Sabtu, 17 Maret 2012

Disorientasi Partai Politik Dan Libido Kekuasaan


 
Pada hari Rabu, 14 Maret 2012, ada yang tidak biasa di Universitas Jember. Pada hari itu  (Rabu, 14 Maret 2012) ada sebuah acara diskusi publik di gedung Keluarga Alumni Universitas Jember (KAUJE). Sebuah diskusi publik yang dihadiri oleh seorang mantan terpidana kasus korupsi cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tahun 2004, Agus Condro. Agus Condro merupakan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 di Komisi IX dari fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP). Melaui keterangan Agus Condro lah, akhirnya kasus suap cek pelawat dalam dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada tahun 2004 terungkap. Agus Condro kemudian dikenal sebagai whistle blower (‘peniup peluit’) dan melalui keterangannya lah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu menjerat 26 anggota DPR lainnya.
Pagi itu Agus Condro bertindak sebagai seorang pembicara, yang memberikan sebuah kesaksian bagaimana partai politik (parpol) di Indonesia saat ini sedang mengalami disorientasi. Agus Condro mengatakan bahwa saat ini parpol ibarat air pada hulunya yang sudah tampak keruh. Pada saat itu Agus Condro dengan berapi-api berbicara mengenai pendanaan parpol yang tidak jelas serta menganalogikan parpol dengan sebuah perusahaan yang lebih mementingkan profit dibandingkan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Agus Condro juga membeberkan kebiasaan hidup elit-elit politik yang borjuis.
Saya sangat sependapat dengan beliau (Agus Condro). Namun Saya juga melihat saat ini parpol-parpol di Indonesia sudah mencenderai akan substansi dari adanya parpol dalam sebuah negara demokrasi. Parpol pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Kelahiran parpol didasari atas perlunya untuk menampung aspirasi rakyat terhadap jalannya pemerintahan. Sehingga parpol berfungsi untuk menjembatani rakyat di satu pihak dan pemerintah di lain pihak.  Selain itu dengan hadirnya parpol menjadi sebuah pertanda bahwa sudah seharusnya rakyat dilibatkan dalam proses politik.
Menurut Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America yang terbit pada tahun 1967 parpol adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Dari pengertian tersebut parpol harus dapat memberikan manfaat kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Saya memandang bahwa anggota partai yang dapat manfaat dari hadirnya parpol tidak hanya anggota yang aktif dalam kepengurusan parpol. Konstituen mereka (rakyat yang mempercayakan jalannya pemerintahan kepada parpol) juga sudah seharusnya mendapatkan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan anggota partai.
Selain itu saat ini parpol-parpol juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi-fungsi parpol seperti menjadi sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik atau pendidikan politik, rekruitmen politik,  dan parpol sebagai sarana pengatur konflik sudah tidak terlihat lagi. Sebagai sarana komunikasi politik, parpol sudah selayaknya mampu menampung aspirasi rakyat, mengartikulasikannya dan memperjuangkannya kepada pemerintah. Namun saat ini banyak parpol yang tidak menjalankan fungsi komunikasi politik. Ini dapat dilihat dari banyaknya program-program di DPR yang sebenarnya menghambur-hamburkan uang rakyat. Sebagai contoh kasus renovasi ruang banggar. Mengapa renovasi ruang banggar yang menghabiskan banyak uang rakyat itu bisa lolos di DPR? Apakah sebelum meloloskan anggaran untuk renovasi ruang banggar anggota DPR telah melakukan hearing kepada konstituennya? Padahal mungin ketika parpol melakukan hearing kepada konstituennya penulis yakin banyak konstituennya yang tidak setuju ketika renovasi ruangg banggar menghabiskan banyak uang rakyat. Tapi toh pada akhirnya renovasi ruang banggar yang menghabiskan banyak uang rakyat juga tetap berjalan. Ini (renovasi ruang banggar) menunjukkan bahwaanggota DPR melakukan monolog bukan dialog dengan konstituennya.Padahal hakikat dari sebuah komunikasi ialah adanya dialog.
Di dalam ilmu politik pendidikan politik atau sosialisasi politik diartikan sebagai proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Proses pendidikan politik atau sosialisasi politik biasanya berlangsung dari kecil hingga dewasa. Namun saat ini yang dapat disaksikan dalam perpolitikan Indonesia ialah kegiatan saling berdebat dan saling menjatuhkan yang kemudian berujung anarki. Ya seperti itulah panggung politik kita saat ini. Banyak pemilihan umum kepala daerah yang berbuntut pada kericuhan. Ketika panggung politik kita diwarnai oleh hal-hal seperti itu pendidikan politik apa yang diharapkan dapat diteladani oleh masyarakat? Demokrasi tidak hanya berbicara pada tataran legal formal selain itu yang tak kalah pentingnya ialah masalah nilai dan sikap seperti bagaimana legawa ketika menyikapi kekalahan dalam pemilihan umum (pemilu). Nilai-nilai dalam menyikapi kekalahan itulah yang hingga saat ini masih belum banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Parpol yang diharapkan mampu memberikan contoh yang baik justru memberikan contoh yang buruk. Lalu kalau sudah tidak ada contoh yang baik ke mana masyarakat harus belajar?
Sebagai sarana rekruitmen politik parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegitan politik sebagai anggota partai. Perpolitikan kita dalam hal rekruitmen politik saat ini cenderung merekrut orang-orang terkenal seperti selebritis. Penulis tidak mengatakan bahwa para selebritis tersebut tidak cakap dalam berpolitik, namun yang menjadi masalah ialah parpol hanya menjadikan selebritis hanya untuk mendongkrak raupan suara dalam pemilu. Agus Condro di gedung KAUJE juga mengungkapkan:
Parpol saat ini sudah seperti perusahaan saja. Tidak lagi memperjuangkan ideologi, namun sekarang sudah mirip becak, ojek, dan taksi. Sebab jika ada kepala daerah yang mau maju lewat parpol maka harus ada syarat uang di depan dulu.

Kalimat Agus Condro di atas juga menunjukkan bahwa rekruitmen politik yang dilakukan oleh parpol hanya berorientasikan untuk pendanaan parpol.
Sudah seharusnya saat ini parpol mulai melakukan perubahan. Di manasecara berkelanjutan terus berusaha membangun masyarakat. Menjadikan masyarakat sebagai subjek dari politik dan bukan menjadikannya masyarakat sebagai objek politik yang dibutuhkan hanya ketika masa kampanye pemilu. Setelah terpilih dan duduk di parlemen mereka (anggota parpol) lupa akan tanggungjawabnya terhadap konstituennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar