Rabu, 09 November 2011

Sistem Parlemen Indonesia, Quo Vadis?



Indonesia merupakan negara dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beranekaragamnya suku bangsa, bahasa, agama dan kebudayaan. Dengan tingginya tingkat heterogenitas dan sosio-demografi yang tersebar luas tentu tidaklah mudah untuk mengelolanya. Seringkali tingkat heterogenitas ini mampu memicu konflik, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal ketika rezim yang berkuasa tidak mampu mengelolanya.
Oleh sebab itu cukup sulit sebenarnya mencari pola pemerintahan atau sistem pemerintahan yang efektif dan efisien untuk negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia ini. Paling tidak Indonesia sudah mencoba berganti-ganti sistem pemerintahan, namun hingga saat ini masih belum menemukan yang sesuai. Namun sejak dahulu dalam  Undang-Undang Dasar (UUD)  1945 dituliskan bahwa Indonesia menganut  sistem  pemerintahan presidensial. Dimana presiden memiliki otoritas yang kuat dalam menjalankan roda pemerintahan dan hal ini dirasakan terlalu memberikan power yang berlebih terhadap presiden. Sistem presidensial dalam UUD 1945 memang bukanlah murni presidensial, hal ini disebabkan dengan adanya mekanisme  pertanggungjawaban  presiden  kepada  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai  lembaga  parlemen  yang  mempunyai  kedudukan  sebagai  lembaga tertinggi negara.
Namun paska kemerdekaan, dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat Pemerintah tentang Partai Politik (Parpol) pada November 1945, sistem pemerintahan berubah menjadi semi presidensiil / double executive, di mana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri (PM) / kepala pemerintahan. Latar belakang keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X sebenarnya ialah ingin membentuk opini internasional bahwa Indonesia merupakan negara demokratis. Namun dengan perubahan sistem pemerintahan ini justru menciptakan permasalahan baru. Permasalahan tersebut yakni munculnya antagonisme antara beberapa kelompok oposisi yang menyebabkan instabilitas politik dan keamanan di dalam negeri. Hal ini (antagonisme kelompok) dan pertentangan antar elit jugalah yang mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet pada saat itu.
Setelah pemerintahan Orde Lama (Orla) jatuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru (Orba) yang mulai berkuasa sejak tanggal 12 Maret 1967 sampai dengan 21 Mei 1998, Presiden Soeharto beranggapan bahwa Parpol menjadi biang keladi instabilitas politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950 hingga 1965. Oleh karena itu Presiden Soeharto beranggapan bahwa untuk menciptakan stabilitas politik domestik, penyederhanaan Parpol perlu dilakukan. Melalui  Undang –Undang No 3 tahun 1975 Parpol di Indonesia disederhanakan.
Namun selama rezim Orba berkuasa, pemilihan presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh MPR. Karena pada saat itu mayoritas anggota MPR ialah Golkar di mana Golkar merupakan perpanjangan tangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya Angkatan Darat (AD), maka secara otomatis ketika pemilihan presiden, maka Presiden Soeharto akan terpilih secara aklamasi. Selama Orba pula, pemerintah harus membayar ongkos yang mahal, karena pemerintah tidak mendidik masyarakatnya untuk mengerti hakikat nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi pada saat itu hanyalah demokrasi prosedural bukan substansial. Hal ini berdampak pada Indonesia di masa reformasi. Di mana dalam reformasi ini Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan sangat demokratis, one man one vote. Namun masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan hal seperti ini, khususnya bagi calon yang kalah itu sendiri dengan pendukungnya. Dalam Pemilu hingga saat ini terkadang mereka masih belum bisa menerima kekalahan. Padahal esensi demokrasi ialah untuk memanajemen anarki. Selain itu, Orba juga sebenarnya tidak menjalankan demokrasi secara semestinya. Karena rezim demokrasi yang sesungguhnya tidak melibatkan militer ke dalam politik.
Dalam masa Orba kita juga dapat melihat bahwa Indonesia telah kembali kepada sistem presidensial. Hal ini ditunjukkan dengan kekuasaan presiden Soeharto yang cukup luas, bahkan fungsi MPR yang awalnya sebagai check and balances tidak terjadi semasa Orba. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah tidak mengalami banyak hambatan yang berarti. Namun di sisi lain MPR tidak berjalan secara fungsinya yaitu sebagai control terhadap rezim yang berkuasa. Hal ini sangat wajar karena pada saat itu anggota MPR kebanyakan merupakan kroni-kroni dari Presiden Soeharto.
Karena banyak kesewenang-wenangan yang terjadi selama rezim Orba berkuasa, maka pada tahun 1998 banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah  mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemrintah daerah untuk  menciptakan mekanisme  check and balances dalam proses politik.
Namun menurut penulis dengan mengamandemen UUD 45 tidak menjadikan pemerintahan lebih efektif dan efisien. Amandemen UUD 1945 tahun 2002 justru menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif. Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan memenangi Pemilu hanya lewat satu putaran, justru saat ini tidak mampu menjalankan  pemerintahannya secara efektif dan efisien karena sulitnya mendapat dukungan penuh dari koalisi Parpol di DPR. Koalisi yang kegemukan juga menjadikan permasalahan semakin pelik karena presiden tersandera oleh bagaimana mengakomodir Parpol koalisinya agar tetap loyal kepada presiden.
Hal ini dapat kita lihat dalam susunan kabinet Indonesia bersatu jilid II, di mana yang duduk sebagai menteri kebanyakan ialah orang-orang Parpol bukan dari kalangan profesional. Seharusnya dalam sistem presidensial pembentukan kabinet ialah hak preogratif presiden. Namun presiden sangat tersandera dengan ancaman-ancaman dari Parpol koalisi. Kita juga dapat melihat bagaimana pencitraan yang berusaha dibangun pemerintah bahwa pemerintah tidak hanya mengakomodir kepentingan Parpol namun juga mendengarkan aspirasi rakyatnya agar di dalam kabinet duduk kalangan profesional. Salah satu cara yang dibangun oleh pemerintah ialah dengan adanya penambahan pos wakil menteri, di mana wakil menteri di sini diduduki oleh kalangan profesional. Menurut penulis dengan adanya wakil menteri di sini justru hanya akan menambah pembengkakan anggaran. Selain itu adanya penambahan pos wakil menteri menjadikan pemerintahan tidak efektif dan efisien, karena sebenarnya menteri saja sudah cukup untuk menangani permasalahan-permasalahan yang ada.
Formasi permanen yang ideal mungkin menjadi kunci untuk memecah kebuntuan selama ini. Sebenarnya untuk jumlah penduduk yang besar dan memiliki keanekargaman yang cukup tinggi penyederhanaan Parpol dirasa kurang bijak. Hal ini juga bertentangan dengan pasal 6A (2A) UUD 1945. Selain itu sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi Parpol diantaranya ialah untuk sarana komunikasi politik, sosialisasi politik dan sebagai sarana pengatur konflik. Namun di sisi lain, legislatif yang terlalu kuat juga tidak baik. Karena jika legislatif diberikan otoritias terlalu kuat dan posisi pemerintah di parlemen merupakan minoritas tentu akan akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Hal ini terlihat sangat jelas pada pemerintahan SBY dan Budiono. Keseimbangan menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.
Sudah saatnya kita kembali kepada UUD 45 dimana kita menggunakan sistem presidensial, namun legislatif tetap diberikan kewenangan untuk mendapatkan hak petisi, budget, interprestasi, amandemen, angket, inisiatif dan hak untuk mengajukan pernyataan pendapat. Selain itu sudah saatnya kita kembali kepada Pancasila dimana dalam sila ke empat termaktub “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Indonesia yang penduduknya besar dan beragam maka yang cocok ialah dengan adanya perwakilan-perwakilan rakyat dalam parlemen dan wakil rakyat tersebut  mengutamakan musyawarah mufakat dibandingkan mekanisme votting.
Selain itu budaya politik di Indonesia di mana masyarakatnya masih banyak yang belum mengerti akan politik dan hanya mengikuti pimpinan mereka, maka proses pemilihan anggota parlemen sebaiknya tidak langsung memilih calon legislatif, melainkan cukup dengan hanya memilih Parpolnya saja. Biarkan Parpol yang memilih kandidat terbaiknya untuk perwakilannya dalam parlemen. Karena jika calon perorangan yang maju dan berkampanye tentu akan memakan biaya kampanye yang besar. Biaya kampanye yang sangat besar menjadikan calon legislatif yang telah duduk di dalam parlemen lupa dengan tugasnya dan hanya berorientasikan untuk mengembalikkan biaya kampanye yang telah mereka keluarkan serta berupaya untuk memperjuangkan kepentingan Parpolnya Maka kita dapat melihat bahwa banyak Undang-Undang yang tidak berpihak kepada rakyat, namun berpihak pada kantong anggota parlemen.  Selain itu hal ini juga bertendensi untuk meningkatnya korupsi. Masalah bail out bank Century juga merupakan sebuah contoh di mana legislatif terlalu kuat dan Parpol begitu terfragmentasi dalam parlemen. Hal seperti ini jika terus berlanjut menurut penulis sungguh tidak sehat bagi pemerintahan di negeri ini.
    Untuk mengatasi berbagai kebuntuan politik penulis lebih menyerukan kepada komposisi anggota parlemen yang berimbang. Di mana jumlah berimbang antara anggota yang berasal dari Parpol dan perwakilan daerah (DPD). Hal ini bertujuan agar anggota parlemen tidak lupa dengan tugasnya, yakni sebagai check and balances serta yang tidak kalah penting ialah mendengarkan aspirasi daerah perwakilannya. Memang calon legislatif dari Parpol juga merupakan perwakilan dari daerah, namun rasa hutang budi dan memperjuangkan kepentingan Parpol akan mampu mendistorsi tugasnya sebagai wakil rakyat.
Penulis kurang menyetujui adanya peningkatan parliamentary threshold, karena hal ini sama saja dengan penyederhanaan Parpol. Penyerderhanaan Parpol juga tidak menjamin adanya efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Karena menurut penulis yang penting ialah tiap-tiap anggota DPR mampu meredam arogansi dari kepentingan dirinya serta Parpolnya. Sudah seharusnya baik oposisi maupun koalisi ketika menggodok RUU selalu berorientasikan pada kepentingan rakyat bukan dirinya ataupun Parpolnya. Selain itu, ketika kebijakan yang diambil pemerintah pro dengan rakyat kecil maka oposisi sudah seharusnya mendukungnya, bukan menghambatnya dan ketika kebijakan tersebut tidak pro dengan rakyat kecil maka sudah sepantasnya koalisi pun berfungsi sebagai check and balances.
Adanya pemisahan antara Pemilu lokal dan nasional juga sangat penting. Karena dengan adanya pemilu sela, masyarakat tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menilai kinerja pemerintah. Pemilu sela juga dapat menjadi refleksi bagi rezim yang berkuasa apakah rakyat masih senang dipimpinya atau tidak. Namun adanya Pemilu Presiden, DPR dan DPD yang bersamaan sudah cukup bagus karena mampu menghemat keuangan negara. Sistem presidensial yang seimbang yang mensyaratkan legitmasi yang kuat, kewenagan konstitusional yang memadai, dukungan politik yang cukup, dan kontrol efektif juga seharusnya berlaku juga untuk anggota parlemen.
Sudah saatnya kita tidak memprioritaskan kepentingan individu ataupun kepentingan golongan demi kepentingan seluruh bangsa ini. Dan sudah seharusnya negara ini tidak selalu bereksperimen trial and error dalam mencari format yang tepat untuk negara ini. Karena sebenarnya rakyat Indonesia ialah masyarakat materialis di mana urusan kebutuhan hidup (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) masih sulit untuk terpenuhi. Entah bagaimanapun format parlemennya yang penting mampu mensejahterakan rakyat. Salam perubahan.

Kamis, 16 Juni 2011

Refleksi Pembangunan di Indonesia


Negara Indonesia sudah hampir berusia 66 tahun. Semenjak Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mulai menata sistem politik dan sistem perekonomiannya. Namun semenjak zaman Orde Lama (Orla) di bawah pemerintahan Soekarno, perekonomian Indonesia justru semakin terpuruk, hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi yang hampir mencapai seribu persen pada saat pertengahan 1960.[1] Di sisi lain, Presiden Soekarno lebih concern terhadap politik luar negeri yang konfrontatif dan mengabaikan kondisi perekonomian serta pembangunan. Hal ini jugalah (permasalahan perekonomian) yang akhirnya menyebabkan Soekarno jatuh dari tampuk kekuasaannya.
Setelah rezim Soekarno jatuh dan digantikan oleh Presiden Soeharto, Indonesia mulai memprioritaskan perekonomian dan pembangunan. Prestasi pembangunan yang dilakukan pada masa Presiden Soeharto sungguh mencengangkan. Indonesia mampu mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pertahun, swasembada beras tahun 1984, jumlah orang miskin berkurang dari sekitar 56% pada tahun 1970 menjadi sekitar 13% tahun 1996.[2] Prestasi yang mengagumkan inilah yang menjadikan Indonesia dianggap sebagai salah satu macan Asia, setelah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Modernisasi merupakan salah satu teori yang digunakan untuk membangun perekonomian di Indonesia. Teori modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan gagasan tentang perubahan sosial. Modernisasi sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner dan bersifat kompleks. Teori ini juga dipergunakan dikalangan interdisiplin, seperti dalam kajian sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan bahkan agama.[3] Sehingga modernisasi di sini ialah memodernkan beberapa aspek (perekonomian, teknologi, masyarakat dan lain-lain) di negara yang sedang berkembang yang dirasa tertinggal.
Dalam konteks pembangunan yang dilakukan selama periode pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia memang menjadikan negara-negara Barat sebagai kiblat pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pada saat Presiden Soekarno lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Presiden Soeharto, kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami carut-marut. Untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini Presiden Soeharto membutuhkan pinjaman dari negara-negara Barat. Hal inilah yang menjadikan Presiden Soeharto dekat dengan Barat. Dalam melakukan pembangunan pula Indonesia mengikuti ‘resep-resep’ pembangunan dari Barat. Strategi-strategi yang diimplementasikan oleh Presiden Soeharto, diantaranya:
·      mengejar pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang ingin menjadi negara maju seperti negara-negara Barat, mempunyai strategi mengejar pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi di gagas oleh Walt Withman Rostow. Rostow berpendapat bahwa ada 5 tahapan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, yaitu masyarakat tradisional, prasyarat tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan, dan konsumsi massa yang tinggi.[4] Untuk menjadi negara yang modern, suatu negara yang sedang berkembang harus memiliki modal yang cukup yang digunakan untuk membangun. Development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Rostow juga beranggapan bahwa pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses yang multidimensional.
Indonesia yang mengimplementasikan teori ini, pada masa Orba mulai menarik investasi dari asing dan mencari bantuan hutang ke luar negeri untuk menjadikan masyarakat Indonesia modern. Kita bisa melihat pada tahun 1967 Indonesia telah bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF). Bergabungnya Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut, menyebabkan IMF dan Bank Dunia pada tahun 1968 mengevaluasi dan memformulasikan kondisi ekonomi Indonesia untuk menentukan bantuan keuangan selanjutnya.[5] Selain itu untuk menarik para investor asing sejak tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi.
·      Industrialisasi
Pada rezim Orba berkuasa, sektor industri juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari industrialisasi yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah. Program industrialisasi yang dilakukan diantaranya ialah, pembangunan kawasan industri di daerah Jakarta, Karawang Cilacap, Surabaya, Medan, dan Batam. Hal ini sesuai dengan anjuran IMF, yakni anjuran untuk mengambil kebijaksanaan pintu terbuka, yang memungkinkan masuknya investor dari berbagai negara ke Indonesia. Sektor-sektor industri yang dibangun oleh pemerintah diantaranya, industri pertanian, mengembangkan industri non pertanian terutama minyak dan gas bumi, industri perkapalan dengan dibangun galangan kapal di Surabaya yang dikelola oleh PT.PAL Indonesia dan pembangunan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kemudian berubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia
Pola pembangunan yang dilakukan pada masa Orba bahkan hingga saat ini, yang lebih menitikberatkan pada pencarian modal baik itu malalui investasi luar negeri hingga mencari bantuan hutang luar negeri inilah yang menjadikan Indonesia terus bergantung dengan pihak asing. Ketergantungan ini jugalah yang mengakibatkan Indonesia jatuh karena krisis moneter di tahun 1997-1998. Walaupun pembangunan yang dilakukan oleh Indonesia mulai menunjukkan hasil yang progresif, namun hingga saat ini Indonesia belum mampu untuk menyaingi negara-negara maju. Hal ini hampir selaras dengan teori dependensia.
Teori depedensia ini dicetuskan oleh Ander Gunder Frank. Frank memiliki hipotesis diantaranya:
a.    dalam struktur hubungan antara negara-negara metropolis maju dengan negara-negara pinggiran yang terbelakang, pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak pinggiran akan tetap dalam posisi keterbelakangan
b.    negara-negara miskin yang sekarang menjadi negara pinggiran, perekonomiannya dapat berkembang dan mampu mengembangkan industri yang otonom bila tidak terkait (delinkages) dengan negara-negara metropolis dari kapitalis dunia, atau kaitannya sangat lemah
c.    kawasan-kawasan yang sekarang sangat terbelakang dan berada dalam situasi yang mirip dengan situasi dalam sistem feodal adalah kawasan-kawasan yang pada masa lalu memiliki kaitan yang kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional, kawasan-kawasan ini adalah penghasil ekspor barang mentah primer yang terlantar akibat adanya hubungan perdagangan internasional. [6]
 Hingga saat ini Indonesia belum berani untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara maju. Justru Indonesia semenjak periode Orla, Orba, hingga pasca Orba selalu mengalami dilema antara independesi dengan pembangunan. Hal ini dikarenakan Indonesia selalu membutuhkan bantuan asing. Pilihan yang mengutamakan negara donor seringkali harus mengesampingkan pada prinsip independensi, sedangkan sebaliknya, pilihan yang mengutamakan pada independensi akan mengorbankan pembangunan. Indonesia sebenarnya sudah menyadari bahwa ketergantungan pada pihak asing, bisa membahayakan perekonomiannya. Namun implementasinya ialah pemerintah Indonesia tidak berani dan tegas untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara maju tersebut. Hal ini jugalah yang seringkali berdampak pada pelanggaran-pelanggaran kedaulatan bahkan hingga pelecehan terhadap Indonesia.
Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh Brasil, Brasil di bawah pemerintahan Presiden Cardoso berani untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara core. Cardoso berpendapat bahwa untuk menghentikan ketergantungan ini (ketergantungan dengan pihak asing) Brasil harus berani mengalihkan konsentrasi ekonomi yang tadinya mengekspor raw material ke negara core, menjadi penggunaan hasil  Sumber Daya Alam (SDA) yang diolah oleh industri dalam negeri. Cardoso melihat bahwa Brazil memiliki penduduk yang cukup besar, sehingga jika hasil SDA di kelola dalam negeri dan hasil proses produksinya tersebut di konsumsi oleh masyarakat dalam negeri ini akan mendatangkan spill over effect. Spill over effect di sini terlihat dari mulai berkembangnya industri-industri kecil pengolah hasil SDA dan ini juga akan berdampak terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakan Brazil. Selain itu Cardoso juga berani untuk melepaskan diri (Brasil) dari ketergantungannya terhadap negara core. Hasilnya bisa kita lihat bersama Brasil saat ini tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Walaupun Indonesia belum mampu tumbuh menjadi negara yang maju dan modern, namun pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini sudah mulai memperlihatkan hasil yang progres. Ini dapat dilihat dari posisi Indonesia yang berawal dari negara periphery, sekarang mulai beranjak menjadi negara semi periphery. Bahkan ada ramalan bahwa Indonesia akan tergabung dengan kekuatan ekonomi baru bersama dengan Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC). Ini juga dapat dilihat dari tergabungnya Indonesia menjadi anggota G20. Perekonomian dan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga makin kokoh. Hal ini dapat dilihat dari perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang tidak terhempas karena krisis global di tahun 2008. Justru negara-negara Barat, khususnya AS terkena krisis global pada tahun 2008 dan hingga saat ini terus berupaya memulihkan perekonomiannya. Bahkan negara seperti Yunani dan Portugal hingga saat ini masih berupaya keluar dari dampak krisis tersebut. Salah satu penyebab Indonesia berhasil bertahan dari krisis global pada tahun 2008 ialah perekonomian di Indonesia lebih banyak berkutat di sektor riil dibandingkan sektor non riil. Selain itu perekonomian Indonesia juga tidak terlalu tergantung pada sektor ekspor, melainkan sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam negeri.
Menurut World System Theory yang dicetuskan oleh Imanuel Wallerstein, ada tiga kutub model negara, yakni negara pusat, semi pinggiran dan pinggiran.[7] Kategori semi pinggiran diajukan mengingat diperlukannya model tengah bagi negara-negara pinggiran untuk menghindari krisis. Selain itu, negara semi pinggiran juga diperlukan untuk memungkinkan reinvestasi maupun relokasi modal bagi pemilik modal dari negara center untuk akumulasi lebih lanjut. Melalui pembahasan tata ekonomi kapitalis dunia ini, Wallerstain dan pengikutnya pada dasarnya mencita-citakan suatu tata ekonomi dunia yang berkeadilan ekonomi dan politik atau dunia yang demokratis dan egaliter.
Di Indonesia sendiri strategi-strategi dari negara pinggiran menuju negara semi pinggiran dan yang terakhir menjadi negara pusat sudah pernah untuk coba dijalankan. Posisi Indonesia saat ini ialah negara pinggiran. Dalam proses dari negara pinggiran menjadi negara semi pinggiran Indonesia melakukan strategi-strategi seperti:
·      Melakukan Industri Subtitusi Impor (ISI).
Indonesia telah mencoba untuk menerapkan program ini. Banyak sektor-sektor industri yang dibangun untuk melaksanakan ISI. Kita dapat melihat dari adanya industri perkebunan, bahan mentah, pendukung manufaktur, hingga industri oromotif di Indonesia.
·      Mengundang modal asing dengan menyediakan segala bentuk kemudahan.
Program ini dapat dilihat dari sejak tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi.
·      Mengundang minat Multi National Corporation (MNCs)
Program ini juga dapat dilihat dari upah tenaga kerja Indonesia yang cukup murah. Program lainnya yang digunakan pemerintah untuk menarik investor asing ialah dengan menciptakan kestabilan politik dan keamanan. Namun program di atas harus terus di tambah dengan program lainnya, karena pada faktanya banyak investor asing yang lebih tertarik berinvestasi di negara lain karena mereka memiliki berbagai kemudahan seperti, tax holiday, kemudahan mengurus perizinan usaha serta infrastruktur yang mendukung.
Sedangkan strategi untuk menjadi negara pusat yang saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah Indonesia diantaranya,
·      Memperluas jaringan pasar
Banyak industri-industri di Indonesia yang sekarang pemasaran produknya berorientasikan pada pasar internasional. Sebagai contoh ialah, industri kerajinan dan industri rokok. Perusahaan-perusahaan di Indonesia juga terus memperbaiki kualitasnya agar mampu bersaing dengan produk asing di pasar internasional.
·      Melakukan subsidi
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya untuk membantu dan melindungi masyarakatnya yang tidak mampu. Kita dapat melihat dari program pemerintah yang memberikan subsidi bagi masyarakat yang tidak mampu seperti, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), program Kredit Usaha Rakyat (KUR), program PNPM mandiri, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga program Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
·      Memanipulasi selera konsumen dengan promosi
Usaha yang telah dilakukan pemerintah ialah dengan cara menekankan kembali pada masyarakat untuk mencintai dan menggunakan produk-produk dalam negeri. Peraturan penggunaan kain batik pada instansi-instansi pemerintah pada hari Kamis dan Jum’at ialah contoh nyata usaha pemerintah. Selain itu banyak perusahaan-perusahaan milik Indonesia yang menuliskan kata-kata dalam setiap produknya “100% Indonesia” atau “bangga produk Indonesia”.
Dalam melaksanakan pembangunan, ada baiknya Indonesia belajar kepada negara Jepang. Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia yang berasal dari benua Asia. Menurut data yang dilansir Humant Development Index (HDI) dan Freedom House (1998-2005), Jepang menempati posisi ke 11 diantara negara yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi.[8] Dalam segi korupsi pun, Jepang ternyata juga menorehkan prestasi. Terbukti dari data yang yang dilansir oleh Freedom House dan Transparancy Internasional (1998-2005), Jepang tergolong memiliki tingkat korupsi yang rendah. Lebih hebatnya, keberhasilan Jepang dalam kedua hal tersebut juga diiringi oleh tingkat demokrasi politik yang tinggi dengan Freedom Index (FI) berada pada kisaran 1-2,5.[9]
Kalau kita pelajari ada beberapa ciri menonjol dalam model ekonomi di Jepang yang berbeda dengan teori-teori membangun dari Barat, diantaranya adalah:[10]
·      Negara menjadi sentral dalam penentuan keputusan jangka panjang, pertumbuhan ekonomi, konsensus antar lembaga, pengembangan teknologi dan seterusnya. Namun, negara melakukan sangat sedikit sekali campur tangan dalam tingkat pelaksanaannya.
·      Kemitraan negara atau birokrasi dengan kaum wiraswasta dalam rangka merebut pasar dunia. Sehingga antara negara dan wiraswasta terjadi kerja sama yang baik dalam merebut pasar dunia tersebut dan terhindar dari rivalitas yang tidak perlu. Maka dikenalah istilah Japan Incorporated sebagai kunci keberhasilan model Jepang.
·      Sistem subsidi untuk kebutuhan pokok yang menjamin secara selektif proses redistribusi kepada para petani serta kelas-kelas sosial yang rendah lainnya dari hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, terutama kinerja dari hasil penguasaan dunia berkat kinerja yang tidak mengulang model barat dalam industrialisasi, praktik manajemen sumber daya manusia dan pengembangan teknologi mereka.
·      Hampir tidak signifikan peran serikat buruh dalam proses pengambilan keputusan ekonomi politik. Akan tetapi hal tersebut dikompensasi oleh proses mikro perusahaan dalam bentuk konsultasi reguler, mulai dari yang sifatnya harian, mingguan, bulanan dan seterusnya, yang inheren dalam sistem ‘bekerja seumur hidup’. Pada gilirannya sistem ini menjamin tingkat kesejahteraan buruh serta tingkat full employment dalam sistem ekonomi keseluruhan.
Prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh Jepang tidak lain karena disebabkan oleh adanya percampuran kearifan lokal, budaya hingga agama dengan ‘resep-resep’ pembangunan dari Barat. Dalam hal pemerataan pendapatan misalnya tidak terlepas dari adanya nilai tradisional konfusianisme yang mampu mengeliminasi masalah kelas sosial. Jepang juga menjadi bukti keunggulan teori heterodoks, dimana dalam teori heterodoks sangat memperhatikan nilai-nilai lokal, agama dan kondisi struktural serta kultural yang ada di negara sedang berkembang.[11] Bahkan nilai-nilai tersebut direaktualisasikan dalam proses pembangunan.
Belajar dari keberhasilan pembangunan di Brasil dan Jepang, seharusnya pemerintah Indonesia mulai berani sedikit demi sedikit melepaskan ketergantungannya dengan pihak asing. Hubungan kerja sama dengan pihak asing ini memang mampu memperbaiki perekonomian Indonesia melalui penyerapan tenaga kerja dan mendatangkan devisa. Namun jika dikaji dengan seksama alangkah arifnya jika SDA yang melimpah di bumi pertiwi ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan berani belajar untuk melepaskan ketergantungan ini, Indonesia kelak akan mampu dihargai. Karena sering kali ketergantungan dengan pihak asing ini dijadikan oleh pihak asing sebagai senjata untuk melecehkan bangsa ini.
 Walaupun saat ini pembangunan di Indonesia sudah mampu membawa negara ini menjadi negara semi periphery, namun yang merasakan akan hasil dari pembangunan ini kebanyakan ialah masyarakat perkotaan. Sedangkan masyarakat pedesaan tidak terlalu bisa menikmati hasil dari pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak terlalu bermanfaat jika tidak diiringi dengan pemerataan. Justru ketimpangan pembangunan yang semakin mencolok antara masyarakat dan pedesaan hanya akan memicu berbagai konflik.
Selain itu sudah seharusnya Indonesia mulai melakukan pembangunan dengan berkaca dengan kondisi riil dalam negeri. Karena tidak selamanya ‘resep-resep’ pembangunan dari Barat benar adanya. Karena bisa jadi ‘resep-resep’ pembangunan ini sarat dengan ideologi-ideologi terselubung.


[1] Ganewati Wuryandari. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 108.
[2] Didin S. Damanhuri. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan; Teori, Kritik dan Solusi Bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor: IPB Press, hal. 72.
[3] Mansour Fakih. 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 54.
[4] W.W. Rostow. 1964. The Strategic of Economic Growth. Cambridge: Cambridge University
[5] Tri Nuke Pujiastuti. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 120.

[6] A.G. Frank. 1973. “The Development of Underdevelopment” in C.K Wilber (Ed) The Political Economy of Development and Underdevelopment . New York : Random House
[7] Mansour Fakih. Op.Cit, hal 139.
[8] Didin S. Damanhuri. Op.Cit, hal 73.
[9] Didin S. Damanhuri. Op.Cit, hal 73.
[10] Didin S. Damanhuri. Op.Cit, hal 74.
[11]Didin S. Damanhuri. Op.Cit,  hal. 75.