Jumat, 22 November 2013

Jangan Gengsi Jadi Sarjana!


 
Tak terasa satu tahun sudah aku meninggalkan bangku akademik. Aku masih ingat betapa gegap gempitanya prosesi wisuda yang pernah aku jalani. Bahagia, mungkin itu salah satu kata yang dapat mewakili perasaanku saat itu. Betapa bahagianya hati ini, ketika melihat senyum kedua orang tuaku yang datang pada acara wisudaku. Betapa bahagianya hati ini, ketika menggunakan toga, menyandang gelar sarjana serta telah membayar lunas amanah kedua orang tuaku untuk menyelesaikan studiku. Aku dan teman-teman seangkatan yang diwisuda pada saat itu juga tidak lupa untuk foto bersama dan menikmati setiap detiknya penuh canda dan tawa. Namun diantara seluruh canda dan tawa seluruh wisudawan hari itu, aku sangat yakin bahwa ada sebuah masalah yang akan segera kami hadapi. Masalah yang juga menjadi sorotan bagi Negera ini. Pengangguran.
Setelah prosesi wisuda, aku pun segera kembali ke Pare untuk menyelesaikan kursus Bahasa Inggrisku. Walaupun aku berkuliah di jurusan Hubungan Internasional, namun aku termasuk mahasiswa hubungan internasional yang tak pandai berbahasa Inggris. Bahkan selama kuliah, untuk mensiasati kelemahanku ini, aku akan selalu berusaha untuk mencari literatur dalam Bahasa Indonesia. Kelemahanku ini sangat aku sadari. Oleh sebab itu, aku berupaya untuk memperbaikinya. Selain itu, ketika melamar pekerjaan, percaya atau tidak Bahasa Inggris menjadi salah satu komponen penilaian dalam perekrutan. Banyak perusahaan dan instansi lainnya yang meminta dan menanyakan kemampuan Bahasa Inggris kita. Dan salah satu standar yang digunakan ialah TOEFL. Setiap perusahaan memiliki standar TOEFL yang berbeda-beda bagi calon karyawannya. Ada perusahaan yang meminta nilai TOEFL 450, 500 hingga 550. Dari berbagai tes TOEFL yang aku lakukan selama di Pare, nilai TOEFLku tidak pernah lebih dari 500 dan itupun masih tes TOEFL yang bersifat prediksi.
Di Pare aku tidak hanya belajar Bahasa Inggris. Mencari pekerjaan itu merupakan salah satu tanggungjawabku yang lain. Melalui situs pencari kerja Job Street, aku terus mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangku. Hampir seluruh posisi pekerjaan meminta jurusan yang sesuai. Aku menyadari bahwa lulusan Hubungan Internasional seringkali kalah dengan jurusan lainnya. Ambil saja contoh, perusahaan rokok ternama pasti mencari lulusan manajemen dengan konsentrasi manajemen pemasaran untuk posisi supervisor penjualan. Perusahaan media sebagian besar mencari lulusan komunikasi untuk posisi reporter. Aku seringkali berpikir, apa keunggulan ilmu hubungan internasional yang aku pelajari selama empat tahun ini. Cukup lama aku mencari jawaban tersebut dan akhirnya aku menemukannya. Salah satu keunggulannya ialah ketika aku mampu mengintegrasikan semua mata kuliah yang pernah aku pelajari. Mengapa aku dapat berkata demikian? Hal ini tidak lepas dari banyaknya dan beragamnya mata kuliah yang pernah aku pelajari. Ambil contoh, aku pernah mempelajari ilmu ekonomi. Pengantar ilmu ekonomi, ekonomi internasional hingga pemikiran-pemikiran ekonom seperti Karl Marx, Adam Smith hingga Joseph Stiglitz. Namun jika dibandingkan dengan mereka yang alumnus fakultas ekonomi jurusan ilmu studi ekonomi pembangunan, maka ilmu yang aku pelajari belum mampu untuk menandingininya. Sama halnya ketika kita bertanding dengan mereka yang pernah berkuliah di jurusan ilmu komunikasi. Ilmuku tentu akan kalah, karena selama duduk di bangku kuliah yang aku pelajari hanya komunikasi internasional dan diplomasi. Apa lagi ketika kita disandingkan dengan mereka yang alumnus sastra. Perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga penerjemah mayoritas akan mencari mereka yang telah lama bergelut dengan studi bahasa asing. Oleh sebab itu, jika aku mampu mensinergikan berbagai ilmu yang telah aku pelajari maka itu akan menjadi salah satu keunggulanku. Hal itu juga yang melatar belakangiku untuk hanya melamar pekerjaan yang mengajukan syarat menerima jurusan apa pun.
Di Pare hampir setiap hari setelah selesai kursus Bahasa Inggris, aku tekun mengirimkan surat lamaran dan daftar riwayat hidupku melalui surat elektronik. Satu yang ada dalam benakku, bekerja apa saja yang penting halal dan mencari pengalaman kerja dulu. Masalah gaji dan di tempatkan di mana itu urusan nanti. Setelah cukup lama menanti, akhirnya usahaku mulai membuahkan hasil. Mulai banyak panggilan telepon yang datang dari berbagai macam perusahaan. Aku masih ingat pertama kali aku tes ialah di perusahaan Mi Burung Dara untuk posisi staf ekspor. Tesnya diselenggarakan pukul sembilan pagi di Sidoarjo. Karena aku di Pare, maka agar tidak ketinggalan aku berangkat pukul lima pagi. Aku masih ingat, saat itu mayoritas dari kandidat telah memiliki pengalaman kerja bahkan aku juga harus bersaing dengan salah satu seniorku sendiri ketika kuliah. Tapi aku tidak boleh rendah diri. Aku siap bersaing dengan mereka.
Tes pertama ialah psikotes. Aku yang baru lulus dan baru mencari kerja tidak pernah membayangkan untuk belajar mengerjakan soal-soal psikotes. Soal-soal psikotes yang harus dikerjakan cukup beragam, mulai dari wartegg test, Pauli-Kraeplin, hingga tes potensi akademik. Aku hanya mengerjakan berdasarkan instruksi dari penguji. Pada saat itu, aku juga tidak mengetahui bahwa ada trik untuk mengerjakan soal-soal tersebut. Soal-soal psikotes tersebut berhasil membuat kepalaku pening. Setelah selesai mengerjakan soal-soal psikotes kini tiba giliran wawancara. Aku berusaha untuk menjawab seluruh pertanyaan dari pewawancara dengan sebaik mungkin. Celakanya begitu pewawancara tahu aku sedang belajar Bahasa Inggris di Pare maka dengan seenaknya mereka mewawancaraiku dengan Bahasa Inggris. Semua rangkaian tes telah aku jalani, hanya tinggal menunggu pengumuman saja gumamku dalam hati. Cukup lama aku menunggu panggilan berikutnya, namun ternyata rezekiku memang bukan di sana. Aku tahu kabar itu dari seniorku yang mengatakan bahwa dia diundang untuk wawancara berikutnya.
Tidak patah semangat, aku kembali tekun mengirim surat lamaran dan daftar riwayat hidupku. Tidak hanya melalui surat elektronik, aku pun mulai mencoba mengirim  surat lamaran dan daftar riwayat hidup melalui kantor pos. Alasanku sederhana, aku tidak yakin bahwa surat lamaran dan daftar riwayat hidup yang aku kirimkan benar-benar dibaca oleh tim perekrut. Di Pare, aku punya cita-cita untuk mencari pekerjaan di Pare saja. Alasanku sederhana, aku ingin terus belajar berbagai macam bahasa asing namun tidak ingin terus menerus disubsidi oleh orang tua. Banyaknya surat lamaran dan daftar riwayat hidup yang aku kirim lewat pos ternyata berdampak pada keuanganku. Salah satu dilema bagi orang yang menyandang status fresh graduate dan job seeker ialah merasa malu ketika harus meminta uang lagi kepada orang tua.
 Tidak lama kemudian akhirnya ikhtiarku mulai membuahkan hasil. Aku mendapat panggilan tes di Kediri. Hari yang aku tunggu pun tiba. Setelah berpakaian rapi dan menyiapkan alat tulis, aku memacu motorku ke Kediri. Setelah empat puluh lima menit berkendara, aku pun tiba di Kediri. Pada awalnya aku mengira bahwa perusahaan yang akan aku masuki ialah sebuah perusahaan besar berskala nasional. Hal ini disebabkan karena mereka mengaku sebagai perusahaan yang bergerak di bidang gas. Ternyata, perusahaan ini bergerak di bidang penjualan selang dan regulator tabung gas bukan perusahaan gas (energi) yang aku bayangkan. Pantas saja ketika aku memasuki kantornya, peserta tes hanya dua orang termasuk aku sendiri.
Berbeda dengan tes sebelumnya, kali ini aku langsung diwawancara. Aku berupaya dengan baik menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan. Setelah diwawancarai, kini tiba aku diminta untuk terjun ke lapangan. Aku masih ingat, hari itu aku berpuasa. Aku ditemani oleh salah satu sales ketika terjun di lapangan. Bersama sales tersebut aku mulai masuk dari rumah ke rumah menawarkan produk mereka, selang dan regulator gas. Banyak dari pemilik rumah menolak kami. Kecewa. Itu salah satu kata yang dapat menggambarkan kondisi perasaanku saat itu. Aku kecewa karena telah tertipu dengan perusahaan itu dan aku kecewa ketika tidak siap bekerja sebagai seorang sales. Setelah menunaikan sholat dzuhur, kami segera kembali ke kantor. Sampai di kantor, aku diberikan soal-soal. Soal-soal tersebut sama dengan yang aku pelajari di lapangan. Setelah mengerjakan soal-soal tersebut dan jawabannya diteliti oleh penguji, aku dinyatakan lulus. Namun dengan perasaan tidak enak, aku mengatakan, “Maaf Pak, Aku merasa tidak bisa mengambil pekerjaan ini.”
Di camp, sebutan asrama di Pare, aku sempat mengobrol dengan salah seorang temanku yang telah bekerja di salah satu perusahaan ternama. Dia memberikan saran kepadaku. Selain itu dia juga mengatakan bahwa posisinya saat ini cukup baik. Perusahaan ternama dengan kesejahteraan karyawan yang diperhatikan. Aku pun ingin mengalami nasib yang serupa tapi hati kecilku mengatakan bahwa jalan kesuksesan setiap orang itu berbeda-beda. Mungkin Yang Maha Kuasa pada saat itu menghendaki agar aku belajar Bahasa Inggris terlebih dahulu dan aku juga tetap percaya bahwa Yang Maha Kuasa akan memberikan yang terbaik bagi umatnya.
Tanpa kusadari waktu terus berjalan. Desember. Genap satu bulan posisiku sebagai pengangguran terselubung. Mengapa aku mengatakan hal tersebut. Karena memang hingga saat itu aku masih belum bekerja dan masih berkutat dalam mempelajari Bahasa Inggris. Cukup lama aku tidak mendapat panggilan tes. Aku pun  menunggu dengan sabar. Akhirnya panggilan itu datang kembali. Panggilan tes di salah satu bank syariah di Karawang. Setelah menghubungi orang tuaku. Aku bergegas untuk pulang. Aku bahkan pulang tanpa pamit kepada seluruh temanku di camp yang sudah ku anggap seperti saudaraku sendiri.
Perjuanganku kali ini tidak mudah. Karena tesnya akan diselenggarakan esok hari dan aku tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat maka aku harus pulang dengan menggunakan sepeda motor. Aku berupaya untuk bisa sampai rumah nenekku yang terletak di Purwodadi, Jawa Tengah sebelum bis malam terakhir tujuan Jakarta berangkat. Jarak Purwodadi-Pare kira-kira dua ratus dua kilometer. Agar tidak ketinggalan bis malam aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Selama perjalanan hujan deras mengguyur. Badanku basah kuyup dan telingaku mendengar suara gemeletuk dari gigiku. Sambil menahan rasa dingin, aku berupaya untuk tetap berkonsentrasi. Sampai di Sragen tiba-tiba rantai motorku lepas. Badanku langsung lemas. Aku tak mungkin tiba di Karawang tepat waktu, gumamku dalam hati. Aku terpaksa mendorong motorku hingga menemukan bengkel. Setelah mendorong motorku hampir satu kilometer akhirnya aku menemukan sebuah bengkel. Sang montir dengan cekatan membetulkan motorku. Dan ketika pekerjaannya hampir selesai aku baru menyadari jika uang di dompetku tidak lebih dari uang dua ratus lima puluh ribu. Bagaimana kalau ongkosnya besar, gumamku dalam hati.  Ternyata Allah selalu memberikan kejutan. Setelah selesai memperbaiki motorku, sang montir hanya meminta ongkos sepuluh ribu. “Mas lain kali kalau mau melakukan perjalanan jauh kondisi motornya diperiksa dulu,” ujar sang montir. “Ya Mas, ini terburu-buru karena ada panggilan tes kerja,” kataku. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali memacu motorku.
Setelah keluar jalan raya Solo-Sragen, motorku mulai menyusuri jalanan Sragen-Purwodadi. Jalanan Sragen-Purwodadi yang dikenal sangat jelek tak membuatku mengurangi kecepatan motorku. Jalanan berlubang terus aku lewati, tak terasa dua jam kemudian aku sampai di terminal bis Purwodadi. Sudah tidak ada bis pikirku ketika melihat kondisi terminal yang lengang. Salah seorang calo mengatakan semua bis menuju Jakarta sudah berangkat. Aku hanya terduduk lemas di terminal. Tidak lama ada bis malam yang berjalan. Aku berupaya untuk mengejarnya. Bis pun berhenti. Setelah menanyakan tujuanku, sang kernet mempersilakan aku masuk. Sang kernet pun segera meminta uang kepadaku. Setelah membayar ongkos, sang kernet tidak kunjung memberikan tiket kepadaku. Sore itu aku resmi menyandang status penumpang ilegal dan aku siap bersembunyi di toilet ketika bis diperiksa oleh petugas lainnya. Lelah dengan perjalananku selama seharian, aku mencoba untuk memejamkan mata. Membiarkan semua beban dan masalah larut dalam tidurku. Tidur merupakan salah satu anugerah Yang Maha Kuasa yang sangat aku syukuri, karena dengan tidur kita bisa melupakan berbagai masalah yang sedang kita hadapi.
Tes pertama di perbankan. Entah kenapa pemikiran keluargaku mengatakan bahwa kerja di bank cukup bergengsi. Bahkan kakakku menyempatkan membelikan kemeja baru bagiku. “Kerja di bank itu harus rapi, rubah penampilanmu,” ujar kakakku. Aku yang terbiasa tampil acak-acakan memang sepertinya tidak cocok bekerja di bank. Tes pertama masih kemampuan dasar seperti Bahasa Inggris dan pengetahuan perbankan syariah. Aku pun lulus. Namun aku diarahkan oleh penguji untuk mengisi posisi pemasaran. Menjawab tawaran tersebut aku hanya mampu menganggukkan kepala. Padahal disurat lamaran, aku menginginkan posisi teller.
Selamat Anda berhak lolos ketahapan berikutnya,” ujar sms yang aku terima. Untuk tahap berikutnya, tes akan diselenggarakan di Jakarta. Karena takut tertinggal, aku memutuskan untuk menginap di kosan salah satu temanku di Harmoni, Jakarta Pusat. Malam harinya, aku menyempatkan diri untuk belajar soal-soal psikotes. Ketika mulai mengerjakan soal-soal psikotes tersebut aku mulai mengerti bagaimana cara menjawab soal-soal tersebut. Wartegg tes ternyata berfungsi untuk mengetahui sifat dan karakter kita. Untuk mengerjakannya ternyata ada triknya. Kita disarankan untuk menggambar hal-hal yang berbeda pada umumnya. Selain itu, dalam mengerjakkan wartegg tes kita diharapkan jangan menggambar sesuai dengan urutan kolom. Ketika kita mampu menggambar hal-hal yang di luar pada umumnya, maka kita akan dinilai sebagai orang kreatif. Selain itu, ketika kita menggambar sesuai dengan urutan, maka kita akan dinilai sebagai orang yang hanya taat aturan. Salah satu fungsi tes ini sebenarnya untuk mengetahui apakah kita bisa berpikir dan bertindak get out of the box. Karena seringkali karyawan harus mampu berpikir kreatif dan menobrak aturan-aturan yang ada untuk mampu memecahkan masalah.
Tes Pauli-Kraeplin atau yang lebih populer dengan sebutan hitung koran berfungsi untuk mengetahui bagaimana kondisi kita ketika bekerja di bawah tekanan. Menghitung ialah pekerjaan yang mudah, namun ketika kita menghitung dan dibatasi oleh waktu tentu memberikan kesulitan tersendiri. Ketika aku melihat hasil pekerjaanku, aku menemukan bahwa hasil penghitungan tersebut akan membentuk sebuah kurva. Kurva itulah yang akan dinilai oleh tim penguji. Umumnya orang akan membentuk kurva yang naik turun dan penguji biasanya akan merekrut kandidat yang mampu membentuk kurva sestabil mungkin. Untuk mengerjakan tes ini, kita disarankan untuk selalu berkonsentrasi dan tidak terlalu berfokus bagaimana memperbaiki hitungan yang salah. Selain itu bentuk kurva yang stabil menandakan bahwa kita mampu bekerja secara stabil walaupun sedang berada di bawah tekanan.
Malam semakin larut, namun aku menyadari bahwa aku masih banyak kekurangan. Halaman berikutnya ialah irama bilangan. Melalui tes irama bilangan ini penguji akan mengetahui logika berpikir kita. Setiap soal memiliki cara pengerjaan yang berbeda-beda. Namun setelah aku perhatikan setiap soal akan membentuk iramanya sendiri. Oleh sebab itu tes tersebut dinamakan irama bilangan. Dalam mengerjakan soal-soal irama bilangan kita tidak diperkenankan menggunakan alat bantu hitung. Namun pada dasarnya soal-soal tersebut bukanlah soal-soal yang rumit.
Tipe soal-soal tes lainnya yang biasanya diujikan ialah kemampuan verbal seperti, persamaan kata atau sinonim, lawan kata atau antonim serta keterkaitan antar kata. Dalam pengerjaan tes kemampuan verbal, kita memang dituntut untuk menguasai berbagai macam kosa kata. Selain tes kemampuan verbal dan aritmatik masih ada tipe-tipe soal tes lainnya, seperti, tes  Perception and Prefrence Inventory atau biasa dikenal dengan sebutan PAPI test, logika penalaran gambar, army alpha intelegence test, tes menggambar pohon atau biasa disebut Baum tree test serta Draw a Person (DAP).  Setelah mempelajarinya aku berkesimpulan bahwa mengerjakan soal-soal tersebut tidaklah sulit selama kita sering melatihnya. Selain itu, informasi yang mampu memotivasiku ialah sebuah kalimat yang berbunyi, “Ketika Anda tidak lolos dalam psikotes bukan berarti anda terlahir sebagai orang yang bodoh. Psikotes hanya  merupakan alat untuk merekrut, sehingga ketika Anda tidak lolos, itu bisa berarti bahwa Anda tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan..”
Kalimat di atas bisa bermakna bahwa ketika sebuah perusahaan membutuhkan tenaga kerja pemasaran, maka tim perekrut biasanya akan mencari karakter orang yang suka bersosialisasi, tidak mudah sakit hati ketika ditolak dan berpikir get out of the box. Sama seperti halnya ketika perusahaan mencari seorang tenaga administrasi, maka tim perekrut akan mencari orang yang terbiasa dengan Standard Operational Procedure (SOP). Mataku mulai terasa berat dan aku memutuskan untuk segera tidur agar badanku segar esok harinya.
Keesokan harinya, aku telah berkumpul dengan kandidat-kandidat lainnya. Sebelum tes aku menyempatkan diri sarapa bubur ayam. Sarapan menjadi penting karena logika tanpa logistik itu tidak akan berjalan. Satu yang aku lihat hampir seluruh peserta tes tampil modis baik pria maupun wanitanya. Hanya aku yang berpenampilan ala kadarnya. Satu hal lainnya yang aku pelajari bahwa rata-rata pegawai bank terlihat cantik dan ganteng. Tes dimulai pukul sembilan. Apa yang aku pelajari semalam ternyata keluar semua. Aku pun mengucap syukur karena lebih siap.
Waktu Dzuhur menjadi penanda selesainya psikotes. Kami dipersilakan untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk tes berikutnya, Focus Discussion Group (FDG). Dalam FDG, setiap kelompok diberikan sebuah studi kasus. Studi kasus tersebut harus dipecahkan dan jawabannya harus disampaikan kepada penguji. Melalui tes ini aku belajar, semua kandidat berupaya untuk tampil mengemukakan pendapat mereka. Bahkan dari sebagian mereka juga berupaya untuk menguasai jalannya diskusi dan bahkan cenderung untuk memaksakan kehendaknya. Aku yang terbiasa berdiskusi dalam kelas juga mengutarakan argumen-argumenku.
Tidak terasa sekarang tiba pada tes wawancara. Ketika ditanyakan apa motivasiku masuk ke bank syriah tersebut untuk posisi pemasaran, aku justru menjawab mengapa pentingnya ekonomi syariah di Indonesia. Aku mengaitkan dengan fenomena globalisasi, kapitalisme yang mencekik leher hingga pandangan Islam terhadap perbankan. Alhasil aku ditolak. Mereka menyarankan agar aku mengikuti Officer Development Program ataupun  Management Trainee. Mereka menilai aku cocok sebagai seorang konseptor bukan seorang eksekutor.
Setelah penolakan tersebut aku semakin giat mencari pekerjaan. Tes di berbagai perusahaan baik, di perusahaan finance, perusahaan alat-alat berat dan lain-lain. Setiap ada acara job fair aku datangi, baik itu di Yogyakarta dan kota-kota lainnya. Satu hal yang aku pikir aneh dari acara job fair ialah dikenakannya biaya masuk bagi peserta. Bagaimana mungkin, seorang pencari kerja yang sedang membutuhkan pekerjaan untuk membiayai hidupnya justru diharuskan untuk membayar? Bukankah perusahaan-perusahaan yang hadir di berbagai job fair sedang membutuhkan tenaga kerja?
Status pengangguran juga yang membuatku berani mengambil keputusan untuk belajar wirasusaha. Bersama seorang sahabatku, aku mencoba terjun di dunia bisnis rental ketikan dan jualan makanan ringan seperti, stick balado, keripik singkong dan lain-lain. Tidak hanya itu aku yang waktu itu tinggal di Solo, juga melayani pembelian buku-buku kuliah. Bahkan ketika di Solo aku tinggal di masjid. Aku juga mulai terbiasa bepergian Solo-Jogja untuk membeli buku-buku pesanan. Jujur saja saat itu aku berpandangan dari pada aku nganggur di rumah, lebih baik aku melakukan sesuatu, walaupun ketika aku belajar merintis usaha di Solo orang tuaku terus mengirimi aku uang. Hasil wirausahaku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Aku seringkali mendengar ungkapan banyak orang untuk berwirausaha. Alasan yang paling banyak dikemukakan ialah dengan wirausaha kita bertindak sebagai atasan tidak menjadi karyawan. Wirausaha juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Bahkan dari sepuluh pintu kebaikan, sembilan terbuka melalui jalur perniagaan. Semua hal yang dikemukakan tersebut benar adanya, hanya saja aku memang memerlukan active income yang bisa menopang kehidupanku dulu dan lepas dari kiriman uang orang tua.
Aku mendapat banyak pengalaman ketika berwirausaha. Mulai dari pengalaman seharian di rental ketikan dan hanya melayani satu atau dua pelanggan, jajananku yang tidak kunjung laku dan lama-lama aku habiskan sendiri hingga konflik-konflik kecil dengan sahabatku mengenai pembagian hasil keuntungan dari usaha kami. Selama di Solo juga aku terus menyiapkan tes untuk melanjutkan studiku. Kedua orang tuaku menginginkan agar aku melanjutkan studiku di salah satu universitas negeri di kota gudeg. Aku pun menurutinya. Namun di sisi lain, aku menginginkan untuk bisa bekerja terlebih dahulu. Aku sudah malu untuk terus-terusan disubsidi oleh orang tuaku.
Hampir tiga bulan aku di Solo dan hingga akhirnya pada bulan Maret, aku diterima bekerja di salah satu perusahaan media ternama di negeri ini. Enak dibaca dan perlu menjadi moto majalah dan surat kabar perusahaan ini. Pada awalnya aku melamar sebagai seorang calon reporter, namun aku gagal. Padahal aku ingin sekali bisa menjadi salah seorang jurnalis di perusahaan media ini. Bagaimana tidak ingin, perusahaan ini melahirkan banyak jurnalis ternama. Mulai dari Dahlan Iskan, Andi F. Noya, Karni Ilyas hingga Achmad Fuadi (penulis trilogi negeri lima menara). Majalah kami juga menjadi sumber referensi bagi perpolitikan di Indonesia.
Aku memang tidak lolos sebagai reporter namun aku ditawari untuk mengisi divisi sirkulasi. Sirkulasi? Pekerjaan apa kelak yang akan aku lakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering terlintas di pikiranku. Setelah mengikuti tiga hari pelatihan di hotel berbintang di Jakarta,aku pun mengambil keputusan untuk mencobanya. Divisi sirkulasi ternyata divisi yang bertanggungjawab untuk memasarkan core product kami, yakni majalah, koran dan majalah dalam versi Bahasa Inggris. Layaknya bekerja di divisi pemasaran pada umumnya, target merupakan visi yang harus kami capai. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan lapangan. Pada awalnya aku sangat menghindari dua kata berikut ini, marketing dan lapangan. Sejak dulu tertanam kuat dalam pemikiranku untuk bekerja di kantor, berdasi, menggunakan jas, ruangan yang dingin dan nyaman serta bekerja di depan komputer. Namun setelah aku menjalani pekerjaan sebagai seorang sales executive, ternyata aku menemukan sebuah kenyamanan.
Bekerja di lapangan tidak mengharuskan aku berpakaian rapi. Bekerja di lapangan juga tidak mengenal office hour karena akulah yang mengatur waktu kerjaku. Bekerja di lapangan juga membuat aku semakin terasah dalam soft skill karena sering berinteraksi dengan banyak orang. Pemasaran menjadikan aku banyak bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai macam latar belakang. Dan aku pun mulai peka dengan berbagai kondisi, khususnya kondisi di lapangan. Bukannya aku merendahkan orang-orang yang duduk dan dilatih dalam program management trainee ataupun orang-orang yang duduk dan dilatih dalam officer development program. Mereka memang orang-orang terpilih dan siap dicetak untuk menjadi seorang pemimpin di sebuah perusahaan. Namun, orang yang merintis karir dari bawah dan terbiasa di lapangan akan mengetahui berbagai macam persoalan di lapangan. Orang yang terbiasa bekerja di lapangan akan tahu bagaimana seorang sales yang malas, sales yang suka menipu atasannya dan kondisi-kondisi di lapangan yang bisa saja mereka manipulasi dalam laporannya. Sederhananya orang-orang yang duduk dan dilatih untuk mengisi posisi management trainee dan officer development program biasanya merupakan orang-orang yang taat teori dan SOP.
Bekerja di lapangan juga menjadikanku dinamis. Jika kita jeli melihat peluang maka kita bisa mendapatkan pemasukan tambahan. Satu hal yang aku syukuri ialah perusahaan tempatku bekerja tidak menerapkan sistem tahan ijazah dan penalti. Aku berpikir bahwa ketika sebuah perusahaan menerapkan sistem tahan ijazah dan penalti maka secara tidak langsung karyawannya yang baru akan dilihatnya sebagai alat produksi. Alat produksi yang harus mereka jaga dan tidak boleh lepas. Menurutku perusahaan yang baik seharusnya memandang karyawannya sebagai aset. Karyawan yang dinilai sebagai aset tentu akan diikutkan berbagai pelatihan guna menambah nilai bagi karyawan itu sendiri khususnya dan bagi perusahaan pada umumnya.
Bekerja di Tempo juga menjadikan sense of politics yang aku dapatkan ketika berkuliah tidak hilang. Aku sering mendapat bocoran-bocoran kasus-kasus korupsi apa yang sedang redaksi usut, berita apa saja yang menjadi penting untuk diketahui masyarakat hingga sejarah bangsa ini ketika redaksi menampilkan majalah dalam edisi khusus. Kadang akupun ikut menemani temanku yang seorang jurnalis liputan hingga aku ikut dalam rapat redaksi majalah mewakili divisiku, sirkulasi. Memang bekerja di perusahaan media tidak diganjar dengan gaji yang tinggi. Tetapi hingga saat ini, gaji yang aku terima sangatlah cukup. Bahkan ketika disyukuri gaji tersebut akan terasa nikmatnya karena itu murni hasil keringatku sendiri.
Berikut ini daftar sepuluh perusahaan yang paling diminati oleh para pencari kerja yang dilansir dari Majalah SWA.

Sumber: Majalah SWA edisi 23

Dari gambar di atas dapat kita lihat Badan Usaha Milik Negara memang masih menjadi tempat favorit bagi para pencari kerja, khususnya fresh graduate. Tolak ukur hasil survei tersebut selain perusahaan-perusahaan di atas mampu mensejahterakan karyawannya juga gengsi karyawan ketika bekerja di sana. Selain itu kesepuluh perusahaan tersebut memberikan jenjang karir yang terbuka bagi seluruh karyawannya.
Pada dasarnya bekerja merupakan cermin dari kemandirian. Aku sempat teringat salah satu bahaya dari menganggur ialah menganggur bisa mematikan hati. Selain itu, junjunganku Nabi Muhammad saw pernah mencium salah satu tangan seorang sahabatnya, Mu’adz Al Anshari, yang kasar, kering, kotor dan mengangkut air sepanjang air. Beliau bersabda, “Tangan ini dicintai Allah dan rasul-Nya, serta tidak akan disentuh api neraka”. Hal tersebut mencerminkan bahwa kita dituntut untuk bisa mandiri. Gelar sarjana seharusnya tidak membuat kita gengsi. Gengsi dengan memilah-milah pekerjaan hanya mencari yang bergengsi. Apa lagi memilah-milah alasan pekerjaan tersebut itu juga yang menjadikan kita tetap menganggur. Sebagai penutup tulisan ini saya akan mengutip pendapat Jakoeb Oetama, pemimpin kelompok Kompas Gramedia. Bekerja! Bekerja! Bekerja! Pekerjaan menjadi bermartabat kalau diupayakan semaksimal mungkin, dalam tata krama kemasyarakatan umum, ddedikatif, menjunjung etika dan perilaku jujur. Pekerjaan pun, praktis selain demi kepentingan pribadi, juga demi kepentingan publik (pro bono publico).

Senin, 18 November 2013

Pelayan dan Dilema Diskriminasi




Apa yang anda bayangkan ketika hidup menjadi golongan minoritas dan mengalami diskriminasi? Itulah yang ingin dikisahkan dalam film The Butler. Film besutan sutradara Lee Daniels, Pamela Oas Williams dan Laura Ziskin ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Cecil Gaines (Forest Whitaker), lelaki keturunan Afrika, yang mengalami kisah tragis dan akhirnya berkarir sebagai seorang pelayan di Gedung Putih selama 34 tahun.
Kehidupan Cecil bermula dari sebuah perkebunan kapas di Macon, Georgia. Ayah dan ibunya bekerja sebagai buruh tani di perkebunan kapas yang dimiliki oleh keluarga Westfall. Pada saat itu, di Amerika, orang Afrika dan keturunannya mayoritas hanya bekerja di sektor informal. Mereka tidak diperkenankan untuk bekerja di sektor formal. Kehidupan Cecil berubah ketika Thomas Westfall (Alex Pettyer) memperkosa ibunya dan membunuh ayahnya. Melihat kejadian tersebut, Cecil kemudian tidak diperkenankan lagi untuk bekerja di ladang. Ia segera diangkat oleh Annabeth Westfall (Vanesa Redgrave) untuk didik bagaimana cara menjadi seorang pelayan yang baik. Cecil belajar dengan cepat. Ia mulai terbiasa melayani makan malam keluarga Westfall, membersihkan peralatan makan seperti sendok dan garpu. Tidak hanya itu, Cecil juga mulai pulih dari trauma dan mulai terhindar dari persoalan diskriminasi di kawasan selatan Amerika. Cecil memilih untuk bersikap netral.
Ketika melihat Cecil tumbuh dewasa, Annabeth mulai khawatir. Annabeth khawatir, jika Cecil akan balas dendam atas perlakuan Thomas terhadap ayah dan ibunya. Dengan berat hati Annabeth meminta Cecil untuk meninggalkan keluarganya. Setelah pamit kepada ibunya yang mengalami gangguan kejiwaan akibat pemerkosaan, Cecil kemudian mulai mengembara. Pada saat itu, di Amerika sangat sulit untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Apa lagi status Cecil sebagai ‘kulit hitam’. Ke mana dan apapun yang dilakukan oleh ‘kulit hitam’ akan selalu selalu dicurigai.
Dalam perjalanannya, Cecil seringkali melihat bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Orang ‘kulit hitam’ sangat dibatasi dalam penggunaan fasilitas-fasilitas publik. Tak kuat menahan rasa laparnya, akhirnya Cecil berbuat nekat. Dengan lengannya yang kekar, ia nekat merusak sebuah jendela toko kue. Ia mengerti akan resiko dari perbuatannya, namun rasa lapar yang tak tertahankan membuat ia gelap mata. Untung saja toko kue yang dimiliki oleh orang kulit putih itu di jaga oleh seorang pelayan keturunan Afrika. Bukannya dilaporkan kepada pihak yang berwajib, Cecil justru dirawat dan dipekerjakan di toko tersebut. Di toko tersebut Cecil tidak hanya belajar bagaimana melayani, ia juga belajar memasak.
Tidak lama kemudian, Cecil mendapatkan pekerjaan sebagai seorang pelayan disebuah hotel. Di hotel tersebut kemampuan Cecil semakin terasah, ia tidak hanya bertugas untuk melayani tamu hotel di meja makan ataupun di bar. Cecil juga mulai terbiasa menjadi seorang room service. Karirnya yang mulus sebagai pelayan di hotel mengantarkan ia menjadi pelayan di Gedung Putih. Cecil menjadi pelayan di Gedung Putih untuk tujuh presiden.
Film ini menceritakan pengabdian Cecil sejak pemerintahan Dwight Eisenhower hingga Presiden Amerika yang ke-40, Ronald Reagan. Cecil yang menjadi pelayan di Gedung Putih mulai akrab dengan kebiasaan-kebiasaan Presiden Amerika yang berbeda-beda. Dari John F. Kennedy yang digambarkan sebagai sosok yang perhatian hingga Lyndon B. Johnson yang memiliki kebiasaan unik, yakni terbiasa mengadakan pertemuan dengan stafnya sembari duduk di jamban karena susah buang air.
Pekerjaannya sebagai pelayan di Gedung Putih membuat Cecil banyak kehilangan waktu dengan keluarganya. Sang istri, Gloria (Oprah Winfrey) sering frustasi karena perhatian suaminya selalu terpusat pada Gedung Putih. Gloria yang jarang mendapatkan perhatian dari suaminya sering melarikan diri pada minuman beralkohol. Tidak hanya itu, putra sulung mereka, Louis (David Oyelowo), yang mereka harapkan dapat berkuliah dengan baik, ternyata ikut dalam protes sosial  antidiskriminasi. Dari aktivis yang menempuh jalan damai untuk melawan diskriminasi seperti Martin Luther King hingga akhirnya Louis bergabung dengan kelompok garis keras Black Panther.
Cecil seringkali dibuat pusing oleh kelakuan Louis. Louis dan teman-temannya melawan diskriminasi dengan jalannya sendiri. Pada suatu hari, Louis dan teman-temannya datang kesebuah restoran. Pada saat diskriminasi di Amerika cukup kental, hampir semua fasilitas publik dipisahkan menjadi dua yakni untuk yang berwarna dan yang tidak berwarna. Berwarna merujuk pada orang kulit hitam yakni orang Afrika dan turunannya serta tidak berwarna merujuk pada orang kulit putih. Cecil dan teman-temannya kemudian nekat duduk di kursi orang kulit putih. Alhasil orang-orang kulit putih di restoran tersebut marah. Mereka mulai, mengejek, menghina, melempar muka mereka dengan saus hingga menyiram muka salah satu teman Louis dengan air panas. Kelompok Black Panther ini memang sudah dilatih untuk menghadapi kondisi seperti itu. Peristiwa itu disorot oleh berbagai media di Amerika. Cecil menyaksikan peristiwa itu dengan perasaan sedih. Ia tidak menyangka anak sulungnya akan berbuat senekat itu.
Louis dan Cecil memang sangat bertolak belakang. Sang ayah, lebih memilih untuk bersikap netral karena ia bekerja di Gedung Putih, sedangkan Louis sangat menginginkan persamaan hak bagi warga keturunan kulit hitam. Sang presidenpun sering bertanya kepada Cecil, apakah putranya terlibat dalam kegiatan politik antidiskriminasi. Cecil juga sudah sering memperingatkan Louis agar fokus pada kuliahnya dan tidak terlibat dalam gerakan politik antidiskriminasi.
Masalah yang dialami oleh keluarga Cecil semakin menjadi ketika putra bungsunya memilih untuk ikut perang Vietnam. Louis dan adiknya memiliki cara pandang yang berbeda mengenai konsep warga negara. Bagi Louis negara harus menjamin warganya memperoleh hak yang sama sedangkan bagi adiknya, maju dalam perang Vietnam merupakan salah satu kewajiban bagi seorang warga negara. Adik Louis akhirnya tewas dalam perang Vietnam. Peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan keluarga Cecil semakin terpuruk.
Namun lambat laun kisah tragis yang dialami oleh keluarga Cecil mulai berakhir sejak pemerintah Amerika mulai memberikan persamaan hak bagi orang Afrika dan orang Amerika keturunan Afrika. Cecil yang mulai menua akhirnya pensiun sebagai pelayan di Gedung Putih. Bersama istrinya, Cecil menikmati masa-masa tuanya hingga akhirnya, istrinya meninggalkan Cecil terlebih dahulu.
Penulis skenario Danny Strong mengaku terinspirasi sosok Eugene Allen. Eugene Allen merupakan seorang pelayan Gedung Putih yang mengabdi selama 34 tahun. Eugene pensiun pada tahun 1986. Namun Eugene sempat menyaksikan Presiden Amerika pertama dari kulit hitam. Adegan Obama, yang ditampilkan dari footage dokumenter, disumpah menjadi presiden berganti dengan wajah Cecil di masa tua adalah sebuah konfirmasi bahwa perjuangan yang baik akan membuahkan hasil yang manis di kemudian hari.