Sabtu, 21 Juli 2012

Bidan Perkasa Dari Pulau Dewata


“Mereka pikir Tuhan tidak tahu perbuatan mereka, mereka pikir Tuhan bodoh

Itulah kalimat yang meluncur dari bibir Robin Lim. Betapa marah dan kecewanya Robin Lim ketika mengetahui ternyata banyak bidan yang hanya berorientasi pada materi. Wajar jika beliau marah ketika mendengar masih banyak bidan-bidan yang memungut bayaran dari pasiennya walaupun pemerintah telah memberlakukan program Jaminan Persalinan (Jampersal). “Apa agama dari bidan tersebut?” tanya Robin Lim kepada  bulek ku. “Islam Bu,” jawab bulek ku singkat sambil tersipu malu. “Saya tidak percaya kalau dalam ajaran agama Islam mengajarkan hal-hal seperti itu,” terang Robin Lim. “Ini bukan masalah ajaran agamanya Bu,” sanggah salah satu asistennya. “Saya sudah sering kali bilang sama Ibu, bahwa bukan ajaran agamanya yang bermasalah, tapi penganutnya yang juga masih tetap tidak taat terhadap ajaran agamanya,” terang asisten tersebut kepada kami. “Saya sering berdebat dengan Ibu mengenai hal tersebut, tetapi Ibu tetap bersikukuh dengan dengan pendapatnya.”
Sore itu saya sangat beruntung karena bisa bertemu, bersalaman dan berdiskusi dengan Top 10 CNN heroes Robin Lim. Robin Lim merupakan salah satu bidan sekaligus inspirator yang memiliki gaya hidup sederhana yang pernah saya kenal. Dedikasinya untuk masyarakat di sekitarnya tak perlu diragukan lagi. Yayasan Bumi Sehat yang didirikannya pada tahun 1995 dan terletak di daerah Nyuh Kuning, Ubud telah dikenal oleh banyak orang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya cinderamata yang diberikan kepadanya, entah sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya ataupun sekedar bentuk ucapan terimakasih sederhana dari mahasiswi-mahasiswi Akbid yang telah bertukar ilmu dengannya. Hampir setiap hari Robin Lim mengayuh sepedanya yang berwarna merah jambu menuju klinik Bumi Sehat. Memberikan pertolongan tanpa memandang kasta dan kelas serta diiringi dengan senyuman tulus. Selain itu, Robin Lim juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai daerah bahkan diberbagai negara.
“Kalau Ibu-ibu ingin mengundang Ibu Robin menjadi pembicara di Banyuwangi, mohon maaf untuk tahun ini (2012), Ibu tidak bisa, karena kegiatannya yang sangat padat.” “Tidak lama lagi Ibu akan bertolak ke Italia dan beberapa negara, karena Ibu memang telah lama diundang oleh negara-negara tersebut,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. Kami semua pada akhirnya mafhum dengan kegiatan beliau (Robin Lim) yang memang sangat padat sekali. “Mungkin Ibu-ibu bisa menyusun proposal acara kegiatannya dan nanti pelaksanaannya bisa pada tahun depan,” ujar asisten tersebut seraya menghibur kami. “Oh ya Mbak, biar nanti Kami susun proposalnya, kalau sudah siap, nanti Kami kirimkan,” ujar bulek  ku singkat.
Tak ingin kehilangan moment bertemu dengan Robin Lim aku pun langsung mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan memang Robin Lim sekeluarga telah lama menetap di pulau dewata dan telah fasih berbahasa Indonesia. “Ibu, mengapa Ibu sangat menyarankan kepada semua orang bahkan tenaga-tenaga medis untuk menggunakan obat-obat tradisional?” “Ketika Saya masih kecil, Saya pernah sakit parah dan di rawat di salah satu rumah sakit di Filipina.” “Dokter-dokter di sana, menyarankan Saya untuk dioperasi agar bisa sembuh, namun nenek Saya menolaknya dan membawa Saya pulang dari rumah sakit tanpa sepengetahuan orang tua Saya.” Kemudian Saya di rawat oleh nenek Saya dan diobati dengan obat-obatan tradisional yang ada di sekitar.” “Hanya dalam waktu beberapa hari, penyakit Saya langsung sembuh tanpa melalui operasi,” papar Robin Lim.
Selain berfokus pada program persalinan, Yayasan Bumi Sehat yang dipimpin oleh Robin Lim juga memiliki kegiatan lainnya yang bertujuan pada pemberdayaan masyarakat. Beberapa program tersebut diantara lain ialah, program sampah daur ulang dan pendidikan kesehatan. “Saya dulu hampir setiap hari makan nasi, namun setelah dinasehati oleh Ibu bahwa gizi yang dikandung nasi kurang mencukupi, akhirnya Saya mengikuti saran Ibu yaitu makan nasi dengan campuran umbi-umbian,” papar salah satu asisten Robin Lim. “Jujur saja, Saya sekarang sangat khawatir dengan makan-makanan yang ada saat ini, karena banyak mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan.” “Contohnya ialah mie instan.” Mendengar kata mie instan yang tidak baik bagi kesehatan, aku pun langsung membela diri. Maklum naluri mahasiswa ku dengan isi dompet yang pas-pasan dan sering kali makan mie instan tiba-tiba saja muncul. “Ibu, tapi mie instan sangat cocok, karena murah dan praktis,” candaku. Namun Ibu Robin menunjukkan ekspresi kekecewaannya dengan gaya hidupku yang sangat akrab dengan mie instan. “Ya memang mie instan murah dan praktis, tapi dikemudian hari bisa menimbulkan masalah dengan kesehatan Mu,” terang Robin Lim. Nasehat tersebut rasanya sangat sederhana dan terasa sangat klasik karena semua orang awam pun mengetahuinya. Namun ketika beliau yang menyampaikan rasanya sangat berbeda. Jujur saja kharismanya yang membuatku diam seribu bahasa dan tidak bisa membantah nasehat tersebut.
Untuk masalah yang satu ini (kharisma) aku pun tidak bisa berkata-kata. Kejadian bayi yang menangis dan tidak kunjung diam walaupun telah berada dalam pelukan ayah maupun ibunya dapat diatasi dengan mudah oleh beliau. Bayi yang menangis tersebut langsung diam dan lama-kelamaan tidur pulas dalam pelukannya (pelukan Robin Lim). Selain itu, ada salah satu pemandangan yang cukup mengharukan yang ada dalam klinik kecil tersebut. Pemandangan indah tersebut tak lain ialah, kehadiran beberapa volunteer asing yang bahu-membahu dengan tenaga kerja lokal dalam menolong dan melayani pasien-pasien yang datang ke klinik tersebut. “Tidak semua bule itu kaya.” “Kita seringkali kedatangan pasien-pasien bule tapi terkadang Mereka mengatakan bahwa kondisi ekonomi mereka saat ini sedang tidak bagus.” “Dan Mereka berjanji akan langsung memenuhi kewajiban (membayar) Mereka setelah perekonomian Mereka pulih kembali,” terang salah satu asisten Robin Lim kepada kami. “Kalau di sini yang Kami perioritaskan ialah pertolongan terlebih dahulu kepada pasien yang membutuhkan.” “Perkara Mereka mampu membayar atau tidak itu urusan belakang.” Penjelasan tersebut sungguh memberikan saya sebuah inspirasi. Mungkin Robin Lim merupakan salah satu tenaga medis yang benar-benar melaksanakan kode etik tenaga medis secara tulus. Karena saat ini banyak sekali kita temui rumah sakit-rumah sakit yang mensyaratkan seorang pasien untuk mengurus administrasi terlebih dahulu baru mendapatkan pertolongan. Miris memang jika melihat kondisi tersebut. Namun tenaga-tenaga medis di rumah sakit – rumah sakit yang memiliki regulasi tersebut (menyelesaikan administrasi terlebih dahulu) juga tidak bisa bertindak apa-apa. Mereka (tenaga medis) ibarat memakan buah simalakama. Bimbang apakah harus memilih menolong pasien tersebut demi menjalankan kode etiknya namun bisa berdapampak pada teguran atau mungkin pemecatan pada dirinya. Atau hanya berdiam diri menunggu instruksi dan terpaksa melanggar kode etiknya dan melihat semakin memburuknya kondisi pasien yang membutuhkan pertolongan. Entahlah, namun faktanya memang saat ini banyak terjadi fenomena tersebut.
