Kamis, 04 Oktober 2012

SIDANG ≠ UJIAN


Sidang. Sebuah kata yang sangat sakral bagi mahasiswa tingkat akhir. Kata tersebut (sidang) merupakan puncak dari kegiatan akademik mahasiswa sebelum dinyatakan lulus oleh pihak universitas dan layak untuk menyandang gelar akademisnya serta berhak menuliskan gelar tersebut di belakang nama lengkap. Namun, pernahkah terbersit di benak kita, apa perbedanya dan persamaanya antara sidang di ruang sidang yang sedang dihadapi oleh mahasiswa yang mempertanggunjawabkan karya tulisnya secara ilmiah di depan dosen penguji dengan sidang yang dihadapi oleh seorang terdakwa tindak pidana/perdata di depan hakim di suatu pengadilan?
Baiklah, kita akan mulai melihat dari persamaanya terlebih dahulu. Menurut ku, persamaan sidang yang dilakukan oleh mahasiswa yang sedang mempertanggungjawabkan karya tulisnya secara ilmiah di depan dosen penguji dengan sidang yang dihadapi oleh seorang terdakwa tindak pidana/perdata di depan hakim ialah, baik mahasiswa maupun terdakwa akan sama-sama duduk dalam kursi pesakitan. Kursi pesakitan karena dimaknai bahwa semua sidang bersifat zero sum (kalah atau menang). Dan baik mahasiswa ataupun terdakwa akan dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan oleh dosen penguji maupun hakim Terdakwa akan mendapatkan tuntutan-tuntutan dari jaksa penuntut umum sedangkan mahasiswa akan mendapatkan kritikan-kritikan atau tuntutan-tuntutan dari dosen-dosen pengujinya. Persamaan lainnya ialah, baik mahasiswa dan terdakwa yang sedang menghadapi sidang akan sama-sama diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan dan mendapatkan pembelaan. Pembelaan ini bisa berasal dari mahasiswa dan terdakwa itu sendiri yang menguraikan argumentasinya ataupun pembelaan tersebut bisa datang dari pengacara untuk terdakwa dan dosen pembimbing untuk mahasiswa.
Sedangkan perbedaan diantara keduanya ialah sidang yang dihadapi oleh mahasiswa cenderung bermakna positif sedangkan sidang yang dihadapi oleh terdakwa cenderung bermakna negatif. Bermakna positif, karena mahasiswa yang sedang menghadapi sidang tidak berada dalam posisi salah atau benar. Sidang yang dilakukan oleh mahasiswa sebenarnya bagian dari proses belajar itu sendiri. Sedangkan sidang yang sedang dihadapi oleh terdakwa bersifat zero sum (pembuktian benar atau salah). Jika tidak terbukti bersalah maka terdakwa tersebut akan diganjar dengan kebebasan, sedangkan jika terbukti bersalah maka hukuman pun harus siap untuk dijalani.
Aku merupakan salah satu orang yang beruntung yang pernah melakukan sidang untuk mempertanggungjawabkan karya tulis ilmiah yang pernah ku buat. Pengalaman pada saat itu (sidang) bagi ku merupakan sebuah pengalaman yang sangat berkesan dan bisa jadi sekali seumur hidup. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini aku pun tidak akan pernah tahu apakah Tuhan di atas sana masih memberikan rezeki dan kesempatan untuk ku agar dapat menununtut ilmu dijenjang yang lebih tinggi lagi atau justru aku harus bekerja demi menafkahkan diriku serta istri dan anak ku.
Sebelum melaksanakan sidang seluruh mahasiswa pada umumnya diharuskan untuk mendaftar terlebih dahulu. Dan bagi ku menyiapkan ritual sidang sebenarnya juga merupakan sebuah proses yang cukup melelahkan dan menguras dompet. Hal ini disebabkan kita sebagai calon peserta sidang diharuskan untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan untuk kelengkapan administrasi. Kelengkapan-kelengkapan tersebut diantaranya, foto, photo copy ijazah SD hingga SMA, surat keterangan bimbingan, lembar pengesahan yang telah ditanda tangani oleh dosen pembimbing satu dan dua serta ditanda tangani oleh dosen pembimbing akademik, surat keterangan peneletian, skripsi yang siap diujikan dan berkas-berkas lainnya. Ketika berkas-berkas tersebut dinilai telah lengkap oleh petugas administrasi, maka petugas administrasi akan mengetikkan form yang mana di dalamnya tertera tanggal dan waktu dilaksanakan ritual (sidang) tersebut. Di form tersebut juga tertera siapa saja dosen-dosen yang akan menguji karya tulis kita. Proses menunggu keluarnya nama-nama dosen penguji yang akan menguji karya tulis ku mampu membuat jantung ini berdegup kencang, hati bergejolak tak menentu dan bibir ini tak mampu untuk berhenti menguntaikan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa agar mempermudah segala urusanku kedepannya.
 Tidak perlu menunggu waktu lama, siang itu setelah berkas-berkasku selesai diproses, namaku dipanggil oleh petugas administrasi dijurusanku, “Mas form ini segera diurus dibagian akademik” perintahnya. “Oh ya, enggih Mbak,” jawabku dalam bahasa kromo nginggil sebagai bentuk rasa hormat terhadap orang yang lebih tua. Aku masih mengingatnya, hari itu ialah hari Jum’at. Rajanya hari dalam satu minggu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama yang aku anut. Orang pertama yang aku kabari bahwa aku akan melaksanakan sidang pada tanggal 19 Juli tak lain dan tak bukan ialah kedua malaikat tak bersayap yang tinggal di kabupaten penghasil beras, Karawang. “Bu InsyaAllah Kesit sidang tanggal 19 Juli,” “Oh ya Le, Ibu sama Bapak mendoakan dari sini,” sahut ibuku yang sangat antusias mendapat kabar gembira ini.
Setelah menghubungi ibuku, aku pun bergegas menuju ruang akademik. Kaki-kaki kecil ini dengan riang menuruni anak tangga satu per satu menuju ruang akademik yang terletak di bawah. Sambil berjalan aku pun menyempatkan untuk membaca nama-nama dosen penguji yang akan menguji karya tulis ku. Karya tulis yang telah aku buat selama berbulan-bulan dan banyak pengorbanan di dalam prosesnya. Dikertas yang kubawa tersebut tertera nama-nama sebagai berikut, Bapak Alfan Djamil selaku ketua penguji, Bapak Supriadi selaku sekretaris satu sekaligus dosen pembimbing pertama ku, Bapak Pra Adi selaku sekretaris dua sekaligus berperan sebagai dosen pembimbing dua ku, Ibu Adhining dan Ibu Indri selaku anggota. Kelima orang tersebutlah yang kelak akan turut ambil bagian dalam salah satu episode kehidupanku.
Ketika sedang asyik berjalan menyusuri lorong kelas, salah satu temanku Yeni menyapaku dari belakang, aku pun menghentikan langkahku untuk menunggunya dan kemudian kami berjalan beriringan, “Sar siapa saja dosen pengujinya?” tanyanya dengan suaranya yang khas. Aku tidak menjawab pertanyaannya, yang ku lakukan hanyalah menyodorkan form tersebut agar dibacanya. “Ih dosen pengujinya enak Sar.” Aku pun hanya berkata, “Alhamdulillah Yen.” Tapi hati kecil ini mengatakan “Sar jangan pernah meremehkan, siapapun dosen penguji Mu, di ruang sidang itu bersifat unpredictable.” Satu hal yang kusadari ialah dalam ruang sidang tidak ada yang bisa memprediksikannya. Bisa jadi ada mahasiswa yang diuji oleh dosen yang diklasifikasikan dosen killer namun dia dinyatakan lulus bahkan dengan nilai yang memuaskan. Bagi ku mahasiswa tersebut dikatakan layak lulus karena memang dia telah menyiapkannya sebaik-baiknya. Namun ada juga kisah-kisah tragis dimana mahasiswa kandas dalam sidang karena dia meremehkan dosen yang mengujinya, sehingga dia tidak mempersiapkannya dengan baik. Tak terasa jam di tanganku menunjukkan pukul 11.00, aku pun bergegas pulang ke kosan untuk membersihkan telinga, memotong kuku ku dan memakai wewangian dan bersegera menjawab panggilan kemenangan (adzan).
Keesokan harinya, telepon genggam ku berdering, di displaynya tertera nama Ibuku yang menelepon ku. “Le, gimana persiapannya?” tanya ibu ku di ujung sana. “Ya Bu, nanti Kesit akan menyiapkannya dengan baik,” jawab ku menenangkan ibu ku. “Oh ya Le, Bapak kemarin sudah cari tiket kereta api, InsyaAllah nanti waktu Kamu sidang biar ditemani Bapak.” Aku pun langsung tersentak kaget mendengar berita ini. “Bapak nanti mau mampir Solo dulu nengok adikmu, terus Selasa sore dari stasiun Solo Balapan naik kereta Sancaka Sore terus dilanjutkan naik kereta Mutiara Timur dari stasiun Gubeng,” papar ibu ku. “Oh ya Bu, nanti biar tak jemputnya kalau sudah sampai Jember.” Tidak kusangka orang tua ku yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang guru dengan seabrek kegiatannya ternyata berusaha untuk meluangkan waktu demi menemani anaknya yang hingga kini masih miskin prestasi ini agar dapat tenang pada saat melaksanakan sidang. Namun disisi lain, kehadiran ayah ku ini juga bisa membuat aku semakin nerveous dalam menghadapi sidang. Dan hari itu perasaanku campur aduk antara senang dan takut. Senang, karena kedua orang tua ku sangat mempedulikanku. Takut, karena takut mengecewakan orang tuaku yang telah jauh-jauh datang kemari untuk menemani anaknya.
Hari Senin aku bergegas ke kampus untuk mengurusi berkas-berkas yang kemarin sempat tertunda. Misiku hari ini ialah mendapatkan tanda tangan Pak Bayu selaku Pembantu Dekan satu (PD1). Karena berkas pendaftaran sidangku harus diketahuinya selaku PD1 yang mengurusi bagian akademik. Kebetulan pada hari ini, salah seorang senior ku juga akan menghadapi sidang. Sambil menunggu berkas-berkasku di tanda tangani oleh Pak Bayu, aku pun berbincang-bincang dengan Mbak Tutus. “Kapan Dek ujiannya?” tanya Mbak Tutus. “InsyaAllah hari Kamis besok Mbak,” jawabku. Tidak lama petugas administrasi dijurusanku datang sambil membawa kunci ruang sidang. Dan petaka itu kemudian datang menghampiriku.
“Gangsar, Kamu gak bisa ujian hari Kamis, jadwal Mu Saya undur,” jelasnya sambil terburu-buru. Aku pun tidak tinggal diam, aku segera bangkit dari posisi dudukku dan segera mengejarnya ke ruang jurusan. “Mbak kenapa ujiannya ditunda?” tanya ku meminta penjelasan. “Lho Kamu gak bisa ngurus berkas-berkas itu dalam satu hari,” terangnya. “Tapi Mbak, kemarin itu hari Jum’at, selain itu Pak Budi juga jadi panitia penerimaan mahasiswa baru jalur lokal, bahkan untuk mendapatkan parafnya saja, Saya harus menunggu kedatangannya hingga jam tiga sore,” jelasku tak mau kalah. “Terus Kamu kapan bisa mendistribusikan skripsi ke dosen pengujinya, dosen penguji harus segera menerima skripsi itu, kalau begini kan dosen-dosen penguji mu belum membaca skripsinya.” “Ya Mbak ini Saya sedang berusaha mengurusi berkas-berkasnya dan kurang tanda tangan dari Pak Bayu.” “Tidak bisa ujian mu tetap saya tunda.” “Tapi Mbak Ayah saya sudah pesan tiket dan berencana untuk menemani saya ujian.” “Ya terserah, tapi ujianmu tetap Saya tunda.”
Seketika itupun , lututku terasa lemas seperti tidak kuat menopang badan ini apalagi menopang petaka itu. Dengan langkah gontai aku pun keluar ruang jurusan dan menelepon Ibu ku. “Bu maaf ujian Kesit ditunda.” “Lho kenapa Le?” tanya ibuku penasaran. “Kesit gak bisa mengurus berkas-berkas itu dalam satu hari dan petugas administrasi di jurusan tidak mau tahu.” “Oalah Le,” suara parau ibuku terdengar jelas ditelinga ku. “Bu, tiket kereta yang sudah di pesan Bapak ada baiknya dibatalkan saja, karena Kesit juga gak tau kapan bisa sidang.” “Ya sudah Le yang sabar, nanti biar Bapak, Ibu yang ngabari.”
Saat itu, perasaanku bagaikan teriris sembilu kemudian bekas irisan tersebut digarami. Perih sekali rasanya. Sangat perih. Lagi-lagi aku mengecewakan kedua orang tua ku. Angan ini kemudian melayang, bagaimana ayahku yang sibuk itu, berusaha meluangkan waktunya, meminta cuti pada atasanya, menarik uang lebih dari tabungannya, dan siap berlelah-lelah melakukan perjalanan ratusan kilometer demi menemani anaknya sidang. Tapi sekali lagi petugas adminstrasi itu, bak robot yang tidak memiliki perasaan. Perasaanku pun membuncah dan ingin rasanya bulir-bulir air mata ini keluar dari tempatnya. Tidak lama, dosen pembimbing dua ku datang dan aku menceritakan semuanya. “Ya gak apa-apa Gangsar, semoga uang tiketnya tidak hangus dan ini mungkin ini yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa.” “Ya Pak,” sahutku lirih. Aku pun kemudian menemui, dosen penguji ku yang lainnya yaitu Ibu Indri. “Maaf Bu tadi pagi saya yang sms, niat saya hari ini mau mendistribusikan skripsi Bu, tapi ujiannya ditunda oleh Mbak Sri.” “Lha kenapa Sar?” “Kata Mbak Sri kasihan dosen pengujinya Bu, waktunya untuk membaca skripsi Saya hanya sebentar.” “Padahal Ayah saya sudah punya rencana untuk menemani Saya pada saat Saya sidang.” “Gangsar, jujur saja ya, kalau saya biasanya ketika mau menguji skripsi biasanya baru membaca skripsi yang akan diujikan itu H-1.” “Karena kalau jauh-jauh hari justru saya takut lupa.” “Wah berarti Ibu gak masalah dengan keterlambatan saya mendistribusikan skripsi ini Bu?” tanyaku meyakinkan beliau. “Sama sekali tidak.”
Siang harinya, aku menunggu kedatangan petugas administrasi jurusanku. Beliau meminta aku untuk menemuinya siang hari setelah jam istirahat. Tidak lama menunggu beliau datang. Aku pun segera menanyakan kapan jadwal ku untuk bisa sidang. “Mbak kapan Saya bisa ujian?” tanyaku. Beliau terlihat sibuk memeriksa kalender dan melihat layar monitor komputernya. “Begini Mbak tadi Saya sudah menemui beberapa dosen penguji Saya dan sebenarnya mereka tidak keberatan kalau Saya telat mendistribusikan skripsi, karena mereka biasanya baru membacanya H-1,” terangku. “Oh ya sudah kalau gitu, jadwal sidang mu gak jadi saya undur, tapi dengan satu syarat kamu harus berhasil mendistribusikan skripsi ini dalam satu hari,” perintahnya. Bak mendapatkan berita aku menang togel, aku pun senang bukan kepalang dan segera pamit kepada petugas administrasi membawa skripsiku dan tidak lupa membawa buku distribusi skripsi. Walaupun dalam hati, aku merasa seperti dipermainkannya.
Sampai di parkiran sepeda motor masalah berikutnya datang. Aku yang sudah empat tahun kuliah di sini ternyata tidak tahu dimana alamat rumah dosen-dosen pengujiku tersebut. Tidak lama aku pun segera menelepon salah seorang temanku, Regi. Seingatku Regi ialah salah satu temanku yang membeli buku agenda dan di dalam buku agenda tersebut terdapat alamat dosen-dosenku. “Ayo Ndhuk temenin Aku distribusikan skripsi-skripsi ini, kalau Ku gak bisa mendistribusikannya dalam satu hari nanti ujian Ku bisa ditunda lagi,” pintaku pada Regi. “Ya udah, ayo tak temenin,” kata Regi menenangkan ku. “Thanks Ndhuk,” sahutku gembira. Siang itu tidak bisa ku lupakan, aku yang ditemani oleh Regi mulai berkeliling mencari rumah-rumah dosen-dosen penguji ku. Di bawah teriknya matahari, aku pun meyakinkan diriku bahwa harus bisa menyelesaikan pendistribusian skripsi ini. Akhirya sore hari sekitar pukul 17.00 aku telah rampung menyelesaikan tugas dari petugas administrasiku dan dia (petugas adminisrasi) tidak berhak untuk menunda ujianku lagi.
Debu-debu jalanan yang menemaniku siang tadi langsung ku bersihkan dan tidak lama adzan Maghrib berkumandang dari Masji Al-Muhajirin. Setelah berpakaian bersih dan memakai wewangian seadanya aku pun berjalan memenuhi panggilan-Nya. Dalam perjalanan pulang, Aku tertawa. Aku mentertawai kebodohanku sendiri. Aku pun malu dengan perilaku siang tadi yang menjadi orang pesimis dan tidak bersyukur hanya karena ada ujian kecil (ujianku diancam ditunda). Malam itu Aku bersyukur. Bersyukur karena walaupun ujianku hampir dibatalkan, namun skripsi ku telah selesai dan siap diujikan, sedangkan masih banyak dari teman-temanku yang berusaha menyelesaikan skripsinya atau berusaha dalam proses pengajuan proposal. Malam itu keyakinanku terhadap ayat-Nya semakin bertambah. Nikmat manakah yang kamu dustakan?
Esok harinya aku menelepon ibu ku. “Bu, ujiannya gak jadi ditunda.” “InsyaAllah Kesit tetap ujian hari Kamis.” “Kalau Bapak tiket keretanya sudah terlanjur dibatalkan, ya gak apa-apa, Kesit Cuma minta doa Ibu sama Bapak saja dari sana,” terangku. “Oh ya Le, gak usah khawatir, Ibu sama Bapak pasti mendoakan.” “Lha gimana buat konsumsi dosen-dosennya?” tanya ibuku. “Gak usah khawatir, temen ku Triono yang akan menyiapkannya,” jawab ku. Hari ini, aku niatkan untuk ke kampus, menghilangkan stres dengan bercanda dengan teman-teman agar besok kepala menjadi lebih segar. Selain itu, berdiam diri di kamar saja justru akan membuat ku semakin paranoid.
Tapi ternyata masalahku masih belum berakhir. Setelah ketemu teman-teman di kampus bahkan kita bercanda hingga sore hari (karena pada saat itu hujan) aku pulang ke kosan dengan kondisi kehilangan kunci kamar. Aku pun langsung membongkar tasku, bahkan aku nekat menerjang gerimis menelusuri kembali jalanan yang ku lalui tadi demi menemukan kunci kamarku dan alhasil upaya itu sia-sia. Dengan berat hati aku harus merelakan jendela dan teralis  yang dibongkar oleh teman-teman ku agar aku bisa masuk. Ya mungkin ini sudah jalan takdir ku, pikir ku dalam hati. Kalau jendela kamar tidak dibongkar, bagaimana besok aku mau melaksanakan sidang, sedangkan pakaian, materi skripsi, dan keperluan-keperluan lainnya ada semua di dalam kamar?
Malam harinya aku membuka kembali skripsiku yang telah ku cetak. Ya walaupun skripsi ini buatan ku sendiri dan aku hapal betul seluk-beluknya, namun tetap saja aku harus mempelajarinya. Satu hal yang kutangkap ialah, aku mempelajari kembali skripsi ini ialah dengan menuliskan kembali gagasan-gagasan umum dari argumentasi-argumentasi khusus yang telah ku tuliskan. Aku tidak ingin terjebak oleh detail kecilnya ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen penguji dan melupakan hal yang paling penting yakni gagasan-gagasan utamanya. Metode belajar ini aku namakan dengan sebutan rekonstruksi. Rekonstruksi, aku kembali membangun gagasan-gagasan utama dari kalimat-kalimat khusus yang telah ku buat. Karena pada faktanya ketika aku menuliskan skripsi tersebut aku mendekonstruksikannya. Dari hipotesis, kerangka teori aku dekonstruksi menjadi gagasan-gagasan sederhana yang ditambahi data yang kredibel. Halaman demi halaman skripsi mulai aku coret-coret. Di beberapa kalimat di bab empat, ku tuliskan teori mu bekerja, rumusan masalah mu terjawab dan sebagainya. Pada intinya yang ku lakukan ialah menandai agar esok hari ketika ditanyakan oleh dosen penguji aku bisa bereaksi cepat dan tidak membuat dosen penguji menunggu.
Slide presentasi yang aku buat berjumlah 14 slide. Pada awalnya banyak yang menyarankan bahwa kalau bisa slide presentasi cukup berjumlah sekitar 10 hingga 12 saja, hal ini disebabkan waktu yang diberikan untuk mempresentasikan karya tulis hanyalah sekitar 10 hingga 13 menit. Tapi bagiku yang menjadi masalah bukanlah waktu dan jumlah slide, melainkan bagaimana kita sebagai presentator mampu menarik perhatian dari dosen-dosen penguji walaupun slide yang kita tampilkan cukup banyak. Bagiku jumlah slide yang sedikit dan kita yang bisa menghemat waktu presentasi yang telah disediakan oleh dosen penguji bukan berarti menjadikan dosen-dosen penguji tertarik dengan apa yang kita tuliskan. Walaupun waktu presentasi kita lebih dari waktu yang telah disediakan, tapi kalau dosen penguji tertarik maka mereka akan lupa dengan waktu dengan sendirinya. Aku hampir terjebak membuat slide yang meriah namun tidak terbaca. Alhamdulillah, kemarin-kemarin Pak Pra Adi telah memeriksa slide ku dan memberikan beberap masukkan.
Sambil belajar, aku mencoba mengingat pesan yang pernah disampaikan oleh dosen pembimbing dua ku. “Gangsar kalau besok Kamu sidang, Kamu itu akan bertindak seperti seorang sales.” “Seorang sales Pak?” tanya ku keheranan karena tidak mengerti arah pembicaraannya. “Iya, seorang sales akan memainkan peran dan fungsinya sebagai penjual yang berusaha meyakinkan konsumen dengan barang dagangannya.” “Salesnya itu dirimu sendiri, barang dagangannya ialah skripsi Kamu, sedangkan konsumennya ialah dosen penguji Kamu.” “Kalau dua orang pembimbing Mu yang akan bertindak sebagai dosen penguji besok, tidak usah kamu khawatirkan, karena jelas Mereka sudah tahu barang dagangan Mu bahkan Mereka kenal Kamu dibandingkan dengan ketiga pembeli lainnya,” papar Pak Pra Adi. Sejenak aku mencoba memikirkan kata-kata yang disampaikan oleh dosen pembimbingku.
Aku mulai menangkap point-nya. Point-nya tak lain dan tak bukan ialah, aku harus benar-benar mampu meyakinkan ketiga orang dosen penguji ku, karena mereka memang belum mengenal skripsiku dan bahkan tidak mengenal keseharianku dan proses bagaimana aku menyelesaikan skripsi ini. Sedangkan dosen pembimbing tak lain dan tak bukan ialah mitra ku dalam menyelesaikan skripsi ini bahkan terkadang aku menceritakan tentang keluargaku, teman-temaku dan keseharianku kepada mereka setelah proses konsultasi. Oleh sebab itu, wajar jika dosen penguji akan melihat skripsi kita dari sudut pandang, ada yang kurang dan ada yang harus ditambahkan dalam skripsi ini (sudut pandang pengkritik). Sedangkan dosen pembimbing akan melihat bahwa mahasiswa bimbingannya yang melaksanakan sidang ialah mitra mereka dan relasi kami (aku dan dosen pembimbing) ialah relasi saling melengkapi. Lagi pula aku pun menganggapnya bahwa proses pembuatan skripsi, mempertanggungjawabkannya secara ilmiah hingga revisiannya ialah merupakan satu kesatuan dari proses belajar itu sendiri.
Jadi aku mulai bersikap positive thingking bahwa ketika ada kritikan dari dosen-dosen penguji ku yang spesialis dibidang yang ku angkat dalam skripsi ku tak lain dan tak bukan ialah demi perbaikan karya tulis ku semata. Bukankah pendapatan dan kritikan dari para ahli tersebut sangat kita perlukan dan sangat bermanfaat untuk memperkaya skripsi yang telah kita buat?
Malam harinya kamar ku terasa sangat dingin. Wajar saja karena pada malam tersebut selain sore harinya hujan turun dengan derasnya, kamar ku juga saat itu tidak berjendela. Di malam tersebut, aku mulai mencetak sumber-sumber yang kujadikan dasar argumen yang ku tuliskan dalam skripsi ku. Kalau ku cetak semua situs internet yang ku gunakan tentu tidak mungkin. Oleh sebab itu, aku hanya mencetak data-data yang ku dapat baik dari surat kabar, jurnal, maupun institusi-institusi pemerintah Argentina beberapa bagian saja dan itu pun data yang ku anggap penting. Mesin printer ku mulai melahap kertas sisa dari pembuatan skripsi ku. Begitu kertas-kertas itu keluar dari printer, aku mulai mengklasifikasikannya dan ku tulis dengan ballpoint ku data apa, untuk memperkuat argumenku yang mana dan terletak di bab berapa.
Sebenarnya aku tak perlu mencetak sumber-sumber tersebut, toh aku telah menyimpannya dalam hard disk ku. Tapi aku berpikiran bahwa aku tidak mau membuat dosen penguji ku ill feel dengan ku hanya karena masalah teknis, yakni modem ku mengalami gangguan ketika aku ditanyakan, “coba tunjukkan datanya!” Tidak masalah bagi ku untuk mengeluarkan kertas beberapa lembar lagi dan beberapa mili tinta. Satu hal yang ingin ku tunjukkan pada saat sidang ialah 3 P, prepare, perfect performance.
Tak terasa hari yang kutunggu-tunggu datang. Inilah hari penentuan ku. Tapi alangkah lucunya, untuk pakaian yang harus digunakan pada saat sidang pun aku masih mencari pinjaman sana-sini. Karena tidak punya celana kain, aku pun harus meminjamnya dari adik kos ku yang berkuliah dijurusan keperawatan. Pagi itu setelah aku melaksanakan sholat Duha, aku mulai membersihkan sepatu pantofel ku satu-satunya yang dibelikan oleh ibu ku waktu kami lewat kota Magetan. Dasi hitam dengan logo universitas mulai ku ikatkan di leherku. Kadang aku tertawa, semenjak dibeli dasi ini hanya aku gunakan pada saat awal masuk kuliah dan akhir ketka aku ingin meninggalkan kampus ini.
Sebelum berangkat aku memeriksa kembali barang bawaan ku. “Spidol, pulpen, tipe-x, pensil, stabilo, buku-buku materi dan buku catatan selama bimbingan” ujarku dalam hati mengabsen benda-benda tersebut. Sambil memanasi sepeda motor ku, aku mulai berpamitan pada teman-teman kos ku, “Rek dungakne yo, cek sukses” pinta ku kepada teman-teman ku. “Oyi Sar, sepurane yo gak iso ngancani, iki Aku yo enek kuliah,” jawab teman-teman ku. Aku pun berangkat menuju kampus dan dalam perjalanan, tak lupa aku bersedekah semampuku. Oh ya, tentang sedekah ini, walaupun akan mengurangi harta kita secara matematika dunia, tetapi sebenarnya sangat banyak manfaatnya. Satu hal yang kuyakini hingga saat ini, bahwa sedekah mampu menolak bala. Kalau kita bersedekah pada pagi hari makan satu hari itu pun Yang Maha Kuasa akan menggaransi (menyelamatkan) hidup kita. Yang Maha Kuasa pun akan menyingkirkan bala yang sebenarnya bisa menimpa kita kapan pun. Oleh sebab itu mulai dibiasakanlah bersedekah sebelum mengawali kegiatan kita sehari-hari.
Sesampainya di kampus, aku langsung bertemu dengan dosen pembimbingku dan aku pun segera menghubungi pelayanan kelas untuk menyiapkan viewer yang aku butuhkan. Triono pun telah tiba di kampus membawakan jajanan yang aku titipkan padanya. “Suwun yo Kep,” ujarku. “Oyi,” jawab Triono singkat. Aku pun mulai menata botol air mineral untuk ke lima dosen penguji ku. Menyiapkan buku-buku yang ku bawa, sumber-sumber yang telah ku cetak dikertas bekas dan alat-alat tulis.
Tidak lama kemudian, dosen-dosen penguji masuk ke dalam ruangan sidang. Banyak yang bilang ruangan itu sangat angker, karena di ruangan tersebut bisa mencetak sarjana baru. Sarjana baru yang sebenarnya akan menjadi tanggungan negara karena mungkin tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Namun bisa jadi jadi ruangan tersebut akan mencetak the loser. Tapi bagi ku tidak ada pola zero sum dalam ruangan tersebut karena hakikatnya ruangan itu ialah ruangan ujian. Aku lebih senang menyebut ujian dibandingkan sidang, karena dengan ujian akan menaikkan derajat seseorang tetapi dengan ujian juga seseorang akan diuji dengan hal lainnya seperti kesabaran dan keteguhan untuk diuji kembali di ruang tersebut.
“Assalamualaikum Waruhmatullahi Wabarakatuh” suara Pak Alfan Djamil membuka ritual sidang pagi itu. “Pagi hari ini, Kita akan menguji skripsi dari saudara Gangsar Parikesit.” “Mungkin bagi saudara Gangsar Parikesit sendiri apakah sudah siap melaksanakan ujian ini?” tanya Pak Alfan kepadaku. “InsyaAllah siap lahir batin Pak,” jawabku mantap. “Apakah ada yang ingin direvisi sebelum Kita memulai sidang ini?” “Hmmm, ini Pak, Saya kemarin belum tahu siapa saja dosen penguji Saya, ini lembar pengesahannya,” ujarku seraya memberikan beberapa lembar pengesahan yang baru ku cetak tadi malam. “Lembar pengesahannya nanti saja,” ujar Bu Indri memecah kesunyian di ruangan itu.
“Baiklah Gangsar Parikesit, Kamu diberikan waktu 10 sampai 15 menit untuk memaparkan skripsi milikmu.” “Selanjutnya setelah pemaparan skripsi, Kita memasuki sesi tanya jawab,” ujar Pak Alfan yang memberitahukan kepada ku aturan mainnya. Aku pun tak menyia-nyiakan waktu. Ku buka pemaparan ku dengan slide pembukaan ku, kemudian aku mulai menguliti bab 1 ku seluruhnya. Aku pun berusaha untuk menekankan kepada dosen-dosen penguji, bahwa skripsi ku dengan judul kemenangan Cristina Fernandez De Kirchner pada pemilu presiden Argentina pada tahun 2011, memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan tema-tema serupa yang telah diangkat oleh senior-senior ku.
“Walaupun tema ini pernah diangkat oleh pendahulu Saya, namun dalam skripsi Saya ini terdapat anomali.” “Dalam pemilu sela faksi partai yang dipimpin oleh Cristina Fernandez mengalami kekalahan, namun pada saat pemilu presiden di Argentina, Cristina Fernandez mampu memenangi pemilu hanya satu putaran saja.” “Hanya dalam waktu dua tahun saja, paska pemilu sela, Cristina Fernandez mampu mengembalikan kepercayaan publik pada dirinya,” tegas ku mantap.
Di slide-slide yang berikutnya, yang ku lakukan hanya mengelaborasi saja kalimat-kalimat yang telah ku tuliskan di slide. Alhamdulillah, tadi malam ku sempat belajar presentasi ditemani dengan stop watch dan berlatih merangkaikan kalimat-kalimat yang efektif. Tak terasa 14 slide telah habis ku paparkan di depan dosen penguji. Besar harapan ku pada saat itu seluruh dosen penguji tertarik dengan gaya presentasiku terutama tentang isi skripsi ku.
“Baiklah, itu tadi pemaparan mengenai skripsi yang di buat oleh Saudara Gangsar.” “Memasuki sesi berikutnya ialah sesi tanya jawab.” “Di persilakan untuk yang pertama oleh Bu Adhining,” ujar Pak Alfan seraya mempersilahkan Bu Adhining untuk bertanya. “Gangsar, tadi Gangsar menceritakan bahwa, untuk menganalisis permasalahan tersebut, Gangsar menggunakan teori rational choice, nah seberapa yakinkah kalau pilihan dari masyarakat Argentina merupakan pilihan yang rasional?” Sebelum menjawab, aku tersenyum. Entah pada hari ini aku terlalu senang atau bagaimana, tapi satu hal yang jelas aku banyak memasang senyum. Selain mampu menenangkan diri ku sendiri, senyum juga merupakan sebuah tanda persahabatan. “Baik Bu, terima kasih atas pertanyaannya.” “Saya sangat yakin, karena masyarakat Argentina memilih Cristina Fernandez berdasarkan atas program-program kerjanya yang dinilai lebih rasional untuk direalisasikan dibandingkan dengan program-program kerja kandidat yang lainnya.” “Adanya momentum, seperti pertumbuhan ekonomi, statusnya Cristina Fernandez sebagai petahanan dan terfragmentasinya kandidat oposisi, semakin menguatkan pilihan masyarakat terhadap Cristina Fernandez.” Aku kemudian tak sungkan untuk meminta izin kepada dosen-dosen penguji untuk menggunakan white board yang telah disediakan. Spidol hitam yang ku bawa mulai menari-nari membentuk diagram Tidak memakan waktu yang lama, diagram yang ku gambarkan telah tersaji. Diagram sederhana tentang perbedaan pilihan yang dilakukan oleh masyarakat rasional dan masyarakat tradisional. Dengan diagram ini aku berharap mampu menyimpulkan teori yang ku gunakan dalam menganalisis permasalahan yang ku ajukan dalam rumusan masalah ku.
Bu Adhining, terlihat puas dengan jawaban ku. “Oh ya, Gangsar, ini masih ada yang harus kamu tambahkan, data di halaman sekian coba di gambarkan dengan hubungan sistem politik Argentina.” “Ini yang Saya lihat, hanya gambar sistem politik bentuk negara republik.” “Bu untuk yang satu ini, Saya sudah mencoba mencari datanya, tapi belum menemukannya.” Kenapa Saya gunakan gambar sistem politik negara repubik karena Argentina juga merupakan negara republik.” “Jadi menurut Saya substansinya tetap tersampaikan kepada pembaca,” jawab ku dengan sopan. “Tapi kalau Ibu menghendaki untuk dituliskan gambar sistem politik Argentina, baiklah nanti akan Saya tambahkan,” ujar ku menenangkan bu Adhining. “Selain itu, Gangsar, masak sumber rujukan buku-bukunya cuma ada sedikit, sepengetahuan Saya buku tentang sistem politik dan pemerintahan negara-negara Amerika Latin itu banyak.” “Oh ya Bu, untuk buku, sebenarnya sudah saya upayakan, namun yang Saya dapatkan hanya itu, tapi Saya rasa buku itu sudah cukup sebagai rujukan dari skripsi Saya,” jawabku atas kritikan Bu Adhining.
“Bu Adhining apakah, masih ada pertanyaan lagi?” tanya ketua penguji. “Tidak Pak Saya rasa sudah cukup.” “Silahkan Bu Indri untuk memberikan pertanyaan pada Saudara Gangsar Parikesit.” Aku sempat berpikir bahwa dosen-dosen penguji ku ini ialah dosen-dosen yang telah memiliki kemampuan di bidang yang sesuai dengan tema skripsi yang aku angkat. Bu Adhining merupakan dosen sistem politik dan pemerintah negara-negara Amerika Latin. Dan sekarang tiba saatnya untuk Bu Indri yang terbiasa menghadapi metodologi dan teknis penulisan.
“Saya dari dahulu selalu penasaran dengan Anda, karena Anda memiliki nama yang unik yaitu Gangsar Parikesit.” “Kalau boleh tahu apa sih artinya?” tak ku duga ternyata Bu Indri mampu mencairkan suasana di dalam dengan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan skripsi ku. “Itu nama wayang Bu, ayah Saya pernah menjelaskan bahwa Gangsar Parikesit ialah raja di Astina dan cucu dari Abimanyu.” “Nama Gangsar Parikesit sendiri artinya ialah lancar menjadi raja di Astina Bu, selain itu nama Gangsar juga bisa berarti lancar,” jawab ku sambil tersipu malu.
“Oh begitu, baiklah, Gangsar, ini untuk bab 1 seharusnya menggunakan format penulisan trapesium terbalik.” “Tema Anda menarik, tapi kalau dengan bentuk tulisan seperti ini, pembaca tidak digiring kepada hal yang menarik tersebut.” “Kemudian Gangsar, tiap tabel dan gambar diberi kalimat pengantar, judul tabel atau gambar, dan penjelasan.” “Ini di skripsi Anda hanya sebagian, belum seluruhnya yang menuliskan kalimat pengantar, judul tabel atau gambar, dan penjelasan.” “Selain itu mungkin ada baiknya Kamu memasukkan program-program ketiga kandidat yang bersaing ke bab tiga.” “Kalau Kamu mencoba membandingkan program-program ketiga kandidat tersebut, Saya rasa orang yang expert dibidang itu belum tentu bisa melakukannya,” saran Bu Indri. “Kemudian ini masalah metodologi, di hipotesismu kamu mengajukan bahwa Cristina menang itu karena masyarakat Argentina bersikap rasional.” “Tetapi di sisi lain, Kamu juga menganggap bahwa momentum itu juga menjadi variabel penting.” “Setau Saya, hipotesis itu diangkat based on kerangka teori.” “Tolong dijelaskan!”
“Terima kasih untuk Bu Indri atas masukan-masukkannya.” “Nanti akan Saya perbaiki.” “Untuk hipotesis, Saya menganggap bahwa kerangka teori rational choice yang Saya gunakan telah sesuai, karena ada kesusaian antara momentum pertumbuhan ekonomi Argentina, status Cristina sebagai petahanan dan terfragmentasinya kandidat oposisi.” “Momentum itu semakin memperkuat rasionalitas pemilih untuk menjatuhkan pilihannya kepada Cristina Fernandez.” “Teori rational choice bagi Saya mampu meng-cover kedua hipotesis yang Saya ajukan.” “Namun sebenarnya Saya juga sempat berpikir seperti yang Ibu sampaikan.” “Tetapi Saya tidak menemukan momentum itu, dibungkus menjadi sebuah teori,” terang ku. “Ya sudah gini saja Gangsar, nanti bisa minta tolong Pak Pri tentang teori momentum tersebut.” “Pak Pri, setau Saya dulu Saya dan Pak Pri juga pernah menguji skripsi yang ada momentumnya ya.” “Tapi Saya lupa skripsinya siapa itu,” Bu Indri membuka komunikasi dengan pembimbing satu ku. “Ya sudah Gangsar, nanti kita lanjutkan di luar saja,” ujar Pak Pri menenangkan ku.
Jujuar saja, aku sangat berterima kasih diberikan dosen pembimbing seperti Pak Supri dan Pak Pra Adi. Hal ini disebabkan karena selama proses pengerjaan skripsi, aku diberikan kebebasan untuk menulis. Kami bertiga lebih sering diskusi. Banyak dari teman-teman ku yang ketika bimbingan yang terjadi ialah bukan proses dialog tetapi monolog, sehingga mahasiswa tidak bisa mengeksplorasi data dan penulisan. Jadi sebelum aku berangkat ke kampus, aku telah meyakinkan diri ku, bahwa ketika di ruang sidang aku tidak usah berharap dosen-dosen pembimbingku mampu membantu ku menjawab pertanyaan dari dosen-dosen penguji, apa lagi aku terkesan menyalahkan tentang penulisan skripsi ini ketika mendapatkan kritikan-kritikan. Skripsi ini buatan ku dan pertanggungjawaban ilmiahnya juga murni milik ku.
“Baiklah, Bu Indri, apakah masih ada pertanyaan?” “Saya rasa dari Saya sudah cukup Pak.” “Baiklah sekarang giliran Saya.” Sekarang tiba giliran Pak Alfan dosen yang expert dibidang komunikasi. Kebetulan di skripsi ku sangat banyak menganalisis komunikasi politik yang dilakukan oleh kandidat-kandidat yang bersaing. “Tadi Saudara Gangsar membicarakan masalah terorisme global, terus apa kaitannya terorisme global ini dengan skripsi Mu?” pertanyaan pertama muncul dari mulut Pak Alfan. “Oh begini Pak, Saya menyampaikan terorisme global itu hanya merupakan sebuah pembanding.” “Di Spanyol ada mantan perdana menteri yang menuduh peledakan stasiun kereta api bawah tanah dilakukan oleh kelompok teroris, ternyata mantan perdana menteri itu salah.” “Yang melakukan peledakan stasiun kereta api bawah tanah itu ialah pemberontak ETA.” “Salah tuduh itu mengakibatkan Dia tidak terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.” “Ini hanya masalah perbandingan saja Pak, perbandingan bahwa ternyata hal itu tidak berlaku bagi Cristina Fernandez, karena walaupun kalah dalam pemilu sela, Dia bisa menang dalam pemilu presiden hanya satu putaran.”
“Dari Saya cukup.” “Baiklah Saya berikan kesempatan bagi Pak Pri dan Pak Pra Adi untuk bertanya.” “Saya tidak ada pertanyaan Pak,” ujar Pak Pri. “Kalau Saya hanya nanti masukkan-masukkan yang disampaikan oleh dosen-dosen penguji di tuliskan ya Gangsar.” “Baik Pak.” Aku sangat bersyukur, karena dosen-dosen pembimbing yang sebenarnya juga berperan sebagai dosen penguji tidak bertanya. Padahal di jurusan-jurusan yang lainnya dosen pembimbing sekaligus yang berperan sebagai dosen penguji biasanya juga akan bertanya. Sekarang coba kalian bayangkan apa jadinya seseorang dosen pembimbing yang mengetahui seluk-beluk skripsi kita itu ikut bertanya? Tapi sekali lagi masih banyak mahasiswa yang kecewa dan tidak bersyukur ketika dosen pembimbing skripsi tidak memberikan bantuan kepadanya di ruang sidang.
“Baiklah saudara Gangsar Parikesit, silahkan Anda menunggu di luar.” Aku pun dengan mantap mohon diri untuk keluar. Waktu peserta disidang di suruh keluar sebenarnya merupakan proses konsensus dari kelima dosen penguji. Apakah peserta sidang dinyatakan lulus atau tidak dan mau diberi nilai apa. Seringkali kalau peserta sidang kurang maksimal dalam memaparkan skripsi dan juga tidak begitu maksimal dalam menjawab pertanyaan dari dosen penguji akan membuat dosen-dosen pembimbing melakukan negosiasi ekstra kepada ketiga dosen penguji lainnya. Begitu di luar aku sangat lega karena teman-teman ku sudang menunggu di luar, dan belum selesai aku menjawab pertanyaan gimana tadi sidang mu. Aku terlebih dahulu dipanggil oleh Pak Pra Adi. “Baiklah Gangsar Parikesit, Kami kelima dosen penguji menyatakan Anda lulus dengan nilai A. “Selamat, semoga jodohnya lancar dan rezekinya lancar juga,” doa dari Pak Alfan seraya menjabat tangan ku diiringi dosen-dosen penguji lainnya yang juga menjabat tangan ku sebagai bentuk ucapan selamat.
Sidang yang telah ku lalui pada pagi itu memberikan banyak pelajaran berharga. Ternyata sidang tidak semenakutkan apa yang ada tertancap kuat dibenak mahasiswa-mahasiswa pada umumnya. Kalau skripsi itu buatan kita, kita tidak menjiplak dan kita jujur dalam prosesnya, apa yang harus kita takutkan? Dosen-dosen penguji sebenarnya ialah mitra agar tulisan skripsi kita lebih baik lagi. Maka sanggahlah ketika argumen yang diajukannya tidak sesuai dengan argumen dan isi skripsi kita, tetapi sanggahlah dengan santun dan tidak arogan. Yang paling ku rasakan ialah ternyata pendekatan spritualitas yang saat ini banyak dipertanyakan keberhasilannya oleh manusia-manusia modern itu terbukti manjur. Entah mengapa, aku merasa ruang sidang di dalam terasa adem ayem. Aku merasakan kehadiran Yang Lain yang aku lebih suka menyebutkannya bantuan tangan Yang Maha Kuasa yang membantu kelancaran sidang ku. Aku semakin mantap dengan keyakinan ku bahwa, tidak ada Dzat yang bisa membolak-balikkan hati, selain Dzat yang menguasai hati itu sendiri. Pendekatan spritualitas seperti sedekah, sholat malam, sholat Duha dan doa ke dua bidadari kita di rumah ternyata lebih mustajab, dibandingkan dengan perilaku kita yang seringkali memprioritaskan memohon doa dari teman-teman atau sekedar support dari pacar tapi tidak memprioritaskan doa orang tua. Aku menganggap sidang yang ku lalui bukan lah sidang seperti di pengadilan, aku lebih senang menyebutnya ujian, karena ujian bermakna positif. Ujian akan menaikkan derajat kita yang telah lolos ketika di uji. Dan ketika belum lolos dari ujian tersebut, itu berarti Yang Maha Kuasa sedang menguji kesabaran kita. 

Sabtu, 21 Juli 2012

Bidan Perkasa Dari Pulau Dewata


“Mereka pikir Tuhan tidak tahu perbuatan mereka, mereka pikir Tuhan bodoh

Itulah kalimat yang meluncur dari bibir Robin Lim. Betapa marah dan kecewanya Robin Lim ketika mengetahui ternyata banyak bidan yang hanya berorientasi pada materi. Wajar jika beliau marah ketika mendengar masih banyak bidan-bidan yang memungut bayaran dari pasiennya walaupun pemerintah telah memberlakukan program Jaminan Persalinan (Jampersal). “Apa agama dari bidan tersebut?” tanya Robin Lim kepada  bulek ku. “Islam Bu,” jawab bulek ku singkat sambil tersipu malu. “Saya tidak percaya kalau dalam ajaran agama Islam mengajarkan hal-hal seperti itu,” terang Robin Lim. “Ini bukan masalah ajaran agamanya Bu,” sanggah salah satu asistennya. “Saya sudah sering kali bilang sama Ibu, bahwa bukan ajaran agamanya yang bermasalah, tapi penganutnya yang juga masih tetap tidak taat terhadap ajaran agamanya,” terang asisten tersebut kepada kami. “Saya sering berdebat dengan Ibu mengenai hal tersebut, tetapi Ibu tetap bersikukuh dengan dengan pendapatnya.”
Sore itu saya sangat beruntung karena bisa bertemu, bersalaman dan berdiskusi dengan Top 10 CNN heroes Robin Lim. Robin Lim merupakan salah satu bidan sekaligus inspirator yang memiliki gaya hidup sederhana yang pernah saya kenal. Dedikasinya untuk masyarakat di sekitarnya tak perlu diragukan lagi. Yayasan Bumi Sehat yang didirikannya pada tahun 1995 dan terletak di daerah Nyuh Kuning, Ubud telah dikenal oleh banyak orang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya cinderamata yang diberikan kepadanya, entah sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya ataupun sekedar bentuk ucapan terimakasih sederhana dari mahasiswi-mahasiswi Akbid yang telah bertukar ilmu dengannya. Hampir setiap hari Robin Lim mengayuh sepedanya yang berwarna merah jambu menuju klinik Bumi Sehat. Memberikan pertolongan tanpa memandang kasta dan kelas serta diiringi dengan senyuman tulus. Selain itu, Robin Lim juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai daerah bahkan diberbagai negara.
“Kalau Ibu-ibu ingin mengundang Ibu Robin menjadi pembicara di Banyuwangi, mohon maaf untuk tahun ini (2012), Ibu tidak bisa, karena kegiatannya yang sangat padat.” “Tidak lama lagi Ibu akan bertolak ke Italia dan beberapa negara, karena Ibu memang telah lama diundang oleh negara-negara tersebut,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. Kami semua pada akhirnya mafhum dengan kegiatan beliau (Robin Lim) yang memang sangat padat sekali. “Mungkin Ibu-ibu bisa menyusun proposal acara kegiatannya dan nanti pelaksanaannya bisa pada tahun depan,” ujar asisten tersebut seraya menghibur kami. “Oh ya Mbak, biar nanti Kami susun proposalnya, kalau sudah siap, nanti Kami kirimkan,” ujar bulek  ku singkat.
Tak ingin kehilangan moment bertemu dengan Robin Lim aku pun langsung mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan memang Robin Lim sekeluarga telah lama menetap di pulau dewata dan telah fasih berbahasa Indonesia. “Ibu, mengapa Ibu sangat menyarankan kepada semua orang bahkan tenaga-tenaga medis untuk menggunakan obat-obat tradisional?” “Ketika Saya masih kecil, Saya pernah sakit parah dan di rawat di salah satu rumah sakit di Filipina.” “Dokter-dokter di sana, menyarankan Saya untuk dioperasi agar bisa sembuh, namun nenek Saya menolaknya dan membawa Saya pulang dari rumah sakit tanpa sepengetahuan orang tua Saya.” Kemudian Saya di rawat oleh nenek Saya dan diobati dengan obat-obatan tradisional yang ada di sekitar.” “Hanya dalam waktu beberapa hari, penyakit Saya langsung sembuh tanpa melalui operasi,” papar Robin Lim.
Selain berfokus pada program persalinan, Yayasan Bumi Sehat yang dipimpin oleh Robin Lim juga memiliki kegiatan lainnya yang bertujuan pada pemberdayaan masyarakat. Beberapa program tersebut diantara lain ialah, program sampah daur ulang dan pendidikan kesehatan. “Saya dulu hampir setiap hari makan nasi, namun setelah dinasehati oleh Ibu bahwa gizi yang dikandung nasi kurang mencukupi, akhirnya Saya mengikuti saran Ibu yaitu makan nasi dengan campuran umbi-umbian,” papar salah satu asisten Robin Lim. “Jujur saja, Saya sekarang sangat khawatir dengan makan-makanan yang ada saat ini, karena banyak mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan.” “Contohnya ialah mie instan.” Mendengar kata mie instan yang tidak baik bagi kesehatan, aku pun langsung membela diri. Maklum naluri mahasiswa ku dengan isi dompet yang pas-pasan dan sering kali makan mie instan tiba-tiba saja muncul. “Ibu, tapi mie instan sangat cocok, karena murah dan praktis,” candaku. Namun Ibu Robin menunjukkan ekspresi kekecewaannya dengan gaya hidupku yang sangat akrab dengan mie instan. “Ya memang mie instan murah dan praktis, tapi dikemudian hari bisa menimbulkan masalah dengan kesehatan Mu,” terang Robin Lim. Nasehat tersebut rasanya sangat sederhana dan terasa sangat klasik karena semua orang awam pun mengetahuinya. Namun ketika beliau yang menyampaikan rasanya sangat berbeda. Jujur saja kharismanya yang membuatku diam seribu bahasa dan tidak bisa membantah nasehat tersebut.
Untuk masalah yang satu ini (kharisma) aku pun tidak bisa berkata-kata. Kejadian bayi yang menangis dan tidak kunjung diam walaupun telah berada dalam pelukan ayah maupun ibunya dapat diatasi dengan mudah oleh beliau. Bayi yang menangis tersebut langsung diam dan lama-kelamaan tidur pulas dalam pelukannya (pelukan Robin Lim). Selain itu, ada salah satu pemandangan yang cukup mengharukan yang ada dalam klinik kecil tersebut. Pemandangan indah tersebut tak lain ialah, kehadiran beberapa volunteer asing yang bahu-membahu dengan tenaga kerja lokal dalam menolong dan melayani pasien-pasien yang datang ke klinik tersebut. “Tidak semua bule itu kaya.” “Kita seringkali kedatangan pasien-pasien bule tapi terkadang Mereka mengatakan bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini sedang tidak bagus.” “Dan Mereka berjanji akan langsung memenuhi kewajiban (membayar) Mereka setelah perekonomian Mereka pulih kembali,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. “Kalau di sini yang Kami perioritaskan ialah pertolongan terlebih dahulu kepada pasien yang membutuhkan.” “Perkara Mereka mampu membayar atau tidak itu urusan belakang.” Penjelasan tersebut sungguh memberikan saya sebuah inspirasi. Mungkin Robin Lim merupakan salah satu tenaga medis yang benar-benar melaksanakan kode etik tenaga medis secara tulus. Karena saat ini banyak sekali kita temui rumah sakit-rumah sakit yang mensyaratkan seorang pasien untuk mengurus administrasi terlebih dahulu baru mendapatkan pertolongan. Miris memang jika melihat kondisi tersebut. Namun tenaga-tenaga medis di rumah sakit – rumah sakit yang memiliki regulasi tersebut (menyelesaikan administrasi terlebih dahulu) juga tidak bisa bertindak apa-apa. Mereka (tenaga medis) ibarat memakan buah simalakama. Bimbang apakah harus memilih menolong pasien tersebut demi menjalankan kode etiknya namun bisa berdapampak pada teguran atau mungkin pemecatan pada dirinya. Atau hanya berdiam diri menunggu instruksi dan terpaksa melanggar kode etiknya dan melihat semakin memburuknya kondisi pasien yang membutuhkan pertolongan. Entahlah, namun faktanya memang saat ini banyak terjadi fenomena tersebut.
Satu pengalaman berharga lainnya ialah ketika aku, bulek ku serta tante Ina berdiskusi dengan salah satu volunteer dari negeri paman Sam. Volunteer tersebut memiliki spesialisasi dalam bidang yoga. Yoga yang diajarkan kepada ibu-ibu hamil yang datang ke yayasan Bumi Sehat. “Wanita-wanita yang Saya lihat di sini, sebenarnya lebih kuat dan lebih siap untuk melahirkan.” “Hal ini disebabkan karena Mereka sering beraktivitas.” “Hal ini sangat berbeda dengan wanita-wanita di Amerika.” “Di sana ketika mereka hamil, mereka rata-rata hampir tidak bekerja, hanya bersantai dan menonton televisi di rumah,” paparnya. Kami pun sedikit tertawa karena volunteer tersebut bercerita sambil memberikan sebuah demonstrasi. Keterangan dari volunteer tersebut tiba-tiba mengingatkan ku pada pendapat guru olah raga ku sewaktu SMA. “Kalau saat ini banyak Cewe yang tidak kuat lari keliling lapangan sebanyak 10 putaran itu sebenarnya nini-nini (nenek-nenek) yang di make-up’i saja.” “Karena persalinan merupakan sebuah proses yang melelahkan dan mempertaruhkan nyawa.” Mungkin pendapat tersebut ada benarnya karena saat ini karena kemajuan teknologi banyak wanita-wanita yang hamil mengandalkan persalinan dengan sesar bukan persalinan secara normal.
Keunikan yayasan Bumi Sehat juga terlihat dari pekerja-pekerja dan volunteer yang berseragam t-shirt. T-shirt yang mereka (pekerja dan volunteer) gunakan bukan t-shirt sembarangan. T-shirt tersebut merupakan t-shirt  yang diproduksi oleh yayasan Bumi Sehat sendiri. Sebuah t-shirt dengan berbagai macam warna dan logo yang khas dari yayasan Bumi Sehat tercetak besar di bagian depan. “Bulek t-shirtnya bagus ya,” ujar ku. “Kira-kira mereka masih punya lagi gak ya.” “Kalau ada Aku mau beli.” Bulek ku pun segera menanyakan kepada salah satu pekerja di sana. “Mbak t-shirt nya masih ada?” tanya bulek ku. “Ada Bu di dalam sana,” ujar pekerja itu sambil menunjuk sebuah ruangan. Kami pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah etalase tempat pernak-pernik khas dari yayasan Bumi Sehat. Kami semua, langsung melihat-lihat pernak-pernik apa saja yang dijual di sana. Ternyata pernak-pernik tersebut ialah t-shirt, sticker, tas kecil dan berbagai macam aksesoris dengan logonya yayasan Bumi Sehat.
“Berapa harga t-shirtnya Mbak?” tanyaku kepada salah satu pekerja. “T-shirtnya harganya seratus ribu.” Aku pun langsung berpendapat bahwa t-shirt dengan bahan yang biasa saja dan dijual dengan harga seratus ribu tentu sangat mahal. Sebenarnya, aku sangat tertarik dengan t-shirt tersebut, namun apa daya, sepertinya dompet ku lebih berkuasa untuk menolaknya. Alhasil aku pun tidak jadi membelinya. Bulek ku membeli tas jinjing dan beberapa sticker dan alangkah kagetnya aku waktu bulek ku membayar tas tersebut uangnya langsung dimasukkan ke dalam kotak donasi yang dibuat dari bahan kaca dan terdapat logo yayasan Bumi Sehat ditengahnya. Ternyata yayasan ini (Bumi Sehat) berupaya untuk mandiri. Selain menerima sumbangan dari berbagai pihak, yayasan ini juga berupaya untuk mandiri dengan melakukan sebagian pembiayaan operasionalnya dengan cara berjualan souvenir dan uang hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk memproduksi souvenir kembali dan kelebihannya digunakan untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Tak terasa kunjungan kami di yayasan ini pun harus berakhir. Kami semua saling bersalaman dan mengucapkan kata perpisahan. Robin Lim bahkan memeluk dan mencium pipi bulek ku dan Tante Ina. Hari ini aku pun banyak belajar dari seorang wanita yang perkasa namun memiliki hati yang tulus. Belajar dari ketulusan seorang wanita untuk menolong sesamanya. Belajar bagaimana seorang wanita tersebut mendedikasin hidupnya untuk menolong terhadap sesamanya. Seorang wanita yang berasal dari luar negeri dan menolong tanpa  mengenal perbedaan warna kulit, agama dan kelas. Seorang bidan perkasa yang selalu mengulurkan tangannya kepada yang membutuhkan walaupun terkadang bidan perkasa tersebut berada dalam keterbatasan. 

Senin, 09 Juli 2012

Raja Kecil Di Kota Ku


Apa yang ada di dalam benak kalian ketika kalian diberikan kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan orang nomor satu di daerah kalian? Tentu sebagian besar dari kita semua akan dirundung perasaan senang bercampur penasaran. Perasaan senang muncul karena kita telah diberi kesempatan untuk dapat bertemu langsung dengan orang nomor satu dan rasa penasaran muncul karena ingin tahu sosok sebenarnya orang nomor satu secara langsung. Perasaan seperti itu (senang dan penasaran) juga meliputi diriku. Rasa itu muncul ketika menerima pesan singkat dari salah seorang temanku. Isi pesan singkat tersebut ialah sebagai berikut, “Teman-teman, besok diharapkan kehadirannya untuk diskusi dengan bapak bupati di pemkab dalam acara Kamisan jam setengah delapan.” Setelah membaca pesan singkat tersebut, anganku melayang. Membayangkan bagaimana asyiknya hari esok. Membayangkan bagaimana aku selaku mahasiswa dapat berdialog dan menyampaikan aspirasi secara langsung kepada bapak bupati.
Tak terasa sang mentari telah terbit di ufuk timur. Walaupun tadi malam aku hanya tidur dua setengah jam karena nonton bareng piala eropa, namun pagi ini aku harus melawan rasa kantuk. Untuk melawan rasa kantuk aku pun segera bergegas menuju kamar mandi. Tidak enak rasanya jika terlambat ketika bertemu dengan bapak bupati pikirku dalam hati. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh. Aku segera mengenakan pakaian batik berwarna coklat yang kumiliki. Sebelum berangkat aku pun menyempatkan diri untuk mematut diri di depan cermin. Ku pandangi wajahku dengan lekat, ternyata kantung mataku sedikit membengkak. Kantung mata membengkak ini mungkin disebabkan kurang tidur. Beberapa hari ke belakang aku memang kerap nonton bareng piala eropa dan hal tersebut berdampak pada terganggunya jadwal tidurku.
Untuk menuju pemkab dari kosanku tidak perlu memakan waktu yang lama karena jaraknya yang hanya sekitar 1,5 kilometer. Perlahan-lahan sepeda motorku mulai memasuki pelataran parkir pemkab. Di pelataran parkir, ku dapati banyak PNS mengenakan pakaian batik. Satuan polisi pamong praja juga terlihat siaga berjaga di lingkungan sekitar. Sebagian petugas DLLAJR juga terlihat bekerja sama dengan polisi lalu lintas mengatur kendaraan yang lalu lalang. Aku pun segara memarkirkan sepeda motorku. Aku mulai menyusuri lorong menuju ruang diskusi. Ruang diskusi ternyata diselenggarakan di lantai dua. Namun sebelum aku duduk dan menunggu kehadiran Bu Ciciek, Pak Supo dan Mbak Ema, aku diminta oleh salah seorang petugas untuk mengisi daftar tamu.
Di bagian resepsionis seorang pegawai telah menungguku. Ku lihat sejenak daftar tamu tersebut. Di dalamnya terdapat kolom-kolom yang terdiri dari nama, alamat, organisasi, permasalahan dan tanda tangan. Aku sempat bingung ketika menulis data di daftar tamu. Kolom permasalahan merupakan titik pusat kebingunganku. Aku pun mencoba meraba-raba permasalahan kami yang sedang kami hadapi dan akan kami sampaikan kepada Pak Bupati. Mungkin kehadiran kami di sini ialah untuk dapat berdiskusi dengan bapak bupati. Berdiskusi membahas acara festival egrang ketiga yang akan kami selenggarakan pada tanggal 7 Juli 2012. Ternyata aku mendapatkan urutan kedua yang akan ditemui oleh bapak bupati. Di jadwal, acara Kamisan akan dimulai pada pukul 07.30. Namun, waktu di jam tanganku telah menunjukkan pukul 07.40 dan tanda-tanda diskusi akan dimulai juga tak kunjung nampak.
Tak lama waktu berselang Mbak Ema pun tiba. “Gangsar sudah isi daftar tamu?” tanya Mbak Ema. “Sudah Mbak, Kita dapat nomer urut dua,” timpalku singkat. “Hah nomer urut dua?” “Berarti Aku harus segera mengabari Mas Supo dan Mbak Ciciek,” terang Mbak Ema dengan nada sedikit panik. Tidak lama sedikit demi sedikit tamu-tamu yang ingin berdiskusi dengan bapak bupati mulai berdatangan. Kami semua dikumpulkan di sebuah ruangan. Ruangan tersebut juga telah ditata rapi dengan kursi-kursi dan meja-meja yang cukup mewah bagiku. Di ruangan tersebut juga terdapat enam lukisan besar yang gagah terpaku di tembok. Ada lukisan yang menggambarkan komoditas khas kotaku yaitu tembakau. Ada lukisan yang mengisahkan kesenian tradisional karapan sapi dan beberapa lukisan perjuangan para pahlawan ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Sambil menunggu kedatangan Bu Ciciek dan Pak Supo, aku dan Mbak Ema pun berbincang-bincang. Kami berbincang-bincang masalah seputar Tanoker (komunitas bermain dan belajar). Sambil berbincang-bincang mataku mulai mengamati beberapa pegawai yang terlihat sibuk mondar-mandir membawakan aneka jajanan pasar. Jajanan pasar tersebut beraneka ragam, mulai dari lumpia, kue lapis, naga sari dan lain-lain. Minuman yang disediakan juga bervariasi, mulai dari kopi, teh dan air mineral. Semua jajanan pasar tersebut di tata di meja-meja yang telah tersedia, sedangkan untuk kopi dan teh disediakan di dalam termos besar dengan cup kecil di sampingnya. Karena dari tadi pagi aku belum sarapan, aku pun segera mengambil kue lapis dan nagasari. Tak lupa aku mengambil satu cup kopi panas untuk menemani jajanan pasar yang telah ku ambil. Tak terasa hampir satu jam kami berbincang-bincang dan tamu-tamu yang berdatangan sudah terlihat makin banyak. Namun tanda-tanda bapak bupati ingin menemui kami semua belum terlihat.
Tidak lama Bu Ciciek dan Pak Supo tiba. Aku dan Mbak Ema langsung bersalaman dan mencari tempat duduk. Sambil menunggu bapak bupati kami berempat pun berbincang-bincang kembali. “Gangsar kamu dapat undangan dari Pak Sujud,” kata Pak Supo. “Jangan lupa ya, nanti buatkan piala bergilir untuk Pak Sujud dan Mbak Desi,” tambah Pak Supo. “Apa Pak, piala bergilir?” tanyaku terheran-heran dengan usul yang tidak biasa dari Pak Supo. “Ya sudah Pak, nanti coba saya carikan,” ujarku menenangkan Pak Supo.
Hampir dua jam aku dan sebagian peserta acara Kamisan menunggu di ruangan ini. Menunggu datangnya bapak bupati. Menunggu untuk dilayani, didengarkan atau sekedar melihat sosoknya secara langsung. Namun hingga saat ini, kami yang memilih beliau menjadi pemimpin kami dan kami juga yang harus menunggu beliau. Sungguh berbeda 180 derajat dengan kondisi waktu bapak bupati membutuhkan suara kami. Acara Kamisan ini memiliki tujuan yang mulia. Acara Kamisan bertujuan sebagai proses hearing (mendengarkan keluhan dan aspirasi dari maysarakat). Sehingga besar harapan tercapainya kesepakatan mengenai penyelesaian masalah dari kedua belah pihak. Bagi bapak bupati diharapkan dengan adanya program ini (Kamisan) dapat mengetahui keluhan-keluhan apa saja yang dirasakan oleh masyarakat, mengetahui aspirasi masyarakat dan mengetahui respon dari kebijakan-kebijakannya yang telah diimplementasikan. Bagi masyarakat sendiri dengan adanya program ini diharapkan mereka dapat langsung menyampaikan aspirasinya kepada bapak bupati. Harapan kecil dari masyarakat sebenarnya ialah adanya perasaan tenang. Tenang karena mereka telah bertemu dan dapat menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada bapak bupati. Perkara permasalahan yang mereka hadapi ditindaklanjuti atau tidak, sepertinya mereka tidak terlalu peduli. Namun naas, alih-alih kita bisa bertemu dengan bapak bupati tepat waktu,  justru yang ada ialah hampir dua jam kami ditelantarkan oleh bupati kami. Orang yang beberapa tahun lalu memohon kepada kami agar kami memilihnya sebagai pemimpin kami. “Seharusnya Pak Bupati keluar sebentar dan mengatakan kepada Kita semua bahwa masih ada urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu,” terang Pak Supo. “Kalau kondisinya seperti ini kan, Kita yang ada di sini menjadi resah karena seolah-olah Kita menunggu tanpa kepastian.” Benar juga pikirku. Apa sulitnya bagi seorang bupati untuk keluar sebentar dan mengatakan kepada konstituennya untuk menunggu sebentar karena masih ada urusan yang masih harus diselesaikan. Atau paling tidak bapak bupati bisa memerintahkan stafnya. Namun itu semua tidak dilakukannya.
Saat yang ditunggu-tunggu oleh kami dan seluruh peserta diskusi lainnya pun tiba. Akhirnya bapak bupati pun tiba di ruang diskusi. Kedatangannya di temani oleh beberapa staf. Baik bapak bupati dan beberapa stafnya hari ini berpakaian batik. Bapak bupati duduk dikursinya sedangkan staf-stafnya duduk di belakangnya. Persis seperti raja yang ditemani oleh para penasihat kerajaan. Tamu pertama pun dipanggil oleh salah satu staf bapak bupati. Bapak bupati langsung menyalami tamunya, “Ada yang bisa Saya bantu,?” tanya bapak bupati. Tidak lama ku lihat mereka mulai berdiskusi mengenai permasalahan yang sedang dihadapi oleh tamu pertamanya. Para staf terlihat mulai sibuk mencatat.
Diskusi yang dilakukan oleh bapak bupati dengan tamunya yang pertama tidak memakan waktu lama. Setelah itu, salah satu staf memanggil namaku. “Berikutnya, atas nama Gangsar Parikesit, alamat di jalan brantas XXV.” “Ayo Pak, Bu, Kita sudah dipanggil,” ujarku kepada Pak Supo dan Bu Ciciek. Kami berempat langsung bertatap muka dengan bapak bupati, menyalaminya dan langsug duduk dihadapannya. “Ada yang bisa Saya bantu?” tanya bapak bupati kepada kami. “Begini Pak, kami dari Tanoker Ledokombo, mau menyampaikan bahwa Kami minta dukungan dari Bapak.” “Rencananya pada tanggal 7 Juli, Kami mau mengadakan acara festival egarang yang ketiga,” jelas Pak Supo kepada bapak bupati. “Oh ini teman-teman dari Tanoker ya?” “Kok alamatnya di jalan brantas?” tanya bapak bupati terheran-heran. “Begini Pak, tadi yang mendaftar itu Gangsar, Dia salah satu mahasiswa yang ikut berpartisipasi di Tanoker,” papar Pak Supo. “Oh begitu.” “Sebenarnya Saya ingin sekali bisa bertemu dengan teman-teman di Tanoker, tapi memang hingga saat ini, Saya belum sempat,” jelas bapak bupati. “Nah ayo Pak, main-main ke Ledokombo,” tutur Bu Ciciek mengundang bapak bupati. “Begini saja, Saya pingin lihat adik-adik latihan, kapan kira-kira Saya bisa bertemu dengan adik-adik di sana?” pinta bapak bupati. “Kalau waktu terserah Bapak, adik-adik bisa kami kondisikan,” terang Bu Ciciek. “Bagaimana kalau hari Rabu, karena pada tangga 20 Juni Kami mau mengadakan lomba melukis egrang.” “Syukur-syukur Bapak bisa membuka acara tersebut,” pinta Bu Ciciek. Bapak bupati terlihat berpikir, beliau kemudian menolehkan kepalanya ke belakang dan bertanya, “Saya hari Rabu tanggal 20 ada jadwal tidak?” tanyanya kepada salah satu stafnya. “Kalau tidak ada, tolong disusun jadwalnya, biar Saya bisa berkunjung ke Ledokombo, perintah bapak bupati kepada stafnya. Di tengah-tengah kami berdiskusi dengan beliau, beliau mulai mengambil kertas pakpir, mengisinya dengan tembakau dan setelah menatanya beliau mulai memilin kertas tersebut menjadi sebatang rokok. Untuk merekatkan kedua ujung kertas pakpirnya, beliau pun menggunakan perekat alami, yakni air liurnya sendiri. Tak lama, api mulai membakar rokok hasil lintingannya. Aroma tembakau pun mulai menusuk hidung kami. Namun beliau dengan santai tetap melanjutkan pembicaraan dengan kami.
Bapak bupati yang merokok ketika berdiskusi di depan kami, membuat kami sedikit illfeel. Hal ini disebabkan oleh kurang adanya rasa hormat kepada kami. Mungkin banyak dari peserta diskusi yang seorang perokok. Namun aku rasa, mereka (peserta diskusi yang perokok) masih memiliki rasa hormat dan sungkan. Sungkan ketika berdiskusi dengan bapak bupati sambil merokok. Sambil menaruh rokoknya di asbak, bapak bupati kemudian bertanya, “Terus kenapa pelaksanaan festival egrang harus di Ledokombo, bukankah Kita memiliki alun-alun yang luas dan berada di pusat kota?” tanya bapak bupati. “Memang kami memfokuskan diri untuk memberdayakan masyarakat di Ledokombo terlebih dahulu,” jelas Bu Ciciek. “Terus rencana jangka panjang temen-temen di Tanoker ini apa?” “Mimpi Kami ialah ingin membuat museum permainan tradisional,” papar Bu Ciciek. “Ayo ikut Saya sebentar,” ajak bapak bupati kepada kami. Kami pun kemudian diajak oleh beliau masuk ke dalam ruang kerjanya. Baru pertama kali ini, aku bisa masuk ke dalam ruang kerja bapak bupati. Ruangannya cukup lebar. Di dalamnya terdapat beberapa hiasan, vandel dan beberapa penghargaan. Beberapa harian surat kabar nasional juga tergeletak di mejanya. Bapak bupati pun menggiring kami ke dua buah maket. Satu buah maket tampak seperti ruang terbuka hijau dengan stadion di dalamnya dan satu buah lagi merupakan maket dari stadion itu sendiri. “Rencanya Saya mau membuat ruang terbuka hijau.” “Mungkin nanti Saya bisa memberikan beberapa hektar lahan untuk Anda kelola menjadi sebuah musium permainan tradisional,” jelas bapak Bupati. Setelah mendengarkan beberapa penjelasan mengenai proyek pembangunan ruang terbuka hijau dan stadion, kami pun kembali ke ruang diskusi. Tidak lama pembicaraan diantara kami pun berakhir. Hasil pembicaraan tersebut ialah beliau sangat mendukung acara festival egrang yang akan kami selenggarakan dan beliau juga berjanji akan mengunjungi kami pada tanggal 20.
Melalui acara Kamisan ini saya banyak belajar. Belajar bagaimana seharusnya saya bisa memperlakukan rakyat saya kelak ketika menjadi pemimpin. Belajar untuk bisa lebih dekat lagi dengan rakyat dengan mendatanginya secara langsung dan bukan mereka yang saya panggil ke dalam istana saya. Dan tiba-tiba saya teringat dengan ucapan Pak Supo, “kata Prof Kusnadi, pemimpin dan rakyatnya itu ibarat jari-jari tangan.” “Pemimpin itu disimbolkan dengan jempol dan rakyat disimbolkan dengan keempat jari lainnya.” Saya pun sempat berpikir apa maksud dari kalimat Pak Supo. Namun kita coba bersama-sama. Coba dekatkan keempat jari anda ke jempol anda. Susah bukan? Dan coba anda bandingkan jempol anda yang mendekati keempat jari anda. Mudah bukan? Pemimpin pun seperti itu, lebih mudah bagi pemimpin mendekati rakyatnya dibandingkan dengan rakyat yang harus mendekati pemimpinnya. Namun dalam acara Kamisan ini saya tidak melihat raja kecil tersebut layak dijadikan sebagai seorang pemimpin. Raja kecil tersebut masih belum bisa mengayomi dan bersikap santun ketika menemui rakyatnya di istananya. Semoga kelak terpilih raja kecil yang benar-benar bisa berperan seperti ibu jari yang mengayomi jari-jari yang lainnya.

Selasa, 15 Mei 2012

Hadiah Dari Desa



KKN merupakan salah satu kado terindah ketika saya menjadi mahasiswa. Dan kado tersebut tidak bermakna tanpa kalian. Ketika saya menuliskan pengalaman ini, selalu terkenang masa-masa pada saat kita di balai desa. Terima kasih Danang atas kebijaksanaan mu ketika menjadi kordes. Terima kasih Rohman atas kesabaran mu ketika menengahi saya dan Thania yang berbeda pendapat. Terima kasih Thania dan Bunga atas masakan-masakan yang engkau persembahkan kepada kami. Terima kasih Hana, Shafrina dan Wahyu yang selalu kompak dalam masalah cuci piring.
(Gangsar Parikesit)

Mendengar kata Kuliah Kerja Nyata (KKN), mungkin yang terbersit di benak seluruh  mahasiswa yang akan menjalaninya ialah suatu kegiatan di mana mahasiswa akan menghabiskan waktu selama satu bulan setengah (namun itu juga tergantung kebijakan di masing-masing kampus) bersama teman-teman lintas jurusan , bekerjsa sama, bahu-membahu untuk memberdayakan masyarakat desa.  Terasa mudah bagi mereka (mahasiswa)  yang memang terlahir dengan kemampuan bersosialisasi cukup baik. Namun sebaliknya, kegiatan ini (KKN) menjadi seperti sebuah penyiksaan ketika dihadapkan dengan mereka yang sulit bergaul, apa lagi bagi mereka yang mengidap xenophobia.
Namun demi mendapatkan selembar kertas ijazah yang ditandatangani oleh rektor, maka mahasiswa suka tidak suka dan  mau tidak mau akan tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Entah nanti dalam pelaksanaan kegiatan tersebut menemukan sebuah potongan kebahagiaan hidup ataupun sepotong kegetiran hidup. Ya sepotong kebahagiaan hidup. Karena selama 45 hari, mereka akan  menemukan sepercik rasa. Rasa cinta. Bagaimana mungkin kegiatan KKN yang berlangsung selama 45 hari dapat dikatakan terasa begitu cepat kalau tidak ada perasaan cinta di dalamnya? Energi cinta memang sungguh luar biasa, mampu merubah semangat hidup seseorang. Mampu merubah rasa masakan yang awalnya hanya berlaukkan tahu dan tempe , menjadi seperti makan dengan berlaukkan daging asap. Yang awalnya mengalami rasa kesunyian karena sangat jauh dari keramaian, mendadak berubah menjadi keceriaan, canda dan tawa.
Sedangkan bagi mereka yang sulit untuk bergaul, sang roda waktu terasa enggan untuk bergerak. Apa lagi ketika mendapatkan kelompok yang anggotanya memiliki sifat yang berbeda-beda dan kurang mengerti akan pentingnya toleransi. Sungguh, hari demi hari akan diisi dengan keluhan demi keluhan. Apa lagi bagi sebagian mahasiswa yang memang terlahir dari latar belakang keluarga yang sangat mapan dan terbiasa hidup layaknya kaum borjuis serta tidak terbiasa hidup dalam keterbatasan, tentu beban penderitaan akan semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena selama pelaksanaan KKN, kita akan dihadapkan dengan kondisi apa adanya atau biasa juga disebut dengan keterbatasan.
Sebelum menjalani kegiatan KKN, bisa kita temukan adanya perbenturan antara harapan dan ketakutan. Ya, saya menyebutnya harapan ketika banyak yang berdoa agar  mendapatkan desa yang sangat dekat jaraknya dengan kota. Hal ini sangat wajar, karena daerah yang dekat dengan kota tentu peradabannya lebih modern dibandingkan daerah yang jauh dengan perkotaan. Sedangkan semakin jauh dari kota maka peradabannya akan semakin jauh tertinggal. Selain itu semakin dekat dengan kota, semakin banyak masyarakatnya yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun semakin jauh dengan perkotaan semakin sedikit masyarakatnya yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Paling tidak kalau semakin jauh dengan perkotaan yang bisa menggunakan bahasa Indonesia paling hanya perangkat desa, bidan, babinsa atau guru-guru yang kebetulan tinggal di desa. Selain itu jarak desa yang dekat dengan kota memungkinkan kita untuk dapat sering pulang untuk mengerjakan tugas kampus, mengerjakan penelitian atau sekedar menjenguk kekasih hati.
Dalam hal menjenguk kekasih hati jangan dianggap remeh, justru menjenguk kekasih hati yang ditinggalkan selama KKN menjadi lebih penting dan lebih sulit dibandingkan dengan mengerjakan tugas kampus dan penelitian. Alasan kita sedang melaksanakan KKN mungkin terasa cukup logis ketika kita telat mengumpulkan tugas-tugas kuliah. Dosen pun mungkin akan memakluminya. Namun sangat sulit menjelaskan kondisi selama KKN kepada kekasih hati. Hal ini disebabkan bagi mereka yang melaksanakan KKN dan telah memiliki kekasih hati sering kali mengalami miss comunication. Kesibukan selama pelaksanaan program-program KKN, sinyal telepon seluler yang terbatas, hingga kerekatan sesama anggota kelompok tentu mampu mematik api cemburu yang dapat berujung pada PHK (Pemutusan Hubungan Kekasih).
Namun bagaimana dengan nasib mereka yang kurang beruntung dan mendapatkan desa yang sangat terpencil? Hal ini dapat melemahkan semangat pelaksanaan KKN. Bagiamana mau bersemangat kalau di desa yang terpencil tersebut belum mendapatkan aliran listrik, sarana Mandi Cuci dan Kakus (MCK) yang tidak memenuhi standar kesehatan serta masyarakatnya yang masih bersikap konservatif. Selain itu, semakin jauh letak desa dengan perkotaan semakin berkurang juga frekuensi kita untuk dapat bertemu dengan kekasih hati.
Tidak hanya itu, jauh dari kota berarti kondisi jalan menuju desa tersebut biasanya juga sangat jelek dan jika matahari mulai terbenam jalanan menuju desa menjadi tempat mencari nafkah bagi sebagian pelaku kriminal. Hal yang tidak kalah ditakuti ialah masalah bahasa, sudah menjadi rahasia umum bahwa Jember merupakan daerah pendalungan. Dimana masyarakat Jember merupakan masyarakat pendatang (tidak ada suku asli Jember) yang di dominasi oleh pendatang dari suku Madura dan Jawa. Masyarakat Jawa lebih banyak bermukim di daerah Jember bagian selatan, sedangkan masyarakat Madura lebih banyak bermukim di daerah Jember bagian utara. Semakin jauh letak desa dan berada di daerah Jember Utara maka sudah dapat dipastikan hanya sedikit dari masyarakatnya yang bisa berbahasa Indonesia, begitu pun sebaliknya semakin jauh letak desa dan berada di daerah Jember Selatan maka sudah dipastikan mayoritas penduduknya akan berbicara dalam bahasa Jawa. Namun ada juga beberapa daerah di Jember Selatan yang mayoritas penduduknya berbahasa Madura.
Oleh sebab itu, ketika mahasiswa mengisi formulir untuk mengikuti program KKN, terdapat satu pertanyaan. Pertanyaan tersebut ialah, “Bahasa daerah mana yang Anda kuasai?” Pertanyaan tersebut menjadi penting bagi pihak universitas untuk mengetahui seberapa banyak mahasiswa yang bisa berbahasa Madura dan Jawa. Selain itu bisa kita amati teman-teman yang menjadi Koordinator Desa (Kordes) ialah mereka yang mampu berbahasa Madura namun tidak menutup kemungkinan yang menjadi Kordes ialah mereka yang bisa berbahasa Jawa atau mungkin mahasiswa angkatan atas karena dianggap sebagai senior.
Setelah proses pendaftaran yang melelahkan selesai, tiba saatnya seluruh calon peserta KKN mengikuti acara pembekalan. Acara pembekalan ini bersifat wajib, sekali saja membolos untuk salah satu materi pembakalan, maka kita akan dipersilakan untuk mengikti KKN gelombang berikutnya. Pelaksanaan pembekalan dilaksanakan di sebuah gedung yang cukup tua, dengan tanaman-tanaman berakar tunggang dan berdaun lebat yang terdapat ditengah gedung tersebut menjadikan gedung tersebut tampak semakin berumur. Ya gedung itu bernama gedung Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM). Karena jumlah peserta KKN yang cukup banyak dan berbanding terbalik dengan kapasitas gedung yang tersedia, maka pembekalan KKN pun dibagi menjadi tiga hari.
Ada yang aneh menurut saya, seharusnya esensi dari pembekalan ialah belajar. Belajar bagaimana ketika nanti kita diterjunkan ke desa, kita tidak kaget dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat desa serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga tidak mengalami shock culture.  Namun yang saya amati, justru pembekalan dijadikan sebagai ajang perkenalan yang diharapkan berujung pada mendapatkan kekasih baru. Hal ini dapat dilihat dari percakapan-percakapan para peserta pembekalan yang menjurus kepada kegiatan mencari jodoh. “Eh coba liat cewe yang baru datang tersebut, cantik yo.” Terus pernyataan kedua ialah,Kira-kira Dia kuliah di jurusan apa ya?”. Dan pernyataan terakhir ialah berupa untaian doa yang indah, Mudah-mudahan Tuhan menginzinkan Saya dapat satu kelompok dengannya.” Percakapan ini tidak hanya terjadi pada kaum adam, namun juga kaum hawa, yang juga masih berstatus single ataupun kadang telah memiliki kekasih namun mencari ‘selingan’ karena mengalami kejenuhan dalam suatu hubungan. Oleh sebab itu sangat wajar, di hari banyak berbaurnya lawan jenis yang  berbeda-beda jurusan, aroma deodorant dan parfum pun sangat menusuk hidung.  Para peserta pembekalan berusaha tampil all out, untuk dapat menarik perhatian lawan jenisnya.
Pada saat pembekalan juga banyak mahasiswa yang masih duduk berkelompok dengan teman-teman satu jurusannya. Hal ini wajar karena manusia merasa lebih nyaman berada dalam komunitasnya dibandingkan harus menyesuaikan dengan komunitas yang baru. Ya walaupun demikian, masih banyak dari mereka yang mencuri-curi kesempatan untuk berkenalan atau bahkan bertukar-tukaran nomor  HP. Modusnya klasik, pertanyaan pertama ialah, “Mbak/Mas dari jurusan apa?” kemudian kalau yang tanya kebetulan punya teman yang satu jurusan, si penanya akan langsung melemparkan pertanyaan berikutnya,Mbak/Mas kenal tidak dengan teman Saya yang bernama .....” Ketika anda telah menemukan topik bersama maka obrolan-obrolan berikutnya akan mengalir dengan sendirinya. Mulai dari menanyakan domisili, alamat kos, hobi dan juga saling bertukar informasi mengenai tempat-tempat kuliner di Jember. Obrolan semakin disyukuri  dan tidak terasa sia-sia ketika yang ditanyai tersebut belum mempunyai tambatan hati.
Jujur saja banyak kaum adam dan kaum hawa yang belum memiliki tambatan hati akan berusaha untuk mencari pasangan melalui kegiatan KKN. Banyak orang yang bilang sih cinta lokasi. Bagaimana Cupid tidak melepaskan panah cinta dari busurnya kalau hidup satu atap namun beda kamar, makan bersama, tertawa bersama, melaksanakan program bersama. Ya dari perhatian-perhatian yang kecil dan rutin itulah dapat menimbulkan perasaan peduli yang akan meningkat menjadi perasaan cinta. Peribahasa Jawa mengatakan ‘Witing tresno jalaran soko kulino’. Kalau saya sendiri lebih senang memberikan kepanjangan dari KKN ialah ‘Kuliah Kerja Nyinta’ kalau kondisinya memang seperti itu. Tapi paling tidak KKN mampu memberikan secercah harapan bagi mahasiswa yang belum memiliki pasangan.
Bel berbunyi, kami semua dikumpulkan di sebuah ruang yang cukup besar, di dalamnya berjejer kursi-kursi yang tertata rapi. Di depan terdapat viewer dan layar putih polos. Pemateri pun datang silih berganti. Seperti biasa suasana pagi mampu mendorong untuk tetap fokus menyimak apa yang disampaikan pemateri. Namun lambat laun, konsentrasi mulai menurun.  Dan materi-materi yang disampaikan oleh pemateri mulai dianggap sebagai angin lalu. Suasana di dalam kelas juga kurang kondusif, karena jumlah peserta yang terlalu banyak. Namun walaupun membosankan seluruh mahasiswa berusaha sabar untuk mengikutinya.
Walaupun hari pelaksanaan pembekalan memang cukup panjang, karena banyak materi yang harus disampaikan kepada mahasiswa. Namun menurut saya ada hal yang tertinggal. Materi-materi pembekalan seperti, penyuluhan Keluarga Berencana (KB), koperasi, teknologi tepat guna serta kewirausahaan memang bagus dan memang sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang ada di desa, seperti memiliki banyak anak, pernikahan usia dini, rendahnya tingkat pendidikan matinya koperasi, pengolahan ladang yang sangat bersifat tradisional serta hasil ladang yang tidak melimpah dan masih banyaknya masyarakat desa yang belum berani untuk berwiraswasta.  Materi-materi tersebut memang didesain dengan permasalahan klasik di atas yang dapat ditemukan hampir di seluruh desa di Indonesia. Banyak dari kita yang menganggap bahwa masalah-masalah di atas ialah sebuah problem yang harus dipecahkan. Sehingga ketika seluruh problem tersebut dapat dipecahkan masyarakat desa akan mampu tumbuh mandiri. Banyak dari kita juga yang berpikir bahwa sifat ketradisionalan mereka (masyarakat desa) harus diubah untuk menuju masyrakat modern.
Namun sebenarnya sifat ketradisionalan masyarakat desa tidak sepenuhnya salah. Karena hakikatnya dalam suatu masyarakat tentu memiliki nilai-nilai yang dianut dan sudah mendarah daging. Di mana nilai-nilai tersebut telah disesuaikan dengan kondisi geografis mereka tinggal. Kearifan lokal. Dua kata yang sebenarnya bersifat relatif. Hal ini yang justru kurang ditekankan pada saat pembekalan. Saya menganggap untuk melakukan sebuah transformasi sosial juga tidak seharusnya meninggalkan budaya-budaya yang telah melekat kuat dalam masyarakat. Karena sudah sepantasnyalah  kita menjadikan masyarakat desa sebagai sebuah subjek dalam melaksanakan pembangunan, bukan dijadikan sebuah objek atau hanya menjadikannya percobaan dengan sistem trial and error.
Jadwal pembekalan pun berakhir, tahap berikutnya yang harus kami lalui ialah ujian pembekalan. Seperti biasa karena prasarana yang terbatas kami harus melaksanakan ujian secara bergantian. Kami diwajibkan membawa pensil 2B, karena pihak LPM menggunakan Lembar Jawab Komputer (LJK). Jumlah soalnya cukup banyak dengan waktu yang cukup sempit. Namun saya bersyukur karena soal tersebut merupakan pilihan ganda bukan essay. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa ujian pembekalan ini hanyalah sebuah formalitas belaka. Namun rumor seperti itu kebenarannya juga patut dipertanyakan, karena regulasi dari LPM mengatakan apabila nilainya kurang baik, maka diharapkan ikut KKN gelombang berikutnya. Dan ternyata faktanya ada juga sebagian mahasiswa yang tidak lulus ujian pembekalan dan terpaksa mengikuti remidial. Sungguh perbuatan yang sia-sia jika kandas dalam tahap ini.
Ujian berakhir, dan tahap berikutnya ialah pengumuman anggota kelompok dan di mana kita harus mengabdikan diri pada masyarakat. Menurut saya tahap ini merupakan tahap yang paling mendebarkan. Hampir bisa dipastikan seluruh perasaan bercampur aduk. Ada yang asik dengan imajinasinya sendiri dengan dapat berkelompok dengan yang ganteng atau dengan yang cantik, namun ada juga yang takut dengan hal sebaliknya. Namun  tidak bisa dipungkiri ialah ketakutan untuk ditempatkan di desa terpencil.
Setelah pembagian kelompok diumumkan, langkah selanjutnya yang harus ditempuh oleh mahasiswa yang mau KKN ialah mencari anggota kelompoknya. Hal ini biasanya dilakukan dengan saling bertukar informasi dengan kawan-kawan satu kos yang berbeda-beda jurusan. Komposisi anggota kelompok KKN biasanya terdiri dari anak kedokteran, pertanian, teknik dan ekonomi. Jurusan lainnya bisa menyesuaikan, hal ini disebabkan untuk terjun di masyarakat desa, memang yang sering dibutuhkan ialah di bidang kesehatan, teknologi, pertanian dan kesejahteraan. Namun kompisisi tersebut juga bisa berubah sesuai dengan jumlah dan proporsi mahasiswa yang mendaftar KKN.
Penerjunan pun dimulai, langkah awal mahasiswa KKN ketika berada di desa ialah berkenalan dengan perangkat desa, bidan, pak kampung (istilah untuk kepala dusun dalam bahasa Madura), babinsa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, seperti tokoh-tokoh keagamaan dan guru-guru. Selama kegiatan KKN, saya dan teman-teman  memutuskan untuk tinggal di balai desa dan menjadikan balai desa sebagai posko. Keputusan teman-teman satu kelompok (kami) untuk tinggal di balai desa dibandingkan tinggal di rumah warga karena balai desa merupakan tempat yang strategis untuk mengumpulkan masyarakat desa. Selain itu, sungkan juga jika kami harus tinggal di rumah warga desa. Balai desa yang kami tinggali tidak terlalu besar. Seperti bangunan balai desa pada umumnya bangunan balai desa terdiri dari ruang PKK, perpustakaan, kamar mandi, ruang kepala desa dan ruang administrasi. Kami memutuskan bahwa para pria tidur di ruangan perpustakaan sedangkan para wanita tidur di ruangan PKK. Ruangan PKK jauh lebih besar dibandingkan dengan ruangan perpusktakaan. Oleh sebab itu, ruangan PKK selain kami sulap  menjadi ruangan untuk tidur para wanita juga kami sulap menjadi dapur dan juga garasi. Sedangkan ruang perpustakaan kami ubah menjadi ruang kerja. Di mana printer dan alat-alat tulis, kami letakkan di dalamnya.
Gambar 1. Pengenalan Diri Kepada Warga Desa

Perlu diketahui bahwa kami telah musyawarah mufakat. Selama di desa, teman-teman wanita akan memasak. Jujur saja peran wanita dalam KKN tidak dapat dianggap remeh. Karena teman-teman wanita merupakan tulang punggung kegiatan KKN. Bolehlah teman-teman pria membanggakan diri dalam kecekatannya mengurusi kegiatan surat-menyurat, membina hubungan dengan masyarakat desa serta kesiapsiagaan ketika ada masalah-masalah di desa. Tapi itu semua tidak akan dapat berjalan ketika perut kelaparan. Oleh sebab itu menurut saya sebenarnya pada saat KKN wanita memiliki bargaining position yang lebih tinggi dibandingkan pria.
Gambar 2. Makan Pagi Bersama

Di kelompok kami juga telah disepakati bahwa para pria yang akan berurusan dengan lingkungan eksternal sedangkan para wanita mengurusi masalah-masalah domestik. Namun itu tidak bersifat kaku, karena dalam pelaksanaan KKN semua harus bersifat fleksibel agar dapat berjalan dengan lancar. Ada hal yang unik dalam dinamika kelompok kami. Bagi temen-temen wanita yang belum bisa memasak biasanya akan menempati hierarki ke dua setelah tukang masak, yakni menjadi asisten tukang masak yang bertugas untuk memotong-motong bahan makanan atau menjadi tukang cuci piring. Sedangkan para pria hanyalah menjadi tukang air, tukang parkir dan seksi sibuk yang kerjaannya mondar-mandir mengurusi keperluan KKN lainnya.
Untuk profesi sebagai tukang air sebenarnya merupakan profesi tambahan karena kondisi air di balai desa yang sangat memprihatinkan. Sumber mata air satu-satunya di balai desa kami hanyalah sebuah sumur tua dengan kedalaman hanya berkisar 7 meter dengan air yang telah terkontaminasi dengan tanah. Itu pun semakin diperparah karena sumur tua tersebut juga dijadikan sandaran hidup oleh sebuah keluarga dan dijadikan sumber mata air untuk keperluan kamar mandi sekolah yang letaknya di sebelah balai desa kami.  Jadi suka tidak suka kami harus berbagi air dan kamar mandi. Oleh sebab itu, untuk keperluan memasak sehari-hari para pria harus mengambil air dari kamar mandi umum yang berjarak sekitar 700 meter dari balai desa. Bahkan sering kali air sumur yang sangat kotor tidak bisa digunakan untuk mandi dan akhirnya kami harus mandi di kamar mandi umum.
Ketika siang berganti malam kondisi di balai desa kami sungguh sunyi senyap yang terdengar hanyalah suara jangkrik yang memecah keheningan malam. Kami kurang beruntung karena di balai desa kami tidak tersedia televisi. Suasana senyap semakin terasa karena pemandangan di depan balai desa hanyalah tanaman tebu yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa. Sehingga untuk memecah keheningan malam biasanya kami bermain kartu, ngobrol-ngobrol atau hanya menonton film. Pernah juga Kami iseng-iseng memutuskan untuk pergi ke pasar malam karena merasa suntuk berada di balai desa. Kondisi yang sunyi juga menjadikan beberapa teman wanita tidak berani pergi ke kamar mandi sendirian. Sehingga setiap ke kamar mandi mereka akan pergi bersama-sama.
Gambar 3. Pasar Malam Kecamatan

Setelah beberapa hari di desa dan kami juga telah kenal dengan beberapa masyarakat desa saya dan teman-teman mulai melakukan observasi untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terdapat di desa. Hal yang paling mudah ialah dengan menanyakan kepada perangkat desa dan masyarakat. Sungguh ironi ketika saya dan kawan-kawan memiliki semangat yang membara untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa, justru saya dan kawan-kawan tidak mampu memberikan apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan ketika ditanyai mengenai apa saja yang bisa kami bantu, rata-rata masyarakat desa membutuhkan bantuan dana yang bisa mereka gunakan untuk membangun usaha atau banyak juga masyarakat desa yang menginginkan adanya pembangunan infrastruktur desa seperti perbaikan jalan, pembangunan sumur, kamar mandi umum, perbaikan mushola dan sebagainya.
Masyarakat desa beranggapan bahwa KKN identik dengan pembangunan infrasturktur. Apa lagi ketika mereka membandingkannya dengan pelaksanaan KKN yang pernah dilakukan oleh mahasiswa dari universitas lain, di mana mereka mampu membangun sebuah kamar mandi umum atau membuatkan warga desa sumur. Sedangkan kami, sepeser pun tidak ada dana dari kampus untuk pembangunan infrastruktur. Untuk melakukan KKN saja kami harus mengeluarkan dana ekstra.
Selain itu amanat dari pihak kampus kita tidak diperkenankan untuk membantu mereka dengan cara seperti itu. Pihak kampus ingin memberikan kail dan pancing bukan ikannya. Saya sangat sependapat dengan pemikiran tersebut. Karena yang masyarakat desa butuhkan ialah ilmu mengenai bagaimana cara mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi yang ada di desa. Dengan pemberian ilmu akan mampu menciptakan masyarakat yang mandiri yang tidak bergantung pada pihak lain.
Alhamdulillah kami pun mampu menjelaskan alasan-alasan tersebut kepada masyarakat desa. Walaupun tidak bisa kamu pungkiri tersirat raut wajah mereka yang kecewa terhadap alasan yang kami kemukakan. Setelah melaksanakan observasi, kami pun bersepakat untuk merancang program-program yang dibutuhkan oleh masyarakat desa dan sesuai dengan bidang ilmu yang sedang kita pelajari di bangku universitas. Teman-teman saya yang berasal dari kedokteran, sastra Inggris, sastra Indonesia dan ekonomi dapat dengan mudahnya mengimplementasikan dan mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dan itu sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa. Namun naas, saya hanyalah seorang  mahasiswa FISIP, jurusan Hubungan Internasional. Ilmu apa yang bisa saya amalkan untuk masyarakat desa? Mengingat amanat dari pihak universitas ialah mahasiswa yang mengikuti kegiatan KKN dilarang mencampuri urusan politik internal desa. Pihak universitas takut terjadi kericuhan di desa kalau mahasiswa KKN memberikan pendidikan politik. Saya sangat bingung ketika mendesain program apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat desa.
Ketika saya tanyakan dengan teman-teman satu jurusan yang juga sedang mengikuti kegiatan KKN dan di tempatkan di desa lain ternyata pikiran kami sama. Mereka juga mengalami kebingungan dengan program apa yang harus mereka lakukan. Sangking bingungnya ada teman saya yang memberikan pelatihan merajut dan juga pelatihan membuat sirup jeruk bahkan ada pula yang memberikan penyuluhan mengenai cara memilah sampah. Sama seperti saya, kami yang kuliah di HI berusaha menghibur diri dan mengaitkan program yang kami laksanakan telah sesuai dengan masalah-masalah global yang ada saat ini.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat desa sebagian besar merupakan masalah-masalah nyata dan  sederhana yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari bukan masalah skala internasional. Masyarakat desa tentunya lebih tertarik dengan masalah kesehatan, seperti diare, ibu hamil dan menyusui. Masalah-masalah pertanian seperti mencari cara agar ladang mereka tidak gagal panen oleh hama, atau masalah-masalah mengenai pengembangan wirausaha. Mereka tidak tertarik dan peduli dengan apa itu revolusi Mesir, meningkatnya ketegangan hubungan antara Cina dan Amerika, gelombang demokratisasi di Timur Tengah dan kejadian-kejadian internasional lainnya yang jelas-jelas tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung. Dan sayapun malu ketika tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh masyarakat desa seperti pertanyaan “Mas potensi desa kita kaya tapi kita kok tidak sejahtera-sejahtera ya?”
Setelah berpikir cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk memberikan penyuluhan teknologi informasi kepada siswa SD. Saya pun sebenarnya berpikir apa korelasi program tersebut (penyuluhan teknologi informasi) dengan jurusan saya. Hmmm sedikit memaksakan mungkin ketika nanti ditanyakan oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) mengenai program yang saya lakukan dan alasan mengapa memilih program tersebut, saya akan menjelaskan bahwa dunia saat ini telah menjadi global village di mana teknologi informasi memegang peranan penting. Padahal sebenarnya anak-anak SD yang saya beri penyuluhan tidak peduli apa itu globalisasi dan segala macam tetek bengeknya. Mereka hanya tertarik dengan note book dan  net book yang ada di depannya, itu saja. Apa lagi ketika mereka di berikan kesempatan untuk bermain video games, wah mereka senang sekali, mungkin ketika mereka tidur di malam hari, mereka masih memimpikan agar bisa bermain lagi esok harinya. Mereka kebanyakan belum pernah melihat secara langsung note book dan net book. Mereka hanya mengetahuinya lewat layar kaca. Diberikan kesempatan untuk mengoperasionalkan note book dan net book merupakan hal yang mewah bagi mereka. Sehingga mereka sangat antusias dengan program yang saya selenggarakan.
Salah satu pengalaman mahal yang saya dapat ketika berada di desa ialah, bagaimana peran kegiatan keagamaan yang mampu mengalahkan pendidikan formal. Di sini bukan berarti saya meremehkan kegiatan keagamaan, namun kegiatan keagamaan yang mampu mengalahkan pendidikan formal ialah persiapan lomba dan acara kelulusan untuk sekolah agama. Kegiatan tersebut dinamakan imtihan (kelulusan sekolah agama dan perayaan keagamaan yang dijadikan satu). Saya pernah mengalami kegiatan imtihan menjadi kendala pada saat ingin melaksanakan program penyuluhan di SD mengenai pola hidup bersih dan sehat, gemar menabung sejak dini, serta pelatihan pembuatan pusi dan pantun.
Saya dan kawan-kawan sangat kaget karena jumlah murid berkurang drastis. Karena rasa penasaran, kami pun memberanikan diri untuk menanyakannya kepada kepala sekolah. Kepala sekolah menjelaskan bahwa di sini, adalah hal yang wajar ketika akan ada acara kelulusan sekolah agama yang mana di dalamnya juga diadakan acara pawai obor dan lomba tari. Banyak siswa yang lebih tertarik dan memprioritaskan persiapan kegiatan tersebut dibandingkan dengan bersekolah.
Kepala sekolah dan guru-gurupun seperti tidak berkuasa untuk melarang anak-anak untuk tidak membolos sekolah. Bagaimana larangan kepala sekolah dan guru-guru didengar, kalau orang tua mereka justru mendukung anak-anak mereka untuk mempersiapkan acara imtihan dibandingkan melihat anaknya berangkat ke sekolah. Memang kultur budaya masyarakat desa di tempat saya sangat memprioritaskan keagamaan dibandingkan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Gambar 4. Acara Pawai Obor Imtihan

Pengalaman berharga lainnya kami peroleh ketika kami akan melaksanakan program pola hidup bersih dan sehat, gemar menabung, pelatihan pembuatan puisi dan pantun serta pelatihan jurnalistik di sebuah MTS. Bangunan MTS ini masih terlihat baru. Ketika kami memasuki halamannya dan menyusuri ruang-ruang kelas di dalamnya kami sangat terkejut ketika kami melihat sebuah simbol yang menandakan gedung MTS ini dibangun melalui kerja sama antara pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Agama.
Namun gedung yang baru itu justru tidak dimanfaatkan secara optimal. Hal ini kami ketahui ketika kepala sekolahnya bercerita tentang bagaimana sulitnya beliau dan rekan guru mencari murid untuk bersekolah di sini. “Begini Dek, yang bersekolah di sini kebanyakan ialah siswa lapis dua.” “Maksudnya siswa lapis dua Pak?” “Iya Dek, kebanyakan yang bersekolah di sini ialah siswa-siswa yang tidak diterima di MTS kecamatan.” “Kebanyakan orang tua di sini kalau anaknya gak diterima di MTS kecamatan maka anak-anak diminta membantu pekerjaan orang tua di sawah.” “Bahkan untuk membujuk orang tua mereka agar anaknya disekolahkan di sini Kami harus pergi dari pintu ke pintu.” “Oleh sebab itu Adik-adik jangan heran ya, kalau mereka sedikit nakal.” Dan ternyata ketika kami memberikan penyuluhan mereka memang sangat hiper aktif. Saya sedikit memakluminya itu mungkin akibat dari paksaan. Paksaan dari pihak sekolah dan orang tua agar anaknya tetap mau bersekolah.
Lewat KKN juga, saya dan teman-teman berkesempatan merasakan enaknya menjadi seorang seleb. Merasakan bagaimana rasanya dari jarak sekitar 100 meter kedatangan kami ke sekolah dielu-elukan oleh siswa-siswa SD. Dari jarak jauh pun kami bisa mendengar suara teriakan mereka yang berteriak-teriak “KKN-KKN” kemudian berlari berhamburan keluar kelas tanpa mempedulikan gurunya yang sedang mengajar dan menyalami kami satu per satu. Benar kata Agama Islam, Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu.
Gambar 5. Penyuluhan di SDN 01 Arjasa

Ketakjuban saya juga datang pada saat saya dan kawan-kawan pria diundang untuk mengikuti pengajian di padukuhan (salah satu penyebutan daerah di desa mungkin setara dengan gabungan beberapa RW). Pengajian tersebut dilaksanakan di rumah salah satu masyarakat. Jalan menuju tempat pengajian sangat gelap sekali karena memang tidak ada penerangan. Ketika tiba di rumah masyarakat kami disambut oleh masyarakat desa yang telah datang terlebih dahulu. Kami bertiga mengucapkan salam, kemudian kami menyalami peserta pengajian yang telah datang lebih dahulu. Setelah itu kami bertiga mencari tempat kosong dan duduk bersila.
Setelah masyarakat berkumpul pengajian pun dimulai. Saya sempat kebingungan ketika pengajian akan dimulai karena tidak ada buku surah Ya’sin yang dibagikan kepada peserta pengajian. Hal ganjil lainnya ialah pengajian dilakukan dengan penerangan yang sangat minimal. Saya sempat berpikir apa ini merupakan salah satu cara agar pengajian lebih khusyuk? Namun saya mencoba sabar dan menunggu bagaimana pengajian tersebut dilaksanakan. Dan ternyata hampir seluruh peserta pengajian hapal surah Ya’sin. Kebanyakan masyarakat desa memang sudah hapal Surah yang berisi 83 ayat dan diturunkan di Mekkah tersebut. Saya merasakan pengetahuan saya mengenai teori realisme, liberalisme, kapitalisme, komunisme, globalisasi, demokratisasi yang telah saya dapatkan selama hampir 3 tahun di kampus sia-sia belaka ketika dihadapkan dengan hapalan surah Ya’sin.
Gambar 6. Pengajian di Padukuhan

Pengajianpun berakhir dan banyak masyarakat desa yang mulai mengeluhkan mengenai kehidupan mereka. Saya mendapat keluhan-keluhan yang sangat mendasar, seperti permasalahan Koperasi Unit Desa (KUD). “KUD di sini aneh” tutur salah satu masyarakat desa. “Aneh kenapa Pak?”, “Begini Cong (panggilan dalam bahasa Madura untuk anak laki-laki) kita masyarakat desa sebagai anggota KUD tidak merasakan manfaat adanya KUD.” “Di KUD kebutuhan-kebutuhan pertanian serba mahal, bahkan lebih mahal jika dibandingkan dengan  toko pertanian yang ada di kecamatan.” “Seharusnya anggota koperasikan mendapat potongan harga dan sisa hasil usaha?” “Namun Kita tidak merasakannya?” Saya langsung berpikir mencari jawaban untuk keluhan tersebut. Ketika ingin mencoba menjawabnya,tiba-tiba  salah seorang pamong tani berujar, “Begini Cong, apa mungkin di dalam KUD terdapat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)?” “Maksud Bapak?” timpal Saya. “Engkih Cong, banyak keganjilan selain itu masalah Kredit Usaha Tani (KUT) juga macet.” “Padahal yang Saya dengar dari pemerintah, pemerintah memberikan bantuan KUT ke desa-desa dengan cara pengajuan yang mudah.” “Tapi di sini Kami susah untuk mendapatkannya.” Saya berpikir apakah bahaya laten KKN juga merambah hingga pedesaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut belum sempat saya jawab, namun salah seorang masyarakat kembali mengungkapkan keluh kesahnya, “Cong, kenapa ya Kita kok gak bisa sejahtera, padahal potensi desa kita bagus, program-program mahasiswa KKN juga bagus untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat desa.”
Saya sempat mengalami dilema. Apakah harus menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat desa namun menabrak peraturan yang telah ditetapkan pihak universitas dengan tidak boleh memberikan pendidikan politik kepada masyarakat desa. Atau saya harus diam saja dan berkata tidak tahu kepada masyarakat desa demi menjalankan peraturan yang diberikan oleh pihak universitas namun itu membohongi hati nurani saya. Akhirnya saya memilih pilihan pertama, tidak apalah saya melanggar peraturan dari universitas, masyarakat desa ini mungkin harus mengetahui hal yang sebenarnya mengenai kemiskinan.
“Pak, ada yang harus Bapak ketahui mengenai kemiskinan.” “Dalam kemiskinan ada yang namanya kemiskinan struktural.” “Di mana dalam kemiskinan struktural memang struktur masyarakatlah yang tidak bisa menjadikan orang miskin bisa menjadi kaya dan orang kaya akan selalu tetap kaya.” “Sebagai contoh ialah pada masyarakat agraris yang masih menerapkan sistem feodalisme.” “Cong apa itu feodalisme?” “Feodalisme itu hubungan antara tuan tanah dan buruh tani Pak.” “Atau bisa juga kita ambil contoh dalam masyarakat nelayan.” “Di mana para nelayan yang sangat bergantung pada pemilik kapal dengan pembagian hasil tangkapan ikan yang sangat tidak adil.” Tak terasa mulut ini berbicara banya hal dan tanpa saya sadari secara tidak langsung saya memberikan pemahaman Marxisme ke masyarakat desa.
Kedua teman saya yang duduk bersila di samping saya hanya bisa menyenggol-nyenggol lutut sayadengan lutut mereka sambil membisikkan “Sar jangan diteruskan, takut nanti terjadi kisruh.” “Tidak apa InsyaAllah tidak ada masalah.” Sambil meneguk kopi cleng (hitam) yang disediakan oleh tuan rumah Saya terus mendengarkan keluhan masyarakat. “Cong, ada hal aneh lainnya, Kami di sini setiap bulan selalu membayar iuran untuk perairan, tapi hingga kini air juga tidak kunjung mengalir ke rumah Kami.”
Saya hanya bisa tertegun mendengarkan keluhan tersebut. Prediksi ku dan teman-teman ternyata keliru. Selama ini kami mengira bahwa kebiasaan MCK masyarakat desa di kali ialah disebabkan dengan tingkat pendidikan mereka (masyarakat desa) yang rendah dan mereka tidak mengetahui mengenai kebersihan. Ternyata persepsi itu salah kaprah, mereka melakukan MCK di kali karena terpaksa, air tidak mengalir ke rumah mereka.
Keluhan masyarakat pun kembali diutarakan kepada kami bertiga, “Cong, sebenarnya Kami telah mengetahui dan merasakan ketidakberesan kepepimpinan pak Tinggi (kepala desa).” “Tapi apa daya, Kami hanyalah masyarakat kecil yang tidak bisa menyampaikan keluhan tersebut kepada pak Tinggi, kalau di temani oleh adik-adik ini Kami jadi berani.”
Teringat jelas diingatanku ketika dengan bangganya Pak Sekretaris Desa (Sekdes) menceritakan keberhasilan kebijakannya perihal pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). “Di sini raskin dibagikan rata kepada seluruh masyarakat desa dek.” “Lho kok  bisa Pak?” “Bukannya raskin itu untuk keluarga miskin dan di desa ini kan tidak semuanya masyarakat miskin Pak.” Saya masih teringat  jelas ketika Pak Sekdes mengutarakan hal yang tidak logis menurut nalarku. “Gini Dek kalau yang dapat raskin hanya keluarga miskin, nanti ketika ada program-program desa seperti kerja bakti, mereka yang tidak mendapat raskin tidak mau hadir.” “Nanti mereka (yang tidak dapat raskin) biasanya bilang Kami kan tidak mendapat raskin.” “Jadi silahkan yang bekerja bakti ialah mereka yang mendapatkan raskin.” Saya langsung bersikap apriori terhadap alasan yang dikemukakan oleh Pak Sekdes. Apa alasan itu hanyalah sebuah kamuflase agar Pak Sekdes dan perangkat desa lainnya juga dapat menikmati raskin.
Melihat raut muka masyarakat desa yang mengeluhkan banyaknya beban hidup yang sedang mereka panggul membuat hati saya sedih. Ingin sekali saya melakukan advokasi terhadap permasalahan mereka. Namun apa daya saya hanyalah seorang mahasiswa yang masih sangat tersandera dengan regulasi-regulasi kampus. Dengan berat hati saya mengatakan, “Bapak-bapak maaf Kami tidak dapat membantu lebih banyak.” “Dari pihak kampus kami diamanatkan untuk tidak mencampuri urusan internal desa, apalagi memberikan pendidikan politik.” Setelah saya meneguk habis kopi cleng yang disediakan oleh tuan rumah, kami pun pamit. Di dalam perjalanan saya berpikir bahwa sungguh berat beban yang harus ditanggung oleh masyarakat desa. Namun terkadang senyum tanpa pamrih mereka selalu mengembang ketika kami berpapasan di jalan.
Tak terasa, kami telah melalui kegiatan KKN hampir satu bulan. Salah satu kenikmatan lainnya ialah kami diberikan kesempatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk melaksanakan ibadah puasa di desa. Hampir di setiap malam sebelum sahur saya dan teman-teman bisa mendengarkan suara anak-anak yang berkeliling desa membangunkan warga agar tidak telat melaksanakan ibadah sahur. Namun terkadang, saya merasa bahwa anak-anak desa terlalu bersemangat ketika membangunkan kami sahur. Bagaimana tidak bersemangat, lha sekitar jam dua mereka membangunkan kami untuk sahur. Walaupun bulan puasa, masih ada beberapa program kelompok kami yang belum selesai, salah satunya ialah pelatihan pembuatan keripik pepaya dan pembuatan shampo dari biji pepaya. Program mandiriku mengenai pelatihan teknologi informasi dan program mandiri kordesku mengenai english club  juga belum selesai semua. Namun perlahan tapi pasti, kami semua telah selesai melaksanakan seluruh program yang kami agendakan untuk memberdayakan masyarakat desa. Selain itu kami juga mulai menyusun laporan kelompok dan individu sebagai bentuk pertanggungjawaban mahasiswa KKN.
Gambar 7. Pelatihan Pembuatan Keripik Pepaya

Ada satu kenyamanan yang saya rasakan ketika menjalani ibadah sahur di desa pada saat KKN. Kalau selama kuliah saya dan teman-teman satu kosan harus bangun sekitar jam dua atau bahkan jam satu untuk berburu makan sahur di sekitar kampus, selama KKN, saya biasanya akan dibangunkan oleh teman-teman wanita. Saya sangat rindu dengan suara Thania dan Bunga yang membangunkan saya sahur. Dengan suara khasnya Thania dan Bunga biasanya berkata,“Geng, bangun, ayo sahur.” Saya juga sangat merindukan suara alarm khas dari HP Rohman agar kami tidak telat sahur atau bahkan saya sering mendengar suara dering HP Rohman yang dibangunkan oleh pacarnya. Yang tak kalah ngangenin ialah suasana bersama Danang di warung kopi di kecamatan Sukowono.
Tidak terasa hampir 45 hari kami di desa. Untuk acara perpisahan dengan warga desa, saya dan teman-teman memiliki acara sederhana saja, yakni berbuka puasa dengan perangkat desa, tokoh masyarakat dan anak-anak yatim piatu. Selain itu mendekati tanggal 17 Agustus, kami anak KKN satu kecamatan diundang oleh petugas kecamatan untuk ikut dalam acara renungan suci. Acara renungan suci dilaksanakan pada tengah malam 17 Agustus di Taman Makam Pahlawan kecamatan.
KKN memberikan saya banyak pelajaran hidup berharga. KKN memberikan saya keluarga baru. Keluarga harmonis. Keluarga yang terkadang terdapat konflik di dalamnya, namun kami segera saling memaafkan dan memahami. Keluarga yang hingga saat ini masih harmonis karena kami selalu berusaha untuk tetap menjalin komunikasi. KKN juga memberikan saya pelajaran agar dapat lebih bijak dalam menjalani hidup. Senyuman tulus warga desa. Sapaan hangat dari anak-anak SD dan MTS. Acara keagamaan yang sederhana namun berkesan. KKN juga memberikan saya pelajaran lainnya, bahwa kelak ketika saya menjadi pemimpin, saya harus bisa mensejahterakan rakyat dan menjadi pelayan bagi rakyat, bukan sebaliknya menjadi pemimpin yang hidup bahagia di atas penderitaan rakyatnya.