Sabtu, 12 Februari 2011

Pembangunan "Ala" Brazil


Pembangunan “Ala” Brazil
Brazil merupakan salah satu negara paling luas yang terletak di kawasan Amerika Latin. Negara ini (Brazil) dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah jajahan Portugal. Akibat penjajahan tersebut, mayoritas penduduk Brazil beragama Katolik. Brazil memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Tanah-tanah di Brazil sangat subur untuk dijadikan lahan pertanian seperti, kopi, coklat, jagung dan lain-lain. Kekayaan tambangnya pun seperti kromium, besi, mangan emas dan nikel cukup melimpah. Setelah merdeka dari Portugal pada tanggal 7 September 1882, Brazil mulai membangun negerinya.
Saat ini Brazil tumbuh menjadi kekuatan baru ekonomi dunia bersama dengan Rusia, India dan Cina (BRIC). Ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya, pada tahun 2008 saja Produk Domestik Bruto (PDB) Brazil hampir mencapai 2,9 triliun Real Brazil atau setara dengan 1,3 triliun USD. PDB ini meningkat sebesar 5,1% dibandingkan dengan tahun 2007. Sejak tahun 2004, ekonomi Brazil telah terus meningkat pesat dengan tingkat pertumbuhan tahunan ekonomi 4,62%. Dan saat ini tingkat pertumbuhan ekonomi Brazil sedang mengalami “booming”, dengan peningkatan lebih dari tujuh persen pada tahun ini, mata uang negeri itu, real, telah naik sangat tinggi terhadap dolar AS sehingga sektor vital ekspor negeri tersebut mulai tumbuh. Saat ini gross national income per capita Brazil secara nominal mencapai US$8,040 dengan daya beli US$10,260 dolar. Jauh berbeda dengan kondisi Brasil 30 tahun lalu. Pendapatan per kapita Brasil saat itu hanya sekitar US$1,000 dolar.
Hal ini menjadikan Brazil merupakan salah satu negara di kawasan Amerika Latin yang model pembangunannya di ikuti  oleh negara-negara lainnya yang berada di kawasan Amerika Latin. Untuk dapat menjadi kekuatan ekonomi dunia seperti saat ini tentu tidaklah mudah. Brazil juga mempunyai sejarah panjang dalam membangun negerinya. Mulai dari jatuhnya Brazil ke dalam pemerintahan junta militer, Brazil mengikuti dan mengimplementasikan resep-resep dari Barat untuk menjadi negara modern hingga seperti saat ini dimana Brazil berusaha membangun ekonominya sendiri tanpa harus tergantung dengan negara-negara modern (Barat dan Amerika Serikat) terutama mengikuti resep-resep pembangunan dan neoliberalisme ala Barat.
Brazil dan negara-negara di kawasan Amerika Latin lainnya pernah jatuh ke dalam keterbelakangan dan tertinggal jauh dari negara-negara Barat. Hal ini terjadi pada tahun 1960an di mana angka buta huruf di Brazil dan negara-negara di kawasan Amerika Latin lainnya masih cukup tinggi. Selain itu pada masa itu penduduk Brazil masih terkonsentrasi pada pertanian di pedesaan. Untuk mengatasi hal itu rezim yang berkuasa mulai melakukan modernisasi seperti anjuran-anjuran dari Barat dan AS, agar Brazil juga dapat menjadi develop country seperti negara-negara Barat dan AS.
Salah satu tokoh yang menginspirasikan dan mencetuskan modernisasi ialah Rostow melalui teori pertumbuhan ekonominya. Rostow menganggap bahwa dahulu negara-negara maju juga mengalami masa ‘keterbelakangan’ dan akhirnya menjadi “modern”. Menurut Rostow penduduk yang masih tradisional merupakan suatu masalah. Development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Rostow memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta  yang menjadi motor proses itu.
Karena ingin menjadi develop country maka pemerintah Brazil mengikuti resep pembangunan yang digagas oleh Rostow. Pemerintah Brazil percaya bahwa masalah utama yang sedang dihadapi Brazil pada saat itu ialah kurangnya modal untuk melakukan modernisasi. Untuk menghadapi masalah itu (kurangnya modal), maka salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Brazil saat itu ialah dengan menarik investor asing  untuk menanamkan investasi di Brazil / Foreign Direct Investment (FDI).
Di Brazil pada tahun 1980an-1990an terkenal dengan masa “Tripple Alliance”. Tripple Alliance di sini dimaknai sebagai tiga aktor yang melakukan aliansi untuk mengeluarkan Brazil dari keterbelakangan. Ke tiga aktor tersebut ialah local capital, local bourgeois/bureaucratic dan international capital. Mereka bertiga bekerja sama karena memiliki interest yang sama, yakni mengeluarkan Brazil dari keterbelakangan. Namun sebenarnya tiap aktor tersebut mempunyai motif ekonomi secara terselubung. Sebagai contoh bagi international capital (MNC’s) dengan Brazil membuka pasarnya dan memberikan kesempatan untuk melakukan investasi, tentu secara tidak langsung akan memberikan keuntungan bagi international capital. Keuntungan yang diperoleh ialah ekspansi produk dari MNC’s tersebut. Sebagaimana kita ketahui Brazil mempunyai penduduk yang banyak dan SDA yang melimpah. Dan hal ini akan mendatangkan keuntungan bagi MNC’s yang beroperasi dan menanamkan investasinya di Brazil.
Dengan adanya FDI, pemerintah Brazil berharap akan adanya trickle down effect di mana tetesan keuntungan dari investasi tersebut akan menetes kepada penduduk Brazil. Trickle down effect ini bisa berupa terbukanya lapangan pekerjaan yang baru, tumbuhnya industri-industri skala kecil yang menyuplai bahan-bahan bagi MNC’s dan pemerintah tentu dapat menetapkan pajak yang akan menambah kas negara.
Namun setelah bertahun-tahun mengikuti dan menempuh resep pembangunan “ala” Barat dan AS. Brazil bukannya tumbuh menjadi develop country, namun justru semakin tertinggal oleh negara-negara Barat dan AS. Dan efek yang terparah ialah ketergantungan Brazil terhadap negara-negara Barat. Hal ini kembali mengingatkan Brazil pada masa imperialisme, di mana negara koloni selalu membutuhkan negara kolonialnya (Brazil membutuhkan Portugal).
Pertumbuhan ekonomi Brazil memang meningkat, hanya saja trickle down effect yang diharapkan menetes kepada masyarakat ternyata hanya sedikit. Hasil dari trickle down effect tersebut tersebar tidak merata dan sebagian besar justru mengalir kepada tiga aktor “Triplle Alliance” tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi tokoh-tokoh yang tergabung dalam Economic Commission Latin America (ECLA) seperti H.Cardoso, Celco Furtado, Raul Prebisch, Ander Gunder Frank dan kawan-kawan mulai mencari jalan keluar dari ketergantungan negara-negara Amerika Latin terhadap negara-negara Barat dan AS.
Pada akhirnya mereka (ECLA) menggagas teori depedensi. Teori ini pada dasarnya membagi negara menjadi dua belahan, yakni negara pusat (core) dan negara pinggiran (periphery). Dimana terdapat hubungan yang bersifat asimetris antara negara core dan periphery. Hubungan ini lebih terlihat sebagai hubungan eksploitatif, di mana negara-negara core mengeksploitasi negara periphery. Dampaknya ialah negara core akan terus berkembang dan negara periphery akan semakin tertinggal dari negara core.
Ketika negara-negara di kawasan Amerika Latin mengikuti resep-resep pembangunan “ala” Barat dan AS. Mereka (negara-negara di kawasan Amerika Latin) juga percaya dengan teori comparative advantage yang dicetuskan oleh David Ricardo. Dalam teori ini disebutkan bahwa tiap negara seharusnya punya spesialisasi dalam tiap bidang ekonomi. Dari spesialisasi yang terjadi, tentu tiap negara akan saling membutuhkan dan mendatangkan manfaat bersama.
Namun setelah negara-negara di kawasan Amerika Latin mengikuti saran ini. Mereka justru semakin dirugikan. Hal ini pun terjadi juga di Brazil, pada saat itu Brazil yang terkenal dengan kekayaan SDA nya, hanya melakukan ekspor bahan-bahan mentah ke negara-negara Barat dan AS. Dan dampaknya ialah hasil raw material yang diekspor ke negara core, dan oleh negara core raw material tersebut diolah kembali sehingga terdapat nilai lebih. Kemudian barang-barang produksi dari negara core tersebut diekspor ke negara-negara periphery termasuk Brazil. Hal ini lah yang akan selalu merugikan negara Brazil dan menguntungkan negara core.
Cardoso merupakan salah satu tokoh intelektual yang mempunyai gagasan revolusioner. Cardoso berpendapat bahwa untuk menghentikan ketergantungan ini Brazil harus berani mengalihkan konsentrasi ekonomi yang tadinya mengekspor raw material ke negara core menjadi penggunaan hasil SDA yang diolah oleh industri dalam negeri. Cardoso melihat bahwa Brazil memiliki penduduk yang cukup besar, sehingga jika hasil SDA di kelola dalam negeri dan hasil proses produksinya tersebut di konsumsi oleh masyarakat dalam negeri ini akan mendatangkan spill over effect. Spill over effect di sini terlihat dari mulai berkembangnya industri-industri kecil pengolah hasil SDA dan ini juga akan berdampak terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakan Brazil. Selain itu Cardoso juga berani untuk melepaskan diri (Brazil) dari ketergantungannya terhadap negara core.
Salah satu kebijakan Cardoso yang terkenal pada saat itu ialah program reformasi ekonomi nasional yang diberi nama “Real Plan”. Program ini ternyata berhasil dan mampu menstabilkan ekonomi Brazil yang sudah dialanda inflasi yang sangat tinggi, yakni 50% dalam sebulan. Dengan “Real Plan”nya Cardoso mampu mengatasi krisis ekonomi. “Real Plan” mampu menurunkan tingkat inflasi dan menaikkan kemampuan daya beli masyarakat.
Reformasi ekonomi seperti itulah yang membuat Brazil mampu berkembang hingga seperti saat ini. Penerus Cardoso seperti Lula da Silva mempunyai program ekonomi yang bersifat sosial, seperti kredit lunak bagi rakyat kecil, menolak resep neoliberalisme dan lain-lain. Hal inilah juga yang mampu mengangkat 19.000.000 warga Brasil dari jurang kemiskinan, dan hingga saat ini Brasil dipandang sebagai kekuatan baru.

Sumber :

Buku
W.W Rostow. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non Comunist Manifesto. New York: Cambridge  University Press
Situs
http://bataviase.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar