Akhirnya hari yang kunantikan pun tiba.
Hari Jum’at, minggu kedua, awal bulan. Hari dimana salah satu guruku akan kembali
ke Jakarta. Cak Nun beliau biasa disapa. Aku telah mengenalnya sejak aku duduk
di bangku Sekolah Dasar. Aku mengenalnya melalui kaset tape Kiai Kanjeng yang
dimiliki oleh ayahku. Lagu Lir-ilir dan tombo ati merupakan lagu favoritku. Pertama
kali aku bisa bertatap muka dengannya ialah di tahun 2008. PGITK Alhamdulillah,
Bantul, Yogyakarta menjadi saksi tempat pertemuan kita untuk pertama kali. Sejak
saat itu, aku semakin terkesan dengannya.
Tak terasa lima tahun sudah berlalu.
Setelah lulus kuliah, aku bekerja untuk sebuah perusahaan media, di Jakarta.
Melalui salah seorang temanku, aku mendapatkan informasi bahwa Cak Nun biasa
mengadakan acara kenduri cinta di minggu kedua, awal bulan. Untuk acara kenduri
cinta bulan ini bertempat di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
“Cak
ayo melok aku,” pintaku kepada
seorang temanku. “Melok neng ndi?”tanya
temanku. “Melok nontok wong Jombang cak, Emha Ainun Nadjib,” ujarku. “Ayo wes, tapi Isya’an ndhisek,” ujar temanku yang berasal dari Jombang, Jawa
Timur. Tidak lama kemudian terdengar suara adzan
Isya berkumandang. Kami berdua pun segera menuju surau terdekat untuk
melaksanakan ibadah salat Isya.
Setelah selesai melaksanakan salat Isya.
Kami bergegas untuk menuju Taman Ismail Marzuki. “Sar mangan ndhisek, wes luwe ki,”
pinta temanku. Aku pun segera menepikan motorku. “Cak awakmu manganno ndhisek, aku tak neng Alfamart ndhisek,”
ujarku. Aku segera masuk Alfamart untuk membeli beberapa makanan ringan dan
kopi siap saji. Tidak enak mendengarkan ceramah jika tidak ada makanan ringan
dan kopi, pikirku dalam hati. Pukul sembilan malam, kami tiba di Taman Ismail
Marzuki. Telat satu jam pikirku, namun suasana di Taman Ismail Marzuki masih terlihat
lengang.
Terpal berwarna biru yang disediakan
oleh penyelenggara acara untuk alas duduk masih belum terisi penuh. “Ayo cak, nggolek panggon seng enak,” kataku.
Kami berdua pun segera melepas alas kaki dan duduk bersila. Tidak lama, kami
mulai larut dengan puji-pujian untuk baginda Rasul yang dipimpin oleh kelompok hadrah. Selain kelompok hadrah, acara kenduri cinta pada Jum’at
malam itu juga dimeriahkan oleh beberapa musisi jalanan. Tidak seperti suasana
di majelis taklim pada umumnya pikirku dalam hati. Di sini (acara kenduri
cinta), kami berbaur tanpa mengindahkan status sosial.
Suasana
acara kenduri cinta. Sumber: internet
Acara kenduri cinta kali ini mengusung
tema Juggernaut dengan tag line,
Indonesia pasti tidak pasti. “Juggernaut sendiri berasal dari Bahasa
Sansakerta, jagannatha” ujar salah
satu pemateri dalam mengantarkan prolog. Juggernaut sendiri merupakan sebuah
kereta raksasa yang digunakan oleh Dewa Kresna. Kereta tersebut memiliki ukuran
yang sangat besar. Kereta tersebut menggambarkan kondisi negara kita, Indonesia,
karena di dalam kereta tersebut, sarat dengan penumpang yang gelisah. Namun
nahasnya, karena banyaknya tarik ulur kepentingan, maka kereta tersebut tidak
bergerak sama sekali.
Kondisi di atas persis dengan apa yang
terjadi di Indonesia saat ini. Dimana banyak permasalahan yang terjadi. Namun,
karena banyaknya tarik ulur kepentingan untuk menyelesaikan masalah tersebut,
maka, banyak solusi yang tidak sesuai. Kita bisa melihat banyak permasalahan
bangsa saat ini, mulai dari kelangkaan kedelai, nilai tukar rupiah yang sangat
rendah terhadap nilai tukar dollar Amerika, defisit neraca perdagangan, serta permasalahan
lainnya. Di negeri ini, kita juga dapat menemukan berbagai macam ironi. Salah
satunya ialah fenomena ikut sertanya Menteri Perdagangan dalam konvensi calon
presiden yang diselenggarakan oleh salah satu partai politik. Menjadi sebuah
ironi karena, seharusnya Menteri Perdagangan ikut bertanggungjawab dalam
masalah kelangkaan kedelai.
“Sebenarnya Indonesia itu kaya akan
pertaniannya,” ujar Pak Tjuk, pakar pertanian, yang menjadi salah satu
pemateri. Pak Tjuk juga menambahkan, bahwa pada masa kolonial, pertanian di
Indonesia itu diseragamkan. “Pada masa kolonial, pemerintah Belanda akan
berusaha menanam sebanyak-banyaknya komoditas apa yang laku dijual di Eropa,
seperti cengkeh, teh, kopi serta rempah-rempah lainnya. Oleh sebab itu, petani
dipaksa untuk menanam komoditas-komoditas tersebut. Selain itu, kita juga bisa
lihat pola pertanian di Indonesia biasanya seragam, kalau tidak persawahan ya
perkebunan.”
Pada dasarnya untuk menyelesaikan
masalah kelangkaan kedelai seharusnya pemerintah tidak serta merta menyerahkannya
pada mekanisme impor. Menyerahkan masalah tersebut (kelangkaan kedelai) pada
mekanisme impor bisa diartikan dengan ketidakmampuan negara ini untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri dan selalu bergantung dengan asing. Selain itu,
menyerahkan masalah kelangkaan kedelai pada mekanisme impor juga sangat rentan
dengan bahaya laten korupsi. Skandal kasus sapi berjanggut (kader Partai
Keadilan Sejahtera yang terkena kasus korupsi daging impor) telah menjadi sebuah
bukti nyata. Kenapa harus menyerahkan pada mekanisme impor, padahal pemerintah sebenarnya
bisa menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan terdapat
varietas kedelai yang tinggi tanamannya hingga mencapai
satu meter dan bisa memberikan hasil
paling tidak tujuh kali lipat dari kedelai Jawa.
Tiba-tiba aku teringat nasihat dosenku.
Beliau mengatakan bahwa salah satu ancaman non-tradisional
bagi umat manusia ialah kelangkaan pangan yang berujung pada kelaparan. Ketahanan
pangan bangsa ini sangat mengkhawatirkan. Disaat negara-negara maju lainnya
berlomba-lomba dalam industri pertanian agar mampu memenuhi kebutuhan pangan
dalam negerinya, pemerintah justru memfokuskan diri pada industri-industri yang
kurang penting seperti industri otomotif, elektronik serta industri lainnya. Orang
Indonesia pada umunya terbiasa menjelek-jelekkan apa yang telah kita miliki dan mempromosikan yang tidak kita miliki. Ironi.
Setelah Pak Tjuk menyampaikan prolog, kini
tiba giliran Cak Nun untuk menyampaikan materi. Gaya rambutnya sama seperti aku
temui lima tahun yang lalu di Yogyakarta. Rambut gondrong yang panjangnya sebahu.
Dibalut dengan baju muslim lengan pendek berwarna putih serta kancing atas yang
tidak dikancingkan, dengan tenang Cak Nun duduk diatas terpal berwarna hijau.
Rokok kretek, korek api, serta telepon selulernya diletakkan didepannya. Di
belakangnya terdapat key board yang digunakan
untuk menghibur kami dengan lagu-lagu melayu karya Husen Bawafi.
Setelah mengucapkan salam Cak Nun
kemudian bertanya kepada kami, “ada yang masih ingat dengan lagu anak-anak
ini?”
E dayohe teko, e gelarno kloso
E klosone bedah, e tambalen jadah
E jadahe mambu, e pakakno asu
E asune mati, e kelekno kali
E kaline banjir, e kelekno pinggir
Sebagian besar dari mereka yang datang sangat familiar dengan
lagu anak-anak tersebut. Bahkan sebagian dari mereka ikut bernyanyi bersama Cak
Nun. Aku memang keturunan Jawa, namun aku besar di Jawa Barat sehingga tidak hapal
dengan lagu anak-anak tersebut.
“Lagu anak-anak tersebut jangan dianggap
remeh, karena lagu tersebut memiliki nilai filosofi,” ujar Cak Nun. Lagu
tersebut mewakili kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kondisi dimana banyak
solusi yang tidak tepat dan justru mendatangkan banyak masalah baru. “Coba kita
bedah makna lagu tersebut,” ujar suami Novia Kolopaking. Ada tamu datang, gelarkan tikar. Ketika ada tamu yang datang,
kita sebagai tuan rumah tentu akan menggelarkan tikar (menjamu tamu). Hal
tersebut merupakan sebuah tindakan yang tepat.
E tikarnya rusak. Di sini kita mulai menemukan
sebuah masalah (tikar rusak). E ditambal jadah (uli). Coba kita pikirkan secara
seksama, apakah benar menambal tikar pakai jadah? Apa yang akan terjadi kalau
tamunya duduk kemudian celananya lengket? Tentu saja tamu tersebut akan kecewa
dengan pelayanan si tuan rumah. Solusi di atas (menambal tikar yang rusak pakai
jadah) merupakan sebuah solusi yang tidak tepat dan justru mendatangkan
masalah.
E jadahnya bau (basi). Jadah yang
digunakan untuk menambal tikar yang rusak tersebut ternyata basi. Kondisi
tersebut tentu akan bertambah runyam. Sudah tikarnya sobek, celana tamunya
lengket karena jadah dan ternyata jadahnya basi serta menimbulkan bau. Tentu
saja tamu tersebut akan semakin kecewa dengan pelayanan yang diberikan oleh si
tuan rumah.
E kasihkan anjing. Jadah yang basi tersebut
dan telah digunakan untuk menambal tikar yang sobek, sekarang malah dikasihkan
ke anjing. “Anjing diseluruh muka bumi ini tentu tidak akan mau dikasih makan
jadah,” ujar Cak Nun yang langsung disertai tawa riuh seluruh hadirin. E
anjingnya mati. Masalah semakin runyam ketika anjing yang memakan jadah basi
tersebut kemudian mati. Berawal dari masalah tikar yang sobek sekarang malah berujung
pada hilangnya nyawa seekor anjing.
E dibuang ke kali yang lagi banjir. Coba
anda pikirkan bagaimana anjing yang mati kemudian bangkaianya dibuang ke kali
yang sedang banjir. Tentu hal tersebut mencemari lingkungan hidup dan merugikan orang banyak.
“Dari sini kita bisa melihat bagaimana lagu anak-anak tersebut mampu
menggambarkan kondisi bangsa ini (banyak solusi yang tidak tepat),” ujar pria kelahiran Jombang. Cara berpikir kami mulai terbuka.
Sering kali dalam kehidupan ini, kita tidak fokus untuk mencari sebuah solusi
yang tepat terhadap sebuah masalah. Akibatnya yang terjadi ialah timbulnya
masalah-masalah baru yang berkepanjangan.
“Anda harus menjadi orang merdeka sehingga punya sidik paningal (kejernihan dan ketepatan
penglihatan). Nanti puncaknya adalah putus
pamriksa (ma’rifat), di mana Anda melihat sesuatu sampai ke ufuknya secara
sangat jelas. Jangan sampai anda melangkah lebih lanjut sebelum meyakini
kepastian bahwa solusi yang anda lakukan sudah tepat. Perkara gagal itu lain
masalah, tapi ketepatan adalah nomor satu.”
Setelah mengkaji makna filosofis dari
lagu anak-anak, Cak Nun kemudian mulai merambah kebisnis kosmetik. “Bisnis
kosmetik ki neng Indonesia gak bakalan rugi,” ujar Cak Nun. “Karena
bisnis kosmetik ini sebenarnya hanya memberikan kesan cantik, bukan menjadikan cantik,” katanya. Banyak dari wanita
yang tampil lebih percaya diri ketika telah menggunakan bedak serta alat-alat
kosmetik lainnya. Sebenarnya sama saja, karena yang dijual oleh bisnis kosmetik
ialah kesan dan mimpi cantik. Kalau kita perhatikan dengan seksama mayoritas produk
kosmetik di Indonesia bersifat memutihkan. Mulai dari sabun, bedak, body lotion hingga pasta gigi semuanya memiliki
kandungan pemutih. Padahal kulit orang Indonesia mayoritas sawo matang. Dengan menggunakan
model-model yang berkulit putih dalam mengiklankan produknya,
perusahaan-perusahaan kosmetik berupaya untuk menstadardisasikan kecantikan. Demi
keuntungan materi, perusahaan kosmetik menafikkan
bahwa kecantikan bersifat relatif. Mereka (perusahaan kosmetik dan sebagian
wanita serta pria) lupa bahwa kecantikan yang hakiki ialah kecantikkan yang
berasal dari hati yang diwujudkan melalui sebuah sikap dan tutur kata.
Setelah membahas bisnis kosmetik,
tiba-tiba Cak Nun berdoa. “Tak doakan semua yang datang di sini bisa memiliki
negara sendiri, memiliki presiden sendiri dan pemerintahan sendiri.” Sebagian
besar hadirin tidak mengerti apa maksud dari doa Cak Nun tersebut. Ternyata Doa
Cak Nun tersebut bermakna sindirian bagi negara
ini. Bagi Cak Nun Indonesia saat ini bukanlah
sebuah negara. Tiba-tiba aku teringat sewaktu kuliah. Salah satu dosenku, Pak Himawan
Bayu, pernah mengatakan bahwa salah satu fungsi dari negara ialah melindungi
rakyatnya, baik itu dari ancaman negara lain maupun ancaman-ancaman kemanusiaan
lainnya seperti bencana alam, epidemi penyakit maupun kelaparan. Namun
ironisnya, fungsi negara tersebut tidak terlihat di sini, di Indonesia. Masih banyak
anak jalanan yang tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Orang miskin yang kelaparan dan hidup secara tidak layak. Angka
pengangguran cukup tinggi, namun lapangan pekerjaan semakin tidak tersedia,
serta masih banyak permasalahan sosial lainnya yang hingga saat ini masih belum
bisa diselesaikan oleh negara. Satu pertanyaan
relevan yang dapat kita ajukan ialah, Where
is the state?
“Negara yang konon katanya saat ini
merupakan negara modern, sebenarnya tidak lebih baik dibandingkan dengan Kerajaan
Majapahit,” ujar Cak Nun. Di Kerajaan Majapahit dulu ada upacara kendi mas. Kendi
mas ialah sebuah kendi yang terbuat dari emas yang berisi air. Dalam upacara
kendi mas yang diselenggarakan tiga puluh lima hari sekali, tokoh-tokoh
masyarakat dari setiap daerah persemakmuran Majapahit akan berkumpul untuk
bergiliran meminum air dari kendi mas tersebut. Hayam Wuruk selaku raja, akan
mendapat giliran terakhir. “Itu semua dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk
menghormati daerah-daerah persemakmurannya.”
Cak Nun kemudian berpendapat bahwa
fenomena yang sedang terjadi saat ini (Vicky) merupakan sebuah lelucon semata.
“Banyak orang yang saat ini justru sibuk berkomentar mengenai Vicky. Padahal
masalah-masalah yang sebanarnya sedang terjadi saat ini seperti kelangkaan
kedelai, nilai tukar rupiah yang rendah serta masalah-masalah lainnya justru
terlupakan.” Cak Nun kemudian menambahkan bahwa dirinya tidak percaya terhadap
pemberitaan yang dilakukan oleh media masa, seperti TV one, Media Indonesia ataupun
MNC. Bagi Cak Nun pemberitaan yang dilakukan oleh media-media tersebut sarat
dengan berbagai macam kepentingan. Ternyata Cak Nun merupakan salah satu
pengikut dari analisis Framing pikirku dalam hati. Dengan menggunakan analisis
Framing kita bisa melihat bagaimana realitas dibingkai oleh media. Melalui
analisis Framing, kita juga dapat mengetahui siapa mengendalikan siapa, mana
lawan mana kawan, mana patron mana klien, siapa diuntungkan dan siapa
dirugikan, siapa membentuk dan siapa dibentuk. “Nek pingin pekok yo kono tontonen acara televisi ben dino,” ujar
Cak Nun yang kemudian diiringi suara tawa.
Tidak lama kemudian hujan turun. Kami
yang hadir diminta oleh Cak Nun untuk merapat. “Kalau kita semua yang hadir di
sini ikhlas hujan turun, InsyaAllah tidak sampai lima menit hujan akan reda,”
ujar Cak Nun menenangkan kami. Apa yang dikatakan Cak Nun terjadi. Tidak sampai
lima menit hujan reda. “Jane pas aku
ngomong hujan reda, asline rodok wedi,” ujar Cak Nun. Takut karena mendahului kehendak yang Maha Kuasa. Namun Cak Nun
menilai bahwa Allah SWT itu Maha Pengasih dan Penyayang. Karena Maha Pengasih
dan Maha Penyanyang itulah, Allah SWT mengetahui bahwa kami yang hadir di acara
kenduri cinta tersebut memang benar-benar ingin menuntut ilmu, sehingga Allah SWT tidak ingin mempersulit hambanya yang
ingin menuntut ilmu.
Tidak lupa Cak Nun mengajarkan bagaimana
seharusnya kita bisa berpikir secara
asosiatif
dan imajinatif. “Gak sah sekolah
duwur-duwur rek,” ujar Cak Nun. Cak Nun mencontohkan, kalau kita melihat
salah satu objek, kita seharusnya mampu mengakaitkan objek tersebut dengan
objek lainnya. Sebagai contoh, jika kita melihat sebuah pisang, otak kita harus
bisa mengkaitkan dengan hal lainnya seperti, monyet ataupun pisang goreng. Dari monyet kita bisa mengkaitkan dengan kebun binatang
ataupun objek-objek yang lainnya. Dengan kemampuan mengkaitkan antara satu objek dengan objek lainnya tersebut makan imajinasi
kita akan terus terasah.
Cak Nun kemudian bercerita mengenai
Sumantri dan Sukrasana. Sumantri dan Sukrasana merupakan kakak beradik. “Sumantri
dan Sukrasana ini pada dasarnya sama-sama ingin memperbaiki negerinya,” ujar
Cak Nun. Hanya saja metodenya yang berbeda. Sumantri ingin memperbaiki
negerinya dari dalam, dengan cara menjadi birokrat, sedangkan Sukrasana tetap
menjaga jarak (tidak menjadi birokrat namun LSM) dengan pemerintah yang
berkuasa. Hal ini sepertinya pernah aku ketahui ketika aku berkuliah.
Memperbaiki negeri dengan cara menjadi birokrat maupun tetap menjaga jarak agar
tidak terjerumus arus (korupsi, kolusi dan nepotisme) sebenarnya masih bersifat
unfinish debate. Menjadi birokrat
berarti masuk ke dalam arus. Yang menjadi masalah ialah, apakah orang yang
masuk arus tersebut mampu mengendalikkan arus atau justru sebaliknya. Sedangkan
orang yang menjaga jarak, tidak memiliki kewenangan, karena yang mereka bisa
lakukan hanya mengawasi, berdemonstrasi namun tidak bisa mengambil sebuah
kebijakan. Kondisi tersebut sama dengan kondisi Indonesia saat ini. Partai
oposisi hanya mampu berupaya mempengaruhi kebijakan, namun pada dasarnya partai
oposisi tidak bisa membuat sebuah kebijakan. Tidak ada partai politik dimana
pun yang selamanya mau menjadi oposisi. Mereka tentu akan berupaya untuk
merebut simpati masyarakat agar dapat menjadi partai yang berkuasa. Bagi Cak
Nun, pada dasarnya baik partai oposisi maupun partai yang berkuasa di Indonesia
saat ini sama-sama perampok. Mereka (partai-partai politik) hanya menunggu
giliran saja. “Yo nek saiki dadi
oposisi, yo ngemis ndhisek rek. Ngko nek wes menang pemilu yo lagi iso
nggarong.”
Salah satu pelajaran lagi yang diberikan
oleh Cak Nun pada hari Jum’at malam itu ialah mengenai hakikat dari sebuah
kehidupan. “Urip ki asline yo mung nggur hijrah,”
ujar ayah Noe, vokalis band Letto. Mari kita renungkan sejenak. Makan ialah
peristiwa hijrahnya makanan yang ada dihadapan kita ke dalam perut kita. Begitu
pula peristiwa-peristiwa yang lainnya. Oleh sebab itu kita memang dituntut
untuk selalu berhijrah. Bahkan kiamat sendiri juga merupakan sebuah peristiwa
hijrah. Kiamat sendiri proses hijrahnya kehidupan yang fana di dunia ke
kehidupan yang abadi di hari akhir. “Saya harap teman-teman yang hadir di sini,
ketika pulang mampu menjadi pribadi yang merdeka. Kebahagian yang sejati
sebenarnya ialah bukan ketika kita memiliki banyak uang. Namun kebahagian yang
hakiki ialah ketika kita semua tahu
proses-proses dalam kehidupan ini.”
Dakwah beliau pun berakhir. Kemudian Cak
Nun dipersilakan untuk beristirahat sebentar sambil menunggu adanya pertanyaan
dari hadirin. Sambil duduk bersila Cak Nun mulai menghisap dalam-dalam rokok
kreteknya. Begitupun orang-orang yang hadir. Mereka memang dipersilakan untuk
merokok. Sering kali dalam acara dakwah beliau juga dihadiri oleh anak-anak
jalanan, kupu-kupu malam dan orang-orang yang termarginalkan. Namun di acara
kenduri cinta, kami yang hadir memiliki sebuah kesamaan, yakni Iqra. Perintah Allah SWT yang pertama
kali turun tersebut (iqra) memiliki
makna bacalah. Ya membaca yang bisa diartikan belajar. Teman belajar pun bisa
dari kalangan mana saja yang penting mempelajari hal yang baik.
Pertanyaan-pertanyaan kemudian
terlontar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki beberapa kesamaan yakni,
rasa skeptis untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut Cak Nun kemudian merujuk firman-Nya, bahwa Allah
SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut berupaya untuk
merubah nasibnya sendiri. “Kenduri cinta ki
jane cuma dalan. Dalan menuju Indonesia yang lebih baik.
Tapi keputusan terakhir ono nek neng
tangan Gusti Allah SWT rek. Sing penting kene wes berupaya.”
Cak Nun juga memberikan nasihat bahwa lapar itu lebih baik dibandingkan
kenyang. “Sing gak oleh kan nek kelaparan,”
ujar Cak Nun. Puasa merupakan salah satu contohnya. Ketika berpuasa tentu kita
akan merasa lapar, namun Allah SWT memerintahkan untuk segera berbuka jika
telah tiba saatnya untuk berbuka. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa kita
berpuasa tidak boleh sampai menyiksa diri kita (kelaparan).
Tak terasa malam semakin dingin. Cak Nun
pun kemudian mengakhiri acara kenduri cinta malam itu dengan doa bersama. Dalam perjalanan
pulang aku berusaha mungkin untuk mengingat dan mengimplementasikan
nasihat-nasihat Cak Nun tersebut. Hidup merupakan sebuah proses. Namun
celakanya seringkali kita berorientasi pada hasil dan mencari jalan pintas.
Seringkali rasa ingin tahu kita tentang sebuah proses dan kenikmatan kita
berproses telah digantikan dengan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya.
Kalau ingat Cak Nun, jadi ingat salah satu teman KKT kita Galih, dia juga mengidolakan Cak Nun. Ada satu yang menggelitik pikiranku Sar, dan sebenarnya pertanyaan ini muncul sejak lama dan tak terjawabkan.
BalasHapusDiatas dituliskan, aku memang keturunan Jawa, tapi besar di Jawa Barat. Bedanya apa ya? Bukannya sama-sama Jawa? Atau perbedaan Sunda dan Jawa? Pertanyaan ini pernah sekali muncul dipikiranku dulu. Pernah suatu kali aku main dirumah temanku di Daerah Jawa Barat. Ibu temanku bercerita pada tetangganya, "Ada tamu dirumah, teman anakku dari Jawa". Loh aku kan masih di Jawa? Bedanya apa? Temanku itu pun gak bisa menjawab sampai sekarang hehehe...
Follback yo sar :)
Assalamu'alaikum
BalasHapusteruslah belajar dan mengejar apa yang kakak impikan...
semoga selalu dalam lindungan Allah SWT
Amin...
Ya sebenarnya hanya pada kebiasaan saja.
BalasHapusEtnis Jawa berbeda dengan Sunda. Kepulauan juga merujuk pada nama Jawa.
Keturunan Jawa namun besar di Jawa Barat jelas memberikan pengaruh yang beda. Lingkungan, teman-teman dll.
Walaikumsalam
BalasHapusThanks :)
saya......saya........saya........
BalasHapusTrima kasih atas informasinya...seneng baca tautannya Cak Nun..suatu pembelajaran..
BalasHapusTrima kasih atas informasinya...seneng baca tautannya Cak Nun..suatu pembelajaran..
BalasHapus