Seluruh bangsa di dunia ini tentu memiliki sebuah sejarah. Baik sejarah
yang ingin selalu dikenang maupun sejarah kelam yang ingin dilupakan. Namun
satu hal yang pasti, bahwa semua sejarah entah itu sejarah gemilang maupun sejarah
kelam sudah seharusnya sejarah merupakan sebuah kebenaran hakiki, karena
sejarah bukanlah sekedar sebuah peristiwa lampau yang direkonstruksi oleh para pemenang.
Hari itu adalah hari Jum’at, hari yang dianggap suci olehku
dan oleh jutaan umat muslim lainnya di seluruh penjuru dunia. Tidak seperti
biasanya, pada hari Jum’at itu, aku telah memiliki janji untuk interview dengan salah satu perusahaan
di Kota Gudeg. Dengan berpakaian rapi
ala kadarnya yang ku bawa dari Jember, sepeda motor dengan kekuatan 110 cc yang
ku pinjam dari sahabatku yang menjadi seorang takmir di salah satu masjid di Kota Solo, aku pun telah siap untuk
berdebu dan terpanggang teriknya sengatan sinar matahari menyusuri ruas jalan
Solo-Jogja. Jarak dari Solo ke Jogjakarta sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar
65 km atau hanya sekitar satu jam setengah bila kita tempuh dengan kendaraan roda
dua.
Namun motivasi ku berangkat ke Kota Jogja tidak hanya
untuk sekedar interview saja. Ada
satu hal menarik lainnya yang menjadikan motivasiku terlecut untuk segera berangkat
ke Kota Gudeg. Hal menarik itu ialah menghadiri
acara diskusi tertutup pemutaran film The
Act Of Killing di Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Aku mendapat
undangan untuk menghadiri acara tersebut dari temenku Sven yang berdomisili di
Hamburg Jerman. Ya, kami (aku dan Sven) tidak sengaja pernah bertemu di
angkringan Lek Man di kawasan
angkringan di sebelah Stasiun Tugu Jogjakarta. Dan pertemuan tersebut ternyata
menjadikan kami akrab dan mengenal satu sama lain. Sven jugalah orang yang
mengenalkan ku dengan Pak Baskara T. Wardaya seorang Romo Yesuit yang menjadi
dosen di Universitas Sanata Dharma.
Pada Kamis malam, Sven sempat mengirimkan sebuah pesan
pendek, “Gangsar buka e-mail dari
Saya.” Aku pun yang malam itu baru saja menginjakkan kaki di Kota Solo,
langsung log-in di account e-mailku dan membuka e-mail dari Sven. “Gangsar besok kalau
bisa hadir di acara diskusi tertutup pemutaran film The Act Of Killing,”ujar Sven dalam e-mailnya Film The Act Of
Killing? Ujarku dalam hati. Karena rasa penasaran yang membuncah, pada
malam itu juga aku pun berusaha untuk mencari tahu film tersebut (The Act Of Killing). Jari-jariku segera
mengetik sebuah alamat web sebuah situs
pencari video. Setelah situs tersebut
terbuka, akupun segera mengetikkan judul film
tersebut dan tidak perlu memakan waktu yang lama, film yang ku maksud ku pun
keluar. Namun naas, di situs tersebut hanya terdapat video dengan durasi yang sangat pendek. Aku dan temanku pun segera menontonnya, tapi kita berdua tak
kunjung mengerti apa yang dimaksud dari film ini dan pesan apa yang ingin
disampaikan melalui film ini.
Tak terasa sepeda motor yang ku tunggangi mulai memasuki
Kota Jogja dan meninggalkan Kota Klaten. Siang itu matahari bersinar sangat terik
di Kota Jogja. Aku pun segera mengarahkan sepeda motor ke arah ring road menuju Magelang. Karena alamat
perusahaan tersebut ialah berada di Jalan Magelang, KM 4. Jam di telepon genggam
ku menunjukkan pukul 12.00. Sudah saatnya Jum’atan seruku. Aku pun segera menepikan
kendaraanku dan bertanya kepada salah seorang penjual es, “Pak dateng mriki pundi nggih masjid sing caket?”
ujarku dalam bahasa Jawa Kromo. “Niku Mas, dateng gang seberang wonten masjid.”
Tidak berpikir lama, akupun melihat ada beberapa pria yang bersepeda motor dan
tidak mengenakan helm. Pria-pria tersebut pasti menuju masjid pikirku dalam
hati. Akupun segera mengikutinya dari belakang.
Tiba di masjid, ternyata khotib telah naik ke atas mimbarnya dan telah memulai khotbah Jum’at yang telah dipersiapkannya.
Aku pun segera melepas sepatu, tas dan jaket serta bergegas pergi untuk mensucikan
diri. Setelah sholat koblal Jum’at akupun duduk seperti jamaah lainnya. Karena aku datang telat,
tidak lama sholat Jum’at pun dimulai.
Setelah sholat Jum’at, aku sempatkan
bibir ini untuk meminta kepada Sang Khalik agar diberikan kemudahan pada saat interview dan diberikan jalan terbaik
dari sisi-Nya. Aku pun aku segera mengenakan kembali peralatan berkendara ku
dan mencari alamat kantor tersebut.
Kantor tersebut tidak terlalu besar, namun kendaraan yang
parkir di pelataran parkir di depannya cukup banyak dan didominasi oleh
kendaraan roda dua. Aku pun segera memasuki kantor, di meja depan kedua receptionist langsung melemparkan senyum
dan melaksanakan tugasnya. “Ada yang bisa dibantu?” sapa seorang receptionist. Aku pun segera
menyampaikan maksud kedatanganku. “Oh atas nama Bapak Gangsar ya.” “Tunggu
sebentar ya, Bapak Hendranya sedang istirahat.” “Oh ya Mbak,” seruku. Sambil menunggu, aku pun menyempatkan diri untuk membaca
buku yang ku beli ketika aku berkunjung ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao -
Kopi, Seduhan & Kesehatan – menemaniku hingga Pak Hendra datang dan
mempersilakan aku masuk ke dalam ruangannya. Ya sama dengan wawancara kerja
sebelumnya, pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Hendra ialah seputar
kepribadian, latar belakangku dan apa yang aku ketahui mengenai perusahaan ini.
Wawancarapun tak berlangsung lama, hanya sekitar setengah jam. Satu pengalaman
berharga yang ku dapat dari wawancara-wawancara sebelumnya dan ingin ku
terapkan ialah, jadilah dirimu sendiri dan jawab seluruh pertanyaan dengan
jujur. Tidak membohongi diri sendiri. Masalah hasil, ah entahlah, biarlah itu
menjadi urusan Yang Maha Esa. “Bapak Gangsar, nanti Kami hubungi lagi, paling
cepat nanti sore dan paling lama hari Senin besok,” ujar Pak Hendra menutup
tugasnya.
Aku pun segera mohon diri dan tidak lupa mengucapkan
terima kasih sambil melemparkan senyum. Begitu di luar, aku bergegas mengambil
sepeda motor dan langsung melesat menuju Universitas Sanata Dharma. Universitas
Sanata Dharma terletak di daerah Gejayan. Tidak lama, sepeda motorku mulai
memasuki pelataran Universitas Sanata Dharma. Setelah sepeda motor ku parkir,
aku segera merogoh saku celanaku untuk mengambil ponselku. Di layar ponselku
menunjukkan ada beberapa SMS, satu
diantaranya dari Sven. “Gangsar Kamu di mana?” “Bapak Baskara mencari Mu,” ujar
Sven dalam pesan pendeknya. Aku pun segera membalas SMS dari Sven. Sambil menunggu balasan SMS dari Sven, aku pun segera menghampiri petugas keamanan yang
sedang berjaga. “Pak acara diskusi pemutaran film The Act Of Killing dateng pundhi nggih?” “Lha niku acarane sinten Mas?” “Pak Baskara,” jawabku sambil
tergopoh-gopoh. “Oh, niku Mas, njenengan mlampah mawon, mangke menggok kanan,” ujar petugas
keamanan seraya tangannya menuntun pandanganku menuju tempat yang dia maksud.
Baru berjalan meninggalkan pos keamanan, Sven menelponku.
Dari seberang ponselku, Sven berbicara lantang, “Gangsar Kamu di mana?” “Ini
Sven Saya sedang mencari tempat diskusinya.” Beberapa meter di depan, aku
melihat sosok seorang bule sambil memegang ponselnya. Aku pun spontan
mengakhiri panggilan dari Sven dan berteriak memanggil-manggil nama Sven. “Ah
Gangsar, lama kita tidak bertemu ya,” ujar Sven sambil bersalaman dan berusaha
untuk merangkul bahuku. “Ya Sven sudah lama Kita tidak bertemu,” jawabku. Aku
dan Sven pun berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong kelas. Ternyata lingkungan
Universitas Sanata Dharma cukup sejuk, persis seperti sebuah bangunan rumah
sakit yang teduh dengan berbagai tumbuhan. Aku yang pernah mengunjungi beberapa
kampus dan sekolah-sekolah Katolik selalu menemukan sebuah lingkungan yang
hampir sama. Teduh dan bangunannya memiliki arsitektur seperti bangunan kuno. Apa
memang seperti itukah (lingkungan yang teduh dan bangunan dengan arsitektur
kuno) suasana di sekolah-sekolah dan universitas-universitas Katolik? Pikirku
dalam hati.
Tidak lama aku pun bertemu dengan Pak Baskara. “Bapak ini
teman Saya Gangsar,” ujar Sven mengenalkanku. “Oh ini Gangsar yang mahasiswa
Universitas Jember itu ya,” ujar Pak Baskara. “Ya Pak,” jawabku sedikit kikuk.
“Ya Kita sempat saling kirim e-mail,”
ujar Pak Baskara. Aku pun melihat ke sekeliling, ternyata ada beberapa peneliti
asing yang juga menghadiri acara diskusi tersebut. “Áyo Kita mulai saja,” ajak
Pak Baskara kepada kami semuanya. Kaki ini mulai melangkah memasuki sebuah
ruangan audio visual. Ruangan itu
ditata serapi mungkin. Kursi dan meja dibentuk menjadi sebuah persegi, agar
peserta diskusi bisa saling melihat satu dengan yang lainnya, viewer digantungkan di langit-langit dan
tidak lupa sepasang speaker tertata
manis di sebelah note book yang berlogo sebuah apel yang digigit pada ujungnya.
Film pun dimulai, pada awal-awal aku benar-benar tidak
mengerti apa maksud dari film ini. Namun lambat laun aku mulai mengetahui, film
The Act Of Killing ingin menceritakan
sebuah sisi kehidupan dari seorang Anwar Congo. Anwar Congo ialah seorang
preman pada masanya, namun ia kemudian berafiliasi dengan Pemuda Pancasila.
Tangan dinginnya telah banyak membunuh orang-orang yang dituduh menganut aliran
komunis, menyebarluaskan ajaran komunis ataupun warga biasa yang justru tidak
mengetahui apa-apa tentang apa itu komunisme, kapitalisme ataupun isme-isme
lainnya.
Film dokumenter hasil tangan dingin Joshua Oppenheimer ini
mengambil latar di salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara. Kami, peserta
diskusi, digiring oleh Joshua Oppenheimer untuk mengenal lebih dekat sosok dari
Anwar Congo. Dalam dialog film tersebut, Anwar Congo sering mengatakan bahwa
preman sebenarnya merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa asing yakni free man yang dapat kita terjemahkan
sebagai lelaki yang bebas. Pada tahun 1965, setelah terjadi pemberontakan oleh PKI,
Anwar Congo dan Pemuda Pancasila lainnya mendapatkan mandat untuk benar-benar
membersihkan ideologi komunis yang dapat mencemari ideologi pancasila.
Dalam film tersebut kami menyaksikan bagaimana Anwar Congo
membunuh orang-orang yang dituduh memiliki ideologi komunis. Dan cara membunuh
yang efektif dan tidak mengeluarkan banyak tenaga dan darah dari si korban menurut
Anwar Congo ialah dengan cara dicekik. Bagaimana tidak keji, orang yang dituduh
PKI setelah diintrogasi kemudian tangannya diikat dan didudukkan. Anwar Congo kemudian
mengambil senjata andalannya yakni kawat. Dengan mengaitkan ujung kawat ke
salah satu tiang dan melewatkan kawat tersebut ke batang leher tenggorokan
korbannya, Anwar dengan dingin membunuh korbannya. “Selama Saya bertugas, Saya
tidak pernah menggunakan celana panjang dengan warna cerah, karena kalau
memakai celana panjang dengan warna cerah, bercak darah pasti akan terlihat,”
ujar Anwar Congo ketika diwawancarai oleh Joshua Oppenheimer.
Melalui film tersebut, kami juga ditunjukkan cara lain
bagaimana menghabisi nyawa orang. Cara ini tidak kalah sadis, bahkan menurutku
sangat tidak berperikemanusiaan. Calon korban baik yang telah diintrogasi
ataupun tidak dibunuh dengan cara, kepala mereka diletakkan di bawah kaki meja.
Dengan posisi tangan dan kaki yang terikat tentu si korban tidak bisa berpindah
tempat. Setelah kepalanya berada persis di bawah kaki meja, Anwar Congo dan
teman-temannya duduk di atas meja sambil menikmati pemandangan dari lantai atas
dan menyayikan lagu-lagu nasional seperti Halo-Halo Bandung, sambil bertepuk
tangan dan berjingkat-jingkat. Tekanan yang cukup besar dari meja yang diduduki
oleh Anwar Congo dan temannyalah yang dijadikan sebagai alat pembunuh. Anwar
juga menyampaikan bahwa karung merupakan alat yang penting berikutnya. Karung.
Ya jasad-jasad yang tidak berdosa itu kemudian dimasukkan ke dalam karung
kemudian di buang.
Tidak sampai disitu, film ini juga mulai menguak pendapat
salah seorang kawan akrab Anwar Congo yang juga berperan sebagai seorang
eksekutor. Bagi kawan Anwar Congo, dirinya sangat siap ketika memang harus
diadili di Den Hague. “Saya tidak takut, kalaupun Saya harus diadili.” “Malah
Saya sangat siap dan menunggu waktu itu,” ujar kawan Anwar Congo ketika
diwawancara oleh Joshua. “Bagi Saya sejarah ataupun kebenaran ialah sejarah dan
kebenaran versi pemenang.”
Pada bagian akhir film ini, Joshua coba untuk menggali
sisi psikologis baik dari Anwar Congo maupun temannya. Bahkan dalam film
dokumenter tersebut Anwar Congo diposisikan seolah-olah sebagai korban yang
tidak mengetahui apapun mengenai komunisme dan dia diintrogasi. Anwar yang
telah diintrogasi kemudian disiksa. Namun siksaan itu hanyalah rekaan saja.
Setelah bagian itu selesai Anwar pun menunjukkan bagian penyiksaan dirinya oleh
pemuda pancasila kepada cucu-cucunya. Ekspresi cucu-cucu Anwar terlihat sedih.
Bahkan untuk menghibur cucu-cucunya, Anwar mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah
rekayasa. Tidak sampai disitu saja, ada bagian dari film tersebut yang juga
menunjukkan hukum karma berlaku, Anwar disiksa tanpa ampun di tengah hutan. Ketika
ditanya oleh Joshua baik Anwar maupun kedua temannya tidak sedikitpun mengalami
trauma ataupun dihantui rasa bersalah.
Tak terasa film yang berdurasi hampir 3 jam tersebut
selesai. Kami semua menghela napas panjang. Pak Baskara kemudian tampil ke
depan dan mempersilahkan kepada peserta diskusi untuk menyampaikan pendapat
ataupun menyampaikan pertanyaan. Pendapat pertama datang dari seorang dosen
Sanata Dharma. “Romo boleh Saya menyatakan pendapat Saya,” ujarnya seraya
meminta izin terlebih dahulu kepada Pak Baskara sebelum melanjutkan
pertanyaannya. “Tentu boleh,” sahut Pak Baskara. “Begini Romo, setelah melihat
film tersebut Saya jadi bertanya-tanya, apakah tujuan sebenarnya dari si
pembuat film?” “Apakah ingin memberikan sebuah ruang bagi para keluarga korban,
yang keluarganya dibunuh? “Naluri Saya sebagai seorang ibu sangat tidak tega
jika melihat bagaimana, anak-anak ataupun keluarga yang dituduh anggota PKI
semua terlantar dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.” “Kita sebagai seorang
Ibu, melahirkan anak-anak denga bertaruh nyawa, sedangkan Si Anwar Kongo dan
teman-temannya dengan dingin dan tanpa rasa bersalah membunuh dengan mudahnya.”
“Kalaupun film ini beredar di masyarakat, apakah mampu merekonstruksi ulang
sebuah sejarah bangsa ini?” “Kalaupun bisa merekonstruksikan sebuah sejarah,
tapi bukankah sama saja, peristiwa tersebut tidak bisa dirubah?”
Pak Baskara pun menjawab pertanyaan dari rekannya sesama
dosen di Sanat Dharma. “Film ini tidak bisa disaksikan secara sendiri tanpa
adanya sebuah pendampingan.” “Selain itu, Kita juga harus mempelajarinya secara
komprehensif, tidak hanya sepenggal-sepenggal.” “Film ini juga tidak
dimaksudkan sebagai sebuah jawaban.” “Dan jika Kita membuat film, tentu Kita
akan memiliki keinginan menyampaikan sebuah pesan melalui film yang kita buat.”
Setelah Pak Baskara mengutarakan pendapatnya, salah seorang peserta diskusi
menyatakan pendapatnya. “Yang diungkapkan dalam film ini hanya sebagian saja.”
“Kebetulan Saya berasal dari Sumatera Utara dan kebetulan juga Saya sedang
penelitian untuk tesis Saya di sana.” “Saya menemukan fakta-fakta lain, karena
sebenarnya pada tahun 1965, khususnya paska 30 September 1965, tidak semua
petani-petani dibunuh, karena pemerintah yang pada saat itu yang ingin
membersihkan ideologi komunis dari Indonesia masih memikirkan, bagaimana nasib
perkebunan-perkebunan.” “Karena jika semua petani ‘dihabisi’ pemerintah pada
akhirnya akan bingung juga siapa yang akan mengoperasionalkan perkebunan.”
“Anwar Congo hanyalah algojo kecil, karena algojo besar sesungguhnya justru
tidak tersentuh sama sekali.” “Jangan sampai setelah Kita nonton film ini, Kita
justru bersikap antipati dengan Anwar Congo namun tidak bersikap antipati
dengan algojo besar.”
Pendapat berikutnya hadir dari, Pak Pur. Pak Pur merupakan
salah seorang korban. Korban dari pertautan ideologi yang sebenarnya beliau
sendiri tidak mengerti akan hal itu. Pak Pur pun pernah di penjara di Pulau
Buru bersama dengan Pramoedya Ananta Toer. “Saya sudah dikejar-kejar sejak Saya
kelas 3 SMP dan Saya merasa paling aman ketika Saya berada di pasar malam.”
“Pada saat itu menurut Saya, Mereka memang hanya ingin menyiksa.” “Bagaimana
tidak ingin menyiksa, karena pertanyaan ketika Saya diintrogasi ialah
pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal.” “Bisa kalian bayangkan, Saya yang
masih kelas 3 SMP ditanya apakah Saya terlibat dalam pembunuhan
panglima-panglima TNI AD.” Aku pun hanya tertawa pelan. Memang benar pendapat
Pak Pur, logika dari mana yang bisa menunjukkan korelasi tersebut (anak SMP
dituduh terlibat dalam pembunuhan panglima TNI AD). “Saya juga pernah punya
teman, di mana teman saya, dituduh menyayat-nyayat tubuh panglima-panglima TNI
AD.”
“Kala ditanya apakah Kami-kami ini yang mengalami
perlakuan tidak manusiawi ini sakit hati dan dendam terhadap yang menganiyaya
Kami.” “Jelas Kami sakit hati dan dendam pada saat itu, tapi tidak untuk
sekarang.” “Silahkan, Anda bisa tanya kepada semua teman-teman Saya.” “Kami
tidak dendam, yang Kami dapatkan ialah justru jangan sampai tragedi seperti ini
terulang kembali di masa depan.” “Kita hanyalah korban, korban dari perseteruan
blok barat dan blok timur,” ujar Pak Pur menutup pendapatnya.
Ibu Karen dari Amerika Serikat pun berpendapat bahwa film
ini sebenarnya ingin menunjukkan perspektif yang berbeda. Karena film ini
berusaha memberikan sebuah potret psikologis dari seorang eksekutor (Anwar
Congo). Kita tadi menyaksikan bahwa sebagian gaya pembunuhan yang dilakukan oleh
Anwar Congo terinspirasi dari film-film Holywood. Salah seorang peneliti asing
pun mengeluarkan pendapatnya. “Memang dalam film tersebut Joshua terlihat tidak
benar-benar bebas nilai.” “Kita bisa lihat dari pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkannya. “Selain itu, Joshua juga mengatikan dengan demokrasi dunia
ketiga.”
Pendapat lain dikemukakan oleh Pak Bambang. “Film ini
telah membingkai keanekaragaman bangsa ini.” “Ada banalitas-banalitas yang
membentuk mentalitas-mentalitas politik bangsa ini.” Pak Baskara kemudian
mempersilahkan salah satu peserta diskusi yang kebetulan sedang membuat tesis
dengan penelitian bagaimana respon anak-anak dan guru-guru mengenai adanya perubahan
materi sejarah khususnya mengenai peristiwa G30S-PKI. “Menurut hasil penelitian
Saya, anak-anak di sekolah swasta lebih terbuka dengan adanya perubahan materi
sejarah ini.” “Namun, anak-anak di sekolah negeri lebih sulit untuk menerima
adanya perubahan materi sejarah ini.” “Begitupun guru-gurunya.” “Guru-guru di
sekolah negeri juga cenderung lebih sulit untuk menerima perubahan tersebut
dibandingkan dengan guru-guru di sekolah swasta.”
Tiba-tiba Pak Baskara teringat akan papernya. “Saya memiliki sebuah data valid mengenai adanya
intervensi asing dalam carut-marutnya kondisi perpolitikan di Indonesia pada
saat itu (tahun 1965).” “Pada bulan Maret tahun 1965, di salah satu kota di
Filipina.” “Pada saat itu ada pertemuan seluruh diplomat-diplomat Amerika yang
bertugas di negara-negara di kawasan Asia.” “Dan diplomat Amerika yang bertugas
di Indonesia mengatakan bahwa untuk menegah Indonesia jatuh ke kiri, Indonesia
harus dibuat sebuah kudeta gagal.” “PKI kemudian diprovokasi untuk segera
mengambil alih kekuasaan secara paksa dari Presiden Soekarno.” “Isu yang
dihembuskan ialah jika PKI tidak mengambil alih kekuasaan dengan segera, TNI AD
yang akan mengambil alih kekuasaan.” Argumen Pak Baskara membangkitkan rasa
ingin tahuku. “Pak, kemudian apa yang ditawarkan oleh Amerika dan Inggris
kepada PKI?” “Tidak ada yang ditawarkan Mas
Gangsar.” “Logikanya kalau PKI segera mengambil alih kekuasaan dari Presiden
Soekarno, maka PKI yang akan memimpin negeri ini.” “Kondisi seperti itu yang
menjadikan TNI AD dan PKI saling bersaing.” “Apa lagi ketika PKI membunuh
panglima-panglima TNI AD.” “TNI AD tentu tidak akan tinggal diam.”
“Kalau Inggris memprovokasi dengan cara menghembuskan isu
pembentukan negara konfederasi Malaysia.” “Karena pada tahun 1964,
diplomat-diplomat Inggris di New Zaeland mengatakan bahwa di Indonesia ini
harus dibuatkan sebuah kudeta gagal.” “Setelah berhasil, dibentuklah sebuah
rezim baru di Indonesia yang militeristik dan pro modal asing.” Aku pun
bertanya kembali, “Pak bukankah sebenarnya Pak Harto pada saat itu sudah
mengetahui akan adanya aksi kudeta yang akan dilakukan oleh PKI?” Ya, betul Mas Gangsar, sebenarnya Soeharto telah
mengetahuinya.” “Hal ini semakin dikuatkan pada saat Saya mewawancarai salah
satu petugas protokoler istana dan salah satu pasukan Cakrabhirawa, Pak Latief
dan Pak Untung.” “Pak Latief sebenarnya sudah resah karena Presiden Soekarno
berpidato lebih lama dari jadwal yang telah ditentukan.” “Dan ketika keganjilan
ini terasa, ada seorang yang menanyakan, di mana duduknya Soeharto.” “Namun
sudah dua orang ditanya mengenai posisi duduk Soeharto, tidak ada yang
mengetahuinya.” Pak Baskara mengatakan,”Ya Soeharto sudah seharusnya duduk di
kursi VIP, mengingat posisinya sebagai Pangkostrad.” “Lha ternyata memang
benar, pada saat itu Soeharto tidak ada di sana, karena Soeharto berada di
RSPAD Gatot Soebroto.” “Seharusnya kalau memang Soeharto sudah mengetahui akan
adanya pemberontakan yang akan dilakukan oleh PKI, sudah seharusnya Soeharto
melaporkan pada atasannya, bisa pada Achmad Yani misalkan.” Benar juga pikirku
dalam hati. Apa ini memang sebuah skenario.
Tak terasa hampir pukul setengah tujuh malam, Pak Baskara
pun menawarkan, “apa masih mau dilanjutkan atau kita sudahi?” “Karena sudah
hampir lima jam Kita berada di sini.” “Baiklah kita sudahi diskusi hari ini.” “Oh
ya untuk lima orang yang tadi sudah Saya hamipiri, jangan pulang dulu, karena
ini ada mahasiswi S2 dari Denmark yang ingin meneliti, bagaiman respon warga
Indonesia setelah menonton film ini.” “Habis ini akan ada wawancara yang
mendalam.” Setelah Pak Baskara menutup acara diskusi, aku pun segera mohon
diri. “Pak Saya pamit dulu, terima kasih buat seluruh penjelasannya.” “Oh ya
Gangsar hati-hati ya di jalan.” “Sven Aku pulang dulu, nanti Senin Aku kembali
lagi ke Jogja, nanti Kita ngopi lagi di Lek
Man.” “Ya Gangsar, Saya juga senang selama di Jogja bisa ketemu Kamu.”
Aku pun segera menuju tempat parkir dan sebelum pulang
menuju Solo sambil menembus derasnya hujan, Aku menyempatkan terlebih dahulu
untuk melaksanakan sholat Maghrib. Di
bawah derasnya hujan dan temaramnya lampu jalanan, aku tidak berhentinya
bersyukur karena telah mendapatkan sebuah pemahaman baru mengenai sebuah
sejarah. Sejarah kelam bangsa ini. Sejarah bangsa ini yang direkayasa oleh para
pemenang dan jauh dari kenyataan. Aku pun berjanji untuk membagi pengalaman
tersebut, karena pesan Pak Baskara kepada kami sebelum pulang ialah sudah
sepantasnya bahwa orang yang mengetahu kebenaran, menyampaikan kebenaran tersebut
pada orang-orang yang belum mengetahuinya. Dan itupun sesuai dengan ajaran
agamaku, sampaikanlah sebuah kebenaran walaupun hanya satu ayat dan
sampaikanlah sebuah kebenaran walaupun kebenaran itu terasa pahit serta tidak
semua orang akan senang dengan penyampaian tersebut.
Surakarta 28
Januari 2013