Satu pengalaman berharga lainnya ialah ketika aku, bulek ku serta tante Ina berdiskusi dengan salah satu volunteer dari negeri paman Sam. Volunteer tersebut memiliki spesialisasi dalam bidang yoga. Yoga yang diajarkan kepada ibu-ibu hamil yang datang ke yayasan Bumi Sehat. “Wanita-wanita yang Saya lihat di sini, sebenarnya lebih kuat dan lebih siap untuk melahirkan.” “Hal ini disebabkan karena Mereka sering beraktivitas.” “Hal ini sangat berbeda dengan wanita-wanita di Amerika.” “Di sana ketika mereka hamil, mereka rata-rata hampir tidak bekerja, hanya bersantai dan menonton televisi di rumah,” paparnya. Kami pun sedikit tertawa karena volunteer tersebut bercerita sambil memberikan sebuah demonstrasi. Keterangan dari volunteer tersebut tiba-tiba mengingatkan ku pada pendapat guru olah raga ku sewaktu SMA. “Kalau saat ini banyak Cewe yang tidak kuat lari keliling lapangan sebanyak 10 putaran itu sebenarnya nini-nini (nenek-nenek) yang di make-up’i saja.” “Karena persalinan merupakan sebuah proses yang melelahkan dan mempertaruhkan nyawa.” Mungkin pendapat tersebut ada benarnya karena saat ini karena kemajuan teknologi banyak wanita-wanita yang hamil mengandalkan persalinan dengan sesar bukan persalinan secara normal.
Keunikan yayasan Bumi Sehat juga terlihat dari pekerja-pekerja dan volunteer yang berseragam t-shirt. T-shirt yang mereka (pekerja dan volunteer) gunakan bukan t-shirt sembarangan. T-shirt tersebut merupakan t-shirt  yang diproduksi oleh yayasan Bumi Sehat sendiri. Sebuah t-shirt dengan berbagai macam warna dan logo yang khas dari yayasan Bumi Sehat tercetak besar di bagian depan. “Bulek t-shirtnya bagus ya,” ujar ku. “Kira-kira mereka masih punya lagi gak ya.” “Kalau ada Aku mau beli.” Bulek ku pun segera menanyakan kepada salah satu pekerja di sana. “Mbak t-shirt nya masih ada?” tanya bulek ku. “Ada Bu di dalam sana,” ujar pekerja itu sambil menunjuk sebuah ruangan. Kami pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah etalase tempat pernak-pernik khas dari yayasan Bumi Sehat. Kami semua, langsung melihat-lihat pernak-pernik apa saja yang dijual di sana. Ternyata pernak-pernik tersebut ialah t-shirt, sticker, tas kecil dan berbagai macam aksesoris dengan logonya yayasan Bumi Sehat.
“Berapa harga t-shirtnya Mbak?” tanyaku kepada salah satu pekerja. “T-shirtnya harganya seratus ribu.” Aku pun langsung berpendapat bahwa t-shirt dengan bahan yang biasa saja dan dijual dengan harga seratus ribu tentu sangat mahal. Sebenarnya, aku sangat tertarik dengan t-shirt tersebut, namun apa daya, sepertinya dompet ku lebih berkuasa untuk menolaknya. Alhasil aku pun tidak jadi membelinya. Bulek ku membeli tas jinjing dan beberapa sticker dan alangkah kagetnya aku waktu bulek ku membayar tas tersebut uangnya langsung dimasukkan ke dalam kotak donasi yang dibuat dari bahan kaca dan terdapat logo yayasan Bumi Sehat ditengahnya. Ternyata yayasan ini (Bumi Sehat) berupaya untuk mandiri. Selain menerima sumbangan dari berbagai pihak, yayasan ini juga berupaya untuk mandiri dengan melakukan sebagian pembiayaan operasionalnya dengan cara berjualan souvenir dan uang hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk memproduksi souvenir kembali dan kelebihannya digunakan untuk memberikan pertolongan kepada masyarakat yang tidak mampu.
Tak terasa kunjungan kami di yayasan ini pun harus berakhir. Kami semua saling bersalaman dan mengucapkan kata perpisahan. Robin Lim bahkan memeluk dan mencium pipi bulek ku dan Tante Ina. Hari ini aku pun banyak belajar dari seorang wanita yang perkasa namun memiliki hati yang tulus. Belajar dari ketulusan seorang wanita untuk menolong sesamanya. Belajar bagaimana seorang wanita tersebut mendedikasin hidupnya untuk menolong terhadap sesamanya. Seorang wanita yang berasal dari luar negeri dan menolong tanpa  mengenal perbedaan warna kulit, agama dan kelas. Seorang bidan perkasa yang selalu mengulurkan tangannya kepada yang membutuhkan walaupun terkadang bidan perkasa tersebut berada dalam keterbatasan. 

1 komentar:

  1. Tapi kadang kala, dana jaminan dari pemerintah lambat turunnya, atau malah tidak turun sama sekali. Padahal, bidan merupakan mata pencaharian bagi mereka. Jadi wajar saja kalau masih banyak yang berorientasi kepada materi.

    BalasHapus