Minggu, 27 Januari 2013

Rekonstruksi Sejarah Di Sanata Dharma


Seluruh bangsa di dunia ini tentu memiliki sebuah sejarah. Baik sejarah yang ingin selalu dikenang maupun sejarah kelam yang ingin dilupakan. Namun satu hal yang pasti, bahwa semua sejarah entah itu sejarah gemilang maupun sejarah kelam sudah seharusnya sejarah merupakan sebuah kebenaran hakiki, karena sejarah bukanlah sekedar sebuah peristiwa lampau yang direkonstruksi oleh para pemenang.

Hari itu adalah hari Jum’at, hari yang dianggap suci olehku dan oleh jutaan umat muslim lainnya di seluruh penjuru dunia. Tidak seperti biasanya, pada hari Jum’at itu, aku telah memiliki janji untuk interview dengan salah satu perusahaan di Kota Gudeg. Dengan berpakaian rapi ala kadarnya yang ku bawa dari Jember, sepeda motor dengan kekuatan 110 cc yang ku pinjam dari sahabatku yang menjadi seorang takmir di salah satu masjid di Kota Solo, aku pun telah siap untuk berdebu dan terpanggang teriknya sengatan sinar matahari menyusuri ruas jalan Solo-Jogja. Jarak dari Solo ke Jogjakarta sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 65 km atau hanya sekitar satu jam setengah bila kita tempuh dengan kendaraan roda dua.
Namun motivasi ku berangkat ke Kota Jogja tidak hanya untuk sekedar interview saja. Ada satu hal menarik lainnya yang menjadikan motivasiku terlecut untuk segera berangkat ke Kota Gudeg. Hal menarik itu ialah menghadiri acara diskusi tertutup pemutaran film The Act Of Killing di Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Aku mendapat undangan untuk menghadiri acara tersebut dari temenku Sven yang berdomisili di Hamburg Jerman. Ya, kami (aku dan Sven) tidak sengaja pernah bertemu di angkringan Lek Man di kawasan angkringan di sebelah Stasiun Tugu Jogjakarta. Dan pertemuan tersebut ternyata menjadikan kami akrab dan mengenal satu sama lain. Sven jugalah orang yang mengenalkan ku dengan Pak Baskara T. Wardaya seorang Romo Yesuit yang menjadi dosen di Universitas Sanata Dharma.
Pada Kamis malam, Sven sempat mengirimkan sebuah pesan pendek, “Gangsar buka e-mail dari Saya.” Aku pun yang malam itu baru saja menginjakkan kaki di Kota Solo, langsung log-in di account e-mailku dan membuka e-mail dari Sven. “Gangsar besok kalau bisa hadir di acara diskusi tertutup pemutaran film The Act Of Killing,”ujar Sven dalam e-mailnya Film The Act Of Killing? Ujarku dalam hati. Karena rasa penasaran yang membuncah, pada malam itu juga aku pun berusaha untuk mencari tahu film tersebut (The Act Of Killing). Jari-jariku segera mengetik sebuah alamat web sebuah situs pencari video. Setelah situs tersebut terbuka, akupun segera mengetikkan judul film tersebut dan tidak perlu memakan waktu yang lama, film yang ku maksud ku pun keluar. Namun naas, di situs tersebut hanya terdapat video dengan durasi yang sangat pendek. Aku dan temanku  pun segera menontonnya, tapi kita berdua tak kunjung mengerti apa yang dimaksud dari film ini dan pesan apa yang ingin disampaikan melalui film ini.
Tak terasa sepeda motor yang ku tunggangi mulai memasuki Kota Jogja dan meninggalkan Kota Klaten. Siang itu matahari bersinar sangat terik di Kota Jogja. Aku pun segera mengarahkan sepeda motor ke arah ring road menuju Magelang. Karena alamat perusahaan tersebut ialah berada di Jalan Magelang, KM 4. Jam di telepon genggam ku menunjukkan pukul 12.00. Sudah saatnya Jum’atan seruku. Aku pun segera menepikan kendaraanku dan bertanya kepada salah seorang penjual es, “Pak dateng mriki pundi nggih masjid sing caket?” ujarku dalam bahasa Jawa Kromo. “Niku Mas, dateng gang seberang wonten masjid.” Tidak berpikir lama, akupun melihat ada beberapa pria yang bersepeda motor dan tidak mengenakan helm. Pria-pria tersebut pasti menuju masjid pikirku dalam hati. Akupun segera mengikutinya dari belakang.
Tiba di masjid, ternyata khotib telah naik ke atas mimbarnya dan telah memulai khotbah Jum’at yang telah dipersiapkannya. Aku pun segera melepas sepatu, tas dan jaket serta bergegas pergi untuk mensucikan diri. Setelah sholat koblal Jum’at akupun duduk seperti jamaah lainnya. Karena aku datang telat, tidak lama sholat Jum’at pun dimulai. Setelah sholat Jum’at, aku sempatkan bibir ini untuk meminta kepada Sang Khalik agar diberikan kemudahan pada saat interview dan diberikan jalan terbaik dari sisi-Nya. Aku pun aku segera mengenakan kembali peralatan berkendara ku dan mencari alamat kantor tersebut.
Kantor tersebut tidak terlalu besar, namun kendaraan yang parkir di pelataran parkir di depannya cukup banyak dan didominasi oleh kendaraan roda dua. Aku pun segera memasuki kantor, di meja depan kedua receptionist langsung melemparkan senyum dan melaksanakan tugasnya. “Ada yang bisa dibantu?” sapa seorang receptionist. Aku pun segera menyampaikan maksud kedatanganku. “Oh atas nama Bapak Gangsar ya.” “Tunggu sebentar ya, Bapak Hendranya sedang istirahat.” “Oh ya Mbak,” seruku. Sambil menunggu, aku pun menyempatkan diri untuk membaca buku yang ku beli ketika aku berkunjung ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao - Kopi, Seduhan & Kesehatan – menemaniku hingga Pak Hendra datang dan mempersilakan aku masuk ke dalam ruangannya. Ya sama dengan wawancara kerja sebelumnya, pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Hendra ialah seputar kepribadian, latar belakangku dan apa yang aku ketahui mengenai perusahaan ini. Wawancarapun tak berlangsung lama, hanya sekitar setengah jam. Satu pengalaman berharga yang ku dapat dari wawancara-wawancara sebelumnya dan ingin ku terapkan ialah, jadilah dirimu sendiri dan jawab seluruh pertanyaan dengan jujur. Tidak membohongi diri sendiri. Masalah hasil, ah entahlah, biarlah itu menjadi urusan Yang Maha Esa. “Bapak Gangsar, nanti Kami hubungi lagi, paling cepat nanti sore dan paling lama hari Senin besok,” ujar Pak Hendra menutup tugasnya.
Aku pun segera mohon diri dan tidak lupa mengucapkan terima kasih sambil melemparkan senyum. Begitu di luar, aku bergegas mengambil sepeda motor dan langsung melesat menuju Universitas Sanata Dharma. Universitas Sanata Dharma terletak di daerah Gejayan. Tidak lama, sepeda motorku mulai memasuki pelataran Universitas Sanata Dharma. Setelah sepeda motor ku parkir, aku segera merogoh saku celanaku untuk mengambil ponselku. Di layar ponselku menunjukkan ada beberapa SMS, satu diantaranya dari Sven. “Gangsar Kamu di mana?” “Bapak Baskara mencari Mu,” ujar Sven dalam pesan pendeknya. Aku pun segera membalas SMS dari Sven. Sambil menunggu balasan SMS dari Sven, aku pun segera menghampiri petugas keamanan yang sedang berjaga. “Pak acara diskusi pemutaran film The Act Of Killing dateng pundhi nggih?” “Lha niku acarane sinten Mas?” “Pak Baskara,” jawabku sambil tergopoh-gopoh. “Oh, niku Mas, njenengan mlampah mawon, mangke menggok kanan,” ujar petugas keamanan seraya tangannya menuntun pandanganku menuju tempat yang dia maksud.
Baru berjalan meninggalkan pos keamanan, Sven menelponku. Dari seberang ponselku, Sven berbicara lantang, “Gangsar Kamu di mana?” “Ini Sven Saya sedang mencari tempat diskusinya.” Beberapa meter di depan, aku melihat sosok seorang bule sambil memegang ponselnya. Aku pun spontan mengakhiri panggilan dari Sven dan berteriak memanggil-manggil nama Sven. “Ah Gangsar, lama kita tidak bertemu ya,” ujar Sven sambil bersalaman dan berusaha untuk merangkul bahuku. “Ya Sven sudah lama Kita tidak bertemu,” jawabku. Aku dan Sven pun berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong kelas. Ternyata lingkungan Universitas Sanata Dharma cukup sejuk, persis seperti sebuah bangunan rumah sakit yang teduh dengan berbagai tumbuhan. Aku yang pernah mengunjungi beberapa kampus dan sekolah-sekolah Katolik selalu menemukan sebuah lingkungan yang hampir sama. Teduh dan bangunannya memiliki arsitektur seperti bangunan kuno. Apa memang seperti itukah (lingkungan yang teduh dan bangunan dengan arsitektur kuno) suasana di sekolah-sekolah dan universitas-universitas Katolik? Pikirku dalam hati.
Tidak lama aku pun bertemu dengan Pak Baskara. “Bapak ini teman Saya Gangsar,” ujar Sven mengenalkanku. “Oh ini Gangsar yang mahasiswa Universitas Jember itu ya,” ujar Pak Baskara. “Ya Pak,” jawabku sedikit kikuk. “Ya Kita sempat saling kirim e-mail,” ujar Pak Baskara. Aku pun melihat ke sekeliling, ternyata ada beberapa peneliti asing yang juga menghadiri acara diskusi tersebut. “Áyo Kita mulai saja,” ajak Pak Baskara kepada kami semuanya. Kaki ini mulai melangkah memasuki sebuah ruangan audio visual. Ruangan itu ditata serapi mungkin. Kursi dan meja dibentuk menjadi sebuah persegi, agar peserta diskusi bisa saling melihat satu dengan yang lainnya, viewer digantungkan di langit-langit dan tidak lupa sepasang speaker tertata manis di sebelah note book yang berlogo sebuah apel yang digigit pada ujungnya.
Film pun dimulai, pada awal-awal aku benar-benar tidak mengerti apa maksud dari film ini. Namun lambat laun aku mulai mengetahui, film The Act Of Killing ingin menceritakan sebuah sisi kehidupan dari seorang Anwar Congo. Anwar Congo ialah seorang preman pada masanya, namun ia kemudian berafiliasi dengan Pemuda Pancasila. Tangan dinginnya telah banyak membunuh orang-orang yang dituduh menganut aliran komunis, menyebarluaskan ajaran komunis ataupun warga biasa yang justru tidak mengetahui apa-apa tentang apa itu komunisme, kapitalisme ataupun isme-isme lainnya.
Film dokumenter hasil tangan dingin Joshua Oppenheimer ini mengambil latar di salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara. Kami, peserta diskusi, digiring oleh Joshua Oppenheimer untuk mengenal lebih dekat sosok dari Anwar Congo. Dalam dialog film tersebut, Anwar Congo sering mengatakan bahwa preman sebenarnya merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa asing yakni free man yang dapat kita terjemahkan sebagai lelaki yang bebas. Pada tahun 1965, setelah terjadi pemberontakan oleh PKI, Anwar Congo dan Pemuda Pancasila lainnya mendapatkan mandat untuk benar-benar membersihkan ideologi komunis yang dapat mencemari ideologi pancasila.
Dalam film tersebut kami menyaksikan bagaimana Anwar Congo membunuh orang-orang yang dituduh memiliki ideologi komunis. Dan cara membunuh yang efektif dan tidak mengeluarkan banyak tenaga dan darah dari si korban menurut Anwar Congo ialah dengan cara dicekik. Bagaimana tidak keji, orang yang dituduh PKI setelah diintrogasi kemudian tangannya diikat dan didudukkan. Anwar Congo kemudian mengambil senjata andalannya yakni kawat. Dengan mengaitkan ujung kawat ke salah satu tiang dan melewatkan kawat tersebut ke batang leher tenggorokan korbannya, Anwar dengan dingin membunuh korbannya. “Selama Saya bertugas, Saya tidak pernah menggunakan celana panjang dengan warna cerah, karena kalau memakai celana panjang dengan warna cerah, bercak darah pasti akan terlihat,” ujar Anwar Congo ketika diwawancarai oleh Joshua Oppenheimer.
Melalui film tersebut, kami juga ditunjukkan cara lain bagaimana menghabisi nyawa orang. Cara ini tidak kalah sadis, bahkan menurutku sangat tidak berperikemanusiaan. Calon korban baik yang telah diintrogasi ataupun tidak dibunuh dengan cara, kepala mereka diletakkan di bawah kaki meja. Dengan posisi tangan dan kaki yang terikat tentu si korban tidak bisa berpindah tempat. Setelah kepalanya berada persis di bawah kaki meja, Anwar Congo dan teman-temannya duduk di atas meja sambil menikmati pemandangan dari lantai atas dan menyayikan lagu-lagu nasional seperti Halo-Halo Bandung, sambil bertepuk tangan dan berjingkat-jingkat. Tekanan yang cukup besar dari meja yang diduduki oleh Anwar Congo dan temannyalah yang dijadikan sebagai alat pembunuh. Anwar juga menyampaikan bahwa karung merupakan alat yang penting berikutnya. Karung. Ya jasad-jasad yang tidak berdosa itu kemudian dimasukkan ke dalam karung kemudian di buang.
Tidak sampai disitu, film ini juga mulai menguak pendapat salah seorang kawan akrab Anwar Congo yang juga berperan sebagai seorang eksekutor. Bagi kawan Anwar Congo, dirinya sangat siap ketika memang harus diadili di Den Hague. “Saya tidak takut, kalaupun Saya harus diadili.” “Malah Saya sangat siap dan menunggu waktu itu,” ujar kawan Anwar Congo ketika diwawancara oleh Joshua. “Bagi Saya sejarah ataupun kebenaran ialah sejarah dan kebenaran versi pemenang.”
Pada bagian akhir film ini, Joshua coba untuk menggali sisi psikologis baik dari Anwar Congo maupun temannya. Bahkan dalam film dokumenter tersebut Anwar Congo diposisikan seolah-olah sebagai korban yang tidak mengetahui apapun mengenai komunisme dan dia diintrogasi. Anwar yang telah diintrogasi kemudian disiksa. Namun siksaan itu hanyalah rekaan saja. Setelah bagian itu selesai Anwar pun menunjukkan bagian penyiksaan dirinya oleh pemuda pancasila kepada cucu-cucunya. Ekspresi cucu-cucu Anwar terlihat sedih. Bahkan untuk menghibur cucu-cucunya, Anwar mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah rekayasa. Tidak sampai disitu saja, ada bagian dari film tersebut yang juga menunjukkan hukum karma berlaku, Anwar disiksa tanpa ampun di tengah hutan. Ketika ditanya oleh Joshua baik Anwar maupun kedua temannya tidak sedikitpun mengalami trauma ataupun dihantui rasa bersalah.
Tak terasa film yang berdurasi hampir 3 jam tersebut selesai. Kami semua menghela napas panjang. Pak Baskara kemudian tampil ke depan dan mempersilahkan kepada peserta diskusi untuk menyampaikan pendapat ataupun menyampaikan pertanyaan. Pendapat pertama datang dari seorang dosen Sanata Dharma. “Romo boleh Saya menyatakan pendapat Saya,” ujarnya seraya meminta izin terlebih dahulu kepada Pak Baskara sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Tentu boleh,” sahut Pak Baskara. “Begini Romo, setelah melihat film tersebut Saya jadi bertanya-tanya, apakah tujuan sebenarnya dari si pembuat film?” “Apakah ingin memberikan sebuah ruang bagi para keluarga korban, yang keluarganya dibunuh? “Naluri Saya sebagai seorang ibu sangat tidak tega jika melihat bagaimana, anak-anak ataupun keluarga yang dituduh anggota PKI semua terlantar dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.” “Kita sebagai seorang Ibu, melahirkan anak-anak denga bertaruh nyawa, sedangkan Si Anwar Kongo dan teman-temannya dengan dingin dan tanpa rasa bersalah membunuh dengan mudahnya.” “Kalaupun film ini beredar di masyarakat, apakah mampu merekonstruksi ulang sebuah sejarah bangsa ini?” “Kalaupun bisa merekonstruksikan sebuah sejarah, tapi bukankah sama saja, peristiwa tersebut tidak bisa dirubah?”
Pak Baskara pun menjawab pertanyaan dari rekannya sesama dosen di Sanat Dharma. “Film ini tidak bisa disaksikan secara sendiri tanpa adanya sebuah pendampingan.” “Selain itu, Kita juga harus mempelajarinya secara komprehensif, tidak hanya sepenggal-sepenggal.” “Film ini juga tidak dimaksudkan sebagai sebuah jawaban.” “Dan jika Kita membuat film, tentu Kita akan memiliki keinginan menyampaikan sebuah pesan melalui film yang kita buat.” Setelah Pak Baskara mengutarakan pendapatnya, salah seorang peserta diskusi menyatakan pendapatnya. “Yang diungkapkan dalam film ini hanya sebagian saja.” “Kebetulan Saya berasal dari Sumatera Utara dan kebetulan juga Saya sedang penelitian untuk tesis Saya di sana.” “Saya menemukan fakta-fakta lain, karena sebenarnya pada tahun 1965, khususnya paska 30 September 1965, tidak semua petani-petani dibunuh, karena pemerintah yang pada saat itu yang ingin membersihkan ideologi komunis dari Indonesia masih memikirkan, bagaimana nasib perkebunan-perkebunan.” “Karena jika semua petani ‘dihabisi’ pemerintah pada akhirnya akan bingung juga siapa yang akan mengoperasionalkan perkebunan.” “Anwar Congo hanyalah algojo kecil, karena algojo besar sesungguhnya justru tidak tersentuh sama sekali.” “Jangan sampai setelah Kita nonton film ini, Kita justru bersikap antipati dengan Anwar Congo namun tidak bersikap antipati dengan algojo besar.”
Pendapat berikutnya hadir dari, Pak Pur. Pak Pur merupakan salah seorang korban. Korban dari pertautan ideologi yang sebenarnya beliau sendiri tidak mengerti akan hal itu. Pak Pur pun pernah di penjara di Pulau Buru bersama dengan Pramoedya Ananta Toer. “Saya sudah dikejar-kejar sejak Saya kelas 3 SMP dan Saya merasa paling aman ketika Saya berada di pasar malam.” “Pada saat itu menurut Saya, Mereka memang hanya ingin menyiksa.” “Bagaimana tidak ingin menyiksa, karena pertanyaan ketika Saya diintrogasi ialah pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal.” “Bisa kalian bayangkan, Saya yang masih kelas 3 SMP ditanya apakah Saya terlibat dalam pembunuhan panglima-panglima TNI AD.” Aku pun hanya tertawa pelan. Memang benar pendapat Pak Pur, logika dari mana yang bisa menunjukkan korelasi tersebut (anak SMP dituduh terlibat dalam pembunuhan panglima TNI AD). “Saya juga pernah punya teman, di mana teman saya, dituduh menyayat-nyayat tubuh panglima-panglima TNI AD.”
“Kala ditanya apakah Kami-kami ini yang mengalami perlakuan tidak manusiawi ini sakit hati dan dendam terhadap yang menganiyaya Kami.” “Jelas Kami sakit hati dan dendam pada saat itu, tapi tidak untuk sekarang.” “Silahkan, Anda bisa tanya kepada semua teman-teman Saya.” “Kami tidak dendam, yang Kami dapatkan ialah justru jangan sampai tragedi seperti ini terulang kembali di masa depan.” “Kita hanyalah korban, korban dari perseteruan blok barat dan blok timur,” ujar Pak Pur menutup pendapatnya.
Ibu Karen dari Amerika Serikat pun berpendapat bahwa film ini sebenarnya ingin menunjukkan perspektif yang berbeda. Karena film ini berusaha memberikan sebuah potret psikologis dari seorang eksekutor (Anwar Congo). Kita tadi menyaksikan bahwa sebagian gaya pembunuhan yang dilakukan oleh Anwar Congo terinspirasi dari film-film Holywood. Salah seorang peneliti asing pun mengeluarkan pendapatnya. “Memang dalam film tersebut Joshua terlihat tidak benar-benar bebas nilai.” “Kita bisa lihat dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya. “Selain itu, Joshua juga mengatikan dengan demokrasi dunia ketiga.”
Pendapat lain dikemukakan oleh Pak Bambang. “Film ini telah membingkai keanekaragaman bangsa ini.” “Ada banalitas-banalitas yang membentuk mentalitas-mentalitas politik bangsa ini.” Pak Baskara kemudian mempersilahkan salah satu peserta diskusi yang kebetulan sedang membuat tesis dengan penelitian bagaimana respon anak-anak dan guru-guru mengenai adanya perubahan materi sejarah khususnya mengenai peristiwa G30S-PKI. “Menurut hasil penelitian Saya, anak-anak di sekolah swasta lebih terbuka dengan adanya perubahan materi sejarah ini.” “Namun, anak-anak di sekolah negeri lebih sulit untuk menerima adanya perubahan materi sejarah ini.” “Begitupun guru-gurunya.” “Guru-guru di sekolah negeri juga cenderung lebih sulit untuk menerima perubahan tersebut dibandingkan dengan guru-guru di sekolah swasta.”
Tiba-tiba Pak Baskara teringat akan papernya. “Saya memiliki sebuah data valid mengenai adanya intervensi asing dalam carut-marutnya kondisi perpolitikan di Indonesia pada saat itu (tahun 1965).” “Pada bulan Maret tahun 1965, di salah satu kota di Filipina.” “Pada saat itu ada pertemuan seluruh diplomat-diplomat Amerika yang bertugas di negara-negara di kawasan Asia.” “Dan diplomat Amerika yang bertugas di Indonesia mengatakan bahwa untuk menegah Indonesia jatuh ke kiri, Indonesia harus dibuat sebuah kudeta gagal.” “PKI kemudian diprovokasi untuk segera mengambil alih kekuasaan secara paksa dari Presiden Soekarno.” “Isu yang dihembuskan ialah jika PKI tidak mengambil alih kekuasaan dengan segera, TNI AD yang akan mengambil alih kekuasaan.” Argumen Pak Baskara membangkitkan rasa ingin tahuku. “Pak, kemudian apa yang ditawarkan oleh Amerika dan Inggris kepada PKI?” “Tidak ada yang ditawarkan Mas Gangsar.” “Logikanya kalau PKI segera mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, maka PKI yang akan memimpin negeri ini.” “Kondisi seperti itu yang menjadikan TNI AD dan PKI saling bersaing.” “Apa lagi ketika PKI membunuh panglima-panglima TNI AD.” “TNI AD tentu tidak akan tinggal diam.”
“Kalau Inggris memprovokasi dengan cara menghembuskan isu pembentukan negara konfederasi Malaysia.” “Karena pada tahun 1964, diplomat-diplomat Inggris di New Zaeland mengatakan bahwa di Indonesia ini harus dibuatkan sebuah kudeta gagal.” “Setelah berhasil, dibentuklah sebuah rezim baru di Indonesia yang militeristik dan pro modal asing.” Aku pun bertanya kembali, “Pak bukankah sebenarnya Pak Harto pada saat itu sudah mengetahui akan adanya aksi kudeta yang akan dilakukan oleh PKI?” Ya, betul Mas Gangsar, sebenarnya Soeharto telah mengetahuinya.” “Hal ini semakin dikuatkan pada saat Saya mewawancarai salah satu petugas protokoler istana dan salah satu pasukan Cakrabhirawa, Pak Latief dan Pak Untung.” “Pak Latief sebenarnya sudah resah karena Presiden Soekarno berpidato lebih lama dari jadwal yang telah ditentukan.” “Dan ketika keganjilan ini terasa, ada seorang yang menanyakan, di mana duduknya Soeharto.” “Namun sudah dua orang ditanya mengenai posisi duduk Soeharto, tidak ada yang mengetahuinya.” Pak Baskara mengatakan,”Ya Soeharto sudah seharusnya duduk di kursi VIP, mengingat posisinya sebagai Pangkostrad.” “Lha ternyata memang benar, pada saat itu Soeharto tidak ada di sana, karena Soeharto berada di RSPAD Gatot Soebroto.” “Seharusnya kalau memang Soeharto sudah mengetahui akan adanya pemberontakan yang akan dilakukan oleh PKI, sudah seharusnya Soeharto melaporkan pada atasannya, bisa pada Achmad Yani misalkan.” Benar juga pikirku dalam hati. Apa ini memang sebuah skenario.
Tak terasa hampir pukul setengah tujuh malam, Pak Baskara pun menawarkan, “apa masih mau dilanjutkan atau kita sudahi?” “Karena sudah hampir lima jam Kita berada di sini.” “Baiklah kita sudahi diskusi hari ini.” “Oh ya untuk lima orang yang tadi sudah Saya hamipiri, jangan pulang dulu, karena ini ada mahasiswi S2 dari Denmark yang ingin meneliti, bagaiman respon warga Indonesia setelah menonton film ini.” “Habis ini akan ada wawancara yang mendalam.” Setelah Pak Baskara menutup acara diskusi, aku pun segera mohon diri. “Pak Saya pamit dulu, terima kasih buat seluruh penjelasannya.” “Oh ya Gangsar hati-hati ya di jalan.” “Sven Aku pulang dulu, nanti Senin Aku kembali lagi ke Jogja, nanti Kita ngopi lagi di Lek Man.” “Ya Gangsar, Saya juga senang selama di Jogja bisa ketemu Kamu.”
Aku pun segera menuju tempat parkir dan sebelum pulang menuju Solo sambil menembus derasnya hujan, Aku menyempatkan terlebih dahulu untuk melaksanakan sholat Maghrib. Di bawah derasnya hujan dan temaramnya lampu jalanan, aku tidak berhentinya bersyukur karena telah mendapatkan sebuah pemahaman baru mengenai sebuah sejarah. Sejarah kelam bangsa ini. Sejarah bangsa ini yang direkayasa oleh para pemenang dan jauh dari kenyataan. Aku pun berjanji untuk membagi pengalaman tersebut, karena pesan Pak Baskara kepada kami sebelum pulang ialah sudah sepantasnya bahwa orang yang mengetahu kebenaran, menyampaikan kebenaran tersebut pada orang-orang yang belum mengetahuinya. Dan itupun sesuai dengan ajaran agamaku, sampaikanlah sebuah kebenaran walaupun hanya satu ayat dan sampaikanlah sebuah kebenaran walaupun kebenaran itu terasa pahit serta tidak semua orang akan senang dengan penyampaian tersebut.

Surakarta 28 Januari 2013