Diskusi
merupakan salah satu sebuah proses pembelajaran yang cukup menyenangkan.
Melalui diskusi kita akan dipermudah. Mengapa? Karena dengan berdiskusi kita
dapat mengumpulkan berbagai macam isi kepala (pendapat). Bayangkan jika anda
membaca sebuah buku, tentu yang ada ialah proses belajar secara monolog, di
mana anda tidak akan dapat bertanya kepada buku tersebut ketika mengalami
kesulitan dalam memahami isi buku tersebut. Namun tidak dengan diskusi, di mana
di dalamnya terdapat proses dialog. Dari sekian banyak aku berdiskusi,aku pun
kebanyakan hanya bisa berdiskusi di sebuah tempat yang sederhana, yaitu warung
kopi. Akhirnya aku pun dapat merasakan berdiskusi dengan orang-orang hebat di
tempat yang menurut ku juga cukup mewah untuk ukuran mahasiswa seperti ku.
Hari itu merupakan salah satu hari yang memberikan ku
banyak pelajaran dan pengalaman
berharga.
Di mana pada hari itu, aku mendapatkan kesempatan untuk
menjadi peserta diskusi sehari dengan tema “Masa Depan Arsitektur Regional Asia
Pasifik: Perspektif dan Kepentingan Indonesia” yang diselenggarakan di salah
satu ballroom hotel berbintang tiga.
Aku pun sebenarnya kurang mengetahui bagaimana mekanismenya sehingga aku bisa terpilih sebagai salah satu peserta diskusi tersebut dan mewakili
teman-teman ku angkatan 2008.
Pemilihan peserta diskusi yang menurut ku mungkin bisa dikatakan kurang transparan, tentu dapat melukai beberapa hati mahasiswa lainnya, yang merasa dirinya kurang beruntung
karena tidak terpilih menjadi peserta. Aku pun sebenarnya menyadari bahwa penyelenggaraan acara
tersebut juga tidak mungkin melibatkan seluruh mahasiswa Hubungan Internasional
(HI) seluruh angkatan. Pada hari Rabu ketika aku mengambil undangan di ruang
jurusan, aku melihat beberapa nama mahasiswa yang dipampang oleh pihak jurusan.
Nama-nama mahasiswa yang tertera diselembar kertas tersebut ialah beberapa nama
mahasiswa HI dari angkatan 2008 hingga 2011 yang
berhak untuk menjadi peserta diskusi sehari yang diselenggarakan oleh
Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) dan bekerja sama dengan Universitas Jember.
Sekilas aku pun sempat membacanya, dan aku pun dengan segera dapat menyimpulkan
bahwa nama-nama tersebut ialah mahasiswa-mahasiswa yang aktif di kelas ketika
perkuliahan atau bisa juga mahasiswa yang dekat
dengan dosen-dosen. Sungguh
penilaian yang subjektif dan elitis. Namun apa boleh buat, itu semua merupakan hak preogratif dosen.
“Mas tanda tangan dahulu,” ujar seorang
dosen ketika aku ingin mengambil undangan. Setelah
undangan berada di tanganku, aku amati dengan lekat surat undangan tersebut
sebelum membukanya. Amplop berwarna putih dengan logo Garuda dan logo
universitas yang terletak di pojok kiri dan kanan menghiasi amplop tersebut.
Aku pun membaca undangan tersebut lalu segera ku masukkan ke dalam tas ku. Tak
lama kemudian aku pun berjalan beriringan dengan teman ku menuju
kantin. Dalam
langkah-langkah kecil ku menuju kantin, aku berpikir untuk tidak mengecewakan
teman-temanku yang telah ku wakili dan aku harus belajar dan mempersiapkan diri
untuk acara tersebut.
Tak
terasa tibalah
hari yang mungkin ditunggu-tunggu oleh mahasiswa yang menjadi peserta diskusi sehari. Dari
mana aku bisa mengetahuinya? Mudah saja, saat ini merupakan eranya jejaring
sosial di mana setiap orang difasilitasi untuk menuliskan apa yang sedang
mereka rasakan dan uniknya hal itu terpublikasikan dan dapat diketahui orang
banyak. Banyak dari teman-teman ku maupun adik-adik kelas ku yang menulis
status mereka di jejaring sosial mengenai acara diskusi sehari tersebut. Namun
tak bisa ku
pungkiri bahwa aku pun menunggu-nunggu kedatangan hari tersebut. Bahkan pada malam harinya mata ku sulit untuk terpejam dan mata ku pun telah terjaga di pukul tiga pagi. Dari pada memaksakan untuk terus melanjutkan tidur namun mata
tak kunjung terpejam, aku memutuskan untuk langsung turun ke bawah menyaksikan pertandingan tim
favoritku Real Madrid yang berlaga menjamu tim kuat lainnya di Liga
Spanyol, Valencia. Walaupun skor berakhir dengan skor kaca mata tapi aku sangat
puas karena pertandingan berjalan seru dan sangat menghibur.
Pagi harinya sebelum berangkat ke tempat diskusi, aku menyempatkan diri ke kosan salah satu temanku untuk
menitipkan surat izin untuk tidak mengikuti perkuliahan hari ini. “Ki Aku titip surat undangan ini, tar tolong Kamu kasihkan ke Pak Abdul Muis ya.” “OK emang
mau ke mana sih Sar?” “Ini ikut acara
diskusi sehari.” Setelah
surat itu dipegang oleh teman
ku, aku segara berpamitan. Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, dari
pada aku harus menunggu di sana, lebih baik aku menyempatkan diri untuk mampir sejenak ke kantin FISIP. Di sana aku memesan
segelas kopi dan berbincang-bincang sejenak dengan kawan ku. Jujur saja, hal ini aku lakukan untuk sekedar menghilangkan nervous sebelum mengikuti acara diskusi.
Selain itu aku pun juga ingin bersikap santai di kantin sebelum tersandera
dengan formalitas pada saat acara diskusi nanti.
Jam tangan ku menunjukkan pukul 08.30, aku pun segera menuju sepeda motor ku yang terparkir di halaman belakang
kampus FISIP. Tiba-tiba aku teringat sebuah kalimat yang tertera diundangan, bahwa peserta diskusi dimohon kehadirannya 15 menit lebih awal sebelum acara
dimulai. Kalimat itulah yang menjadikan aku untuk sedikit bersikap ugal-ugalan
di jalan raya. Tak membutuhkan waktu yang lama akhirnya aku tiba di tempat
tujuan. Aku segera memarkir sepeda motor ku di basement. Kemudian aku mulai menaiki anak tangga satu per satu
menuju ruang diskusi. Tiba di depan ruang ballroom
aku dihadang oleh meja absen yang dijaga oleh dua orang penyambut tamu. Salah
satu darinya aku sangat mengenalnya, beliau adalah petugas administrasi di
jurusan ku. Sebelum absen aku sempat bingung
dengan cara mengisi absen, namun ajaib petugas administrasi di ruang jurusan ku yang
sehari-harinya sering bersikap sensitif ketika melayani berbagai urusan administrasi mahasiswa, di pagi hari
itu bersikap sangat ramah bahkan beliau mengobral senyumnya kepada para peserta
yang akan menandatangani daftar hadir.
Aku
pun segera menandatangani beberapa lembar absen, kemudian aku mendapat seperangkat perlengkapan diskusi yang
terdiri dari note book, hang out materi dan pulpen yang dibungkus oleh sebuah tas map berwarna transparan dengan pinggiran
berwarna merah. Dosen-dosen ku juga berjajar rapi di dekat pintu masuk layaknya pager ayu dan
pager bagus, aku pun menyalami mereka satu persatu
sambil tersenyum simpul lalu masuk ke dalam ruangan. Ruangan yang digunakan untuk diskusi telah di tata sangat rapi. Meja-meja
dan kursi-kursi di susun dengan bentuk persegi. Di depan meja juga telah disediakan segelas air putih yang masih tersegel
dan sebuah note book serta sebuah pulpen
yang bertuliskan Hotel Panorama. Di tengah-tengah meja yang
disusun persegi
terdapat dua pot tanaman yang cukup besar. Dua layar putih juga telah terurai dan siap menjadi tempat jatuhnya proyeksi materi-materi dari
dua buah viewer. Sebuah podium juga
berdiri gagah di depan. Aku pun duduk di samping teman ku yang telah datang terlebih dahulu. Sambil menunggu acara
dimulai aku
mengamati keadaan di sekeliling ku,
selain mahasiswa dan dosen-dosen yang sudah
ku kenal ternyata
banyak wajah-wajah yang kurang familiar yang juga
menghadiri acara tersebut. Ternyata acara diskusi tersebut juga mengundang beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wartawan surat kabar harian Kompas.
Ketika
sedang asyik-asyiknya mengamati keadaan di sekitar, tiba-tiba teman di sampingku berkata, “Pak
awakmu ngerti sing ndi sing jeneng’e
Anak Agung Banyu Perwita?” “Gak ngerti
Aku Le,” timpal ku. “Kuwi lho Pak, sing lungguh ndek samping’i Pak Eby.” “Oh kuwi ta.” Jujur saja aku telah banyak
membaca karya-karyanya Pak Banyu, bahkan agar terlihat seperti mahasiswa
HI lainnya aku pun mengirim permintaan
menjadi
teman di account face book-nya. Teman ku pernah berkata, “Pak Agung ki kerep neng luar negeri Le.” Dan baru pada pagi hari itu aku
berkesempatan untuk bertemunya secara langsung dan akan mendengarkan pemaparan materi darinya. Beliau memang cukup terkenal di dunia
akademik hubungan internasional, bayangkan
gelarnya saja profesor. Bahkan beliau
sering kali ikut diundang oleh pemerintah Indonesia dalam acara-acara Konfrensi
Tingkat Tinggi (KTT). Tak jarang universitas-universitas di luar negerti juga
mengundanng beliau sebagai seorang dosen tamu. Karena itulah beliau sering
sekali berada di luar negeri.
Tak lama acara di mulai. Salah satu dosen ku didaulat
untuk menjadi seorang master of ceremony.
Dengan suaranya yang empuk dan logat Jawanya yang cukup kental, beliau mulai
membacakan susunan acara diskusi, mulai dari pembukaan, sambutan dari Rektor Universitas
Jember hingga penutup. Acara pun di mulai dan hari ini juga baru pertama kalinya aku bisa bertatapan langsung dengan
rektor ku yang baru. Pak Hasan memberikan
sambutan hanya sekitar sepuluh menit saja. Kemudian menginjak acara
berikutnya ialah presentasi dan pemaparan yang akan disampaikan oleh Drs Sanusi
yang menjabat di Direktorat Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Prof.
Anak Agung Banyu Perwita, kemudian dosen favorit nomor dua ku Abu Bakar Eby
Hara Ph.D dan Mr. Santos Winarno perwakilan dari Setwapres.
Dari pemateri-pemateri
tersebut, aku dapat menyimpulkan, bahwa pemateri-pemateri yang hadir dapat
diklasifikasikan dari perwakilan rezim yang berkuasa yakni dari Kemenlu dan
Setwapres serta dua orang yang berasal dari akademisi dan pemerhati HI.
Moderator pun segera membacakan Curriculum
Vitae (CV) dari keempat pemateri. Dari CVnya saja aku bisa mengetahui,
bahwa mereka berempat memang merupakan orang-orang yang telah banyak makan asam
garam dalam dunia HI. Setelah moderator membacakan CV dari keempat pemateri,
acara presentasi dan pemaparan pun dimulai. Pak Sanusi mendapat giliran pertama
untuk memaparkan materinya. Sebagai perwakilan dari elite yang berkuasa, Pak
Sanusi memaparkan keoptimisannya bahwa Indonesia mampu hadir sebagai negara
yang cukup berpengaruh di kawasan Asia-Pasifik. Walaupun saat ini kawasan
Asia-Pasifik. Menjadi playing field dari
negara-negara yang memiliki power yang
cukup kuat seperti Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RTT), Rusia,
India dan Australia yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan berebut
untuk menjadi negara yang paling berpengaruh di kawasan Asia Pasifik, namun Pak
Sanusi sangat optimis bahwa Indonesia yang diwadahi oleh ASEAN akan mampu mengatasi ketidak pastian dari kondisi tersebut.
Keoptimisan
Pak Sanusi didasarkan pada kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan Asia
Pasifik yang dianggapnya telah sesuai dengan amanah UUD 45, pelaksanaan politik
luar negeri yang bebas aktif dan ikut serta dalam pemeliharaan dan penciptaan
perdamaian dunia. Kebijakan yang dicetuskan oleh Kemenlu seperti, thousand friends and zero enemy serta
memelihara dynamic equilibrium
diantara pusat-pusat kekuatan global dianggap telah bekerja dengan baik.Selain
itu politik luar negeri indonesia juga telah mengupayakan berbagai cara seperti
keanggotaan Indonesia dalam ASEAN
untuk mencapai kepentingan-kepentingan Indonesia di kawasan Asia-Pasifik. Untuk
menjadi negara yang berpengaruh di kawasan Asia Pasifik, Indonesia juga
berusaha mengoptimalkan modal yang ada dalam dirinya, baik melalui pendekatan hard power seperti, kerja sama dalam bidang
pertahanan maupun soft power seperti, kerja sama
penanggulangan bencana alam dan bantuan kemanusiaan.
Pemaparan
dari Pak Sanusi berakhir. Kemudian tibalah giliran pemateri kedua memaparkan materinya.
Pemateri kedua ialah Pak Banyu. “Aku boleh memaparkan materi sambil berdiri di
podium?” izin pak Banyu kepada seluruh peserta diskusi dan moderator. Serentak
seluruh peserta diskusi mengizinkannya. Dengan langkah tegapnya beliau berjalan
menuju podium. Sangat berbeda sekali dengan pemaparan pertama dari Pak Sanusi,
Pak Banyu terlihat sangat berapi-api bahkan terkesan memprovokasi para peserta
diskusi dalam memaparkan materinya. Dengan suara yang lantang dipadu dengan body language semakin menambah semarak
acara diskusi. Berbeda 180 derajat dengan Pak Sanusi, dengan tema presentasi “Changing Regional Architecture of Asia
Pacific: Who’s Leading Who” Pak
Banyu justru sangat skeptis dan pesimis memandang peluang Indonesia dalam
kawasan Asia-Pasifik dewasa ini. “Aku galau memandang masa depan arsitektur
kawasan Asia-Pasifik.” “Begitu banyak masalah di kawasan Asia Pasifik seperti
yang terjadi antara Korea Selatan-Korea Utara, konflik Laut Cina Selatan, serta
masalah perbatasan antar beberapa negara di kawasan Asia Pasifik.” Kemudian Pak
Banyu mulai menjelaskan fakta-fakta kontemporer yang terjadi di kawasan Asia
Pasifik. Dari fakta-fakta tersebutlah yang mendasari kegalauan Pak Banyu. “Ada APEC, ada Shanghai Cooperation Organization, South Asian Association For Regional Cooperation dan beberapa
lembaga kerja sama sejenis, namun hasilnya belum nampak.” “Terus buat apa
membuat kerja sama yang sejenis? Apa ingin menyingkirkan Cina?”
Pak
Banyu pun kemudian mengkritik habis-habisan politik luar negeri Indonesia.
“Kita harus memikirkan bener gak sih
politik luar negeri Indonesia thousand
friends and zero enemy?” “Bagaimana reaksi RRT ketika Indonesia mengakui
Taiwan sebagai sebuah negara?” Kalimat pertanyaan itu membuat otak ku berpikir,
memang sepengetahuan ku Indonesia menganut one
China policy, yakni RRT bukan Taiwan, tetapi saat ini banyak juga TKI yang
bekerja di Taiwan. “Lihat bagaimana neraca perdagangan Kita yang defisit dalam ACFTA?” Memang benar, semenjak Indonesia
menandatangani perjanjian ACFTA,
Indonesia menunjukkan neraca perdagangan yang negatif. Bahkan sudah mulai
banyak produsen dalam negeri yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing
dengan produk-produk Cina yang terkenal sangat murah. Sering kalinya Pak Banyu
mengatakan kata galau, menjadikan kata galau menjadi magic word pada diskusi kali ini. Atau mungkin memang akhir-akhir
ini kata galau sangat akrab sekali ditelinga orang Indonesia? Satu hal yang
bisa aku petik dari materi yang disampaikan Pak Banyu, ternyata semakin tinggi
gelar akademik seseorang maka akan semakin mudah dalam memberikan penjelasan.
Ya mempermudah istilah-istilah yang sulit dalam kajian HI tanpa mengubah
substansi memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak semua orang
memiliki kemampuan tersebut.
Ketika
para pemateri asyik memaparkan materinya, peserta diskusi sempat terganggu oleh
hal kecil. Ternyata petugas pramusaji hotel yang mengantarkan snack dan minuman mampu menyedot
perhatian sebagian besar para peserta diskusi. Mungkin bagi para peserta
diskusi yang telah terbiasa dengan seminar-seminar nasional maupun
internasional dan sudah terbiasa dilayani seperti itu, tidak akan mengalami
keheranan. Tapi bagi ku dan sebagian teman ku kehadiran para pramusaji ini
jelas menyedot perhatian. Dengan seragam berwarna merah dan motif batik di
bagian kerah dan tengah seragam menjadikan para pramusaji itu tampak elegan.
Apa lagi ketika sebagian pramusaji yang mengantarkan snack dan minuman tersebut
usianya tampak sebaya dengan kami, menambah point
tersendiri.”Mau minum apa Mas teh atau kopi?” tiba-tiba teman ku berujar, “Opo wae Sar, sing sekirone gak nggawe Mbak’e repot?” Dan segera aku pun
menyampaikan perkataan teman ku, “Apa saja
Mbak yang penting tidak merepotkan.” Petugas pramusaji itu tersenyum sambil
melanjutkan kerjanya. Tak lama kemudian sebuah resoles dan kue cum-cum
tergeletak di hadapan ku. Tanpa harus menunggu disuruh untuk memakannya, aku
sudah mulai menggigit resoles dan tak
lama berselang kue cum-cum pun habis
tak bersisa. Mungkin perutku memang sudah terasa lapar, karena tadi pagi
setelah menonton pertandingan sepak bola aku dan kawan kos ku langsung sarapan
rawon semanggi.
Sejak
Pak Sanusi memulai pemaparannya, aku mengamati ternyata banyak peserta diskusi
yang mencatat materi-materi diskusi. Bahkan ada yang sudah menyiapkan
pertanyaan-pertanyaan sebelum sesi tanya jawab dibuka. Tapi satu yang pasti,
sepertinya aku merupakan salah satu peserta yang paling tidak bisa diam. Ini
disebabkan oleh seringnya aku keluar-masuk ruangan pada saat acara berlangsung.
Bukannya ingin menarik perhatian dari para peserta lainnya, hanya saja aku
tidak terbiasa dengan suhu ruangan yang terlalu dingin. Suhu di ruangan diskusi
mungkin diatur dengan temperatur yang paling rendah dan ini berdampak pada
kantung kemih ku. Jelas suhu ruangan yang terlalu dingin mengakibatkan kantung
kemih ku tak bisa terlalu lama menahan urine
di dalamnya. Sehingga mau tidak mau aku harus mondar-mandir ke kamar mandi.
Aku pun jadi berpikir berulang kali, ketika memiliki cita-cita untuk dapat melanjutkan
studi ke negara-negara yang memiliki iklim sub tropis atau menjadi seorang backpacker yang bertualang ke berbagai
penjuru dunia. Sepertinya untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut aku harus
mampu mengatasi masalah beser ini
terlebih dahulu.
Pak
Banyu telah selesai presentasi dan kini tibalah gilirannya dosen favorit nomor
dua ku untuk memaparkan materi yang telah dipersiapkannya. Sama seperti Pak
Banyu Pak Eby memilih untuk memaparkan materi sambil berdiri di podium. Dari
keempat pemateri Pak Eby ialah ialah satu-satunya pemateri yang mengenakan kemeja lengan panjang dengan dasi keunguan yang
menjuntai di tengahnya. Namun satu hal yang menarik dari cara berbusana Pak
Eby, beliau tidak mengenak jas. Untuk menutupi kemeja lengan panjangnya, beliau
mengenakan jaket berwarana hitam dan hanya menutupnya hingga bagian dada,
sehingga dari jauh akan tampak seperti setelan jas dan kemeja. Cara berbusana
yang sama pada saat beliau menjadi presentator di acara seminar internasional
masalah penanggulangan bencana yang bekerja sama dengan BNPB pada tahun lalu.
Berbeda
dengan Pak Banyu yang pesimis dalam memandang kondisi kawasan Asia-Pasifik saat
ini, Pak Eby justru memandang optimis mengenai kondisi di kawasan Asia-Pasifik
saat ini. Tidak seperti Pak Sanusi yang terlampau optimis karena beliau
merupakan salah satu dari perwakilan pemerintah, Pak Eby bersikap optimis
karena saat ini telah terjadi pergeseran makna tatanan dunia dan tatanan regional di kawasan
Asia-Pasifik. “Saat ini di kawasan Asia-Pasifik yang terjadi bukanlah sebuah
permusuhan, namun rivalitas.” “Di mana rivalitas berbeda dengan permusuhan,
kalau permusuhan bertujuan untuk saling menghancurkan, rivalitas tidak,” papar
Pak Eby. Pak Eby mencoba menganalisis kondisi kawasan Asia-Pasifik saat ini
dengan paradigma konstruktivisnya Alexander Wendt.
Alexander
Wendt menyebutkan ada tiga budaya anarki dalam evolusi tatanan internasional.
Ketiga budaya anarki tersebut ialah Hobessian culture, Lockean culture dan
Kantian culture. Dan menurut Pak Eby
saat ini kawasan Asia-Pasifik mencapai tahap Lockean culture, di mana hanya ada persaingan atau rivalitas namun tidak
berujung pada perang. “Cotohnya apa yang dilakukan oleh RRT, mereka tidak mau
dianggap lagi sebagai ancaman militer bagi negara lain di kawasan Asia-Pasifik,
oleh karena itu, RRT aktif dalam banyak dialog.”
Pak
Eby juga memaparkan bahwa fakta-fakta saat ini yang terjadi di kawasan
Asia-Pasifik seperti, peningkatan kekuatan militer Cina dan Jepang, penempatan
2500 pasukan AS di Darwin serta masih adanya kecurigaan terhadap ancaman Cina
oleh negara-negara di kawasan Asia-Pasifik saat ini, itu semua hanya dipandang
sebagai rivalitas dan bukan pada level
musuh yang harus dimusnahkan.
Ketika
Pak Eby memaparkan materinya, aku sempat ke kamar mandi. Setelah selesai buang
air kecil, aku pun segera kembali ke dalam ruangan. Namun karena di depan
tempat duduk aku terdapat meja dan jarak antara tempat duduk yang satu dengan
yang lainnya terlalu dekat menjadikan aku merasa tidak enak hati kalau harus sering
mengganggu kenikmatan peserta lainnya. Untuk menghindari hal tersebut terjadi,
aku memutuskan untuk duduk di belakang di dekat pintu masuk ruangan. Ternyata
di sebelah ku duduk salah satu pegawai dari Setwapres. “Pak dari instansi
mana?” ujar ku untuk memulai percakapan. “Dari Setwapres,” jawab bapak itu
singkat. Karena penasaran dengan penyelenggaraan diskusi ini, aku pun
memberanikan diri untuk menanyakannya. “Pak, Setwapres ini masih satu badan
dengan Kemenlu ya?” tanya ku dengan rasa penuh ingin tahu. “Oh bukan Dek, Setwapres ini merupakan
Kesekretariatan Wakil Presiden dan bukan bagian dari Kemenlu.” “Oh tertnyata
berbeda ya Pak, Aku kira masih bagian dari Kemenlu.”
Tidak
ingin percakapan ini segera berakhir, aku pun kembali bertanya, “Memang acara
seperti ini sering diselenggarakan oleh Setwapres ya Pak?” “Ya lumayan sering Dek,” timpalnya. “Terus kok bisa Setwapres menyelenggarakan
acara diskusi ini di Jember?” “Ya Kita mencoba untuk menyelenggarakan acara ini
di kampus-kampus yang letaknya agak jauh.” “Apa acara ini bisa dikatakan
sebagai proses hearing Pak?” tanya ku
lagi. “Ya boleh dikatakan demikian, karena melalui acara ini Setwapres,
khususnya bidang politik jadi mengerti pendapat dari akademisi dan masyarakat
akar rumpur.” Pegawai Setwapres tersebut terus melanjutkan kalimatnya, “Kan Adek
bisa lihat kalau selain mengundang akademisi, Kami juga mengundang beberapa
perwakilan dari masyarakat dan LSM.” “Oh berarti nanti laporan
pertanggungjawabannya berbeda dengan laporan pertanggungjawabannya Kemenlu ya
Pak?” “Jelas berbeda Dek, nanti Kita
buat laporannya ke bagian bidang politik, kemudian kalau bidang politik merasa
hasil dari acara ini perlu disampaikan kepada Wakil Presiden maka akan
disampaikan.” “Nah kalau Kemenlu nanti laporannya ya buat instansinya sendiri,”
terangnya. “Oh gitu ya Pak, Aku
justru dari awal berpikir kalau acara ini sebenarnya Kemenlu yang
menyelenggarakan.” “Oh bukan Dek
justru Kami yang melibatkan Kemenlu.”
Tak
terasa ketika perbincangan kami berlangsung ternyata pemateri di depan juga
telah berganti. Dan saat ini yang melakukan presentasi ialah Bapak Santos.
Beliau merupakan salah satu petugas Satwapres. Pak Santos memaparkan materi
mengenai bagaimana saat ini India dan Rusia mampu menjadi negara yang mengalami
perkembangan cukup pesat, di mana mereka (Rusia dan India) juga memiliki
kepentingan di kawasan Asia-Pasifik. Sama seperti kedua pemateri sebelumnya,
Pak Santos memilih berdiri dalam menyampaikan materi yang telah
dipersiapkannya. “Kalau Pak Banyu merupakan penggemar realis bipolarnya John
Marsheimer kemudian Pak Eby merupakan penggemar konstruktivisnya Alexander
Wendt, Aku mencoba mengambil jalan tengah” paparnya dalam membuka materi.
Agar
diskusi menjadi menarik Pak Santos melemparkan pertanyaan kepada mahasiswa,
“Siapa diantara Adik-adik yang tertarik mengangkat negara India dan Rusia
menjadi sebuah skripsi?” Kemudian aku melihat beberapa adik kelas aku mengacungkan tangannya. Pak Santos
kemudian bertanya, “Menurut Adik-Adik apa yang menjadikan Rusia dapat
berkembang dengan pesatnya setelah runtuhnya Uni Soviet?” Adik-adik kelas ku
pun berusaha untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Santos dengan
sebaik-baiknya. Setelah selesai mendengarkan jawaban yang dikemukakan oleh
adik-adik kelas ku Pak Santos kembali melanjutkan materinya.
“Rusia
memiliki beberapa kepentingan di kawasan Asia Pasifik” tutur Pak Santos.
“Kepentingan-kepentingan tersebut ialah, mengembalikan supremasi, superioritas
dan dominasi Rusia.” Aku berpikir apakah ini terkait dengan kekalahan Uni
Soviet dalam perang dingin ketika berseteru dengan Amerika? Aku memiliki
pemikiran demikian didasari pada hal yang sederhana, bahwa pihak yang
bermusuhan cukup lama, walaupun telah berdamai, pasti masih menyimpan
kekecewaan antara satu dengan lainnya. Belum sempat aku mendapatkan jawaban
atas pertanyaan tersebut Pak Santos melanjutkan kalimatnya “Alasan lainnya
ialah Rusia ingin keluar dari kepungan musuh tradisional.” Aku pun mencoba
mengingat-ingat materi kuliah politik pemerintahan Rusia. Memang benar yang
dikatakan Pak Santos, secara geopolitik Rusia memang negara yang terisolasi, salah
satunya dapat dilihat dari pelabuhan Vladivostok yang hanya bisa berfungsi
ketika musim panas.
“Rusia
memiliki beberapa strategi dan modalitas yang mampu menjadikan Rusia sepert
saat ini. “ “Modalitas Rusia tersebut diantaranya, kepemilikkan energi,
kapabilitas militer serta perkembangan Iptek,” papar Pak Santos. Setelah
memaparkan mengenai kapabilitas Rusia, Pak Santos mengalihkan topik ke
perkembangan India. “India di bawah pemerintahan Narashima Rao memiliki
kebijakan India Look East” tutur Pak
Santos. Kebetulan sebelum menghadiri acara diskusi ini aku sempat browsing di internet dan ternyata memang
semenjak kebijakan India Look East digulirkan,
India banyak menjalin kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.
Kerja sama India dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik juga hampir
meliputi berbagai bidang.
Perubahan
kebijakan India ini tentunya bukan tanpa alasan. Karena India juga memang
memiliki kepentingan di kawasan Asia Pasifik. Kepentingan India antara lain,
memperkuat supremasi dominasi dan hegemoni di Asia Selatan, mengunci musuh
geopolitik tradisional mereka yakni Pakistan, mengubah pendekatan dalam
menghadapi RRT serta ingin bermain lebih jauh di Asia Pasifik. Aku pun mencoba
untuk mencerna pemaparan dari Pak Santos, memang benar adanya saat ini India
telah tumbuh menjadi salah satu negara yang cukup berpengaruh di dunia.
Perkembangan ekonomi dan modernisasi militer yang cukup pesat menjadikan India
semakin disegani dalam kawasan Asia-Pasifik. Bahkan belum lama ini India
menguji coba rudal jarak jauh mereka yang diberi nama Agni V. Di mana rudal
tersebut dapat menjangkau Jakarta, Teheran dan Beijing.
Pak
Santos juga memaparkan apa yang disebut dengan Chindia. “Chindia merupakan
kerja sama antara China dan India.” “Di mana China dan India membentuk
integrasi ekonomi dan budaya bersama” tutur Pak Santos. Menurutku ada yang
berbeda antara pemaparan yang disampaikan oleh Pak Santos dengan Pak Sanusi.
Jika Pak Sanusi selalu merasa optimis dengan perkembangan Indonesia di kawasan
Asia Pasifik, Pak Santos justur sebaliknya. Walaupun Pak Santos merupakan
bagian dari teknokrat pemerintah yang berkuasa, namun Pak Santos tidak
segan-segan untuk mengkritik politik luar negeri Indonesia. Aku pun sempat
sedikit heran mengapa Pak Santos berani melakukannya. Untuk memuaskan rasa
keingintahuan ku, aku pun memberanikan diri untuk menanyakannya ke salah satu
petugas Setwapres, “Pak apakah nanti Pak Santos tidak dikenai sanksi karena
ikut mengkritik kebijakan pemerintah?” “Gak
usah khawatir Dek, Beliau orangnya
memang begitu.” jelas petugas Setwapres. Mendengar jawaban dari salah satu
petugas Setwapres aku jadi berpikir mungkin ini cara yang dilakukan oleh Pak
Santos agar diskusi dapat berjalan menarik.
Tak
terasa keempat pemateri telah memaparkan seluruh materinya. Kami pun memasuki
sesi berikutnya, yakni sesi tanya jawab. Moderator mungkin telah menyadari
bahwa dalam sesi tanya jawab ini pasti akan muncul banyak pertanyaan. Oleh
sebab itu moderator pun membagi pertanyaan menjadi tiga bagian yang sesuai
dengan posisi tempat duduk para peserta diskusi. Begitu moderator mempersilakan
para peserta diskusi untuk bertanya, puluhan tangan langsung terangkat dan jika
aku menjadi moderator pada saat itu, maka aku akan bingung juga untuk memilih
peserta mana yang boleh bertanya. Sepertinya moderator memilih peserta yang
ingin bertanya ialah berdasarkan gaya peserta dalam mengangkat tangannya.
Peserta diskusi ada yang mengangkat tangannya secara biasa-biasa saja, tapi ada
pula yang mengangkat tangan sambil berdiri atau bahkan sampai berjinjit. Karena
tiap peserta diskusi tentu menyadari bahwa agar dapat kesempatan untuk bertanya
maka mereka harus dapat menarik perhatian moderator.
Tiga
orang dosen ku mengajukan beberapa pertanyaan untuk para pemateri. Tapi tanpa
disangka-sangka, aku yang duduk di bagian belakang diberikan kesempatan oleh
moderator untuk bertanya. Sejak awal memang ada beberapa pertanyaan yang ingin
aku ajukan kepada pemateri di depan. Namun waktu melihat termin pertama dibuka
dan yang mengajukan diri untuk bertanya sangat banyak, nyali ku menjadi ciut.
Oleh sebab itu waktu dibuka termin kedua, aku pun hanya asal-asalan mengangkat
kedua tangan ku dan melambai-lambaikanya seperti orang yang hendak berpisah,
namun ternyata moderator menunjuk ku. Mic
pun disodorkan ke hadapan ku, aku pun langsung bertanya, agar seperti para
penanya lainnya yang bertanya, aku membuka pertanyaan dengan pendapat pribadiku
mengenai materi-materi diskusi. Pertanyaan ku kali ini aku titik beratkan pada
Pak Sanusi dan Pak Eby. Dalam benak ku berpikir, “Ayo Sar, kapan lagi kamu
menyampaikan keluhan mu kepada pemerintah yang berkuasa?” Tanpa menunggu
aba-aba aku langsung mengeluarkan kritikan untuk politik luar negeri Indonesia
yang menurut ku seperti macan ompong. Selain itu aku berpendapat bahwa politik
luar negeri Indonesia telah mengkhianati UUD 45. Contoh yang aku ajukan ialah
masalah perdagangan bebas antara Indonesia dan Cina, di mana grafik menunjukkan
defisit dipihak Indonesia. Untuk Pak Eby, aku hanya menanyakan mengenai
seberapa pentingnya bagi Indonesia untuk memanfaatkan ASEAN untuk mencapai kepentingan Indonesia.
Semua
pertanyaan telah dikumpulkan oleh moderator. Para pemateri menjawab seluruh
pertanyaan para peserta secara sekaligus. Hal ini disebabkan antara satu pertanyaan dengan pertanyaan lainnya saling berkaitan. Namun
satu hal yang bisa ku tangkap, jawaban dari Pak Sanusi selaku elite yang
memerintah sungguh mengecewakan. Beliau tetap saja merasa bahwa politik luar
negeri Indonesia telah berjalan dengan baik, namun beliau juga mengakui masih
ada beberapa kekurangan. Sebenarnya ada satu kata yang ku harap beliau
lontarkan dari bibirnya, yakni kata maaf. Maaf ketika beliau dan elite-elite
yang berkuasa lainnya masih belum benar-benar bisa melindungi rakyat Indonesia.
Dalam
sesi tanya jawab, memang Pak Sanusi lah pemateri yang paling banyak mendapat
kritikan terkait dengan politik luar negeri Indonesia yang kurang greget dalam kancah hubungan
internasional di kawasan Asia-Pasifik. Seluruh pertanyaan yang diajukan kepada
pemateri berusaha untuk dijawab sebaik-baiknya. Namun tetap saja, bagi peserta
diskusi yang belum melontarkan pertanyaan tentu sedikit kecewa karena tentunya mereka
sudah mempersiapkan pertanyaan dan mungkin saja pertanyaan yang belum sempat
ditanyakan oleh peserta yang lainnya merupakan pertanyaan yang brilian. Menurutku
pribadi, sebenarnya esensi dari sebuah diskusi ialah adanya proses dialog di
mana seluruh peserta diskusi diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat
mereka. Namun seperti biasanya, waktu menjadi kendala klasik dalam diskusi
acara diskusi kali ini.
Sesi
tanya jawab pun berakhir, MC pun
menutup acara diskusi pada hari ini. Kemudian seluruh peserta diskusi
dipersilakan menuju ruang makan untuk santap siang. Jujur saja, salah satu
keuntungan mengikuti acara-acara seperti ini ialah, selain mendapatkan ilmu,
memperluas koneksi yang tak kalah berharganya ialah kita dapat memanjakan
lidah. Kapan lagi seorang mahasiswa macam diri ku dengan kiriman bulanan yang
tak menentu dapat merasakan masakan hotel bintang tiga? Namun sepertinya, aku
bukanlah satu-satunya peserta diskusi yang memiliki pemikiran seperti itu,
ternyata teman-teman ku yang lainnya pun sama. Aku bisa melihat dari raut
mukannya yang sangat berbinar ketika berada di ruang makan.
Setelah
menaruh map, aku pun langsung menuju meja makan. Aku dan peserta diskusi lainnya
kemudian berbaris mengantri di meja makan. Aneka masakan telah tersaji di meja.
Ketika mengambil makanan, perasaan ku sedikit galau. Galau, apakah harus
menjaga sikap dengan mengambil makanan secukupnya karena sedang makan bersama
orang-orang penting ataukah harus memanfaatkan semaksimal mungkin peluang yang
ada dengan mencoba berbagai masakan yang tersedia. Akhirnya aku pun memilih pilihan
pertama, bahwa aku harus menjaga sikap dengan mengambil makanan sewajarnya.
Karena
jumlah kursi dan meja tidak sebanding dengan jumlah peserta yang hadir, apa
boleh buat akhirnya aku keluar ruangan dan duduk dipinggir kolam sambil
memandangi ikan-ikan hias yang memang sengaja dipelihara oleh pihak hotel untuk
mempercantik penampilan hotel. Baru mengunyah makanan sekitar lima sendok, adik
kelas ku menghampiri, “Mas boleh ikut gabung? Kayaknya asyik juga makan sambil ngelihatin ikan” ““Oh silahkan,”
jawabku. Kami pun makan bersama, sambil bercerita mengenai pengalaman Kuliah
Kerja Terpadu (KKT) ku. Ternyata tidak semua pemateri makan di kursi dan meja
yang telah disediakan, bahkan dosen favorit pertama ku dan Pak Santos juga ikut
duduk makan di pinggir kolam. Ketika santap siang, aku mulai mengamati keadaan
disekitar, ternyata banyak juga mahasiswa, dosen-dosen dan pemateri yang saling
memperluas jaringan dengan melakukan lobi-lobi. Aku pun menyadari bahwa
pendekatan yang dilakukan ketika beristirahat memang banyak manfaatnya.
Sepiring
nasi dengan beraneka lauk pauk pun sudah habis ku santap, namun rasanya masih
ada yang kurang. Tak lama kemudian aku baru mengingatnya, aku belum nyoba cocktail yang ada di sudut meja. Tak perlu menunggu
waktu yang lama, ku dengan teman-teman yang lainnya juga ikut mencoba cocktail tersebut. Para peserta diskusi
kemudian mulai berkurang satu demi satu. Tak lupa sebelum aku pulang, aku
sempatkan untuk berfoto dengan teman-teman seangkatan ku. Pikiran ku hanya
satu, yakni kapan lagi aku punya momen-momen seperti ini lagi bersama dengan
teman-teman yang sebentar lagi lulus. Setelah kami foto bersama, salah seorang
teman ku punya ide agar kita berfoto dengan para pemateri. Aku pun sepakat
dengan ide tersebut, akhirnya Pak Eby yang bergegas ingin pulang, kami cegat di
tengah jalan. “Pak ayo foto bareng dulu,” ujar salah seorang teman ku. “Oh,
boleh-boleh,” jawab Pak Eby. Tak puas hanya berfoto bersama Pak Eby, kami pun
memberanikan diri untuk berfoto dengan Pak Banyu. “Pak boleh minta foto
bareng?” ucapku sambil menjabat tangannya. “Oh dengan senang hati,” ujar Pak
Banyu. Tak lama setelah foto bareng Pak Banyu, salah satu orang teman ku
berujar, “Ah ngko rokok ku ganti ah, ganti rokok A-Mild koyok Pak Banyu, ben iso dadi profesor,”
aku dan teman-temanku yang lainnya langsung tertawa mendengar hal itu.
Hari
ini aku banyak belajar. Belajar dari orang-orang hebat. Belajar bagaimana harus
bersikap dalam acara-acara formal, agar suatu hari aku terbiasa dalam
acara-acara formal lainnya. Belajar bagaimana orang pandai itu mampu menjelaskan
hal yang sulit menjadi mudah bukan sebailknya, mempersulit hal yang mudah. Yang
tak kalah pentingnya, aku harus belajar sabar. Sabar ketika suatu saat duduk
sebagai bagian dari elite pemerintah dan harus menerima banyak sekali kritikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar