Rabu, 09 November 2011

Sistem Parlemen Indonesia, Quo Vadis?



Indonesia merupakan negara dengan tingkat heterogenitas yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beranekaragamnya suku bangsa, bahasa, agama dan kebudayaan. Dengan tingginya tingkat heterogenitas dan sosio-demografi yang tersebar luas tentu tidaklah mudah untuk mengelolanya. Seringkali tingkat heterogenitas ini mampu memicu konflik, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal ketika rezim yang berkuasa tidak mampu mengelolanya.
Oleh sebab itu cukup sulit sebenarnya mencari pola pemerintahan atau sistem pemerintahan yang efektif dan efisien untuk negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia ini. Paling tidak Indonesia sudah mencoba berganti-ganti sistem pemerintahan, namun hingga saat ini masih belum menemukan yang sesuai. Namun sejak dahulu dalam  Undang-Undang Dasar (UUD)  1945 dituliskan bahwa Indonesia menganut  sistem  pemerintahan presidensial. Dimana presiden memiliki otoritas yang kuat dalam menjalankan roda pemerintahan dan hal ini dirasakan terlalu memberikan power yang berlebih terhadap presiden. Sistem presidensial dalam UUD 1945 memang bukanlah murni presidensial, hal ini disebabkan dengan adanya mekanisme  pertanggungjawaban  presiden  kepada  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai  lembaga  parlemen  yang  mempunyai  kedudukan  sebagai  lembaga tertinggi negara.
Namun paska kemerdekaan, dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat Pemerintah tentang Partai Politik (Parpol) pada November 1945, sistem pemerintahan berubah menjadi semi presidensiil / double executive, di mana Presiden Soekarno sebagai kepala negara dan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri (PM) / kepala pemerintahan. Latar belakang keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X sebenarnya ialah ingin membentuk opini internasional bahwa Indonesia merupakan negara demokratis. Namun dengan perubahan sistem pemerintahan ini justru menciptakan permasalahan baru. Permasalahan tersebut yakni munculnya antagonisme antara beberapa kelompok oposisi yang menyebabkan instabilitas politik dan keamanan di dalam negeri. Hal ini (antagonisme kelompok) dan pertentangan antar elit jugalah yang mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet pada saat itu.
Setelah pemerintahan Orde Lama (Orla) jatuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru (Orba) yang mulai berkuasa sejak tanggal 12 Maret 1967 sampai dengan 21 Mei 1998, Presiden Soeharto beranggapan bahwa Parpol menjadi biang keladi instabilitas politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950 hingga 1965. Oleh karena itu Presiden Soeharto beranggapan bahwa untuk menciptakan stabilitas politik domestik, penyederhanaan Parpol perlu dilakukan. Melalui  Undang –Undang No 3 tahun 1975 Parpol di Indonesia disederhanakan.
Namun selama rezim Orba berkuasa, pemilihan presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan dipilih oleh MPR. Karena pada saat itu mayoritas anggota MPR ialah Golkar di mana Golkar merupakan perpanjangan tangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya Angkatan Darat (AD), maka secara otomatis ketika pemilihan presiden, maka Presiden Soeharto akan terpilih secara aklamasi. Selama Orba pula, pemerintah harus membayar ongkos yang mahal, karena pemerintah tidak mendidik masyarakatnya untuk mengerti hakikat nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi pada saat itu hanyalah demokrasi prosedural bukan substansial. Hal ini berdampak pada Indonesia di masa reformasi. Di mana dalam reformasi ini Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan sangat demokratis, one man one vote. Namun masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan hal seperti ini, khususnya bagi calon yang kalah itu sendiri dengan pendukungnya. Dalam Pemilu hingga saat ini terkadang mereka masih belum bisa menerima kekalahan. Padahal esensi demokrasi ialah untuk memanajemen anarki. Selain itu, Orba juga sebenarnya tidak menjalankan demokrasi secara semestinya. Karena rezim demokrasi yang sesungguhnya tidak melibatkan militer ke dalam politik.
Dalam masa Orba kita juga dapat melihat bahwa Indonesia telah kembali kepada sistem presidensial. Hal ini ditunjukkan dengan kekuasaan presiden Soeharto yang cukup luas, bahkan fungsi MPR yang awalnya sebagai check and balances tidak terjadi semasa Orba. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah tidak mengalami banyak hambatan yang berarti. Namun di sisi lain MPR tidak berjalan secara fungsinya yaitu sebagai control terhadap rezim yang berkuasa. Hal ini sangat wajar karena pada saat itu anggota MPR kebanyakan merupakan kroni-kroni dari Presiden Soeharto.
Karena banyak kesewenang-wenangan yang terjadi selama rezim Orba berkuasa, maka pada tahun 1998 banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah  mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemrintah daerah untuk  menciptakan mekanisme  check and balances dalam proses politik.
Namun menurut penulis dengan mengamandemen UUD 45 tidak menjadikan pemerintahan lebih efektif dan efisien. Amandemen UUD 1945 tahun 2002 justru menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan antara legislatif dan eksekutif. Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan memenangi Pemilu hanya lewat satu putaran, justru saat ini tidak mampu menjalankan  pemerintahannya secara efektif dan efisien karena sulitnya mendapat dukungan penuh dari koalisi Parpol di DPR. Koalisi yang kegemukan juga menjadikan permasalahan semakin pelik karena presiden tersandera oleh bagaimana mengakomodir Parpol koalisinya agar tetap loyal kepada presiden.
Hal ini dapat kita lihat dalam susunan kabinet Indonesia bersatu jilid II, di mana yang duduk sebagai menteri kebanyakan ialah orang-orang Parpol bukan dari kalangan profesional. Seharusnya dalam sistem presidensial pembentukan kabinet ialah hak preogratif presiden. Namun presiden sangat tersandera dengan ancaman-ancaman dari Parpol koalisi. Kita juga dapat melihat bagaimana pencitraan yang berusaha dibangun pemerintah bahwa pemerintah tidak hanya mengakomodir kepentingan Parpol namun juga mendengarkan aspirasi rakyatnya agar di dalam kabinet duduk kalangan profesional. Salah satu cara yang dibangun oleh pemerintah ialah dengan adanya penambahan pos wakil menteri, di mana wakil menteri di sini diduduki oleh kalangan profesional. Menurut penulis dengan adanya wakil menteri di sini justru hanya akan menambah pembengkakan anggaran. Selain itu adanya penambahan pos wakil menteri menjadikan pemerintahan tidak efektif dan efisien, karena sebenarnya menteri saja sudah cukup untuk menangani permasalahan-permasalahan yang ada.
Formasi permanen yang ideal mungkin menjadi kunci untuk memecah kebuntuan selama ini. Sebenarnya untuk jumlah penduduk yang besar dan memiliki keanekargaman yang cukup tinggi penyederhanaan Parpol dirasa kurang bijak. Hal ini juga bertentangan dengan pasal 6A (2A) UUD 1945. Selain itu sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi Parpol diantaranya ialah untuk sarana komunikasi politik, sosialisasi politik dan sebagai sarana pengatur konflik. Namun di sisi lain, legislatif yang terlalu kuat juga tidak baik. Karena jika legislatif diberikan otoritias terlalu kuat dan posisi pemerintah di parlemen merupakan minoritas tentu akan akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Hal ini terlihat sangat jelas pada pemerintahan SBY dan Budiono. Keseimbangan menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.
Sudah saatnya kita kembali kepada UUD 45 dimana kita menggunakan sistem presidensial, namun legislatif tetap diberikan kewenangan untuk mendapatkan hak petisi, budget, interprestasi, amandemen, angket, inisiatif dan hak untuk mengajukan pernyataan pendapat. Selain itu sudah saatnya kita kembali kepada Pancasila dimana dalam sila ke empat termaktub “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Indonesia yang penduduknya besar dan beragam maka yang cocok ialah dengan adanya perwakilan-perwakilan rakyat dalam parlemen dan wakil rakyat tersebut  mengutamakan musyawarah mufakat dibandingkan mekanisme votting.
Selain itu budaya politik di Indonesia di mana masyarakatnya masih banyak yang belum mengerti akan politik dan hanya mengikuti pimpinan mereka, maka proses pemilihan anggota parlemen sebaiknya tidak langsung memilih calon legislatif, melainkan cukup dengan hanya memilih Parpolnya saja. Biarkan Parpol yang memilih kandidat terbaiknya untuk perwakilannya dalam parlemen. Karena jika calon perorangan yang maju dan berkampanye tentu akan memakan biaya kampanye yang besar. Biaya kampanye yang sangat besar menjadikan calon legislatif yang telah duduk di dalam parlemen lupa dengan tugasnya dan hanya berorientasikan untuk mengembalikkan biaya kampanye yang telah mereka keluarkan serta berupaya untuk memperjuangkan kepentingan Parpolnya Maka kita dapat melihat bahwa banyak Undang-Undang yang tidak berpihak kepada rakyat, namun berpihak pada kantong anggota parlemen.  Selain itu hal ini juga bertendensi untuk meningkatnya korupsi. Masalah bail out bank Century juga merupakan sebuah contoh di mana legislatif terlalu kuat dan Parpol begitu terfragmentasi dalam parlemen. Hal seperti ini jika terus berlanjut menurut penulis sungguh tidak sehat bagi pemerintahan di negeri ini.
    Untuk mengatasi berbagai kebuntuan politik penulis lebih menyerukan kepada komposisi anggota parlemen yang berimbang. Di mana jumlah berimbang antara anggota yang berasal dari Parpol dan perwakilan daerah (DPD). Hal ini bertujuan agar anggota parlemen tidak lupa dengan tugasnya, yakni sebagai check and balances serta yang tidak kalah penting ialah mendengarkan aspirasi daerah perwakilannya. Memang calon legislatif dari Parpol juga merupakan perwakilan dari daerah, namun rasa hutang budi dan memperjuangkan kepentingan Parpol akan mampu mendistorsi tugasnya sebagai wakil rakyat.
Penulis kurang menyetujui adanya peningkatan parliamentary threshold, karena hal ini sama saja dengan penyederhanaan Parpol. Penyerderhanaan Parpol juga tidak menjamin adanya efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Karena menurut penulis yang penting ialah tiap-tiap anggota DPR mampu meredam arogansi dari kepentingan dirinya serta Parpolnya. Sudah seharusnya baik oposisi maupun koalisi ketika menggodok RUU selalu berorientasikan pada kepentingan rakyat bukan dirinya ataupun Parpolnya. Selain itu, ketika kebijakan yang diambil pemerintah pro dengan rakyat kecil maka oposisi sudah seharusnya mendukungnya, bukan menghambatnya dan ketika kebijakan tersebut tidak pro dengan rakyat kecil maka sudah sepantasnya koalisi pun berfungsi sebagai check and balances.
Adanya pemisahan antara Pemilu lokal dan nasional juga sangat penting. Karena dengan adanya pemilu sela, masyarakat tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menilai kinerja pemerintah. Pemilu sela juga dapat menjadi refleksi bagi rezim yang berkuasa apakah rakyat masih senang dipimpinya atau tidak. Namun adanya Pemilu Presiden, DPR dan DPD yang bersamaan sudah cukup bagus karena mampu menghemat keuangan negara. Sistem presidensial yang seimbang yang mensyaratkan legitmasi yang kuat, kewenagan konstitusional yang memadai, dukungan politik yang cukup, dan kontrol efektif juga seharusnya berlaku juga untuk anggota parlemen.
Sudah saatnya kita tidak memprioritaskan kepentingan individu ataupun kepentingan golongan demi kepentingan seluruh bangsa ini. Dan sudah seharusnya negara ini tidak selalu bereksperimen trial and error dalam mencari format yang tepat untuk negara ini. Karena sebenarnya rakyat Indonesia ialah masyarakat materialis di mana urusan kebutuhan hidup (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) masih sulit untuk terpenuhi. Entah bagaimanapun format parlemennya yang penting mampu mensejahterakan rakyat. Salam perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar