Minggu, 12 Juni 2011

Pembangunan Indonesia Di Tengah Pusaran Globalisasi


Globalisasi merupakan suatu fenomena sosial yang hampir tidak bisa dibendung pengaruhnya. Bahkan negara yang menganut ideologi komunis yang menerapkan sistem perekonomian tertutup pun tidak mampu membendung pengaruh dari globalisasi. Makna  globalisasi sendiri dapat diidentifikasikan sebagai internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernisasi dan deteritorialisasi.[1] Fenomena globalisasi juga memunculkan banyak aktor-aktor dalam Hubungan Internasional (HI). Bahkan aktor-aktor transnasional tersebut mampu menyaingi peran suatu negara dalam konteks-konteks tertentu.
Yang menjadi permasalahan ialah adanya suatu perdebatan yaitu, “apakah globalisasi memberikan dampak positif atau justru sebaliknya memberikan dampak negatif bagi perekonomian dan pembangunan suatu negara?”. Pandangan golongan penentang globalisasi (pesimistis) memandang bahwa globalisasi hanya memberikan keuntungan bagi bagi negara-negara maju, bahkan tak sedikit menimbulkan bencana baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran serta semakin tingginya ketimpangan. Mereka (anti terhadap globalisasi) dengan lebih keras mengatakan bahwa globalisasi tak ubahnya seperti penjajahan dalam bentuk baru. Sedangkan golongan yang mendukung globalisasi (pro terhadap globalisasi) mengatakan bahwa globalisasi mampu mendatangkan kesejahteraan tidak hanya bagi negara maju, tapi juga bagi negara berkembang.
Dalam fenomena globalisasi sendiri yang erat kaitannya dengan pembangunan dan perekonomian suatu negara ialah dalam hubungannya dengan pasar bebas serta instrumen-instrumen kelengkapannya yakni peran World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB). Selain itu fenomena globalisasi dengan salah satu cirinya yaitu kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi berhadapan dengan kerusakan lingkungan hidup.
Indonesia juga tidak dapat luput dari pengaruh globalisasi. Perdagangan bebas yang saat ini mulai berjalan (China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA)) juga merupakan salah satu dampak dari globalisasi yang nyata dan harus dihadapi oleh bangsa ini. Tujuan mulia dari perdagangan bebas ini ialah, dengan adanya perdagangan bebas akan mendatangkan kesejahteraan bagi semua pihak. Namun pada faktanya perjanjian yang mulai diberlakukan pada bulan Januari 2010 ini belum mampu menjawab tujuan di atas. Data menunjukkan, per akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-Cina defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari Cina sebesar 52 miliar dollar AS.[2]
Mekanisme perdagangan bebas yang mewajibkan negara yang terlibat di dalamnya untuk menghilangkan seluruh hambatan-hambatan seperti kuota dan tarif, membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan produk Cina. Dampaknya ialah produk dari Cina lebih diminati hal ini mengakibatkan mulai banyaknya produsen dalam negeri yang produknya tidak mampu bersaing dengan produk Cina, sekarang gulung tikar. Sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan dan dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja, pada tahun 2010 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK).[3] Hal inilah yang menambah angka pengangguran. Kemudian yang menjadi masalah ialah lapangan pekerjaan jumlahnya juga tidak bertambah secara signifikan.
Pertanyaan selanjutnya ialah, “bagaimana pemerintah Indonesia ingin mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), jika hingga saat ini justru tingkat pengangguran jumlahnya semakin tinggi?” Ke-8 poin MDGs yang ingin dituju, rasanya hanya ilusi semata. Tingkat pengangguran yang tinggi akibat adanya perdagangan bebas, tentu akan bermuara dengan meningkatnya angka kemiskinan. Di mana penduduk yang miskin lebih rentan terhadap kelaparan dan berbagai penyakit.
Dari hasil terakhir penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2009 ialah 14,5 persen, sedangkan pada tahun 2010 penduduk miskin di Indonesia mencapai 13,3 persen.[4] Dari hasil survei tersebut kita dapat melihat bahwa terjadi adanya penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun 2009 ke tahun 2010. Namun kondisi di lapangan menunjukkan hal yang bertolak belakang dengan hasil survei yang dilakukan oleh BPS. Banyak masyarakat Indonesia yang semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Indonesia akan sulit untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari kemiskinan dan kelaparan pada tahun 2015 sesuai dengan cita-cita MDGs karena merujuk dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs.[5]
Namun perkiraan di atas bertolak belakang dengan kenyataan. Tahun 2009 dan 2010 penduduk miskin di Indonesia justru menunjukkan penurunan. Hal ini dikarenakan pada tahun 2008-2009 banyak negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya terkena krisis global. Hal inilah yang menjadikan perekonomian Indonesia terus tumbuh dan angka kemiskinan sedikit berkurang. Sedangkan pada tahun 2010 negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sedang banyak membutuhkan dana untuk memulihkan kondisi perekonomiannya sejak terlilit krisis global tahun 2008.
Ke-8 tujuan MDGs ini semakin sulit dicapai ketika negara-negara maju seperti AS dan negara-negara Eropa Barat ini terkena krisis global dan hingga saat ini masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Padahal negara-negara maju yang diharapkan menjadi fondasi dalam memberikan bantuan sedang terlilit hutang publik dan defisit anggaran yang sangat besar. Tahun ini defisit anggaran AS setara 10% PDB-nya. Rasio defisit Inggris 13,3%, Perancis 8,6%, Jepang 8,2%, Italia 5,4%, Jerman 5,3%, dan Kanada 5,2%. Mereka juga terlilit hutang yang terus bertambah. Hutang publik AS 96,2% PDB, Jepang 104,6%, Italia 100,8%, Perancis 60,7%, Inggris 59%, Jerman 54,7%, sedangkan Kanada 32,6%.[6]
Globalisasi di sini juga ditandai dengan makin maraknya industrialisasi di Indonesia. Banyak investor-investor asing yang tertarik untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA Indonesia. Beroperasinya banyak Multi National Corporations (MNCs) di Indonesia mampu memberikan dampak positif sekaligus dampak negatif. Dampak positifnya ialah MNCs tersebut mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga banyak pengangguran yang terserap. Pajak yang dikenakan terhadap MNCs juga mampu menambah kas negara. Salah satu dampak negatifnya dan berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama ialah semakin rusaknya lingkungan hidup. Tragedi pencemaran Teluk Buyat yang disebabkan karena beroperasinya PT. Newmont tentu seharusnya mampu dijadikan pengalaman oleh pemerintah. Pencemaran-pencemaran yang terjadi di teluk Buyat antara lain :
·      Teluk Buyat yang merupakan tempat mencari nafkah bagi sebagian warganya telah tercemar arsen dan merkuri dari limbah yang dibuang
·      keanekaragaman hayati kehidupan laut di Teluk Buyat menurun akibat pencemaran Arsen.
·      kadar merkuri dan arsen dalam ikan yang beresiko bagi kesehatan penduduk  
·      Kadar Arsen dalam air minum melampaui baku mutu PERMENKES
·      Kadar Logam Berat dalam udara di Dusun Buyat Pante secara keseluruhan paling tinggi dibandingkan desa lainnya. 
·      Pembuangan limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya Melanggar undang-undang pengelolaan limbah beracun.[7]
Globalisasi memang mampu memberikan manfaat dan juga mendatangkan bencana. Tapi fenomena ini memang pengaruhnya tidak mampu dibendung lagi. Sehingga pemerintah seharusnya bukannya melarikan diri dari fenomena ini. Yang diperlukan ialah persiapan yang cukup untuk berkompetisi di dalamnya. Memang saat ini komitmen pemerintah untuk menyambut globalisasi dirasa setengah hati bahkan cenderung mengabaikannya.
Untuk menghadapi CAFTA, pemerintah seharusnya mampu memperbaiki infrastruktur terlebih dahulu. Karena seperti kita ketahui, bahwa di Indonesia merupakan ekonomi biaya tinggi. Di mana proses distribusi barang dari tempat produksi ke pasar memerlukan biaya yang tinggi. Sehingga barang-barang produksi lokal kalah  bersaing dalam harga dengan produk yang berasal dari Cina. Selain itu konsolidasi antar lembaga yang terkait seharusnya diperkuat kembali. Integrasi lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan perekonomian negara seharusnya diperkuat kembali. Kemudian pemerintah seharusnya mampu membina dan membantu usaha-usaha yang memang menjadi keunggulan komparatif Indonesia, bukan justru mengabaikannya. Daya saing industri lokal harus benar-benar mampu menyaingi produk-produk dari luar, karena kata kunci dari perdagangan bebas ialah kompetisi.
Mengenai hubungan antara MNCs yang beroperasi di Indonesia dengan rusaknya lingkungan hidup memang sangat sulit untuk dijawab. Paling tidak menurut saya pemerintah seharusnya mampu mengimplementasikan suistanable development dengan baik. Kearifan-kearifan lokal seharusnya dilibatkan dalam pembangunan. Karena kearifan lokal di sini justru mampu mengurangi resiko kerusakan lingkungan hidup. Dengan melakukan pembenahan di berbagai sektor, saya yakin bahwa Indonesia dengan kekayaan SDA nya mampu bersaing dengan negara-negara lainnya dalam pasar bebas. Bukan hal yang tidak mungkin justru kitalah yang akan muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia. 






[1]  John Baylis and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: In Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press
[2] http://kompas.com  tanggal 11 April 2011
[3] http://kompas.com  tanggal 11 April 2011
[4] http://www.bps.go.id diakses pada tanggal 21 Februari 2011
[6] http://www. Ilusi MDGs Mengentaskan Kemiskinan.htm, diakses pada tanggal 21 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar