Kamis, 19 September 2013

KENDURI CINTA



Akhirnya hari yang kunantikan pun tiba. Hari Jum’at, minggu kedua, awal bulan. Hari dimana salah satu guruku akan kembali ke Jakarta. Cak Nun beliau biasa disapa. Aku telah mengenalnya sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku mengenalnya melalui kaset tape Kiai Kanjeng yang dimiliki oleh ayahku. Lagu Lir-ilir dan tombo ati merupakan lagu favoritku. Pertama kali aku bisa bertatap muka dengannya ialah di tahun 2008. PGITK Alhamdulillah, Bantul, Yogyakarta menjadi saksi tempat pertemuan kita untuk pertama kali. Sejak saat itu, aku semakin terkesan dengannya.
Tak terasa lima tahun sudah berlalu. Setelah lulus kuliah, aku bekerja untuk sebuah perusahaan media, di Jakarta. Melalui salah seorang temanku, aku mendapatkan informasi bahwa Cak Nun biasa mengadakan acara kenduri cinta di minggu kedua, awal bulan. Untuk acara kenduri cinta bulan ini bertempat di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Cak ayo melok aku,” pintaku kepada seorang temanku. “Melok neng ndi?”tanya temanku. “Melok nontok wong Jombang cak, Emha Ainun Nadjib,” ujarku. “Ayo wes, tapi Isya’an ndhisek,” ujar temanku yang berasal dari Jombang, Jawa Timur. Tidak lama kemudian terdengar suara adzan Isya berkumandang. Kami berdua pun segera menuju surau terdekat untuk melaksanakan ibadah salat Isya.
Setelah selesai melaksanakan salat Isya. Kami bergegas untuk menuju Taman Ismail Marzuki. “Sar mangan ndhisek, wes luwe ki,” pinta temanku. Aku pun segera menepikan motorku. “Cak awakmu manganno ndhisek, aku tak neng Alfamart ndhisek,” ujarku. Aku segera masuk Alfamart untuk membeli beberapa makanan ringan dan kopi siap saji. Tidak enak mendengarkan ceramah jika tidak ada makanan ringan dan kopi, pikirku dalam hati. Pukul sembilan malam, kami tiba di Taman Ismail Marzuki. Telat satu jam pikirku, namun suasana di Taman Ismail Marzuki masih terlihat lengang.
Terpal berwarna biru yang disediakan oleh penyelenggara acara untuk alas duduk masih belum terisi penuh. “Ayo cak, nggolek panggon seng enak,” kataku. Kami berdua pun segera melepas alas kaki dan duduk bersila. Tidak lama, kami mulai larut dengan puji-pujian untuk baginda Rasul yang dipimpin oleh kelompok hadrah. Selain kelompok hadrah, acara kenduri cinta pada Jum’at malam itu juga dimeriahkan oleh beberapa musisi jalanan. Tidak seperti suasana di majelis taklim pada umumnya pikirku dalam hati. Di sini (acara kenduri cinta), kami berbaur tanpa mengindahkan status sosial.


Suasana acara kenduri cinta. Sumber: internet

Acara kenduri cinta kali ini mengusung tema Juggernaut dengan tag line, Indonesia pasti tidak pasti. “Juggernaut sendiri berasal dari Bahasa Sansakerta, jagannatha” ujar salah satu pemateri dalam mengantarkan prolog. Juggernaut sendiri merupakan sebuah kereta raksasa yang digunakan oleh Dewa Kresna. Kereta tersebut memiliki ukuran yang sangat besar. Kereta tersebut menggambarkan kondisi negara kita, Indonesia, karena di dalam kereta tersebut, sarat dengan penumpang yang gelisah. Namun nahasnya, karena banyaknya tarik ulur kepentingan, maka kereta tersebut tidak bergerak sama sekali.
Kondisi di atas persis dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Dimana banyak permasalahan yang terjadi. Namun, karena banyaknya tarik ulur kepentingan untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka, banyak solusi yang tidak sesuai. Kita bisa melihat banyak permasalahan bangsa saat ini, mulai dari kelangkaan kedelai, nilai tukar rupiah yang sangat rendah terhadap nilai tukar dollar Amerika, defisit neraca perdagangan, serta permasalahan lainnya. Di negeri ini, kita juga dapat menemukan berbagai macam ironi. Salah satunya ialah fenomena ikut sertanya Menteri Perdagangan dalam konvensi calon presiden yang diselenggarakan oleh salah satu partai politik. Menjadi sebuah ironi karena, seharusnya Menteri Perdagangan ikut bertanggungjawab dalam masalah kelangkaan kedelai.
“Sebenarnya Indonesia itu kaya akan pertaniannya,” ujar Pak Tjuk, pakar pertanian, yang menjadi salah satu pemateri. Pak Tjuk juga menambahkan, bahwa pada masa kolonial, pertanian di Indonesia itu diseragamkan. “Pada masa kolonial, pemerintah Belanda akan berusaha menanam sebanyak-banyaknya komoditas apa yang laku dijual di Eropa, seperti cengkeh, teh, kopi serta rempah-rempah lainnya. Oleh sebab itu, petani dipaksa untuk menanam komoditas-komoditas tersebut. Selain itu, kita juga bisa lihat pola pertanian di Indonesia biasanya seragam, kalau tidak persawahan ya perkebunan.”
Pada dasarnya untuk menyelesaikan masalah kelangkaan kedelai seharusnya pemerintah tidak serta merta menyerahkannya pada mekanisme impor. Menyerahkan masalah tersebut (kelangkaan kedelai) pada mekanisme impor bisa diartikan dengan ketidakmampuan negara ini untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan selalu bergantung dengan asing. Selain itu, menyerahkan masalah kelangkaan kedelai pada mekanisme impor juga sangat rentan dengan bahaya laten korupsi. Skandal kasus sapi berjanggut (kader Partai Keadilan Sejahtera yang terkena kasus korupsi daging impor) telah menjadi sebuah bukti nyata. Kenapa harus menyerahkan pada mekanisme impor, padahal pemerintah sebenarnya bisa menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan terdapat varietas kedelai yang tinggi tanamannya hingga mencapai satu meter dan bisa memberikan hasil paling tidak tujuh kali lipat dari kedelai Jawa.
Tiba-tiba aku teringat nasihat dosenku. Beliau mengatakan bahwa salah satu ancaman non-tradisional bagi umat manusia ialah kelangkaan pangan yang berujung pada kelaparan. Ketahanan pangan bangsa ini sangat mengkhawatirkan. Disaat negara-negara maju lainnya berlomba-lomba dalam industri pertanian agar mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya, pemerintah justru memfokuskan diri pada industri-industri yang kurang penting seperti industri otomotif, elektronik serta industri lainnya. Orang Indonesia pada umunya terbiasa menjelek-jelekkan apa yang telah kita miliki  dan mempromosikan yang tidak kita miliki. Ironi.
Setelah Pak Tjuk menyampaikan prolog, kini tiba giliran Cak Nun untuk menyampaikan materi. Gaya rambutnya sama seperti aku temui lima tahun yang lalu di Yogyakarta. Rambut gondrong yang panjangnya sebahu. Dibalut dengan baju muslim lengan pendek berwarna putih serta kancing atas yang tidak dikancingkan, dengan tenang Cak Nun duduk diatas terpal berwarna hijau. Rokok kretek, korek api, serta telepon selulernya diletakkan didepannya. Di belakangnya terdapat key board yang digunakan untuk menghibur kami dengan lagu-lagu melayu karya Husen Bawafi.
Setelah mengucapkan salam Cak Nun kemudian bertanya kepada kami, “ada yang masih ingat dengan lagu anak-anak ini?”

E dayohe teko, e gelarno kloso
E klosone bedah, e tambalen jadah
E jadahe mambu, e pakakno asu
E asune mati, e kelekno kali
E kaline banjir, e kelekno pinggir

Sebagian besar dari mereka yang datang sangat familiar dengan lagu anak-anak tersebut. Bahkan sebagian dari mereka ikut bernyanyi bersama Cak Nun. Aku memang keturunan Jawa, namun aku besar di Jawa Barat sehingga tidak hapal dengan lagu anak-anak tersebut.
“Lagu anak-anak tersebut jangan dianggap remeh, karena lagu tersebut memiliki nilai filosofi,” ujar Cak Nun. Lagu tersebut mewakili kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kondisi dimana banyak solusi yang tidak tepat dan justru mendatangkan banyak masalah baru. “Coba kita bedah makna lagu tersebut,” ujar suami Novia Kolopaking. Ada tamu datang, gelarkan tikar. Ketika ada tamu yang datang, kita sebagai tuan rumah tentu akan menggelarkan tikar (menjamu tamu). Hal tersebut merupakan sebuah tindakan yang tepat.
E tikarnya rusak. Di sini kita mulai menemukan sebuah masalah (tikar rusak). E ditambal jadah (uli). Coba kita pikirkan secara seksama, apakah benar menambal tikar pakai jadah? Apa yang akan terjadi kalau tamunya duduk kemudian celananya lengket? Tentu saja tamu tersebut akan kecewa dengan pelayanan si tuan rumah. Solusi di atas (menambal tikar yang rusak pakai jadah) merupakan sebuah solusi yang tidak tepat dan justru mendatangkan masalah.
E jadahnya bau (basi). Jadah yang digunakan untuk menambal tikar yang rusak tersebut ternyata basi. Kondisi tersebut tentu akan bertambah runyam. Sudah tikarnya sobek, celana tamunya lengket karena jadah dan ternyata jadahnya basi serta menimbulkan bau. Tentu saja tamu tersebut akan semakin kecewa dengan pelayanan yang diberikan oleh si tuan rumah.
E kasihkan anjing. Jadah yang basi tersebut dan telah digunakan untuk menambal tikar yang sobek, sekarang malah dikasihkan ke anjing. “Anjing diseluruh muka bumi ini tentu tidak akan mau dikasih makan jadah,” ujar Cak Nun yang langsung disertai tawa riuh seluruh hadirin. E anjingnya mati. Masalah semakin runyam ketika anjing yang memakan jadah basi tersebut kemudian mati. Berawal dari masalah tikar yang sobek sekarang malah berujung pada hilangnya nyawa seekor anjing.
E dibuang ke kali yang lagi banjir. Coba anda pikirkan bagaimana anjing yang mati kemudian bangkaianya dibuang ke kali yang sedang banjir. Tentu hal tersebut mencemari lingkungan hidup dan merugikan orang banyak. “Dari sini kita bisa melihat bagaimana lagu anak-anak tersebut mampu menggambarkan kondisi bangsa ini (banyak solusi yang tidak tepat),” ujar pria kelahiran Jombang. Cara berpikir kami mulai terbuka. Sering kali dalam kehidupan ini, kita tidak fokus untuk mencari sebuah solusi yang tepat terhadap sebuah masalah. Akibatnya yang terjadi ialah timbulnya masalah-masalah baru yang berkepanjangan.
Anda harus menjadi orang merdeka sehingga punya sidik paningal (kejernihan dan ketepatan penglihatan). Nanti puncaknya adalah putus pamriksa (ma’rifat), di mana Anda melihat sesuatu sampai ke ufuknya secara sangat jelas. Jangan sampai anda melangkah lebih lanjut sebelum meyakini kepastian bahwa solusi yang anda lakukan sudah tepat. Perkara gagal itu lain masalah, tapi ketepatan adalah nomor satu.”
Setelah mengkaji makna filosofis dari lagu anak-anak, Cak Nun kemudian mulai merambah kebisnis kosmetik. “Bisnis kosmetik ki neng Indonesia gak bakalan rugi,” ujar Cak Nun. “Karena bisnis kosmetik ini sebenarnya hanya memberikan kesan cantik, bukan menjadikan cantik,” katanya. Banyak dari wanita yang tampil lebih percaya diri ketika telah menggunakan bedak serta alat-alat kosmetik lainnya. Sebenarnya sama saja, karena yang dijual oleh bisnis kosmetik ialah kesan dan mimpi cantik. Kalau kita perhatikan dengan seksama mayoritas produk kosmetik di Indonesia bersifat memutihkan. Mulai dari sabun, bedak, body lotion hingga pasta gigi semuanya memiliki kandungan pemutih. Padahal kulit orang Indonesia mayoritas sawo matang. Dengan menggunakan model-model yang berkulit putih dalam mengiklankan produknya, perusahaan-perusahaan kosmetik berupaya untuk menstadardisasikan kecantikan. Demi keuntungan materi, perusahaan kosmetik menafikkan bahwa kecantikan bersifat relatif. Mereka (perusahaan kosmetik dan sebagian wanita serta pria) lupa bahwa kecantikan yang hakiki ialah kecantikkan yang berasal dari hati yang diwujudkan melalui sebuah sikap dan tutur kata.
Setelah membahas bisnis kosmetik, tiba-tiba Cak Nun berdoa. “Tak doakan semua yang datang di sini bisa memiliki negara sendiri, memiliki presiden sendiri dan pemerintahan sendiri.” Sebagian besar hadirin tidak mengerti apa maksud dari doa Cak Nun tersebut. Ternyata Doa Cak Nun tersebut bermakna sindirian bagi negara ini. Bagi Cak Nun Indonesia saat ini bukanlah sebuah negara. Tiba-tiba aku teringat sewaktu kuliah. Salah satu dosenku, Pak Himawan Bayu, pernah mengatakan bahwa salah satu fungsi dari negara ialah melindungi rakyatnya, baik itu dari ancaman negara lain maupun ancaman-ancaman kemanusiaan lainnya seperti bencana alam, epidemi penyakit maupun kelaparan. Namun ironisnya, fungsi negara tersebut tidak terlihat di sini, di Indonesia. Masih banyak anak jalanan yang tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Orang miskin yang  kelaparan dan hidup secara tidak layak. Angka pengangguran cukup tinggi, namun lapangan pekerjaan semakin tidak tersedia, serta masih banyak permasalahan sosial lainnya yang hingga saat ini masih belum bisa diselesaikan oleh negara. Satu pertanyaan relevan yang dapat kita ajukan ialah, Where is the state?
“Negara yang konon katanya saat ini merupakan negara modern, sebenarnya tidak lebih baik dibandingkan dengan Kerajaan Majapahit,” ujar Cak Nun. Di Kerajaan Majapahit dulu ada upacara kendi mas. Kendi mas ialah sebuah kendi yang terbuat dari emas yang berisi air. Dalam upacara kendi mas yang diselenggarakan tiga puluh lima hari sekali, tokoh-tokoh masyarakat dari setiap daerah persemakmuran Majapahit akan berkumpul untuk bergiliran meminum air dari kendi mas tersebut. Hayam Wuruk selaku raja, akan mendapat giliran terakhir. “Itu semua dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk menghormati daerah-daerah persemakmurannya.”
Cak Nun kemudian berpendapat bahwa fenomena yang sedang terjadi saat ini (Vicky) merupakan sebuah lelucon semata. “Banyak orang yang saat ini justru sibuk berkomentar mengenai Vicky. Padahal masalah-masalah yang sebanarnya sedang terjadi saat ini seperti kelangkaan kedelai, nilai tukar rupiah yang rendah serta masalah-masalah lainnya justru terlupakan.” Cak Nun kemudian menambahkan bahwa dirinya tidak percaya terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media masa, seperti TV one, Media Indonesia ataupun MNC. Bagi Cak Nun pemberitaan yang dilakukan oleh media-media tersebut sarat dengan berbagai macam kepentingan. Ternyata Cak Nun merupakan salah satu pengikut dari analisis Framing pikirku dalam hati. Dengan menggunakan analisis Framing kita bisa melihat bagaimana realitas dibingkai oleh media. Melalui analisis Framing, kita juga dapat mengetahui siapa mengendalikan siapa, mana lawan mana kawan, mana patron mana klien, siapa diuntungkan dan siapa dirugikan, siapa membentuk dan siapa dibentuk. “Nek pingin pekok yo kono tontonen acara televisi ben dino,” ujar Cak Nun yang kemudian diiringi suara tawa.
Tidak lama kemudian hujan turun. Kami yang hadir diminta oleh Cak Nun untuk merapat. “Kalau kita semua yang hadir di sini ikhlas hujan turun, InsyaAllah tidak sampai lima menit hujan akan reda,” ujar Cak Nun menenangkan kami. Apa yang dikatakan Cak Nun terjadi. Tidak sampai lima menit hujan reda. “Jane pas aku ngomong hujan reda, asline rodok wedi,” ujar Cak Nun. Takut karena mendahului kehendak yang Maha Kuasa. Namun Cak Nun menilai bahwa Allah SWT itu Maha Pengasih dan Penyayang. Karena Maha Pengasih dan Maha Penyanyang itulah, Allah SWT mengetahui bahwa kami yang hadir di acara kenduri cinta tersebut memang benar-benar ingin menuntut ilmu, sehingga Allah SWT tidak ingin mempersulit hambanya yang ingin menuntut ilmu.
Tidak lupa Cak Nun mengajarkan bagaimana seharusnya kita bisa berpikir secara asosiatif dan imajinatif. “Gak sah sekolah duwur-duwur rek,” ujar Cak Nun. Cak Nun mencontohkan, kalau kita melihat salah satu objek, kita seharusnya mampu mengakaitkan objek tersebut dengan objek lainnya. Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah pisang, otak kita harus bisa mengkaitkan dengan hal lainnya seperti, monyet ataupun pisang goreng. Dari monyet kita bisa mengkaitkan dengan kebun binatang ataupun objek-objek yang lainnya. Dengan kemampuan mengkaitkan antara satu objek dengan objek lainnya tersebut makan imajinasi kita akan terus terasah.
Cak Nun kemudian bercerita mengenai Sumantri dan Sukrasana. Sumantri dan Sukrasana merupakan kakak beradik. “Sumantri dan Sukrasana ini pada dasarnya sama-sama ingin memperbaiki negerinya,” ujar Cak Nun. Hanya saja metodenya yang berbeda. Sumantri ingin memperbaiki negerinya dari dalam, dengan cara menjadi birokrat, sedangkan Sukrasana tetap menjaga jarak (tidak menjadi birokrat namun LSM) dengan pemerintah yang berkuasa. Hal ini sepertinya pernah aku ketahui ketika aku berkuliah. Memperbaiki negeri dengan cara menjadi birokrat maupun tetap menjaga jarak agar tidak terjerumus arus (korupsi, kolusi dan nepotisme) sebenarnya masih bersifat unfinish debate. Menjadi birokrat berarti masuk ke dalam arus. Yang menjadi masalah ialah, apakah orang yang masuk arus tersebut mampu mengendalikkan arus atau justru sebaliknya. Sedangkan orang yang menjaga jarak, tidak memiliki kewenangan, karena yang mereka bisa lakukan hanya mengawasi, berdemonstrasi namun tidak bisa mengambil sebuah kebijakan. Kondisi tersebut sama dengan kondisi Indonesia saat ini. Partai oposisi hanya mampu berupaya mempengaruhi kebijakan, namun pada dasarnya partai oposisi tidak bisa membuat sebuah kebijakan. Tidak ada partai politik dimana pun yang selamanya mau menjadi oposisi. Mereka tentu akan berupaya untuk merebut simpati masyarakat agar dapat menjadi partai yang berkuasa. Bagi Cak Nun, pada dasarnya baik partai oposisi maupun partai yang berkuasa di Indonesia saat ini sama-sama perampok. Mereka (partai-partai politik) hanya menunggu giliran saja. “Yo nek saiki dadi oposisi, yo ngemis ndhisek rek. Ngko nek wes menang pemilu yo lagi iso nggarong.”
Salah satu pelajaran lagi yang diberikan oleh Cak Nun pada hari Jum’at malam itu ialah mengenai hakikat dari sebuah kehidupan. “Urip ki asline yo mung nggur hijrah,” ujar ayah Noe, vokalis band Letto. Mari kita renungkan sejenak. Makan ialah peristiwa hijrahnya makanan yang ada dihadapan kita ke dalam perut kita. Begitu pula peristiwa-peristiwa yang lainnya. Oleh sebab itu kita memang dituntut untuk selalu berhijrah. Bahkan kiamat sendiri juga merupakan sebuah peristiwa hijrah. Kiamat sendiri proses hijrahnya kehidupan yang fana di dunia ke kehidupan yang abadi di hari akhir. “Saya harap teman-teman yang hadir di sini, ketika pulang mampu menjadi pribadi yang merdeka. Kebahagian yang sejati sebenarnya ialah bukan ketika kita memiliki banyak uang. Namun kebahagian yang hakiki ialah ketika kita semua tahu proses-proses dalam kehidupan ini.”
Dakwah beliau pun berakhir. Kemudian Cak Nun dipersilakan untuk beristirahat sebentar sambil menunggu adanya pertanyaan dari hadirin. Sambil duduk bersila Cak Nun mulai menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Begitupun orang-orang yang hadir. Mereka memang dipersilakan untuk merokok. Sering kali dalam acara dakwah beliau juga dihadiri oleh anak-anak jalanan, kupu-kupu malam dan orang-orang yang termarginalkan. Namun di acara kenduri cinta, kami yang hadir memiliki sebuah kesamaan, yakni Iqra. Perintah Allah SWT yang pertama kali turun tersebut (iqra) memiliki makna bacalah. Ya membaca yang bisa diartikan belajar. Teman belajar pun bisa dari kalangan mana saja yang penting mempelajari hal yang baik.
Pertanyaan-pertanyaan kemudian terlontar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki beberapa kesamaan yakni, rasa skeptis untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut Cak Nun kemudian merujuk firman-Nya, bahwa Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut berupaya untuk merubah nasibnya sendiri. “Kenduri cinta ki jane cuma dalan. Dalan menuju Indonesia yang lebih baik. Tapi keputusan terakhir ono nek neng tangan Gusti Allah SWT rek. Sing penting kene wes berupaya.”
Cak Nun juga memberikan nasihat bahwa lapar itu lebih baik dibandingkan kenyang. “Sing gak oleh kan nek kelaparan,” ujar Cak Nun. Puasa merupakan salah satu contohnya. Ketika berpuasa tentu kita akan merasa lapar, namun Allah SWT memerintahkan untuk segera berbuka jika telah tiba saatnya untuk berbuka. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kita berpuasa tidak boleh sampai menyiksa diri kita (kelaparan).
Tak terasa malam semakin dingin. Cak Nun pun kemudian mengakhiri acara kenduri cinta malam itu dengan doa bersama. Dalam perjalanan pulang aku berusaha mungkin untuk mengingat dan mengimplementasikan nasihat-nasihat Cak Nun tersebut. Hidup merupakan sebuah proses. Namun celakanya seringkali kita berorientasi pada hasil dan mencari jalan pintas. Seringkali rasa ingin tahu kita tentang sebuah proses dan kenikmatan kita berproses telah digantikan dengan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya.