Kamis, 17 Februari 2011

Permasalahan yang Membelit Demokratisasi


Semenjak runtuhnya Uni Soviet, yang diawali oleh gerakan glasnot (keterbukaan) dan perestorika (restrukturisasi) oleh Michael Gorbachev. Banyak terjadi gelombang demokratisasi di negara-negara di kawasan Eropa Timur. Peristiwa runtuhnya tembok Berlin dan bersatunya negara Jerman Barat dan Jerman Timur, revolusi yang terjadi di Rumania pada tahun 1989, mampu menjatuhkan Presiden Nicolae Ceausescu hingga masyarakat mengeksekusi mati Presiden Nicolae Ceausescu. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang menganut ideologi komunisme telah dirasa gagal mewujudkan cita-cita mereka, yakni masyarakat tanpa kelas.
Mengapa komunisme gagal mewujudkan masyarakat tanpa kelas? Menurut penulis hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
· Elite negara dalam melaksanakan pemerintahan bertindak secara otoriter dan menjurus kepada totaliter dalam hal melaksanakan pemerintahan kepada seluruh masyarakat dan tidak memberi masyarakat kebebasan, secara ekonomi, sosial, politik, budaya dan psikologi.
· Tindakan represif negara terhadap warganya.
· Bencana kemiskinan yang mengakibatkan pada kelaparan hingga berujung pada kematian. Pada era pemerintahan Stalin warga Uni Soviet yang tewas karena kelaparan hingga mencapai angka sekitar 6 juta jiwa.
· Kebangkitan masyarakat sipil yang bergerak menjadi kekuatan oposisi penentang rezim otoritarian.
· Munculnya kelompok-kelompok pembaharu liberal.
Menurut Human Development Report (2002) mencatat perkembangan yang luar biasa antara tahun 1985 hingga tahun 2000. Pada tahun 1985, hanya 8% negara-negara yang memiliki demorasi secara matang, 38% negara-negara yang hampir demokratis dan 45% negara-negara otoriter. Lima belas tahun kemudian angka otoritarianisme turun menjadi 30%, negara-negara yang hampir demokratis meningkat pesat menjadi 57% dan yang berstatus demokratis secara matang meningkat menjadi 11%.
Walaupun saat ini gelombang demokratisasi mengalami perkembangannya, namun banyak permasalahan yang harus dihadapi. Hal ini terkait dengan setelah tumbangnya rezim otoritarian ke arah manakah pemerintahan negara tersebut akan berjalan? Karena biasanya setelah tumbangnya rezim otoritarian demokrasi yang terbangun ialah demokrasi yang rentan terhadap permasalahan pembusukan politik dan pergolakan politik internal. Hal ini menjadi wajar, karena birokrat-birokrat dalam pemerintahan telah terbiasa bekerja dengan manajemen top down dan belum terbiasa transparan serta bertanggungjawab terhadap masyarakat. Sehingga dalam 4 tahapan suatu negara otoritarian menuju negara demokratis (liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi) tahap transisi dan konsolidasilah yang sangat krusial.
Karena dalam tahap transisi negara demokratis yang baru lahir belum mempunyai perangkat hukum yang kuat dan masih seringkali diliputi perebutan konflik internal mengenai siapa yang harus berkuasa. Sedangkan dalam tahap konsolidasi negara demokrasi yang baru ini harus mampu melembagakan, memperkuat serta memperdalam demokrasi yang telah diraih melalui proses panjang dari transisi dan instalasi.
Selain itu sepanjang perjalanan gelombang demokratisasi negara demokrasi yang baru terbentur dengan permasalahan dalam mencari bentuk demokrasi yang sesuai untuk diterapkan di negaranya. Hal ini dikarenakan bagi negara demokrasi yang baru dihadapkan dengan keraguan apakah demokrasi mampu memberikan kesejahteraan kepada wargannya? Mengingat biaya yang sangat besar untuk menyelenggarakan suatu sistem pemerintahan demokratis. Seperti penyelenggaraan Pemilhan Umum (Pemilu). Sedangkan negara demokratis yang baru lahir melalui revolusi ini memerlukan dana yang cukup untuk mengembalikan stabilitas perekonomian negara yang sempat lumpuh selama revolusi dan untuk membangun.
Demokrasi liberal yang kokoh di negara-negara Barat umumnya ditopang oleh perekonomian kapitalisme yang kuat, tingkat pendidikan masyrakatnya yang tinggi dan masyarakat sipil yang kuat. Alurnya ialah sebagai berikut :
Pembangunan sosio ekonomi       rakyat menjadi sejahtera        tingkat pendidikan yang meningkat        kesadaran politik yang meningkat        pembangunan mass media yang digunakan sebagai control terhadap rezim yang berkuasa. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris selama tahun 1950-1990, rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan perkapita 1.500US$, (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) US$ tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat pnghasilan perkapita 1.500US$ hingga 3.000US$, demokrasi hanya mampu bertahan rat-rata 18 tahun. Pada penghasilan perkapita di atas 6.000US$, daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500. Namun demokrasi juga mampu bertahan di negara-negara miskin sekalipun apabila memiliki kemampuan untuk membangkitkan proses pembangunan, mengurangi kesenjangan, iklim internasional yang kondusif dan memiliki lembaga keterwakilan.
Selain itu demokratisasi juga menghadapi permasalahan-permasalahan seperti, hubungan demokrasi dengan pembangunan. Dalam permasalahan ini (demokrasi dengan pembangunan) terdapat 2 kubu yang bertentangan yakni, kubu yang pro meyakini bahwa demokrasi akan mampu meningkatkan pembangunan di suatu negara. Mereka (kubu yang pro) meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung lebih pesat jika didukung dengan sistem politik demokratis. Mereka melihat bahwa negara-negara di Eropa Barat mampu menekan inflasi, menjaga laju pertumbuhan ekonomi tetap stabil namun diiringi dengan pemerintahan yang demokratis. Namun disisi lain terdapat juga yang menilai bahwa sistem pemerintahan demokratis, cenderung menghambat pembangunan. Hal ini didukung dengan penelitian terhadap 98 negara antara tahun 1955-1970 menyimpulkan bahwa kompetisi politik atau demokrasi mempunyai pengaruh yang signifikan pada tingkat pertumbuhan. Negara-negara dengan rezim otoriter justru mampu meningkatkan pembangunan di negaranya. Ini bisa kita lihat di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah rezim pemerintahan Soeharto mampu mencapai swasembada pangan pada tahun 1980an. Tingkat pertumbuhan ekonomi pun mampu dipertahankan pada kisaran 6%-7%. Selain itu pada tahun 1970-an buku-buku sekolah disediakan pemerintah. Puskesmas dan sekolah negeri dibangun, pedesaan dan petani mendapat perhatian besar dengan aneka subsidi dan dukungan pemerintah. Hal ini lah yang membuat nama Indonesia cukup terpandang di kawasan Asia. Malaysia di bawah pemerintahan perdana menteri Mahatir Muhammad dengan disokong partai UMNO nya juga memerintah dengan soft authoritarian, namun masyarakat Malaysia pada saat mayoritas dapat hidup berkecukupan.
Selama 22 tahun pemerintahannya, Mahathir telah memberikan kemajuan signifikan di bidang ekonomi. Hal ini terlihat dari PDB per kapita Malaysia USD14.400, yang menunjukkan tingginya kesejahteraan di Negeri Jiran. Laju pertumbuhan ekonomi di Malaysia juga tidak terlalu mengecewakan. Negeri yang berbatasan langsung dengan Indonesia ini mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada 2007, dengan tingkat kemiskinan 5,1 persen. Sementara angka pengangguran mampu ditekan menjadi 3,1 persen pada 2007 dari 10,91 juta penduduk usia kerja.
Permasalahan berikutnya yang membelit gelombang demokratisasi ialah hubungan antara demokrasi dengan konflik internal di dalam suatu negara. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man, menyatakan bahwa dengan berakhirnya komunisme maka ide-ide liberal dan ekonomi pasar telah berhasil menyingkirkan rival berat mereka selama ini, dan ini sekaligus pertanda berakhirnya sejarah. Hal ini juga ditunjang dengan proses demokratisasi yang terjadi di sebagian kawasan Eropa Timur seperti Republik Ceko, Hongaria, Latvia, Estonia dan Polandia yang berjalan dengan tertib tanpa adanya pertumpahan darah. Namun di sisi lain negara-negara yang mulai membangun sistem demokrasi justru terlibat dengan benturan-benturan kepentingan baik itu antar etnis, suku, maupun agama. Hal ini (benturan kepentingan antar etnis, suku dan agama) semakin diperparah dengan belum terciptanya lembaga-lembaga penyokong bangunan demokrasi pada saat masa transisi.
Sebagai contoh apa yang terjadi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orba. Setelah runtuhnya rezim Orba Indonesia mulai memasuki masa transisi dalam menciptakan sistem demokratis, namun pada awal masuk masa transisi Indonesia dihadapkan dengan konflik horizontal. Kita tentu masih ingat konflik Sampit (pertikaian antara suku Dayak dan suku Madura), konflik Poso (pertikaian antara umat Nasrani dan umat Muslim). Belum lagi terdapat ketimpangan atau distribusi pembangunan yang tidak merata. Hal ini juga menimbulkan tumbuhnya gerakan-gerakan separatis. Di Indonesia sendiri masih terdapat beberapa gerakan separatis yang terus bergrilya menuntut kemerdekaannya sendiri, seperti Operasi Papua Merdeka (OPM) dan Repbulik Maluku Selatan (RMS).
Gerakan-gerakan separatis juga banyak dihadapi oleh negara-negara lainnya yang sedang membangun demokrasi. Di Srilanka terdapat gerakan separatis Harimau Tamil, di negara-negara kawasan timur tengah terdapat etnis kurdi yang berusaha untuk membangun negara Kurdistan dan masih banyak lagi gerakan-gerakan separatis yang berusaha untuk memerdekakan diri. Pertikaian seperti ini lah yang terkadang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang tidak bertanggungjawab untuk memperoleh dukungan dari masyarakat. Mereka (kelompok kepentingan) menghembuskan isu-isu yang berbau sentimen antar suku, etnis dan agama. Hal di atas dapat terjadi karena demokrasi berlangsung tanggung: partisipasi politik massa meningkat, kebebasan berpendapat luas dan pers nyaris bebas lepas. Sementara lembaga yang mengatur kehidupan sipil belum cukup mapan dan elit politik masih merasa terancam dengan gelombang demokratisasi.
Hubungan antara demokrasi dan fenomena korupsi juga harus mendapatkan perhatian. Karena banyak ditemukan kasus di negara-negara yang mulai demokratis, tindak kriminalitas korupsi juga makin subur. Moran memilah beberapa negara yang dikategorikan menuju transisi demokrasi tetapi juga sekaligus menuju masifitas korupsi. Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut, pertama, transisi yang berlangsung dari pemerintahan otoritarian, misalnya Indonesia, Filipina dan Korea Selatan. Kedua, transisi dari negara bekas komunis, seperti negara-negara di kawasan Eropa Timur. Ketiga negara-negara bekas dekolonisasi, misalnya negara-negara di kawasan Kepulauan Karibia. Dan yang terakhir di negara yang baru, seperti Timor-Timur.
Korupsi sendiri telah mencederai substansi dari demokrasi itu sendiri. Penulis mengambil contoh di Indonesia, pada saat menjelang Pemilu banyak kandidat yang melakukan serangan fajar (menyuap pemilih di pagi hari, sebelum mereka melakukan pemilihan). Kasus suap terhadap jaksa, hakim dan aparat kepolisian. Kasus seperti penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani telah mencederai harapan masyarat Indonesia terhadap terwujudnya sistem demokrasi dengan disokong oleh law inforcement. Selain itu demokrasi juga menganut asas akan sistem Otonomi daerah (Otoda). Namun yang terjadi di Indonesia Otoda hanya dijadikan ajang untuk menciptakan “raja-raja kecil”. Selain itu kita juga bisa melihat bahwa sebagian besar pejabat daerah seperti bupati dan gubernur terjerat kasus korupsi. Memang dalam membangun demokrasi masa transisi ialah masa yang paling mentukan berhasil atau tidaknya demokrasi di suatu negara. Karena pada masa transisi ini negara masih dalam keadaan lemah (weak states). Dan banyak sekali kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan kesempatan seperti ini untuk mencari keuntungan semata dan mengorbankan kepentingan banyak orang.
Masalah-masalah di atas (korupsi, koflik dan pembangunan) memang mampu menghambat gelombang demokratisasi. Namun pada faktanya memang gelombang demokratisasi pada saat ini sedang mengalami pertumbuhan. Bahkan banyak varian dalam menerapkannya, seperti apa yang terjadi di kawasan Amerika Latin saat ini di mana negara-negara seperti Brazil, Venezuela, Bolivia dan Nikaragua menerapkan demokrasi sosialisme. Dimana dalam demokrasi ini menganut asas demokrasi liberal “ala” Barat namun disokong dengan perekonomian sosialisme. Mengutip apa yang disampaikan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill “demokrasi itu merupakan bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi bentuk lainnya tidak lebih baik dari demokrasi.”

Sumber :
Buku :
Boediono. 2009. Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Suyatno. 2008. Menjelajahi Demokrasi. Bandung: Humaniora Yogyakarta: Resist Book
Woodfin, Rupert dan Oscar Zarate. 2008. Marxisme Untuk Pemula.
http://aurapena.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar