Kamis, 16 Juni 2011

Refleksi Pembangunan di Indonesia


Negara Indonesia sudah hampir berusia 66 tahun. Semenjak Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mulai menata sistem politik dan sistem perekonomiannya. Namun semenjak zaman Orde Lama (Orla) di bawah pemerintahan Soekarno, perekonomian Indonesia justru semakin terpuruk, hal ini dapat dilihat dari tingkat inflasi yang hampir mencapai seribu persen pada saat pertengahan 1960.[1] Di sisi lain, Presiden Soekarno lebih concern terhadap politik luar negeri yang konfrontatif dan mengabaikan kondisi perekonomian serta pembangunan. Hal ini jugalah (permasalahan perekonomian) yang akhirnya menyebabkan Soekarno jatuh dari tampuk kekuasaannya.
Setelah rezim Soekarno jatuh dan digantikan oleh Presiden Soeharto, Indonesia mulai memprioritaskan perekonomian dan pembangunan. Prestasi pembangunan yang dilakukan pada masa Presiden Soeharto sungguh mencengangkan. Indonesia mampu mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pertahun, swasembada beras tahun 1984, jumlah orang miskin berkurang dari sekitar 56% pada tahun 1970 menjadi sekitar 13% tahun 1996.[2] Prestasi yang mengagumkan inilah yang menjadikan Indonesia dianggap sebagai salah satu macan Asia, setelah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Modernisasi merupakan salah satu teori yang digunakan untuk membangun perekonomian di Indonesia. Teori modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan gagasan tentang perubahan sosial. Modernisasi sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner dan bersifat kompleks. Teori ini juga dipergunakan dikalangan interdisiplin, seperti dalam kajian sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan bahkan agama.[3] Sehingga modernisasi di sini ialah memodernkan beberapa aspek (perekonomian, teknologi, masyarakat dan lain-lain) di negara yang sedang berkembang yang dirasa tertinggal.
Dalam konteks pembangunan yang dilakukan selama periode pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia memang menjadikan negara-negara Barat sebagai kiblat pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pada saat Presiden Soekarno lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Presiden Soeharto, kondisi perekonomian Indonesia sedang mengalami carut-marut. Untuk mengatasi permasalahan ekonomi ini Presiden Soeharto membutuhkan pinjaman dari negara-negara Barat. Hal inilah yang menjadikan Presiden Soeharto dekat dengan Barat. Dalam melakukan pembangunan pula Indonesia mengikuti ‘resep-resep’ pembangunan dari Barat. Strategi-strategi yang diimplementasikan oleh Presiden Soeharto, diantaranya:
·      mengejar pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang ingin menjadi negara maju seperti negara-negara Barat, mempunyai strategi mengejar pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi di gagas oleh Walt Withman Rostow. Rostow berpendapat bahwa ada 5 tahapan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, yaitu masyarakat tradisional, prasyarat tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan, dan konsumsi massa yang tinggi.[4] Untuk menjadi negara yang modern, suatu negara yang sedang berkembang harus memiliki modal yang cukup yang digunakan untuk membangun. Development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Rostow juga beranggapan bahwa pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses yang multidimensional.
Indonesia yang mengimplementasikan teori ini, pada masa Orba mulai menarik investasi dari asing dan mencari bantuan hutang ke luar negeri untuk menjadikan masyarakat Indonesia modern. Kita bisa melihat pada tahun 1967 Indonesia telah bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF). Bergabungnya Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut, menyebabkan IMF dan Bank Dunia pada tahun 1968 mengevaluasi dan memformulasikan kondisi ekonomi Indonesia untuk menentukan bantuan keuangan selanjutnya.[5] Selain itu untuk menarik para investor asing sejak tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi.
·      Industrialisasi
Pada rezim Orba berkuasa, sektor industri juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari industrialisasi yang dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah. Program industrialisasi yang dilakukan diantaranya ialah, pembangunan kawasan industri di daerah Jakarta, Karawang Cilacap, Surabaya, Medan, dan Batam. Hal ini sesuai dengan anjuran IMF, yakni anjuran untuk mengambil kebijaksanaan pintu terbuka, yang memungkinkan masuknya investor dari berbagai negara ke Indonesia. Sektor-sektor industri yang dibangun oleh pemerintah diantaranya, industri pertanian, mengembangkan industri non pertanian terutama minyak dan gas bumi, industri perkapalan dengan dibangun galangan kapal di Surabaya yang dikelola oleh PT.PAL Indonesia dan pembangunan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kemudian berubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia
Pola pembangunan yang dilakukan pada masa Orba bahkan hingga saat ini, yang lebih menitikberatkan pada pencarian modal baik itu malalui investasi luar negeri hingga mencari bantuan hutang luar negeri inilah yang menjadikan Indonesia terus bergantung dengan pihak asing. Ketergantungan ini jugalah yang mengakibatkan Indonesia jatuh karena krisis moneter di tahun 1997-1998. Walaupun pembangunan yang dilakukan oleh Indonesia mulai menunjukkan hasil yang progresif, namun hingga saat ini Indonesia belum mampu untuk menyaingi negara-negara maju. Hal ini hampir selaras dengan teori dependensia.
Teori depedensia ini dicetuskan oleh Ander Gunder Frank. Frank memiliki hipotesis diantaranya:
a.    dalam struktur hubungan antara negara-negara metropolis maju dengan negara-negara pinggiran yang terbelakang, pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak pinggiran akan tetap dalam posisi keterbelakangan
b.    negara-negara miskin yang sekarang menjadi negara pinggiran, perekonomiannya dapat berkembang dan mampu mengembangkan industri yang otonom bila tidak terkait (delinkages) dengan negara-negara metropolis dari kapitalis dunia, atau kaitannya sangat lemah
c.    kawasan-kawasan yang sekarang sangat terbelakang dan berada dalam situasi yang mirip dengan situasi dalam sistem feodal adalah kawasan-kawasan yang pada masa lalu memiliki kaitan yang kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional, kawasan-kawasan ini adalah penghasil ekspor barang mentah primer yang terlantar akibat adanya hubungan perdagangan internasional. [6]
 Hingga saat ini Indonesia belum berani untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara maju. Justru Indonesia semenjak periode Orla, Orba, hingga pasca Orba selalu mengalami dilema antara independesi dengan pembangunan. Hal ini dikarenakan Indonesia selalu membutuhkan bantuan asing. Pilihan yang mengutamakan negara donor seringkali harus mengesampingkan pada prinsip independensi, sedangkan sebaliknya, pilihan yang mengutamakan pada independensi akan mengorbankan pembangunan. Indonesia sebenarnya sudah menyadari bahwa ketergantungan pada pihak asing, bisa membahayakan perekonomiannya. Namun implementasinya ialah pemerintah Indonesia tidak berani dan tegas untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara maju tersebut. Hal ini jugalah yang seringkali berdampak pada pelanggaran-pelanggaran kedaulatan bahkan hingga pelecehan terhadap Indonesia.
Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh Brasil, Brasil di bawah pemerintahan Presiden Cardoso berani untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara core. Cardoso berpendapat bahwa untuk menghentikan ketergantungan ini (ketergantungan dengan pihak asing) Brasil harus berani mengalihkan konsentrasi ekonomi yang tadinya mengekspor raw material ke negara core, menjadi penggunaan hasil  Sumber Daya Alam (SDA) yang diolah oleh industri dalam negeri. Cardoso melihat bahwa Brazil memiliki penduduk yang cukup besar, sehingga jika hasil SDA di kelola dalam negeri dan hasil proses produksinya tersebut di konsumsi oleh masyarakat dalam negeri ini akan mendatangkan spill over effect. Spill over effect di sini terlihat dari mulai berkembangnya industri-industri kecil pengolah hasil SDA dan ini juga akan berdampak terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakan Brazil. Selain itu Cardoso juga berani untuk melepaskan diri (Brasil) dari ketergantungannya terhadap negara core. Hasilnya bisa kita lihat bersama Brasil saat ini tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Walaupun Indonesia belum mampu tumbuh menjadi negara yang maju dan modern, namun pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini sudah mulai memperlihatkan hasil yang progres. Ini dapat dilihat dari posisi Indonesia yang berawal dari negara periphery, sekarang mulai beranjak menjadi negara semi periphery. Bahkan ada ramalan bahwa Indonesia akan tergabung dengan kekuatan ekonomi baru bersama dengan Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC). Ini juga dapat dilihat dari tergabungnya Indonesia menjadi anggota G20. Perekonomian dan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga makin kokoh. Hal ini dapat dilihat dari perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang tidak terhempas karena krisis global di tahun 2008. Justru negara-negara Barat, khususnya AS terkena krisis global pada tahun 2008 dan hingga saat ini terus berupaya memulihkan perekonomiannya. Bahkan negara seperti Yunani dan Portugal hingga saat ini masih berupaya keluar dari dampak krisis tersebut. Salah satu penyebab Indonesia berhasil bertahan dari krisis global pada tahun 2008 ialah perekonomian di Indonesia lebih banyak berkutat di sektor riil dibandingkan sektor non riil. Selain itu perekonomian Indonesia juga tidak terlalu tergantung pada sektor ekspor, melainkan sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam negeri.
Menurut World System Theory yang dicetuskan oleh Imanuel Wallerstein, ada tiga kutub model negara, yakni negara pusat, semi pinggiran dan pinggiran.[7] Kategori semi pinggiran diajukan mengingat diperlukannya model tengah bagi negara-negara pinggiran untuk menghindari krisis. Selain itu, negara semi pinggiran juga diperlukan untuk memungkinkan reinvestasi maupun relokasi modal bagi pemilik modal dari negara center untuk akumulasi lebih lanjut. Melalui pembahasan tata ekonomi kapitalis dunia ini, Wallerstain dan pengikutnya pada dasarnya mencita-citakan suatu tata ekonomi dunia yang berkeadilan ekonomi dan politik atau dunia yang demokratis dan egaliter.
Di Indonesia sendiri strategi-strategi dari negara pinggiran menuju negara semi pinggiran dan yang terakhir menjadi negara pusat sudah pernah untuk coba dijalankan. Posisi Indonesia saat ini ialah negara pinggiran. Dalam proses dari negara pinggiran menjadi negara semi pinggiran Indonesia melakukan strategi-strategi seperti:
·      Melakukan Industri Subtitusi Impor (ISI).
Indonesia telah mencoba untuk menerapkan program ini. Banyak sektor-sektor industri yang dibangun untuk melaksanakan ISI. Kita dapat melihat dari adanya industri perkebunan, bahan mentah, pendukung manufaktur, hingga industri oromotif di Indonesia.
·      Mengundang modal asing dengan menyediakan segala bentuk kemudahan.
Program ini dapat dilihat dari sejak tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di bidang industri dan investasi.
·      Mengundang minat Multi National Corporation (MNCs)
Program ini juga dapat dilihat dari upah tenaga kerja Indonesia yang cukup murah. Program lainnya yang digunakan pemerintah untuk menarik investor asing ialah dengan menciptakan kestabilan politik dan keamanan. Namun program di atas harus terus di tambah dengan program lainnya, karena pada faktanya banyak investor asing yang lebih tertarik berinvestasi di negara lain karena mereka memiliki berbagai kemudahan seperti, tax holiday, kemudahan mengurus perizinan usaha serta infrastruktur yang mendukung.
Sedangkan strategi untuk menjadi negara pusat yang saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah Indonesia diantaranya,
·      Memperluas jaringan pasar
Banyak industri-industri di Indonesia yang sekarang pemasaran produknya berorientasikan pada pasar internasional. Sebagai contoh ialah, industri kerajinan dan industri rokok. Perusahaan-perusahaan di Indonesia juga terus memperbaiki kualitasnya agar mampu bersaing dengan produk asing di pasar internasional.
·      Melakukan subsidi
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya untuk membantu dan melindungi masyarakatnya yang tidak mampu. Kita dapat melihat dari program pemerintah yang memberikan subsidi bagi masyarakat yang tidak mampu seperti, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), program Kredit Usaha Rakyat (KUR), program PNPM mandiri, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga program Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
·      Memanipulasi selera konsumen dengan promosi
Usaha yang telah dilakukan pemerintah ialah dengan cara menekankan kembali pada masyarakat untuk mencintai dan menggunakan produk-produk dalam negeri. Peraturan penggunaan kain batik pada instansi-instansi pemerintah pada hari Kamis dan Jum’at ialah contoh nyata usaha pemerintah. Selain itu banyak perusahaan-perusahaan milik Indonesia yang menuliskan kata-kata dalam setiap produknya “100% Indonesia” atau “bangga produk Indonesia”.
Dalam melaksanakan pembangunan, ada baiknya Indonesia belajar kepada negara Jepang. Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia yang berasal dari benua Asia. Menurut data yang dilansir Humant Development Index (HDI) dan Freedom House (1998-2005), Jepang menempati posisi ke 11 diantara negara yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi.[8] Dalam segi korupsi pun, Jepang ternyata juga menorehkan prestasi. Terbukti dari data yang yang dilansir oleh Freedom House dan Transparancy Internasional (1998-2005), Jepang tergolong memiliki tingkat korupsi yang rendah. Lebih hebatnya, keberhasilan Jepang dalam kedua hal tersebut juga diiringi oleh tingkat demokrasi politik yang tinggi dengan Freedom Index (FI) berada pada kisaran 1-2,5.[9]
Kalau kita pelajari ada beberapa ciri menonjol dalam model ekonomi di Jepang yang berbeda dengan teori-teori membangun dari Barat, diantaranya adalah:[10]
·      Negara menjadi sentral dalam penentuan keputusan jangka panjang, pertumbuhan ekonomi, konsensus antar lembaga, pengembangan teknologi dan seterusnya. Namun, negara melakukan sangat sedikit sekali campur tangan dalam tingkat pelaksanaannya.
·      Kemitraan negara atau birokrasi dengan kaum wiraswasta dalam rangka merebut pasar dunia. Sehingga antara negara dan wiraswasta terjadi kerja sama yang baik dalam merebut pasar dunia tersebut dan terhindar dari rivalitas yang tidak perlu. Maka dikenalah istilah Japan Incorporated sebagai kunci keberhasilan model Jepang.
·      Sistem subsidi untuk kebutuhan pokok yang menjamin secara selektif proses redistribusi kepada para petani serta kelas-kelas sosial yang rendah lainnya dari hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, terutama kinerja dari hasil penguasaan dunia berkat kinerja yang tidak mengulang model barat dalam industrialisasi, praktik manajemen sumber daya manusia dan pengembangan teknologi mereka.
·      Hampir tidak signifikan peran serikat buruh dalam proses pengambilan keputusan ekonomi politik. Akan tetapi hal tersebut dikompensasi oleh proses mikro perusahaan dalam bentuk konsultasi reguler, mulai dari yang sifatnya harian, mingguan, bulanan dan seterusnya, yang inheren dalam sistem ‘bekerja seumur hidup’. Pada gilirannya sistem ini menjamin tingkat kesejahteraan buruh serta tingkat full employment dalam sistem ekonomi keseluruhan.
Prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh Jepang tidak lain karena disebabkan oleh adanya percampuran kearifan lokal, budaya hingga agama dengan ‘resep-resep’ pembangunan dari Barat. Dalam hal pemerataan pendapatan misalnya tidak terlepas dari adanya nilai tradisional konfusianisme yang mampu mengeliminasi masalah kelas sosial. Jepang juga menjadi bukti keunggulan teori heterodoks, dimana dalam teori heterodoks sangat memperhatikan nilai-nilai lokal, agama dan kondisi struktural serta kultural yang ada di negara sedang berkembang.[11] Bahkan nilai-nilai tersebut direaktualisasikan dalam proses pembangunan.
Belajar dari keberhasilan pembangunan di Brasil dan Jepang, seharusnya pemerintah Indonesia mulai berani sedikit demi sedikit melepaskan ketergantungannya dengan pihak asing. Hubungan kerja sama dengan pihak asing ini memang mampu memperbaiki perekonomian Indonesia melalui penyerapan tenaga kerja dan mendatangkan devisa. Namun jika dikaji dengan seksama alangkah arifnya jika SDA yang melimpah di bumi pertiwi ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan berani belajar untuk melepaskan ketergantungan ini, Indonesia kelak akan mampu dihargai. Karena sering kali ketergantungan dengan pihak asing ini dijadikan oleh pihak asing sebagai senjata untuk melecehkan bangsa ini.
 Walaupun saat ini pembangunan di Indonesia sudah mampu membawa negara ini menjadi negara semi periphery, namun yang merasakan akan hasil dari pembangunan ini kebanyakan ialah masyarakat perkotaan. Sedangkan masyarakat pedesaan tidak terlalu bisa menikmati hasil dari pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak terlalu bermanfaat jika tidak diiringi dengan pemerataan. Justru ketimpangan pembangunan yang semakin mencolok antara masyarakat dan pedesaan hanya akan memicu berbagai konflik.
Selain itu sudah seharusnya Indonesia mulai melakukan pembangunan dengan berkaca dengan kondisi riil dalam negeri. Karena tidak selamanya ‘resep-resep’ pembangunan dari Barat benar adanya. Karena bisa jadi ‘resep-resep’ pembangunan ini sarat dengan ideologi-ideologi terselubung.


[1] Ganewati Wuryandari. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 108.
[2] Didin S. Damanhuri. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan; Teori, Kritik dan Solusi Bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor: IPB Press, hal. 72.
[3] Mansour Fakih. 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 54.
[4] W.W. Rostow. 1964. The Strategic of Economic Growth. Cambridge: Cambridge University
[5] Tri Nuke Pujiastuti. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 120.

[6] A.G. Frank. 1973. “The Development of Underdevelopment” in C.K Wilber (Ed) The Political Economy of Development and Underdevelopment . New York : Random House
[7] Mansour Fakih. Op.Cit, hal 139.
[8] Didin S. Damanhuri. Op.Cit, hal 73.
[9] Didin S. Damanhuri. Op.Cit, hal 73.
[10] Didin S. Damanhuri. Op.Cit, hal 74.
[11]Didin S. Damanhuri. Op.Cit,  hal. 75.

Minggu, 12 Juni 2011

Pembangunan Indonesia Di Tengah Pusaran Globalisasi


Globalisasi merupakan suatu fenomena sosial yang hampir tidak bisa dibendung pengaruhnya. Bahkan negara yang menganut ideologi komunis yang menerapkan sistem perekonomian tertutup pun tidak mampu membendung pengaruh dari globalisasi. Makna  globalisasi sendiri dapat diidentifikasikan sebagai internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernisasi dan deteritorialisasi.[1] Fenomena globalisasi juga memunculkan banyak aktor-aktor dalam Hubungan Internasional (HI). Bahkan aktor-aktor transnasional tersebut mampu menyaingi peran suatu negara dalam konteks-konteks tertentu.
Yang menjadi permasalahan ialah adanya suatu perdebatan yaitu, “apakah globalisasi memberikan dampak positif atau justru sebaliknya memberikan dampak negatif bagi perekonomian dan pembangunan suatu negara?”. Pandangan golongan penentang globalisasi (pesimistis) memandang bahwa globalisasi hanya memberikan keuntungan bagi bagi negara-negara maju, bahkan tak sedikit menimbulkan bencana baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran serta semakin tingginya ketimpangan. Mereka (anti terhadap globalisasi) dengan lebih keras mengatakan bahwa globalisasi tak ubahnya seperti penjajahan dalam bentuk baru. Sedangkan golongan yang mendukung globalisasi (pro terhadap globalisasi) mengatakan bahwa globalisasi mampu mendatangkan kesejahteraan tidak hanya bagi negara maju, tapi juga bagi negara berkembang.
Dalam fenomena globalisasi sendiri yang erat kaitannya dengan pembangunan dan perekonomian suatu negara ialah dalam hubungannya dengan pasar bebas serta instrumen-instrumen kelengkapannya yakni peran World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB). Selain itu fenomena globalisasi dengan salah satu cirinya yaitu kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi berhadapan dengan kerusakan lingkungan hidup.
Indonesia juga tidak dapat luput dari pengaruh globalisasi. Perdagangan bebas yang saat ini mulai berjalan (China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA)) juga merupakan salah satu dampak dari globalisasi yang nyata dan harus dihadapi oleh bangsa ini. Tujuan mulia dari perdagangan bebas ini ialah, dengan adanya perdagangan bebas akan mendatangkan kesejahteraan bagi semua pihak. Namun pada faktanya perjanjian yang mulai diberlakukan pada bulan Januari 2010 ini belum mampu menjawab tujuan di atas. Data menunjukkan, per akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-Cina defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari Cina sebesar 52 miliar dollar AS.[2]
Mekanisme perdagangan bebas yang mewajibkan negara yang terlibat di dalamnya untuk menghilangkan seluruh hambatan-hambatan seperti kuota dan tarif, membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan produk Cina. Dampaknya ialah produk dari Cina lebih diminati hal ini mengakibatkan mulai banyaknya produsen dalam negeri yang produknya tidak mampu bersaing dengan produk Cina, sekarang gulung tikar. Sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan dan dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja, pada tahun 2010 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK).[3] Hal inilah yang menambah angka pengangguran. Kemudian yang menjadi masalah ialah lapangan pekerjaan jumlahnya juga tidak bertambah secara signifikan.
Pertanyaan selanjutnya ialah, “bagaimana pemerintah Indonesia ingin mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), jika hingga saat ini justru tingkat pengangguran jumlahnya semakin tinggi?” Ke-8 poin MDGs yang ingin dituju, rasanya hanya ilusi semata. Tingkat pengangguran yang tinggi akibat adanya perdagangan bebas, tentu akan bermuara dengan meningkatnya angka kemiskinan. Di mana penduduk yang miskin lebih rentan terhadap kelaparan dan berbagai penyakit.
Dari hasil terakhir penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2009 ialah 14,5 persen, sedangkan pada tahun 2010 penduduk miskin di Indonesia mencapai 13,3 persen.[4] Dari hasil survei tersebut kita dapat melihat bahwa terjadi adanya penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia dari tahun 2009 ke tahun 2010. Namun kondisi di lapangan menunjukkan hal yang bertolak belakang dengan hasil survei yang dilakukan oleh BPS. Banyak masyarakat Indonesia yang semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Indonesia akan sulit untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari kemiskinan dan kelaparan pada tahun 2015 sesuai dengan cita-cita MDGs karena merujuk dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs.[5]
Namun perkiraan di atas bertolak belakang dengan kenyataan. Tahun 2009 dan 2010 penduduk miskin di Indonesia justru menunjukkan penurunan. Hal ini dikarenakan pada tahun 2008-2009 banyak negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya terkena krisis global. Hal inilah yang menjadikan perekonomian Indonesia terus tumbuh dan angka kemiskinan sedikit berkurang. Sedangkan pada tahun 2010 negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sedang banyak membutuhkan dana untuk memulihkan kondisi perekonomiannya sejak terlilit krisis global tahun 2008.
Ke-8 tujuan MDGs ini semakin sulit dicapai ketika negara-negara maju seperti AS dan negara-negara Eropa Barat ini terkena krisis global dan hingga saat ini masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Padahal negara-negara maju yang diharapkan menjadi fondasi dalam memberikan bantuan sedang terlilit hutang publik dan defisit anggaran yang sangat besar. Tahun ini defisit anggaran AS setara 10% PDB-nya. Rasio defisit Inggris 13,3%, Perancis 8,6%, Jepang 8,2%, Italia 5,4%, Jerman 5,3%, dan Kanada 5,2%. Mereka juga terlilit hutang yang terus bertambah. Hutang publik AS 96,2% PDB, Jepang 104,6%, Italia 100,8%, Perancis 60,7%, Inggris 59%, Jerman 54,7%, sedangkan Kanada 32,6%.[6]
Globalisasi di sini juga ditandai dengan makin maraknya industrialisasi di Indonesia. Banyak investor-investor asing yang tertarik untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA Indonesia. Beroperasinya banyak Multi National Corporations (MNCs) di Indonesia mampu memberikan dampak positif sekaligus dampak negatif. Dampak positifnya ialah MNCs tersebut mampu untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga banyak pengangguran yang terserap. Pajak yang dikenakan terhadap MNCs juga mampu menambah kas negara. Salah satu dampak negatifnya dan berlaku untuk jangka waktu yang cukup lama ialah semakin rusaknya lingkungan hidup. Tragedi pencemaran Teluk Buyat yang disebabkan karena beroperasinya PT. Newmont tentu seharusnya mampu dijadikan pengalaman oleh pemerintah. Pencemaran-pencemaran yang terjadi di teluk Buyat antara lain :
·      Teluk Buyat yang merupakan tempat mencari nafkah bagi sebagian warganya telah tercemar arsen dan merkuri dari limbah yang dibuang
·      keanekaragaman hayati kehidupan laut di Teluk Buyat menurun akibat pencemaran Arsen.
·      kadar merkuri dan arsen dalam ikan yang beresiko bagi kesehatan penduduk  
·      Kadar Arsen dalam air minum melampaui baku mutu PERMENKES
·      Kadar Logam Berat dalam udara di Dusun Buyat Pante secara keseluruhan paling tinggi dibandingkan desa lainnya. 
·      Pembuangan limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya Melanggar undang-undang pengelolaan limbah beracun.[7]
Globalisasi memang mampu memberikan manfaat dan juga mendatangkan bencana. Tapi fenomena ini memang pengaruhnya tidak mampu dibendung lagi. Sehingga pemerintah seharusnya bukannya melarikan diri dari fenomena ini. Yang diperlukan ialah persiapan yang cukup untuk berkompetisi di dalamnya. Memang saat ini komitmen pemerintah untuk menyambut globalisasi dirasa setengah hati bahkan cenderung mengabaikannya.
Untuk menghadapi CAFTA, pemerintah seharusnya mampu memperbaiki infrastruktur terlebih dahulu. Karena seperti kita ketahui, bahwa di Indonesia merupakan ekonomi biaya tinggi. Di mana proses distribusi barang dari tempat produksi ke pasar memerlukan biaya yang tinggi. Sehingga barang-barang produksi lokal kalah  bersaing dalam harga dengan produk yang berasal dari Cina. Selain itu konsolidasi antar lembaga yang terkait seharusnya diperkuat kembali. Integrasi lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan perekonomian negara seharusnya diperkuat kembali. Kemudian pemerintah seharusnya mampu membina dan membantu usaha-usaha yang memang menjadi keunggulan komparatif Indonesia, bukan justru mengabaikannya. Daya saing industri lokal harus benar-benar mampu menyaingi produk-produk dari luar, karena kata kunci dari perdagangan bebas ialah kompetisi.
Mengenai hubungan antara MNCs yang beroperasi di Indonesia dengan rusaknya lingkungan hidup memang sangat sulit untuk dijawab. Paling tidak menurut saya pemerintah seharusnya mampu mengimplementasikan suistanable development dengan baik. Kearifan-kearifan lokal seharusnya dilibatkan dalam pembangunan. Karena kearifan lokal di sini justru mampu mengurangi resiko kerusakan lingkungan hidup. Dengan melakukan pembenahan di berbagai sektor, saya yakin bahwa Indonesia dengan kekayaan SDA nya mampu bersaing dengan negara-negara lainnya dalam pasar bebas. Bukan hal yang tidak mungkin justru kitalah yang akan muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia. 






[1]  John Baylis and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: In Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press
[2] http://kompas.com  tanggal 11 April 2011
[3] http://kompas.com  tanggal 11 April 2011
[4] http://www.bps.go.id diakses pada tanggal 21 Februari 2011
[6] http://www. Ilusi MDGs Mengentaskan Kemiskinan.htm, diakses pada tanggal 21 Februari 2011