuanku, sang kernet
mempersilakan aku masuk. Sang kernet pun segera meminta uang kepadaku. Setelah
membayar ongkos, sang kernet tidak kunjung memberikan tiket kepadaku. Sore itu
aku resmi menyandang status penumpang ilegal dan aku siap bersembunyi di toilet
ketika bis diperiksa oleh petugas lainnya. Lelah dengan perjalananku selama
seharian, aku mencoba untuk memejamkan mata. Membiarkan semua beban dan masalah
larut dalam tidurku. Tidur merupakan salah satu anugerah Yang Maha Kuasa yang
sangat aku syukuri, karena dengan tidur kita bisa melupakan berbagai masalah
yang sedang kita hadapi.
Tes pertama di perbankan. Entah kenapa pemikiran keluargaku mengatakan
bahwa kerja di bank cukup bergengsi. Bahkan kakakku menyempatkan membelikan
kemeja baru bagiku. “Kerja di bank itu
harus rapi, rubah penampilanmu,” ujar kakakku. Aku yang terbiasa tampil
acak-acakan memang sepertinya tidak cocok bekerja di bank. Tes pertama masih
kemampuan dasar seperti Bahasa Inggris dan pengetahuan perbankan syariah. Aku pun lulus. Namun aku
diarahkan oleh penguji untuk mengisi posisi pemasaran. Menjawab tawaran
tersebut aku hanya mampu menganggukkan kepala. Padahal disurat lamaran, aku
menginginkan posisi teller.
“Selamat Anda berhak
lolos ketahapan berikutnya,” ujar sms yang aku terima. Untuk tahap
berikutnya, tes akan diselenggarakan di Jakarta. Karena takut tertinggal, aku
memutuskan untuk menginap di kosan salah satu temanku di Harmoni, Jakarta Pusat.
Malam harinya, aku menyempatkan diri untuk belajar soal-soal psikotes. Ketika
mulai mengerjakan soal-soal psikotes tersebut aku mulai mengerti bagaimana cara
menjawab soal-soal tersebut. Wartegg tes ternyata berfungsi untuk mengetahui
sifat dan karakter kita. Untuk mengerjakannya ternyata ada triknya. Kita
disarankan untuk menggambar hal-hal yang berbeda pada umumnya. Selain itu,
dalam mengerjakkan wartegg tes kita diharapkan jangan menggambar sesuai dengan
urutan kolom. Ketika kita mampu menggambar hal-hal yang di luar pada umumnya,
maka kita akan dinilai sebagai orang kreatif. Selain itu, ketika kita menggambar
sesuai dengan urutan, maka kita akan dinilai sebagai orang yang hanya taat
aturan. Salah satu fungsi tes ini sebenarnya untuk mengetahui apakah kita bisa
berpikir dan bertindak get out of the box.
Karena seringkali karyawan harus mampu berpikir kreatif dan menobrak
aturan-aturan yang ada untuk mampu memecahkan masalah.
Tes Pauli-Kraeplin atau yang lebih populer dengan sebutan
hitung koran berfungsi untuk mengetahui bagaimana kondisi kita ketika bekerja
di bawah tekanan. Menghitung ialah pekerjaan yang mudah, namun ketika kita
menghitung dan dibatasi oleh waktu tentu memberikan kesulitan tersendiri.
Ketika aku melihat hasil pekerjaanku, aku menemukan bahwa hasil penghitungan
tersebut akan membentuk sebuah kurva. Kurva itulah yang akan dinilai oleh tim
penguji. Umumnya orang akan membentuk kurva yang naik turun dan penguji
biasanya akan merekrut kandidat yang mampu membentuk kurva sestabil mungkin.
Untuk mengerjakan tes ini, kita disarankan untuk selalu berkonsentrasi dan
tidak terlalu berfokus bagaimana memperbaiki hitungan yang salah. Selain itu
bentuk kurva yang stabil menandakan bahwa kita mampu bekerja secara stabil
walaupun sedang berada di bawah tekanan.
Malam semakin larut, namun aku menyadari bahwa aku masih
banyak kekurangan. Halaman berikutnya ialah irama bilangan. Melalui tes irama
bilangan ini penguji akan mengetahui logika berpikir kita. Setiap soal memiliki
cara pengerjaan yang berbeda-beda. Namun setelah aku perhatikan setiap soal
akan membentuk iramanya sendiri. Oleh sebab itu tes tersebut dinamakan irama
bilangan. Dalam mengerjakan soal-soal irama bilangan kita tidak diperkenankan
menggunakan alat bantu hitung. Namun pada dasarnya soal-soal tersebut bukanlah
soal-soal yang rumit.
Tipe soal-soal tes lainnya yang biasanya diujikan ialah
kemampuan verbal seperti, persamaan kata atau sinonim, lawan kata atau antonim
serta keterkaitan antar kata. Dalam pengerjaan tes kemampuan verbal, kita
memang dituntut untuk menguasai berbagai macam kosa kata. Selain tes kemampuan
verbal dan aritmatik masih ada tipe-tipe soal tes lainnya, seperti, tes Perception
and Prefrence Inventory atau biasa dikenal dengan sebutan PAPI test, logika penalaran gambar, army alpha intelegence test, tes
menggambar pohon atau biasa disebut Baum tree
test serta Draw a Person (DAP). Setelah
mempelajarinya aku berkesimpulan bahwa mengerjakan soal-soal tersebut tidaklah
sulit selama kita sering melatihnya. Selain itu, informasi yang mampu
memotivasiku ialah sebuah kalimat yang berbunyi, “Ketika Anda tidak lolos dalam psikotes bukan berarti anda terlahir
sebagai orang yang bodoh. Psikotes hanya merupakan alat untuk merekrut, sehingga ketika
Anda tidak lolos, itu bisa berarti bahwa Anda tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan..”
Kalimat di atas bisa bermakna bahwa ketika sebuah perusahaan
membutuhkan tenaga kerja pemasaran, maka tim perekrut biasanya akan mencari
karakter orang yang suka bersosialisasi, tidak mudah sakit hati ketika ditolak
dan berpikir get out of the box. Sama
seperti halnya ketika perusahaan mencari seorang tenaga administrasi, maka tim
perekrut akan mencari orang yang terbiasa dengan Standard Operational Procedure (SOP). Mataku mulai terasa berat dan
aku memutuskan untuk segera tidur agar badanku segar esok harinya.
Keesokan harinya, aku telah berkumpul dengan
kandidat-kandidat lainnya. Sebelum tes aku menyempatkan diri sarapa bubur ayam.
Sarapan menjadi penting karena logika tanpa logistik itu tidak akan berjalan.
Satu yang aku lihat hampir seluruh peserta tes tampil modis baik pria maupun
wanitanya. Hanya aku yang berpenampilan ala kadarnya. Satu hal lainnya yang aku
pelajari bahwa rata-rata pegawai bank terlihat cantik dan ganteng. Tes dimulai
pukul sembilan. Apa yang aku pelajari semalam ternyata keluar semua. Aku pun
mengucap syukur karena lebih siap.
Waktu Dzuhur menjadi penanda selesainya psikotes. Kami
dipersilakan untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk tes berikutnya, Focus Discussion Group (FDG). Dalam FDG,
setiap kelompok diberikan sebuah studi kasus. Studi kasus tersebut harus
dipecahkan dan jawabannya harus disampaikan kepada penguji. Melalui tes ini aku
belajar, semua kandidat berupaya untuk tampil mengemukakan pendapat mereka.
Bahkan dari sebagian mereka juga berupaya untuk menguasai jalannya diskusi dan bahkan
cenderung untuk memaksakan kehendaknya. Aku yang terbiasa berdiskusi dalam
kelas juga mengutarakan argumen-argumenku.
Tidak terasa sekarang tiba pada tes wawancara. Ketika ditanyakan
apa motivasiku masuk ke bank syriah tersebut
untuk posisi pemasaran, aku justru menjawab mengapa pentingnya ekonomi syariah di Indonesia. Aku mengaitkan
dengan fenomena globalisasi, kapitalisme yang mencekik leher hingga pandangan
Islam terhadap perbankan. Alhasil aku ditolak. Mereka menyarankan agar aku mengikuti
Officer Development Program ataupun Management
Trainee. Mereka menilai aku cocok sebagai seorang konseptor bukan seorang
eksekutor.
Setelah penolakan tersebut aku semakin giat mencari pekerjaan.
Tes di berbagai perusahaan baik, di perusahaan finance, perusahaan alat-alat berat dan lain-lain. Setiap ada acara
job fair aku datangi, baik itu di
Yogyakarta dan kota-kota lainnya. Satu hal yang aku pikir aneh dari acara job fair ialah dikenakannya biaya masuk
bagi peserta. Bagaimana mungkin, seorang pencari kerja yang sedang membutuhkan
pekerjaan untuk membiayai hidupnya justru diharuskan untuk membayar? Bukankah
perusahaan-perusahaan yang hadir di berbagai job fair sedang membutuhkan tenaga kerja?
Status pengangguran juga yang membuatku berani mengambil
keputusan untuk belajar wirasusaha. Bersama seorang sahabatku, aku mencoba
terjun di dunia bisnis rental ketikan dan jualan makanan ringan seperti, stick balado, keripik singkong dan
lain-lain. Tidak hanya itu aku yang waktu itu tinggal di Solo, juga melayani
pembelian buku-buku kuliah. Bahkan ketika di Solo aku tinggal di masjid. Aku
juga mulai terbiasa bepergian Solo-Jogja untuk membeli buku-buku pesanan. Jujur
saja saat itu aku berpandangan dari pada aku nganggur di rumah, lebih baik aku
melakukan sesuatu, walaupun ketika aku belajar merintis usaha di Solo orang
tuaku terus mengirimi aku uang. Hasil wirausahaku tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupku. Aku seringkali mendengar ungkapan banyak orang untuk
berwirausaha. Alasan yang paling banyak dikemukakan ialah dengan wirausaha kita
bertindak sebagai atasan tidak menjadi karyawan. Wirausaha juga mampu
menciptakan lapangan pekerjaan. Bahkan dari sepuluh pintu kebaikan, sembilan terbuka
melalui jalur perniagaan. Semua hal yang dikemukakan tersebut benar adanya,
hanya saja aku memang memerlukan active
income yang bisa menopang kehidupanku dulu dan lepas dari kiriman uang
orang tua.
Aku mendapat banyak pengalaman ketika berwirausaha. Mulai
dari pengalaman seharian di rental ketikan dan hanya melayani satu atau dua
pelanggan, jajananku yang tidak kunjung laku dan lama-lama aku habiskan sendiri
hingga konflik-konflik kecil dengan sahabatku mengenai pembagian hasil
keuntungan dari usaha kami. Selama di Solo juga aku terus menyiapkan tes untuk
melanjutkan studiku. Kedua orang tuaku menginginkan agar aku melanjutkan
studiku di salah satu universitas negeri di kota gudeg. Aku pun menurutinya.
Namun di sisi lain, aku menginginkan untuk bisa bekerja terlebih dahulu. Aku
sudah malu untuk terus-terusan disubsidi oleh orang tuaku.
Hampir tiga bulan aku di Solo dan hingga akhirnya pada bulan
Maret, aku diterima bekerja di salah satu perusahaan media ternama di negeri
ini. Enak dibaca dan perlu menjadi moto majalah dan surat kabar perusahaan ini.
Pada awalnya aku melamar sebagai seorang calon reporter, namun aku gagal.
Padahal aku ingin sekali bisa menjadi salah seorang jurnalis di perusahaan
media ini. Bagaimana tidak ingin, perusahaan ini melahirkan banyak jurnalis
ternama. Mulai dari Dahlan Iskan, Andi F. Noya, Karni Ilyas hingga Achmad Fuadi
(penulis trilogi negeri lima menara). Majalah kami juga menjadi sumber
referensi bagi perpolitikan di Indonesia.
Aku memang tidak lolos sebagai reporter namun aku ditawari
untuk mengisi divisi sirkulasi. Sirkulasi? Pekerjaan apa kelak yang akan aku
lakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering terlintas di pikiranku. Setelah
mengikuti tiga hari pelatihan di hotel berbintang di Jakarta,aku pun mengambil
keputusan untuk mencobanya. Divisi sirkulasi ternyata divisi yang
bertanggungjawab untuk memasarkan core
product kami, yakni majalah, koran dan majalah dalam versi Bahasa Inggris.
Layaknya bekerja di divisi pemasaran pada umumnya, target merupakan visi yang
harus kami capai. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan lapangan. Pada awalnya aku
sangat menghindari dua kata berikut ini, marketing
dan lapangan. Sejak dulu tertanam kuat dalam pemikiranku untuk bekerja di
kantor, berdasi, menggunakan jas, ruangan yang dingin dan nyaman serta bekerja
di depan komputer. Namun setelah aku menjalani pekerjaan sebagai seorang sales executive, ternyata aku menemukan
sebuah kenyamanan.
Bekerja di lapangan tidak mengharuskan aku berpakaian rapi.
Bekerja di lapangan juga tidak mengenal office
hour karena akulah yang mengatur waktu kerjaku. Bekerja di lapangan juga
membuat aku semakin terasah dalam soft
skill karena sering berinteraksi dengan banyak orang. Pemasaran menjadikan
aku banyak bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai macam latar
belakang. Dan aku pun mulai peka dengan berbagai kondisi, khususnya kondisi di
lapangan. Bukannya aku merendahkan orang-orang yang duduk dan dilatih dalam program
management trainee ataupun
orang-orang yang duduk dan dilatih dalam officer
development program. Mereka memang orang-orang terpilih dan siap dicetak
untuk menjadi seorang pemimpin di sebuah perusahaan. Namun, orang yang merintis
karir dari bawah dan terbiasa di lapangan akan mengetahui berbagai macam
persoalan di lapangan. Orang yang terbiasa bekerja di lapangan akan tahu
bagaimana seorang sales yang malas, sales yang suka menipu atasannya dan
kondisi-kondisi di lapangan yang bisa saja mereka manipulasi dalam laporannya.
Sederhananya orang-orang yang duduk dan dilatih untuk mengisi posisi management trainee dan officer development program biasanya merupakan
orang-orang yang taat teori dan SOP.
Bekerja di lapangan juga menjadikanku dinamis. Jika kita jeli
melihat peluang maka kita bisa mendapatkan pemasukan tambahan. Satu hal yang
aku syukuri ialah perusahaan tempatku bekerja tidak menerapkan sistem tahan
ijazah dan penalti. Aku berpikir bahwa ketika sebuah perusahaan menerapkan
sistem tahan ijazah dan penalti maka secara tidak langsung karyawannya yang
baru akan dilihatnya sebagai alat produksi. Alat produksi yang harus mereka
jaga dan tidak boleh lepas. Menurutku perusahaan yang baik seharusnya memandang
karyawannya sebagai aset. Karyawan yang dinilai sebagai aset tentu akan
diikutkan berbagai pelatihan guna menambah nilai bagi karyawan itu sendiri
khususnya dan bagi perusahaan pada umumnya.
Bekerja di Tempo juga menjadikan sense of politics yang aku dapatkan ketika berkuliah tidak hilang.
Aku sering mendapat bocoran-bocoran kasus-kasus korupsi apa yang sedang redaksi
usut, berita apa saja yang menjadi penting untuk diketahui masyarakat hingga
sejarah bangsa ini ketika redaksi menampilkan majalah dalam edisi khusus.
Kadang akupun ikut menemani temanku yang seorang jurnalis liputan hingga aku
ikut dalam rapat redaksi majalah mewakili divisiku, sirkulasi. Memang bekerja
di perusahaan media tidak diganjar dengan gaji yang tinggi. Tetapi hingga saat
ini, gaji yang aku terima sangatlah cukup. Bahkan ketika disyukuri gaji
tersebut akan terasa nikmatnya karena itu murni hasil keringatku sendiri.
Berikut ini daftar sepuluh perusahaan yang paling diminati
oleh para pencari kerja yang dilansir dari Majalah SWA.
Sumber:
Majalah SWA edisi 23
Dari gambar di atas dapat kita lihat Badan Usaha Milik Negara memang masih
menjadi tempat favorit bagi para pencari kerja, khususnya fresh graduate. Tolak ukur hasil survei tersebut selain
perusahaan-perusahaan di atas mampu mensejahterakan karyawannya juga gengsi
karyawan ketika bekerja di sana. Selain itu kesepuluh perusahaan tersebut
memberikan jenjang karir yang terbuka bagi seluruh karyawannya.
Pada dasarnya bekerja merupakan cermin dari kemandirian. Aku
sempat teringat salah satu bahaya dari menganggur ialah menganggur bisa
mematikan hati. Selain itu, junjunganku Nabi Muhammad saw pernah mencium salah
satu tangan seorang sahabatnya, Mu’adz Al Anshari, yang kasar, kering, kotor
dan mengangkut air sepanjang air. Beliau bersabda, “Tangan ini dicintai Allah dan rasul-Nya, serta tidak akan disentuh api
neraka”. Hal tersebut mencerminkan bahwa kita dituntut untuk bisa mandiri.
Gelar sarjana seharusnya tidak membuat kita gengsi. Gengsi dengan memilah-milah
pekerjaan hanya mencari yang bergengsi. Apa lagi memilah-milah alasan pekerjaan
tersebut itu juga yang menjadikan kita tetap menganggur. Sebagai penutup
tulisan ini saya akan mengutip pendapat Jakoeb Oetama, pemimpin kelompok Kompas
Gramedia. Bekerja! Bekerja! Bekerja! Pekerjaan menjadi bermartabat kalau
diupayakan semaksimal mungkin, dalam tata krama kemasyarakatan umum,
ddedikatif, menjunjung etika dan perilaku jujur. Pekerjaan pun, praktis selain
demi kepentingan pribadi, juga demi kepentingan publik (pro bono publico).